Share

5. Kabur

"Dasar sinting!" Kania memaki pintu kamar yang menutup dengan keras. Dadanya bergerak naik turun dengan napas terengah-engah dalam upaya mengendalikan emosi dan menjaga kewarasan akal sehatnya. Dirinya sudah muak dengan semua sikap tidak pasti Aldebaran yang selalu seperti ini.

Sejak dulu, lelaki itu hanya akan muncul di saat-saat dirinya berusaha membuka hati dan kesempatan untuk kaum lelaki. Si Brengsek itu membuat semua cowok yang mencoba mendekatinya mundur teratur bahkan tanpa dia butuh melakukan apa pun.

Kania kembali teringat, dulu ada seniornya di kampus yang ingin berkenalan lebih dekat dengannya. Dia berkunjung ke rumah Kania layaknya seorang cowok yang sedang apel pada ceweknya. Dan entah hanya kebetulan atau bagaimana, saat itu juga Aldebaran muncul di pintu rumahnya, membawa bunga, coklat, dan boneka super besar yang pastinya tidak murah, membuat seniornya itu akhirnya memilih pamit pulang dan tidak pernah menyapanya lagi meski berpapasan di kampus. Yang membuat Kania marah, saat seniornya pulang, Aldebaran pun ikut pulang tanpa memberi penjelasan apa pun padanya.

Tidak berhenti sampai di situ saja, pernah suatu kali Kania berkenalan dengan seorang cowok di sebuah kafe. Mereka saking bertukar nomor telepon. Dan lagi-lagi menjadi suatu kebetulan ketika Aldebaran juga ada di kafe itu. Kania tidak tahu apa yang terjadi atau lebih tepatnya apa yang Aldebaran ucapkan pada cowok yang berkenalan dengannya itu—setelah mereka bertabrakan secara tidak sengaja di lorong kafe. Namun, yang pasti cowok itu tidak pernah menghubungi Kania meski sudah berjanji untuk melakukannya. Dan masih banyak kejadian lain yang Kania tak mau mengingatnya. Intinya, Aldebaran seolah tak membiarkan Kania dekat dengan siapa pun. Lelaki itu memang telah melakukan banyak hal untuk menolongnya, tapi dia juga membuat hidup Kania bergerak di tempat, tak bisa melangkah maju ke depan.

Kania menyukai Aldebaran. Sangat menyukainya, tapi dirinya sudah bisa berdamai dengan perasaan itu saat memutuskan untuk menerima lamaran Sulthan. Meski dirinya tidak terlalu menyukai Sulthan, tapi lelaki itu baik padanya dan keluarganya. Sulthan membantu ayahnya yang sedang mengalami kesulitan hingga ia pun tidak mempunyai alasan untuk menolak lamaran Sulthan. Lagipula, itu kesempatan bagus untuk sepenuhnya lepas dari bayang-bayang Aldebaran Blackstone. Akan tetapi, apa yang terjadi sungguh di luar perkiraan Kania. Aldebaran Blackstone menculiknya, tepat di hari pernikahannya!

Kania masih tak habis pikir, bagaimana bisa Alde bertindak begitu sesuka hati. Awalnya, Kania berpikir Aldebaran tidak akan mengganggunya lagi setelah pernikahannya dengan Sulthan resmi diumumkan—dirinya berhasil membujuk Sulthan supaya menyebarkan undangan dan mengumumkan pernikahannya lebih lambat dari seharusnya. Akhirnya, undangan pernikahan baru disebar dua hari sebelum pernikahan itu sendiri digelar. Untuk keluarga besar dan persiapan lain pun sesuai permintaan Kania juga dilakukan secara diam-diam.

"Aku membencimu Aldebaran Blackstone!" Kania berteriak dengan keras sambil menarik lepas hiasan kepala yang masih bertengger di rambutnya. Kemudian, ia menghempaskan dirinya di tepi tempat tidur. Matanya menatap gaun pengantinnya yang sudah dipesan secara khusus sesuai dengan ukuran tubuhnya dari desainer ternama. Sekarang gaun itu rusak dan kusut. Beberapa rendanya lepas dan di bagian bawahnya terkena noda hitam seperti oli. Ia pun meninju tempat tidur kosong di samping, berharap bahwa itu adalah Aldebaran.

Gaun itu berbahan satin berwarna putih tulang dengan potongan ketat sampai pinggang, kemudian melebar ke bawah. Tidak ada hiasan berlebihan pada gaun pengantin itu karena Kania ingin tampil sederhana tapi elegan. Hanya beberapa renda dan bunga-bunga berwarna senada yang dipasang di beberapa bagian sekedar untuk pemanis.

Kania merasakan kakinya menyentuh lantai yang dingin. Itu artinya sepatu kacanya pun telah terenggut dari kakinya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, mencari-cari sepatu kaca yang sangat ia suka itu, tapi ternyata tidak ada. Dalam hatinya bersumpah, dirinya akan membunuh Aldebaran bila sampai sepatu itu hilang.

Ia pun bangkit berdiri dan melangkah menuju jendela. Ia membutuhkan angin segar, jadi, dirinya ingin membuka jendela di kamar itu supaya udara segar bisa masuk ke dalam. Saat itulah matanya menangkap sebuah nampan makanan di meja samping jendela. Di dalam nampan itu terletak beberapa piring yang ditutup dengan tisu. Ia pun membuka tisu itu. Seketika perutnya berbunyi melihat sepuluh potong sosis berukuran besar, sepiring kentang goreng, dan sup yang sudah dingin.

Kania berniat mengabaikan makanan itu, tapi laparnya sudah tak tertahankan hingga ia pun meletakkan harga dirinya, duduk di kursi, dan mulai makan. Tiga potong sosis, semangkuk sup, dan sebagian kentang yang ada di piring sudah membuatnya sangat kenyang. Ia pun menyudahi makannya dan kembali menutupi piring-piring itu dengan tisu. Akan tetapi, sebuah suara membuatnya terkejut hingga jantungnya serasa melorot sampai perutnya.

"Habiskan saja. Aku sudah makan tadi."

Kania menoleh dengan cepat hingga membuat lehernya sakit. Matanya membelalak melihat Aldebaran sudah berdiri di tengah ruangan dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Wajah Kania memanas, campuran antara malu dan juga marah. "Kamu ...." Kania terlalu marah untuk melanjutkan ucapannya. