Angin berhembus dengan kencang seiring dengan suara debur ombak yang memecah karang. Aldebaran beranjak dari tempatnya duduk di samping ranjang Kania untuk menutup jendela yang terus terbuka dan tertutup karena tertiup angin. Saat ini dirinya sedang berada di pulau pribadi milik keluarga Blackstone. Sebuah tempat yang aman untuk menyembunyikan Kania sementara waktu.
Sejak tiba di pulau sampai menjelang tengah malam, Kania belum juga bangun. Gadis itu masih lelap tak terganggu oleh keributan suara angin, debur ombak, dan juga jendela yang terus menabrak daun pintu dengan keras.Aldebaran khawatir dan sempat menghubungi kakak sulungnya, bertanya kapan efek obat bius itu hilang atau jangan-jangan kakaknya itu telah memberikan dosis di luar batas wajar. Namun, sang kakak tidak memberi jawaban memuaskan."Kalau mau dia cepat bangun, tampar saja wajahnya. Lagipula, ini kan salahmu sendiri kenapa memilih menjadi pecundang dan tidak segera mengikat gadis yang kau suka ke dalam sebuah hubungan resmi. Merepotkan semua orang saja!"Jawaban sang kakak membuat Aldebaran mendengus kesal, tapi Alde tahu dibalik kata-kata sinis kakaknya, kakaknya itu sangat peduli akan kebahagiaannya. Selain ayahnya, kakak sulungnya itu pun menjadi sosok yang sangat ia puja dan idolakan. Tegas, berani, dan tangguh. Berbanding terbalik dengan dirinya yang mengatakan cinta pada gadis ia suka saja tidak mampu.Aldebaran mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Hatinya gelisah menanti apa yang akan terjadi ke depannya. Ia tak tahu apakah Kania akan marah atau justru gembira karena diculik tepat di hari pernikahannya. Selain itu, Sulthan dan keluarganya pasti akan terus mengusut dan mencari siapa pihak yang bertanggung jawab atas batalnya pernikahan yang sudah direncanakan dengan matang dan akan dilaksanakan secara besar-besaran itu. Namun, apa pun itu, dirinya harus siap menerima setiap risiko yang ada.Ia mendesah berat, kemudian berdiri dan berjalan ke jendela untuk mengganjal jendela itu dengan tisu yang ia temukan di kamar. Setelahnya, ia kembali duduk di samping tempat tidur dan mengamati wajah lelap Kania.Wajah itu selalu menghantui mimpinya setiap malam selama tujuh tahun belakangan. Kini, wajah itu berada sangat dekat dengannya dan tidak lama lagi ia pun akan meng-klaim wajah itu sebagai miliknya, tak perduli apa pun yang terjadi. Namun, sebelum itu dirinya harus bisa membereskan kekacauan yang telah ia timbulkan.Aldebaran belum mendapat pesan dari salah satu saudaranya tentang kondisi terkini di kota. Kegagalan pernikahan Sulthan-putra salah seorang pengusaha terkaya di kota-pasti menjadi sebuah berita besar. Namun, Alde berharap dirinya dan saudara-saudaranya tidak meninggalkan bukti penculikan kemarin.Sekarang, ketika ia berpikir lagi dengan lebih tenang, dirinya baru menyadari bahwa aksinya kemarin bisa menimbulkan banyak sekali dampak buruk bila sampai ketahuan-dan lambat laun pasti ketahuan. Selain kerja sama bisnisnya dengan Sulthan akan hancur, keluarga Sulthan pun pasti tidak akan bisa menerima penghinaan yang telah ia berikan. Mereka akan membalas entah dengan cara apa karena sudah pasti keluarga Blackstone bukan tandingan yang bisa diremehkan.Tiba-tiba saja rasa bersalah bercokol dalam dada Alde karena dirinya telah menyeret keluarganya ke dalam bahaya. Untuk kakak dan adik-adiknya, Aldebaran yakin sekali mereka bisa menjaga diri, tapi bagaimana bila Sulthan mengincar bundanya yang bahkan tak tahu cara membunuh semut. Ohh, bukan hanya keluarganya. Mungkin keluarga Kania pun saat ini berada dalam tekanan Sulthan.Mengingat fakta itu membuat Aldebaran bergegas bangkit dan melangkah cepat keluar dari kamar yang ditinggali Kania. Ia harus menghubungi salah seorang dari anggota keluarganya dan tak ingin membangunkan Kania dengan suara telponnya.Aldebaran berdiri di teras samping dan langsung menghubungi saudara kembarnya, Aldevaro. Ia mengatakan kekhawatirannya dengan cepat dan berharap saudara kembarnya itu bisa mengantisipasi kemungkinan apa saja yang bisa terjadi pada keluarga mereka."Besok, aku akan mengadakan rapat bersama para direksi via zoom. Jadi, bisakah kau mengatur tempat dan waktunya?"Aldebaran mengerutkan dahi mendengar penjelasan saudara kembarnya yang berkata bahwa untuk sementara waktu mungkin perusahaan akan diambil alih ayahnya. Jadi, dirinya diminta untuk tenang dan tidak panik."Tapi, bagaimana bisa Ayah ...?""Kau seperti tidak tahu Ayah saja. Bisakah kami mengelak dari interogasinya?""Tidak, tapi apakah Bunda ju—""Ayah tidak cukup bodoh hingga membuat Bunda ikut panik dan menangisimu terus-menerus." Aldevaro berusaha menenangkan Aldebaran. "Kita tidak tahu dan tidak bisa menebak langkah apa yang akan diambil oleh keluarga Sulthan. Yang jelas kita tak boleh lengah dan harus terus