Aldebaran harus menghadiri rapat direksi yang diadakan rutin setiap bulan di perusahaan. Ia hadir bersama Kania tentu saja. Tak peduli berapa banyak yang menggunjing atau menilai dirinya terlalu memanjakan Kania, ia tetap akan membawa istrinya itu ke mana pun ia pergi. Apalagi dalam kondisi istrinya yang sedang hamil saat ini. Setidaknya apa pun pendapat buruk mengenai dirinya dan Kania tidak sampai ke telinganya langsung.Meri sudah menyiapkan sebuah meja dan kursi tambahan untuk Kania. Letaknya persis di tempat Aldebaran duduk nanti. Pekerjaan Meri juga sudah jauh lebih bagus dibanding sebelumnya. Dia bahkan sudah menguasai beberapa ilmu dasar untuk pertahanan diri seperti: menembak, bermain pisau, menyamar, dan karate.Sepertinya para asisten Aldebaran yang lain benar-benar mendidik Meri dengan keras hingga saat ini postur dan cara jalan Meri lun sudah berubah, jauh lebih tegak dan gagah dibanding sebelumnya. Selain itu, Meri pun sudah lebih memahami ritme bekerja dengan keluarga B
Kania, batin Aldebaran sambil mengangkat kedua sudut bibirnya. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan mempelai wanitanya itu. Gadis yang sudah tujuh tahun ini menghuni relung jiwanya. Setelah melalui berbagai rintangan dan hambatan, hari ini impiannya untuk mempersunting gadis itu pun akan terwujud. Aldebaran merasa bahagia tentu saja, tapi tetap saja ada setitik rasa bersalah menggelayuti hatinya. Karena sampai detik ini dirinya belum pernah menyatakan cintanya pada Kania. Sungguh luar biasa, Kania tetap bersedia menerima lamarannya meski tanpa embel-embel 'cinta'."Nanti, Kania," Aldebaran bicara sendiri. "Aku pasti akan memberikan pernyataan cinta yang bahkan tak pernah diimpikan oleh wanita mana pun. Aku janji."Aldebaran menghentikan mobilnya di depan gerbang rumah Kania. Hari masih gelap. Bahkan, langit di ufuk timur pun belum menampakkan fajar. Namun, Aldebaran sudah tidak sabar untuk segera bertemu mempelai wanitanya itu dan bergegas ke hotel,
Dia meremas undangan di tangannya dengan kuat sampai menjadi bentuk bola. Tatapannya menerawang menembus dinding kaca ruang kerjanya dan berhenti pada satu titik di kejauhan yang ia ketahui sebagai sebuah pemancar salah satu stasiun televisi swasta di kota ini, sementara hatinya diliputi amarah sekaligus putus asa. Namun, dirinya sama sekali tidak tahu amarah itu harus ditujukan pada siapa.Beberapa saat yang lalu asisten pribadinya menunjukkan jadwal serta undangan yang harus ia hadiri esok hari, salah satunya adalah undangan pernikahan daria rekan bisnisnya. Awalnya dia tidak terlalu tertarik membaca sendiri undangan itu karena dia yakin jika sang asisten pribadi pasti sudah mengatur jadwal untuk menghadiri acara itu, tapi warna tosca kombinasi putih undangan itu cukup menarik perhatiannya karena warna itu merupakan warna kesukaan gadis pujaan hatinya. Seperti tersambar petir di siang bolong ketika Aldebaran membaca nama mempelai pengantin wanita yang tertera dalam
Aldebaran duduk sendiri di bawah pohon mangga di belakang rumahnya, menjauh dari anggota keluarganya yang lain. Dirinya sedang tidak ingin terlibat obrolan atau interaksi dengan mereka karena pada setiap detik yang berjalan hatinya semakin merasa tak tenang. Hidupnya terasa seperti di ujung tanduk dan untuk tetap bertahan dirinya harus segera bertindak atau semua akan terlambat dan Kania akhirnya menjadi milik lelaki lain."Kenapa tidak gabung dengan yang lain?"Alde tidak menoleh untuk melihat siapa yang datang. Dari suaranya saja Alde sudah tahu jika itu adalah kakak sulungnya. Sesaat dirinya terpikir untuk meminta bantuan kakaknya yang serba bisa itu, tapi mengingat sang kakak baru saja menikah, dirinya membatalkan niatnya itu. "Lagi cari angin.""Jangan bohong! Dari nada suaramu saja, Kakak tau kau sedang ada masalah. Ada apa?" Alde menghela napas berat. Sulit untuk berpura-pura bahwa dirinya baik-baik saja karena hatinya rasanya sudah remuk. Namun,
"Siapa?"Jantung Aldebaran berdebar ketika mendengar suara itu. Listrik belum menyala hingga suasana kamar pengantin itu masih remang-remang dari lampu emergency yang terpasang di setiap kamar hotel itu. Tidak sepenuhnya terang benderang, tapi cukup untuk memberikan pencahayaan di kamar itu. "Kania." Suara Alde terdengar parau. Ia pun menggigit bagian dalam pipinya untuk mengurangi rasa gugup. Debaran di dadanya semakin tak terkendali. Kakinya pun mulai gemetar hingga rasanya lemas seperti tak memiliki tulang. Keringat dingin membasahi wajah dan telapak tangannya. Alde menahan napas ketika Kania berdiri sambil berjalan lambat ke arahnya. Raut wajah gadis itu pun terlihat terkejut dan tak percaya dengan kehadirannya."Kak ... Aldebaran?" Ia menutup mulut dengan kedua tangannya, sementara matanya membelalak lebar.Bukan hanya Kania yang terkejut, Aldebaran pun sama. Kania terlihat cantik dengan baju pengantinnya. Hal itu membuatnya terdiam selama b
Angin berhembus dengan kencang seiring dengan suara debur ombak yang memecah karang. Aldebaran beranjak dari tempatnya duduk di samping ranjang Kania untuk menutup jendela yang terus terbuka dan tertutup karena tertiup angin. Saat ini dirinya sedang berada di pulau pribadi milik keluarga Blackstone. Sebuah tempat yang aman untuk menyembunyikan Kania sementara waktu.Sejak tiba di pulau sampai menjelang tengah malam, Kania belum juga bangun. Gadis itu masih lelap tak terganggu oleh keributan suara angin, debur ombak, dan juga jendela yang terus menabrak daun pintu dengan keras.Aldebaran khawatir dan sempat menghubungi kakak sulungnya, bertanya kapan efek obat bius itu hilang atau jangan-jangan kakaknya itu telah memberikan dosis di luar batas wajar. Namun, sang kakak tidak memberi jawaban memuaskan. "Kalau mau dia cepat bangun, tampar saja wajahnya. Lagipula, ini kan salahmu sendiri kenapa memilih menjadi pecundang dan tidak segera mengikat gadis yang kau suka
"Dasar sinting!" Kania memaki pintu kamar yang menutup dengan keras. Dadanya bergerak naik turun dengan napas terengah-engah dalam upaya mengendalikan emosi dan menjaga kewarasan akal sehatnya. Dirinya sudah muak dengan semua sikap tidak pasti Aldebaran yang selalu seperti ini. Sejak dulu, lelaki itu hanya akan muncul di saat-saat dirinya berusaha membuka hati dan kesempatan untuk kaum lelaki. Si Brengsek itu membuat semua cowok yang mencoba mendekatinya mundur teratur bahkan tanpa dia butuh melakukan apa pun. Kania kembali teringat, dulu ada seniornya di kampus yang ingin berkenalan lebih dekat dengannya. Dia berkunjung ke rumah Kania layaknya seorang cowok yang sedang apel pada ceweknya. Dan entah hanya kebetulan atau bagaimana, saat itu juga Aldebaran muncul di pintu rumahnya, membawa bunga, coklat, dan boneka super besar yang pastinya tidak murah, membuat seniornya itu akhirnya memilih pamit pulang dan tidak pernah menyapanya lagi meski berpapasan di kampus.
Aldebaran membaringkan Kania di dermaga, kemudian melakukan CPR karena gadis itu diam tak bergerak. Meski bukan seorang dokter atau tenaga medis, Alde tetap tahu tindakan pertolongan pertama. Itu semacam pelatihan yang diwajibkan oleh ayahnya. Aldebaran mengangkat sedikit dagu Kania, kemudian meletakkan telapak tangan di dada Kania dengan lengan lurus dan mulai memberikan tekanan di sana. Sesekali dia berhenti untuk mengecek napas Kania hingga ia pun memberikan napas buatan. Tak lama kemudian, Kania pun terbatuk-batuk dan sadar. Air menyembur dari mulutnya tatkala ia batuk. Kania mengerang sambil memegang tenggorokannya yang terasa terbakar. Ia mencoba untuk duduk, tapi Aldebaran tidak mau membantunya. Lelaki itu menatapnya dengan sorot kaku dengan dada naik turun akibat napasnya yang memburu. Ia mencoba mengatakan sesuatu, tapi langsung berhenti berbicara dan kembali terbatuk-batuk tatkala rasa perih dan terbakar kembali menyerang tenggorokan hingga da
Aldebaran harus menghadiri rapat direksi yang diadakan rutin setiap bulan di perusahaan. Ia hadir bersama Kania tentu saja. Tak peduli berapa banyak yang menggunjing atau menilai dirinya terlalu memanjakan Kania, ia tetap akan membawa istrinya itu ke mana pun ia pergi. Apalagi dalam kondisi istrinya yang sedang hamil saat ini. Setidaknya apa pun pendapat buruk mengenai dirinya dan Kania tidak sampai ke telinganya langsung.Meri sudah menyiapkan sebuah meja dan kursi tambahan untuk Kania. Letaknya persis di tempat Aldebaran duduk nanti. Pekerjaan Meri juga sudah jauh lebih bagus dibanding sebelumnya. Dia bahkan sudah menguasai beberapa ilmu dasar untuk pertahanan diri seperti: menembak, bermain pisau, menyamar, dan karate.Sepertinya para asisten Aldebaran yang lain benar-benar mendidik Meri dengan keras hingga saat ini postur dan cara jalan Meri lun sudah berubah, jauh lebih tegak dan gagah dibanding sebelumnya. Selain itu, Meri pun sudah lebih memahami ritme bekerja dengan keluarga B
Setelah kurang lebih satu bulan lamanya Alde melakukan pembicaraan dari hati ke hati bersama Kania mengenai bayi, akhirnya ia berhasil membujuk istrinya itu untuk melakukan USG. Ia sengaja tidak melakukan tes urine karena sudah merasa yakin bahwa istrinya itu hamil. Selain fakta bahwa Kania tidak pernah lagi mendapatkan menstruasi, juga beberapa tanda lain yang Kania alami seperti morning sick dan ngidam. Pemeriksaan itu tidak dilakukan di rumah sakit, tetapi, ayah Alde yang datang ke pulau membawa USG portabel untuk memeriksa Kania. Ternyata usia kehamilan Kania sudah 13 Minggu. "Sudah bisa dilakukan tes NIPT ini," ujar ayah Alde sambil memeriksa layar yang menampilkan calon cucunya itu. "Tes apa itu, Ayah?""Itu pemeriksaan materi genetik untuk melihat kalau-kalau ada kelainan bawaan janin yang bersifat genetik. Dari sana juga sudah bisa diketahui jenis kelamin calon cucu Ayah ini.""Benarkah? Canggih sekali." Aldebaran berkata takjub sambil menatap layar hitam putih di samping
Aldebaran kembali ke kamar setelah menyiapkan air hangat untuk berendam dirinya dan Kania. Ia menghampiri buntalan selimut di atas tempat tidur, lalu menyingkap selimut itu dan melemparnya ke lantai. Kedua sudut mulutnya terangkat, membentuk seringai geli."Kenapa sembunyi di dalam selimut begini?" Ia naik ke atas tempat tidur, lalu membungkuk di atas Kania yang menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. "Jangan ditutup, dong, cantiknya jadi nggak kelihatan."Kania menolak ketika Aldebaran berusaha membuka telapak tangan yang menutupi wajahnya. Ia sangat malu hingga rasanya tak sanggup untuk sekedar bertatapan dengan Aldebaran. Apalagi dengan kondisi tak berbusana seperti saat itu. "Kenapa harus malu? Aku sudah terbiasa melihatmu begini, kan? Hampir setiap hari pun aku yang memandikan kamu."Kania terhenyak. Hampir setiap hari? Benarkah? Ia pun mencoba mengingat lagi memorinya bersama Aldebaran selama beberapa waktu belakangan ini. Dan ada sekilas bayangan saat dirinya dimandika
Rasa tidak nyaman yang seolah mengaduk isi perutnya membuat Kania terbangun. Ia langsung duduk di tepi tempat tidur dengan tangan menutup mulut. Saat, hendak berlari ke kamar mandi barulah ia sadar bahwa dirinya berada di tempat yang asing.Seketika ia terdiam. Ia meneliti lagi setiap sudut kamar itu dan ia memang tidak mengenali ruangan bernuansa coklat dengan semua furniture yang terbuat dari kayu yang di-coating dengan waena bening hingga tekstur asli kayu masih tetap terlihat jelas. Lalu, tatapannya Kania jatuh ke atas tempat tidur. Ia merasa lega karena debaran ada di sana. Setidaknya, meski dirinya berada di tempat asing, tetap ada Aldebaran di sana. Semua rasa tidak nyaman pada perutnya perlahan menghilang berganti dengan rasa was-was. Ia tak tahu mengapa dirinya dan Aldebaran sampai bisa berada di sana. Apakah mereka diculik atau .... Ahh, entah, kepala Kania terlalu berkunang-kunang hingga ia tak mampu berpikir. Ia pun langsung kembali naik tempat tidur dan meringkuk di sam
Aldebaran membongkar kulkas di rumah kakak sulungnya, mencari bahan-bahan untuk membuat rujak manis. Ia hanya menemukan anggur, jeruk, dan pisang. Lalu, sambil membuang napas dengan keras ia membawa semua buah itu ke kamar."Hanya ada ini. Kau mau yang mana?"Kania melipat lengan di depan dada dengan raut dongkol. Ia sendiri tak tahu mengapa minat Alde tidak serius mencarikan rujak buah untuknya bisa membuat hatinya luar biasa sakit. Air matanya yang sudah mengering pun kembali menetes ke pipi. Kali ini diikuti oleh isak pilu, membuat siapa saja yang mendengar pasti merasa iba.Aldebaran meletakkan keranjang buah di tangannya ke atas meja, lalu berjongkok di hadapan Kania. "Aku harus cari ke mana rujak itu malam-malam begini?""Tidak tahu!""Aku janji besok pasti aku belikan itu untukmu."Kania melengos, tak mau menatap wajah Aldebaran yang terlihat makin menyebalkan saat itu. Pura-pura memelas untuk menarik simpatinya. Jangan harap! batinnya keji. "Sayang—""Pelit." Kania memotong u
"Berapa orang yang mati?"Aldebaran menjawab pertanyaan kakak sulungnya hanya dengan mengangkat kedua bahunya. Ia datang untuk menjemput istrinya. "Apa kau tidak berhasil membunuh satu pun?""Ohh, diamlah, Kak." Aldebaran langsung menghempaskan tubuhnya di sofa panjang sambil merentangkan tangan. "Aku lelah sekali." Namun, sebelum ia bisa mengatur napas agar lebih rileks, kakak sulungnya itu sudah berdiri di hadapannya sambil mencekik lehernya. "Aku bertanya baik-baik! Jadi, jawablah dengan baik juga!"Aldebaran menarik lepas tangan kakaknya itu dari lehernya. "Apaan, sih, main cekik aja.!?" "Jawab dulu atau kupatahkan lehermu!" Aldebaran mendesah. Kakak sulungnya yang super dingin itu masih belum berubah juga meski sudah mempunyai istri. Meski tubuhnya ramping dan tidak lebih tinggi dari dirinya, tapi soal kekuatan, ia masih kalah jauh bila dibanding Aleron Blackstone. "Oke, aku jelasin detail, tapi nggak ada segelas air minum dulu, nih?" Aldebaran mengusap lehernya yang baru sa
Mobil sewaan Raden telah tiba di pelabuhan. Ia tersenyum puas melihat Katerine sudah siap berangkat. Rencananya berjalan dengan mulus. Ia akan segera pergi meninggalkan negara dengan segala permasalahan yang ada. Setelah Aldebaran menyabotase semua peluang bisnisnya, ia mengalami kebangkrutan dengan banyak utang yang melilit. Belum lagi kematian putranya dengan cara mengenaskan, tapi tidak ada satu pun pihak berwajib yang mampu mengusut tuntas masalah itu. Padahal, ia pun langsung tahu siapa pelakunya. Akan tetapi, tanpa bayaran yang cukup besar dan koneksi kuat, ia tak bisa melanjutkan penyelidikan terhadap kasus itu. Berbagai upaya balas dendam yang ia lakukan untuk menghancurkan Aldebaran pun tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Pembunuh bayaran yang ia sewa untuk menembak dengan racun Aldebaran berhasil ditangkap dengan mudah oleh para pengawal pribadi Blackstone. Dan berbagai upaya lain yang juga tak membuahkan hasil.Setelah semua kegagalan itu, Raden pun terus mencari tahu d
"Siapa namamu?" Aldebaran bertanya sebelum pergi."Ardian.""Oke. Laksanakan tugasmu sekarang!"Setelah mengatakan itu, Aldebaran mencari tempat yang tepat untuk bersembunyi sambil mengamati situasi. Ia tidak mau terlalu jauh dari Ardian, paling tidak sampai dirinya bisa mendengar semua percakapan Ardian dengan temannya. "Dari mana saja kau?" Teman Ardian bertanya."Ke kamar kecil sambil menyeret wanita itu ke tempat yang lebih aman."Teman Ardian menoleh ke tempat Aldebaran tadi digeletakkan, lalu menatap Ardian heran. "Untuk apa repot-repot begitu?""Angin berembus kencang, kalau dia mati kedinginan, gajiku tidak akan cair.""Ahh, kau benar juga." Teman Ardian menyetujui. "Aku bahkan tidak berpikir sampai sana. Tuan Raden pasti marah kalau tahu targetnya mati sebelum laku mahal.""Itulah, kita harus menjaganya dengan baik sampai semua beres." Ardian mengedarkan pandangan ke segala arah berpura-pura sedang meneliti kondisi di sana, padahal ia sedang mencari tahu di mana kapal yang d
Suasana pelabuhan malam itu terasa mencekam. Semua berada di posisi masing-masing menunggu aba-aba dan perintah untuk bergerak. Aldebaran pun menunggu sampai instruksi dari ayahnya untuk bergerak. Dan selama itu, dirinya hanya bisa diam tak bergerak terbungkus selimut dengan wajah menekuk ke bawah. Ia sengaja melakukan itu agar tidak ada yang curiga bahwa dirinya bukanlah Kania.Setelah memperkirakan rencana Raden, ia langsung menghubungi saudara kembarnya dan memintanya datang ke pulau. Karena korban yang sedang Raden incar bukanlah dirinya, melainkan Kania. Raden tahu titik kelemahan Aldebaran ada pada Kania. Jadi, untuk menghancurkan dirinya, Raden tidak perlu langsung berurusan dengannya, cukup ambil Kania darinya dan ia akan hancur. Raden membuat jadwal keberangkatan palsu malam kemarin untuk menarik perhatian Aldebaran dan semua pengawalnya. Dan ketika semua perhatian pengawal Blackstone tertuju ke pelabuhan untuk misi penangkapan, Raden justru melakukan hal yang berbeda. Dia m