Alde berjalan dengan langkah kaki seperti robot, kembali ke dapur. Di pintu dapur langkahnya terhenti. Ia mengatur napas sambil berusaha menguasai diri agar bisa berbicara dengan lancar di hadapan Kania. Tebersit rasa bersalah menghantui tatkala melihat Kania duduk di depan meja dengan tangan ia tumpukan di atas meja, sementara makanan di atas meja masih utuh dan piring-piring pun masih bersih belum terisi makanan.
Alde membuang napas dengan keras, kemudian melangkah ke dapur dengan suara langkah kaki se-berisik mungkin untuk menarik perhatian Kania. "Kau belum makan?" Ia bertanya cepat. Dalam hatinya mendesah lega karena kalimat itu keluar dengan lancar."Aku menunggumu kembali dari toilet." Kania mengangkat kepala, menatap Alde dengan senyum manis tersungging di wajahnya. Hal itu membuat Alde terdiam seketika, terpana oleh senyum yang selalu melumpuhkan seluruh sel syaraf di tubuhnya."Ayok, makan, Kak. Aku sudah lapar sekali." Kania menatap Alde dengaHujan yang turun deras tak membuat Aldebaran memperlambat laju mobilnya. Dirinya sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan Prasodjo, ayah Kania, untuk melamar Kania secara resmi. Sebelumnya, Aldebaran telah berkomunikasi via video call dengan ayah Kania untuk meminta maaf karena dirinya telah menculik gadis itu. Ia juga menjelaskan mengenai motif Sulthan menikahi Kania dan berjanji untuk secepat mungkin bertemu dengan Sulthan dengan membahas masalah mereka secepat mungkin, setidaknya setelah hubungannya dengan Kania telah diresmikan dalam ikatan suci pernikahan. Untuk itu, dirinya berharap ayah Kania bersedia memberikan restu. "Apa kau memang mau menikah dengannya atau karena hal lain?" tanya ayah Kania pada putrinya siang tadi melalui video call."Ya, Ayah." Jawaban Kania sukses membuat Aldebaran bersorak kegirangan dalam hati. Dan di sinilah ia sekarang, mengemudi dengan tak sabar karena ingin segera menemui melamar Kania secara langsung kepada ayahn
Alde duduk termenung di ruang kerja kakaknya di rumah sakit. Perasaannya sedang kalut. Apalagi setelah mendengar penjelasan dari ayahnya mengenai kondisi Kania yang telah diperkosa beramai-ramai oleh anak buah Sulthan dengan cara yang sungguh tak manusiawi. Meski ayahnya sudah memberikan prostinol untuk mencegah kehamilan yang mungkin saja terjadi, tapi proses pemulihan ke depannya tidak akan mudah sama sekali. Akan ada trauma hebat yang dialami Kania hingga dia akan membutuhkan terapi psikologis sebagai upaya penyembuhan. Alde menghirup napas panjang, berharap sesak yang terus menghimpit dadanya bisa sedikit membaik. Namun, pergolakan yang terjadi di dalam dirinya, membuatnya semakin susah bernapas. Sang kakak yang sejak beberapa menit yang lalu masih berkutat dengan laporan-laporan di meja kerjanya pun akhirnya berdiri dan menghampiri dirinya. Dia duduk di samping Alde seraya menyandarkan tubuh dan mengendorkan dasi yang terasa mencekik leher.
Alde duduk dengan posisi kaku seraya terus menatap tubuh Kania yang berbaring di atas tempat tidur. Mata gadis itu terus terpejam sejak beberapa jam yang lalu dan sudah selama itu pula dirinya tetap berada di samping Kania. Lebam dan memar yang sudah membiru pun masih menghiasai beberapa bagian tubuhnya. "Maaf, Ayah harus memberikan banyak penenang karena dia terus histeris dan berteriak ketika sadar, sementara fisiknya sendiri masih membutuhkan pemulihan."Alde menoleh ke arah sang Ayah yang entah sejak kapan sudah berada di sisihnya. Sepertinya ia tak mendengar suara pintu dibuka atau memang mungkin pikirannya sendiri yang kacau sehingga tak mendengar ketika ayahnya masuk. Saat tatapannya beradu dengan pandangan teduh sang ayah, ia hanya mengangguk singkat sebagai jawaban dari ucapan ayahnya. "Kau belum bisa memutuskan?"Kali ini Alde menghirup napas panjang seraya memejamkan mata. Ia bingung harus menjawab apa. Beberapa waktu lalu, ayahnya me
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam ketika Kania mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa manfaat obat penenang yang diberikan oleh ayah Alde mulai memudar. Pesta masih berlangsung. Tamu undangan juga masih menikmati hidangan serta hiburan yang disajikan. Namun, Kania sama sekali tidak terlihat bahagia menyaksikan kemeriahan pestanya seperti beberapa waktu yang lalu. Gadis itu duduk gelisah sambil sesekali menghela napas berat. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin meledak keluar. Kania sendiri tak tahu apa yang terjadi pada tubuhnya. Tiba-tiba saja baju pengantin yang sejak tadi ia kagumi keindahannya terasa begitu menyebalkan karena membuatnya gerah dan susah bernapas. "Kak Al." Kania berpegangan pada lengan Aldebaran yang sepertinya belum menyadari perubahan ekspresi dan sikap Kania. "Ya, Sayangku. Kau mau kuambilkan minum?" Alde menoleh dengan senyum merekah di wajahnya. Akan tetapi, senyum itu seketika memudar, berganti dengan wajah cemas tatkala mel