waspada.""Kita tidak meninggalkan bukti. Jadi, Sulthan mungkin tidak akan tahu bahwa aku yang membawa pergi mempelai wanitanya. Tidak! Dia mempelai wanitaku!" geram Aldebaran sambil mengatupkan rahang. Dirinya tidak suka memikirkan kemungkinan Kania-nya menikah dengan Sulthan. Bahkan, membayangkan Sulthan menyentuh seinci saja tubuh Kania rasanya membuat Aldebaran ingin mematahkan tangan Sulthan saat itu juga."Mungkin kita tidak meninggalkan bukti, tapi dengan kau yang tiba-tiba menghilang seperti itu, mereka bisa saja berspekulasi." Aldevaro mengingatkan. "Tapi, itu kita pikirkan nanti. Yang jelas untuk saat ini, kita harus meningkatkan kewaspadaan dan keamanan anggota keluarga kita dan Kania. Aku akan merundingkan hal itu dengan yang lain. Kau ... Nikmatilah waktumu dengan gadis-mu itu.""Trims." Hanya itu yang bisa Aldebaran ucapkan pada saudara kandungnya sebelum menutup panggilan. Setelah itu, ia tidak langsung kembali ke kamar Kania, tapi ke dapur. Dirinya harus menyiapkan makanan supaya ketika Kania sadar nanti, gadis itu bisa langsung makan.Aldebaran menggaruk pelipisnya sambil melihat ke sekeliling dapur. Ia tidak tahu apa yang harus ia masak atau yang perlu dilakukan karena memang dirinya tidak terlalu menyukai bergelut di dapur dan lebih menyukai hal-hal yang praktis seperti memesan delivery atau pergi ke kafe ketika menginginkan sesuatu dan tidak ingin merepotkan bundanya. Akan tetapi, kali ini mau tak mau dirinya harus, karena Kania-nya butuh makan.Ia pun membuka pintu lemari pendingin. Di dalam freezer hanya ada sosis, nugget, dan beberapa makanan beku lain yang Aldebaran tak tahu apa namanya. Ia mengambil sosis dan kentang. Seperti itu cukup bisa membuat Kania kenyang untuk sementara waktu. Tadi, adik perempuannya sudah berjanji untuk mengemas banyak makanan dan mengirimnya ke pulau. Jadi, untuk saat itu ia pun hanya bisa makan apa yang ada di freezer itu saja.Aldebaran menggoreng satu pak sosis dan satu pak kentang kemasan satu kiloan. Untuk ukuran normal semua itu mungkin bisa dijadikan lima porsi makan bahkan lebih, tapi karena perutnya pun sudah menjerit kelaparan, sementara porsi makannya pun banyak, itu semua masih pasti tidak akan membuatnya kenyang.Setelah meletakkan sosis dan kentang itu di sebuah nampan besar, ia membuka lemari penyimpanan di dapur dan menemukan beberapa buah-buahan kaleng dan sup jamur dan kacang polong. Wajahnya berbinar cerah melihat tumpukan makanan itu. Ia pun mengambil dua kaleng sup jamur dan satu kaleng sup kacang polong, lalu membukanya, menumpahkan isinya dalam wadah, dan memanaskan semua itu di microwave.Setelah semua siap, Aldebaran membawa nampan dan mangkuk kaca berisi sup itu ke dalam kamar Kania. Gadis itu belum bangun. Jadi, Aldebaran meletakkan semua itu tanpa menimbulkan suara ke atas meja yang ada di sudut kamar, samping jendela. Setelah itu, ia kembali ke dapur untuk mengambil piring, garpu, dan juga sendok.Kuah sup masih mengepul ketika Alde menyendok sup ke dalam mangkuk untuk Kania. Ia sendiri akan makan langsung dari wadahnya. Ia juga menyisihkan sepuluh potong sosis dan satu porsi kentang goreng untuk Kania. Kemudian, langsung makan dengan lahap. Ternyata, dugaannya benar. Sepuluh potong sosis, satu piring kentang goreng, dan satu wadah sup belum membuatnya kenyang. Matanya melirik jatah makan Kania, tergoda untuk mengambil beberapa potong sosisnya. Namun, ia tidak melakukan itu karena ingat Kania seharian ini belum makan apa pun. Ia pun menutupi jatah makanan Kania dengan tisu dan pindah duduk ke kursi di samping tempat tidur Kania.Gadis itu terlihat gelisah dalam tidurnya dan sesekali terdengar mengerang pelan. Mungkin efek obat biusnya sudah hilang, pikir Alde. Dan itu seketika membuat tubuh Aldebaran kaku. Dirinya belum siap berhadapan dengan Kania.Alde melirik ke arah tempat tidur di mana Kania masih mengigau dalam tidurnya. Seketika jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Sepertinya kali ini kakak sulungnya itu benar, bahwa dirinya harus mempergunakan waktu yang ada untuk berlatih bicara di hadapan Kania. Bagaimana bisa meminta gadis itu menikah dengannya, jika berhadapan dengan Kania yang sedang tidak sadar saja sudah membuat jantungnya seakan ingin melompat keluar dari rongga dadanya.Alde gelisah. Waktu terus berjalan dan efek obat bius yang kakaknya berikan pun akan semakin memudar, tapi dirinya belum siap. Dia tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, apa yang harus ia katakan, atau setidaknya tidak gemetar seperti pecundang menyedihkan. Apakah sebaiknya dirinya menelpon ayahnya dan meminta nasihat?Baru saja ia mempertimbangkan untuk menelpon Aidan Blackstone ketika mendengar rintihan dari arah tempat tidur. Hal itu membuat Alde terkejut dan buru-buru menoleh-membuat lehernya sakit-untuk melihat ke arah tempat tidur.Seketika jantung Alde rasanya berhenti berdetak begitu tatapan Kania terarah padanya. Tanpa sadar ia pun menahan napas sambil balas menatap terkejut gadis itu."K-kau s-sudah bangun?" Alde bertanya gagap. Ia batuk-batuk kecil untuk menutupi kegugupan dan kegagapannya.Kania tidak menjawab. Dia bangun, kemudian bersandar ke kepala ranjang sambil memegang kepalanya yang terasa berkunang-kunang.Beberapa saat kemudian ketika rasa pusing di kepalanya sedikit reda, Kania kembali membuka mata dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Matanya membelalak melihat suasana yang ada di sekitarnya begitu asing baginya. Kemudian dia pun teringat jika hari ini adalah hari pernikahannya.Kania tersentak dan buru-buru turun dari tempat tidur. "Jam berapa ini? Apa yang terjadi? Ya Tuhan!""Kau mau ke mana?" Alde terkejut karena tiba-tiba Kania berlari ke arah pintu. Ia mengejar Kania dan berdiri menghadang pintu."Jam berapa sekarang?!" jerit Kania panik."Sudah hampir tengah malam.""Tidak! Pernikahanku ...." Kania mendorong lengan Aldebaran agar menyingkir dari pintu, sementara wajahnya berurai air mata. "Aku seharusnya sudah berada di-"Hati Aldebaran trenyuh melihat gadis yang begitu ia cintai menangis histeris. Tiba-tiba saja keberaniannya muncul. Ia pun menarik Kania ke dalam dekapannya. "Kau tidak akan menikah dengan Sulthan atau dengan lelaki mana pun," bisiknya di telinga Kania."Kenapa?"Aldebaran bisa merasakan tubuh Kania yang bergetar akibat tangis, juga nada suara gadis itu yang terdengar putus asa hingga ia pun mengeratkan pelukannya. "Karena kau akan menikah denganku." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Alde. Ia sendiri bahkan terkejut mendengarnya."Apa?" Kania berusaha melepaskan diri dari dekapan Aldebaran. "Aku harus kembali. Aku akan menikah dengan Sulthan."Mendengar ucapan Kania, dada Aldebaran bergemuruh oleh api cemburu. Kemudian dengan tatapan mata yang membara oleh emosi, ia pun mengangkat tubuh Kania dan menjatuhkannya ke atas tempat tidur. "Kau hanya boleh menikah denganku!"Kania berhenti terisak karena terkejut dengan sikap kasar Alde padanya. Namun, dirinya tetap berusaha untuk bersikap tenang dan bertanya apa maksud Aldebaran mengatakan itu, padahal di antara mereka tidak pernah ada hubungan apa pun."A-ku," ucap Alde ragu, "Aku janji kita akan menikah secepatnya.""Tidak!""Aku satu-satunya orang yang boleh menikahimu, Kania!""Aku harus menikah dengan Sulthan!" Kania balas berteriak. Matanya yang sudah mengering kembali berkaca-kaca saat dirinya dengan berani membalas tatapan tajam Aldebaran.Aldebaran naik ke atas tempat tidur, kemudian memegang kedua lengan Kania dan mengguncang tubuh gadis itu. "Apa lebihnya dia dibanding aku?""Lepaskan! Sakit!" Kania berusaha melepaskan diri dari cekalan Aldebaran."Katakan! Kenapa kau lebih memilih dia dibanding aku, padahal aku sudah memintamu untuk menunggu!" Emosi Aldebaran belum juga surut."Karena dia berkata bahwa dia sangat mencintaiku," jawab Kania pelan, tapi penuh penekanan di setiap suku katanya."Aku pun-" Aldebaran tak mampu meneruskan ucapannya karena tiba-tiba saja rahangnya terasa berat untuk digerakkan, padahal baru saja dirinya sangat yakin untuk mengatakan bahwa dirinya begitu mencintai Kania dengan keras agar gadis itu bisa mendengarnya dengan jelas. Namun, lagi-lagi seperti baru saja terkena kutukan, suaranya tercekat di tenggorokan. Kemudian secara perlahan ia melepaskan cengkeramannya di tangan Kania sambil bergumam meminta maaf dan duduk bersila di hadapan Kania.Kania mendesah pelan, kecewa dengan sikap Alde yang lagi-lagi tidak memberikan kejelasan padanya dan tekadnya untuk tidak terus berhubungan dengan laki-laki PHP ini pun semakin kuat. Mungkin memang benar cintanya pada Aldebaran sudah telanjur dalam, tapi dirinya harus bisa terus melangkah ke depan agar tidak terus terkurung oleh harapan palsu semata."Aku tahu betul bagaimana rasanya dipermainkan. Oleh karena itu, aku tidak ingin mempermainkan perasaan Sulthan. Biarkan aku kembali dan bahagia bersama Sulthan." Kepala Kania menunduk saat mengatakan itu karena dirinya tak ingin goyah ketika berhadapan dengan Alde.Aldebaran memejamkan matanya rapat-rapat sambil mempertimbangkan banyak langkah yang akan ia ambil ke depannya dan risiko apa saja yang akan ia tanggung. Dia sadar bahwa yang telah ia lakukan ini-menculik pengantin wanita rekan bisnisnya-sangat tidak bisa dibenarkan, tapi ia pun tidak menyesal telah melakukannya. Sekarang yang harus dia pikirkan adalah bagaimana cara menjelaskan hal ini kepada Sulthan agar tidak memengaruhi hubungan bisnis mereka juga agar tidak menimbulkan aib bagi orang tuanya. "Tetaplah di sini. Aku janji tidak akan pernah membuatmu menunggu lama lagi.""Aku ingin