Aldebaran duduk bersila di samping ranjang pengantinnya. Di atas ranjang itu terbaring Kania yang tadi sempat pingsan setelah histeris. Saat ini gadis itu sudah lelap seolah tanpa beban. Napasnya teratur dan wajahnya terlihat damai, membuat Alde langsung emosi ketika mengingat hal yang membuat kedamaian itu berubah. Pikiran Alde tertuju kepada Sulthan. Pria itu masih hidup dan berada dalam pengawasan ayahnya, tetapi ayahnya tidak mau memberi tahu di mana pria itu berada. Mungkin, ayahnya khawatir dia akan memburu Sulthan dan mencincangnya hidup-hidup. Dan memang benar, itu yang akan ia lakukan seandainya ada kesempatan lagi bertemu dengan Sulthan. Ohh, ayahnya sudah mencoba meyakinkan dirinya bahwa Sulthan pasti akan mendapat balasan setimpal, tapi ia tidak akan pernah merasa tenang sebelum melihat pria itu menderita dan tersiksa dengan mata kepalanya sendiri.Ia pun mulai memikirkan cara-cara terkejam untuk membunuh Sulthan secara perlahan. Setidaknya, dengan beg
Beban berat yang menimpa dada membuatnya terbangun. Ia membuka mata, lalu berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan dengan pencahayaan sekitar.Ketika matanya sudah bisa beradaptasi dengan baik, ia mulai meneliti keadaan di sekitarnya. Benda berat yang menimpa dadanya tadi, ternyata sebuah lengan kekar milik seorang laki-laki. Ia pun menyingkirkan lengan itu perlahan, kemudian duduk. Tatapannya jatuh pada sebuah kepala seorang lelaki yang bersandar dengan posisi tidak nyaman di tepi tempat tidur. Tangannya terulur, membelai kepala itu dengan sangat pelan karena takut membangunkan lelaki itu. Hatinya seakan dipilin dengan kuat melihat sosok pria itu masih mengenakan stelan jas. Sesuatu pemikiran menghantam kesadarannya dan ia pun langsung melihat ke arahnya sendiri. Ia pun masih mengenakan gaun putih berbahan sutra dengan beberapa hiasan bunga-bunga kecil di bagian lengan dan pundak. Itu adalah gaun pengantinnya dan sosok yang bersila di lantai dengan kep
Carmila of the Seas berlabuh untuk menurunkan para tamu undangan pada pesta pernikahan, sementara keluarga Blackstone masih akan berlayar hingga dua pelabuhan lagi, sebelum memutuskan untuk pulang. Aldebaran membawa Kania ke dek teratas untuk menyaksikan kesibukan di pelabuhan saat penumpang turun. Para pekerja dengan pakaian hitam dengan lambang Blackstone berwarna emas di dada sebelah kiri dengan sigap melayani para tamu undangan. Ada yang membantu membawakan barang bawaan, ada pula yang menunggu di dermaga untuk mengantarkan mereka ke mobil karena memang segala akomodasi sudah disiapkan oleh keluarga Blackstone.Kania melambai-lambaikan tangannya ke udara, sementara mulutnya terus bergumam, "Tus ... Tus ... Tus." "Kau sedang bermain apa?" Alde menunduk, menatap sang istri yang bahkan tak menyadari bahwa dirinya ada di sana. "Sepertinya seru sekali. Apa aku boleh ikut bermain?"Kania seolah tak mendengar. Kepalanya bergerak ke atas ke bawah se
"Sorry." Aldebaran menghampiri keempat adiknya yang sedang berkumpul di ruangan khusus keluarga mereka dengan wajah lesu dan lelah. Ia tersenyum kecut melihat mata Aaro yang bengkak hingga sulit untuk dibuka, rahang Alden yang memar, dan juga pelipis Aldev yang membiru."Kira-kira juga, dong, kalau mukul. Sampe ngilu begini." Aaro melirik sang kakak dengan raut sebal sambil kembali menempelkan es batu yang telah dibungkus kain ke matanya yang bengkak. Alea membantunya meletakkan es batu itu agar berada di tempat yang tepat sambil sesekali mengikik tertahan. "Kenapa kau tertawa?" Aaro makin kesal karena adik perempuannya malah menertawakan kondisinya. Memang di antara semua anggota keluar Blackstone, Aaro adalah yang paling temperamental dan mudah terpancing emosinya. Maklum saja karena dia laki-laki termuda di keluarga itu. "Apa aku terlihat buruk?""Enggak, kok. Masih tetep ganteng dan gagah seperti biasa." Alea tersenyum manis, tapi bahu gadis itu berge