pulang. Tolonglah.""Kita akan pulang setelah rencana pernikahan kita sudah dibereskan." Secara refleks Alde mengulurkan tangan untuk mengusap dengan lembut pipi Kania. Namun, setelahnya ia sedikit menyesal karena begitu kulit tangannya bersentuhan dengan hangat dan lembut pipi Kania, tubuhnya seperti tersengat aliran listrik. Tidak menyakitkan, hanya membuatnya terkejut dan selama beberapa saat harus menahan napas untuk membiarkan tubuhnya beradaptasi dengan rasa yang baru saja ia rasakan."Aku sudah menerima lamaran Sulthan dan harus bertanggung jawab atas keputusan itu!" Kania berkata frustrasi. Hatinya senang mendengar rencana Alde menikahinya, tapi sekaligus sedih karena itu semua sudah terlambat. Jika saja Alde mengatakan hal itu dua bulan lalu, tentu dirinya akan menerima dengan senang hati."Setiap keputusan bisa diubah." Alde bersorak dalam hati karena perlahan-lahan dirinya sudah mulai bisa mengatasi kegugupannya ketika berhadapan dengan Kania. Yah, setidaknya percakapan mereka bisa berlangsung dengan lancar."Tapi tidak dengan urusan perasaan.""Jangan khawatir. Biarkan aku yang akan menyelesaikan semuanya termasuk untuk urusanmu dengan Sulthan." Alde tersenyum menenangkan.Bahu Kania terkulai. "Tidak. Aku harus kembali sekarang!" Dan ia pun bangkit dari tempat tidur. Hatinya sudah mantap untuk tidak lagi berharap dan percaya pada Aldebaran. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggu dan tetap setia. Namun, tetap saja sampai detik ini laki-laki itu tidak mau memberikan kepastian tentang perasaan dan juga hubungan mereka.Alde terkejut dengan gerakan tiba-tiba Kania dan ikut melompat dari atas tempat tidur. "Kau tidak akan pernah bisa kabur dariku atau dari tempat ini. Kita sedang berada di tengah lautan, berkilo-kilo meter jauhnya dari daratan."Kania menatap Alde sengit. "Tidak masalah jika aku tidak bisa kabur ke mana pun karena aku lebih memilih tenggelam di lautan dan dimakan lumba-lumba daripada harus terus berada di sini!" Kania tidak sabar lagi menghadapi Alde. "Tolong jangan lagi mempermainkan hidupku, Kak.""Mempermainkan hidupmu?" Alde bertanya dengan raut bingung bercampur tersinggung. "Kapan aku pernah begitu?"Desah Kania terdengar berat, tapi ia tidak ingin menjawab pertanyaan Aldebaran. Hanya saja kepalanya kembali memutar kenangan setiap kali Aldebaran menaruh coklat dan bunga ke dalam lokernya diam-diam, mengirim kado ulang tahun untuknya tanpa nama pengirim, berpura-pura menjadi supir taxi agar bisa mengantarnya pulang. Kania tahu itu semua dari Aldebaran karena pernah suatu kali ketika dirinya berangkat ke sekolah lebih pagi, dirinya melihat Aldebaran berdiri di depan lokernya, tapi ketika ia bertanya apa yang sedang Alde lakukan, lelaki itu tidak menjawab.Ada satu kenangan yang begitu berkesan dan membekas dalam ingatan Kania. Di mana saat itu dirinya sedang mendapatkan haidnya di sekolah dan tidak membawa pembalut serta baju ganti. Celana dalam dan rok seragamnya bernoda darah. Ia pun akhirnya mengurung diri di dalam toilet dengan maksud menunggu sampai sekolah sepi baru keluar dan mengambil jaket di loker. Namun, tiba-tiba saja pintu toilet diketuk dari luar dan ada suara yang bertanya apakah dirinya baik-baik saja?"Ya, aku baik-baik saja," jawabnya saat itu."Tapi kau sudah hampir dua jam di dalam sana."Kania terkejut mendengar jawaban itu. Bagaimana mungkin ada yang tahu bahwa dirinya sudah mengurung diri di dalam bilik toilet selama itu, kecuali memang ada yang mengawasi dan sengaja menunggunya."Apa kau diare? Tak usah malu katakan saja!""Tidak, tapi aku sedang mens dan tidak membawa baju ganti atau pembalut. Bisa tolong panggilkan temanku Wanda di kelas 11.8?" Kania tidak peduli bahwa saat itu yang bicara padanya adalah seorang cowok. Yang ia butuhkan adalah dipanggilkan teman sekelasnya agar dirinya bisa meminta tolong dibelikan pembalut dan baju seragam."Baiklah, tunggu sebentar."Setelah percakapan itu, selang beberapa lama tiba-tiba saja sebuah kresek besar dijatuhkan dari atas pintu bilik toilet, membuat Kania terkejut dan refleks berteriak."Sst! Jangan berteriak. Nanti kalau ada yang datang, gimana?"Kania membelalakkan mata. Itu suara cowok yang tadi, tapi bagaimana bisa dia .... "Sedang apa kau di toilet perempuan!? Jangan macam-macam atau aku akan lapor pada guru.""Baiklah. Aku keluar sekarang. Kau cepatlah ganti dan keluar dari sini sebelum gerbang dikunci."Kania tidak menjawab karena bingung, tapi kakinya tetap melangkah mendekati kresek berukuran besar yang dilemparkan cowok tadi ke dalam bilik. Belum reda rasa terkejutnya, ia pun kembali dibuat terkejut saat melihat isi kresek itu. Berbagai merk pembalut ada di dalamnya, mulai dari yang bersayap hingga yang berbentuk seperti celana sekali pakai. Tidak hanya itu, di dalam juga ada satu box celana dalam dengan ukuran yang sesuai dengannya dan juga jaket.Kania tidak tahu siapa pengirim semua itu, tapi ia tetap merasa bersyukur dan segera membersihkan diri. Karena tidak memiliki baju ganti, ia menggunakan jaket itu untuk menutupi roknya. Jaket itu berbahan kaus yang bisa dengan mudah ia lingkarkan di sekeliling pinggang dan mengikat lengannya seperti pita.Setelahnya, Kania keluar dari dalam toilet sambil menyeret kresek yang penuh dengan berbagai merk pembalut itu. Ia bermaksud memasukkan semua pembalut itu ke dalam loker untuk persediaan di sekolah atau mungkin nanti jika ada yang membutuhkan.Saat melewati koridor di pinggir lapangan basket, Kania melihat kerumunan yang melingkari tiang bendera. Sebagian dari mereka tertawa terbahak, sementara yang lainnya mengikik geli. Ia pun mencegat seorang siswa yang baru saja keluar dari dalam kerumuman itu dan bertanya apa yang terjadi. Sambil tergelak siswa itu menjawab jika salah satu dari si kembar Blackstone sedang dihukum berdiri di depan tiang bendera sambil hormat ke atas bendera karena ketahuan memasuki toilet perempuan. Kania pun merasa terkejut dan bertanya siapa."Aldebaran Blackstone."Kania mendesah keras sambil menatap Aldebaran dengan raut sedih. "Terima kasih atas semua yang pernah Kakak lakukan untukku, tapi maaf, Kania harus kembali sekarang juga." Kania mengatupkan dua telapak tangannya di depan dada dengan raut memohon sekaligus sedih."Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu pergi!" bentak Alde keras kepala. "Sudah susah payah aku membawamu pergi, lalu kau dengan mudahnya meminta dilepaskan? Aku sudah mempertaruhkan banyak hal untuk ini!"Kania tersenyum lembut. "Lalu, untuk alasan apa Kakak melakukan ini semua?""Karena memang seharusnya kau tidak menikah dengan Sulthan!"Kania maju beberapa langkah mendekati Aldebaran, membuat lelaki itu pun mundur beberapa langkah. Ia tersenyum geli melihat Aldebaran mengusap keringat di wajahnya. "Baik," ujarnya lembut. "Berikan satu alasan masuk akal mengapa aku tidak boleh pergi dari sini dan menikah dengan Sulthan. Aku akan tetap tinggal dengan senang hati bila alasan itu bisa diterima.""K-karena kita akan m-menikah," jawab Alde mulai gagap."Benarkah?" Kania tersenyum geli. "Tapi, aku tidak melihat alasan mengapa kita harus menikah. Bisakah Kakak jelaskan mengapa kita harus menikah?""I-itu ...." Aldebaran bingung dengan apa yang akan ia katakan. Posturnya berubah kaku, sementara rahangnya terkatup rapat. Dirinya berusaha sebisa mungkin untuk mengontrol diri agar tidak gugup dan kembali berbicara. Namun, kata-kata yang keluar bukanlah kalimat yang diperintahkan oleh otaknya untuk disuarakan. "Kau gadis menyebalkan, Kania!"Setelah mengatakan itu, Aldebaran berderap menyeberangi ruangan dan keluar dari dalam kamar. Ia bersandar di pintu sembari memegang dadanya yang berdebar hebat. Rasanya seperti ada yang ingin melompat keluar dari dalam rongga dadanya.Setelah sedikit tenang, Alde menempelkan telinganya ke pintu, mendengar kalau-kalau ada langkah kaki Kania yang menyusulnya keluar. Namun, tidak ada suara langkah kaki. Hanya bunyi daun jendela yang menabrak-nabrak dinding yang menandakan bahwa saat ini Kania pasti sedang berdiri di jendela dan membuka jendelanya.Aldebaran pun bergegas ke dapur untuk mengambil air minum. Meski debaran di dadanya sudah sedikit berkurang, tapi tubuhnya masih gemetar. Ia mengambil sebotol besar air mineral dingin dalam kulkas dan meneguknya sampai habis, berharap bahwa dengan minum banyak air bisa meredakan apa yang ia rasakan."Dasar gadis bodoh!" Alde mengumpat sendiri sambil membanting botol kosong ke atas meja. "Harusnya dia tahu, kalau seorang laki-laki sudah dengan serius ingin menikahinya itu sudah pasti karena cinta! Masak begitu saja harus dijelaskan dengan gamblang?"***"Dasar sinting!" Kania memaki pintu kamar yang menutup dengan keras. Dadanya bergerak naik turun dengan napas terengah-engah dalam upaya mengendalikan emosi dan menjaga kewarasan akal sehatnya. Dirinya sudah muak dengan semua sikap tidak pasti Aldebaran yang selalu seperti ini. Sejak dulu, lelaki itu hanya akan muncul di saat-saat dirinya berusaha membuka hati dan kesempatan untuk kaum lelaki. Si Brengsek itu membuat semua cowok yang mencoba mendekatinya mundur teratur bahkan tanpa dia butuh melakukan apa pun. Kania kembali teringat, dulu ada seniornya di kampus yang ingin berkenalan lebih dekat dengannya. Dia berkunjung ke rumah Kania layaknya seorang cowok yang sedang apel pada ceweknya. Dan entah hanya kebetulan atau bagaimana, saat itu juga Aldebaran muncul di pintu rumahnya, membawa bunga, coklat, dan boneka super besar yang pastinya tidak murah, membuat seniornya itu akhirnya memilih pamit pulang dan tidak pernah menyapanya lagi meski berpapasan di kampus.
Aldebaran membaringkan Kania di dermaga, kemudian melakukan CPR karena gadis itu diam tak bergerak. Meski bukan seorang dokter atau tenaga medis, Alde tetap tahu tindakan pertolongan pertama. Itu semacam pelatihan yang diwajibkan oleh ayahnya. Aldebaran mengangkat sedikit dagu Kania, kemudian meletakkan telapak tangan di dada Kania dengan lengan lurus dan mulai memberikan tekanan di sana. Sesekali dia berhenti untuk mengecek napas Kania hingga ia pun memberikan napas buatan. Tak lama kemudian, Kania pun terbatuk-batuk dan sadar. Air menyembur dari mulutnya tatkala ia batuk. Kania mengerang sambil memegang tenggorokannya yang terasa terbakar. Ia mencoba untuk duduk, tapi Aldebaran tidak mau membantunya. Lelaki itu menatapnya dengan sorot kaku dengan dada naik turun akibat napasnya yang memburu. Ia mencoba mengatakan sesuatu, tapi langsung berhenti berbicara dan kembali terbatuk-batuk tatkala rasa perih dan terbakar kembali menyerang tenggorokan hingga da
"Ayah." Aldebaran menyambut ayahnya yang datang membawa koper yang ia yakin berisi beberapa perlengkapan medis. Ayahnya adalah seorang dokter. Dokter yang jenius dan berbakat. Ayahnya tidak menjawab, justru bersikap seolah tak melihatnya sama sekali. "Ayah, tunggu!" Alde mengikuti ayahnya yang langsung menerobos masuk ke dalam. "Kania ada di ... Dia—"Aidan Blackstone berhenti di depan pintu kamar Kania, ia menoleh sebentar ke arah sang putra, kemudian langsung mendorong pintu itu hingga terbuka. "Ayah." Aldebaran menahan lengan sang ayah. Ia tidak ingin ayahnya melihat Kania yang sedang tidak berbusana, tetapi ayahnya itu mengibaskan tangannya dengan mudah dan langsung mendekati tempat tidur di mana Kania masih mengigau dengan mata terpejam. Ia pun akhirnya hanya bisa pasrah ketika ayahnya sudah mulai memeriksa Kania, menyingkap sedikit selimut di yang menutupi bagian atas tubuh gadis itu. "Aku tidak melakukan apa-apa, hanya membawan
Aldebaran berniat menengok Kania di kamarnya, kalau dia sudah bangun. Namun, ia terkejut ketika mendapati gadis itu justru sedang duduk memeluk lututnya sendiri sambil menangis. "Ada apa?" Aldebaran melintasi ruang kamar dalam langkah panjang agar bisa lekas menghampiri Kania. Ia duduk di tepi tempat tidur menghadap Kania. "Apa ada yang sakit?" Kania tidak menjawab. Ia hanya terus terisak, membuat Aldebaran kebingungan. "Mungkin sebaiknya kau berbaring dulu. Aku panggilkan Ayah supaya memeriksa kondisimu lebih teliti lagi."Kania menggeleng. "Aku mendengar percakapanmu dan ayahmu,"ujarnya dengan suara serak."Kau ... Bagaimana bisa?" "Aku haus dan berniat mengambil air ke dapur, tapi aku salah jalan." Kania menjelaskan di sela-sela isak tangsinya."Ahh." Aldebaran mengangguk mengerti. "Aku seharusnya mengantisipasi hal itu," ujarnya dengan penuh penyesalan. "Maafkan aku."Kania tidak merespon lagi. Gadis itu
Alde berjalan dengan langkah kaki seperti robot, kembali ke dapur. Di pintu dapur langkahnya terhenti. Ia mengatur napas sambil berusaha menguasai diri agar bisa berbicara dengan lancar di hadapan Kania. Tebersit rasa bersalah menghantui tatkala melihat Kania duduk di depan meja dengan tangan ia tumpukan di atas meja, sementara makanan di atas meja masih utuh dan piring-piring pun masih bersih belum terisi makanan.Alde membuang napas dengan keras, kemudian melangkah ke dapur dengan suara langkah kaki se-berisik mungkin untuk menarik perhatian Kania. "Kau belum makan?" Ia bertanya cepat. Dalam hatinya mendesah lega karena kalimat itu keluar dengan lancar. "Aku menunggumu kembali dari toilet." Kania mengangkat kepala, menatap Alde dengan senyum manis tersungging di wajahnya. Hal itu membuat Alde terdiam seketika, terpana oleh senyum yang selalu melumpuhkan seluruh sel syaraf di tubuhnya. "Ayok, makan, Kak. Aku sudah lapar sekali." Kania menatap Alde denga
Hujan yang turun deras tak membuat Aldebaran memperlambat laju mobilnya. Dirinya sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan Prasodjo, ayah Kania, untuk melamar Kania secara resmi. Sebelumnya, Aldebaran telah berkomunikasi via video call dengan ayah Kania untuk meminta maaf karena dirinya telah menculik gadis itu. Ia juga menjelaskan mengenai motif Sulthan menikahi Kania dan berjanji untuk secepat mungkin bertemu dengan Sulthan dengan membahas masalah mereka secepat mungkin, setidaknya setelah hubungannya dengan Kania telah diresmikan dalam ikatan suci pernikahan. Untuk itu, dirinya berharap ayah Kania bersedia memberikan restu. "Apa kau memang mau menikah dengannya atau karena hal lain?" tanya ayah Kania pada putrinya siang tadi melalui video call."Ya, Ayah." Jawaban Kania sukses membuat Aldebaran bersorak kegirangan dalam hati. Dan di sinilah ia sekarang, mengemudi dengan tak sabar karena ingin segera menemui melamar Kania secara langsung kepada ayahn
Alde duduk termenung di ruang kerja kakaknya di rumah sakit. Perasaannya sedang kalut. Apalagi setelah mendengar penjelasan dari ayahnya mengenai kondisi Kania yang telah diperkosa beramai-ramai oleh anak buah Sulthan dengan cara yang sungguh tak manusiawi. Meski ayahnya sudah memberikan prostinol untuk mencegah kehamilan yang mungkin saja terjadi, tapi proses pemulihan ke depannya tidak akan mudah sama sekali. Akan ada trauma hebat yang dialami Kania hingga dia akan membutuhkan terapi psikologis sebagai upaya penyembuhan. Alde menghirup napas panjang, berharap sesak yang terus menghimpit dadanya bisa sedikit membaik. Namun, pergolakan yang terjadi di dalam dirinya, membuatnya semakin susah bernapas. Sang kakak yang sejak beberapa menit yang lalu masih berkutat dengan laporan-laporan di meja kerjanya pun akhirnya berdiri dan menghampiri dirinya. Dia duduk di samping Alde seraya menyandarkan tubuh dan mengendorkan dasi yang terasa mencekik leher.
Alde duduk dengan posisi kaku seraya terus menatap tubuh Kania yang berbaring di atas tempat tidur. Mata gadis itu terus terpejam sejak beberapa jam yang lalu dan sudah selama itu pula dirinya tetap berada di samping Kania. Lebam dan memar yang sudah membiru pun masih menghiasai beberapa bagian tubuhnya. "Maaf, Ayah harus memberikan banyak penenang karena dia terus histeris dan berteriak ketika sadar, sementara fisiknya sendiri masih membutuhkan pemulihan."Alde menoleh ke arah sang Ayah yang entah sejak kapan sudah berada di sisihnya. Sepertinya ia tak mendengar suara pintu dibuka atau memang mungkin pikirannya sendiri yang kacau sehingga tak mendengar ketika ayahnya masuk. Saat tatapannya beradu dengan pandangan teduh sang ayah, ia hanya mengangguk singkat sebagai jawaban dari ucapan ayahnya. "Kau belum bisa memutuskan?"Kali ini Alde menghirup napas panjang seraya memejamkan mata. Ia bingung harus menjawab apa. Beberapa waktu lalu, ayahnya me
Aldebaran harus menghadiri rapat direksi yang diadakan rutin setiap bulan di perusahaan. Ia hadir bersama Kania tentu saja. Tak peduli berapa banyak yang menggunjing atau menilai dirinya terlalu memanjakan Kania, ia tetap akan membawa istrinya itu ke mana pun ia pergi. Apalagi dalam kondisi istrinya yang sedang hamil saat ini. Setidaknya apa pun pendapat buruk mengenai dirinya dan Kania tidak sampai ke telinganya langsung.Meri sudah menyiapkan sebuah meja dan kursi tambahan untuk Kania. Letaknya persis di tempat Aldebaran duduk nanti. Pekerjaan Meri juga sudah jauh lebih bagus dibanding sebelumnya. Dia bahkan sudah menguasai beberapa ilmu dasar untuk pertahanan diri seperti: menembak, bermain pisau, menyamar, dan karate.Sepertinya para asisten Aldebaran yang lain benar-benar mendidik Meri dengan keras hingga saat ini postur dan cara jalan Meri lun sudah berubah, jauh lebih tegak dan gagah dibanding sebelumnya. Selain itu, Meri pun sudah lebih memahami ritme bekerja dengan keluarga B
Setelah kurang lebih satu bulan lamanya Alde melakukan pembicaraan dari hati ke hati bersama Kania mengenai bayi, akhirnya ia berhasil membujuk istrinya itu untuk melakukan USG. Ia sengaja tidak melakukan tes urine karena sudah merasa yakin bahwa istrinya itu hamil. Selain fakta bahwa Kania tidak pernah lagi mendapatkan menstruasi, juga beberapa tanda lain yang Kania alami seperti morning sick dan ngidam. Pemeriksaan itu tidak dilakukan di rumah sakit, tetapi, ayah Alde yang datang ke pulau membawa USG portabel untuk memeriksa Kania. Ternyata usia kehamilan Kania sudah 13 Minggu. "Sudah bisa dilakukan tes NIPT ini," ujar ayah Alde sambil memeriksa layar yang menampilkan calon cucunya itu. "Tes apa itu, Ayah?""Itu pemeriksaan materi genetik untuk melihat kalau-kalau ada kelainan bawaan janin yang bersifat genetik. Dari sana juga sudah bisa diketahui jenis kelamin calon cucu Ayah ini.""Benarkah? Canggih sekali." Aldebaran berkata takjub sambil menatap layar hitam putih di samping
Aldebaran kembali ke kamar setelah menyiapkan air hangat untuk berendam dirinya dan Kania. Ia menghampiri buntalan selimut di atas tempat tidur, lalu menyingkap selimut itu dan melemparnya ke lantai. Kedua sudut mulutnya terangkat, membentuk seringai geli."Kenapa sembunyi di dalam selimut begini?" Ia naik ke atas tempat tidur, lalu membungkuk di atas Kania yang menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. "Jangan ditutup, dong, cantiknya jadi nggak kelihatan."Kania menolak ketika Aldebaran berusaha membuka telapak tangan yang menutupi wajahnya. Ia sangat malu hingga rasanya tak sanggup untuk sekedar bertatapan dengan Aldebaran. Apalagi dengan kondisi tak berbusana seperti saat itu. "Kenapa harus malu? Aku sudah terbiasa melihatmu begini, kan? Hampir setiap hari pun aku yang memandikan kamu."Kania terhenyak. Hampir setiap hari? Benarkah? Ia pun mencoba mengingat lagi memorinya bersama Aldebaran selama beberapa waktu belakangan ini. Dan ada sekilas bayangan saat dirinya dimandika
Rasa tidak nyaman yang seolah mengaduk isi perutnya membuat Kania terbangun. Ia langsung duduk di tepi tempat tidur dengan tangan menutup mulut. Saat, hendak berlari ke kamar mandi barulah ia sadar bahwa dirinya berada di tempat yang asing.Seketika ia terdiam. Ia meneliti lagi setiap sudut kamar itu dan ia memang tidak mengenali ruangan bernuansa coklat dengan semua furniture yang terbuat dari kayu yang di-coating dengan waena bening hingga tekstur asli kayu masih tetap terlihat jelas. Lalu, tatapannya Kania jatuh ke atas tempat tidur. Ia merasa lega karena debaran ada di sana. Setidaknya, meski dirinya berada di tempat asing, tetap ada Aldebaran di sana. Semua rasa tidak nyaman pada perutnya perlahan menghilang berganti dengan rasa was-was. Ia tak tahu mengapa dirinya dan Aldebaran sampai bisa berada di sana. Apakah mereka diculik atau .... Ahh, entah, kepala Kania terlalu berkunang-kunang hingga ia tak mampu berpikir. Ia pun langsung kembali naik tempat tidur dan meringkuk di sam
Aldebaran membongkar kulkas di rumah kakak sulungnya, mencari bahan-bahan untuk membuat rujak manis. Ia hanya menemukan anggur, jeruk, dan pisang. Lalu, sambil membuang napas dengan keras ia membawa semua buah itu ke kamar."Hanya ada ini. Kau mau yang mana?"Kania melipat lengan di depan dada dengan raut dongkol. Ia sendiri tak tahu mengapa minat Alde tidak serius mencarikan rujak buah untuknya bisa membuat hatinya luar biasa sakit. Air matanya yang sudah mengering pun kembali menetes ke pipi. Kali ini diikuti oleh isak pilu, membuat siapa saja yang mendengar pasti merasa iba.Aldebaran meletakkan keranjang buah di tangannya ke atas meja, lalu berjongkok di hadapan Kania. "Aku harus cari ke mana rujak itu malam-malam begini?""Tidak tahu!""Aku janji besok pasti aku belikan itu untukmu."Kania melengos, tak mau menatap wajah Aldebaran yang terlihat makin menyebalkan saat itu. Pura-pura memelas untuk menarik simpatinya. Jangan harap! batinnya keji. "Sayang—""Pelit." Kania memotong u
"Berapa orang yang mati?"Aldebaran menjawab pertanyaan kakak sulungnya hanya dengan mengangkat kedua bahunya. Ia datang untuk menjemput istrinya. "Apa kau tidak berhasil membunuh satu pun?""Ohh, diamlah, Kak." Aldebaran langsung menghempaskan tubuhnya di sofa panjang sambil merentangkan tangan. "Aku lelah sekali." Namun, sebelum ia bisa mengatur napas agar lebih rileks, kakak sulungnya itu sudah berdiri di hadapannya sambil mencekik lehernya. "Aku bertanya baik-baik! Jadi, jawablah dengan baik juga!"Aldebaran menarik lepas tangan kakaknya itu dari lehernya. "Apaan, sih, main cekik aja.!?" "Jawab dulu atau kupatahkan lehermu!" Aldebaran mendesah. Kakak sulungnya yang super dingin itu masih belum berubah juga meski sudah mempunyai istri. Meski tubuhnya ramping dan tidak lebih tinggi dari dirinya, tapi soal kekuatan, ia masih kalah jauh bila dibanding Aleron Blackstone. "Oke, aku jelasin detail, tapi nggak ada segelas air minum dulu, nih?" Aldebaran mengusap lehernya yang baru sa
Mobil sewaan Raden telah tiba di pelabuhan. Ia tersenyum puas melihat Katerine sudah siap berangkat. Rencananya berjalan dengan mulus. Ia akan segera pergi meninggalkan negara dengan segala permasalahan yang ada. Setelah Aldebaran menyabotase semua peluang bisnisnya, ia mengalami kebangkrutan dengan banyak utang yang melilit. Belum lagi kematian putranya dengan cara mengenaskan, tapi tidak ada satu pun pihak berwajib yang mampu mengusut tuntas masalah itu. Padahal, ia pun langsung tahu siapa pelakunya. Akan tetapi, tanpa bayaran yang cukup besar dan koneksi kuat, ia tak bisa melanjutkan penyelidikan terhadap kasus itu. Berbagai upaya balas dendam yang ia lakukan untuk menghancurkan Aldebaran pun tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Pembunuh bayaran yang ia sewa untuk menembak dengan racun Aldebaran berhasil ditangkap dengan mudah oleh para pengawal pribadi Blackstone. Dan berbagai upaya lain yang juga tak membuahkan hasil.Setelah semua kegagalan itu, Raden pun terus mencari tahu d
"Siapa namamu?" Aldebaran bertanya sebelum pergi."Ardian.""Oke. Laksanakan tugasmu sekarang!"Setelah mengatakan itu, Aldebaran mencari tempat yang tepat untuk bersembunyi sambil mengamati situasi. Ia tidak mau terlalu jauh dari Ardian, paling tidak sampai dirinya bisa mendengar semua percakapan Ardian dengan temannya. "Dari mana saja kau?" Teman Ardian bertanya."Ke kamar kecil sambil menyeret wanita itu ke tempat yang lebih aman."Teman Ardian menoleh ke tempat Aldebaran tadi digeletakkan, lalu menatap Ardian heran. "Untuk apa repot-repot begitu?""Angin berembus kencang, kalau dia mati kedinginan, gajiku tidak akan cair.""Ahh, kau benar juga." Teman Ardian menyetujui. "Aku bahkan tidak berpikir sampai sana. Tuan Raden pasti marah kalau tahu targetnya mati sebelum laku mahal.""Itulah, kita harus menjaganya dengan baik sampai semua beres." Ardian mengedarkan pandangan ke segala arah berpura-pura sedang meneliti kondisi di sana, padahal ia sedang mencari tahu di mana kapal yang d
Suasana pelabuhan malam itu terasa mencekam. Semua berada di posisi masing-masing menunggu aba-aba dan perintah untuk bergerak. Aldebaran pun menunggu sampai instruksi dari ayahnya untuk bergerak. Dan selama itu, dirinya hanya bisa diam tak bergerak terbungkus selimut dengan wajah menekuk ke bawah. Ia sengaja melakukan itu agar tidak ada yang curiga bahwa dirinya bukanlah Kania.Setelah memperkirakan rencana Raden, ia langsung menghubungi saudara kembarnya dan memintanya datang ke pulau. Karena korban yang sedang Raden incar bukanlah dirinya, melainkan Kania. Raden tahu titik kelemahan Aldebaran ada pada Kania. Jadi, untuk menghancurkan dirinya, Raden tidak perlu langsung berurusan dengannya, cukup ambil Kania darinya dan ia akan hancur. Raden membuat jadwal keberangkatan palsu malam kemarin untuk menarik perhatian Aldebaran dan semua pengawalnya. Dan ketika semua perhatian pengawal Blackstone tertuju ke pelabuhan untuk misi penangkapan, Raden justru melakukan hal yang berbeda. Dia m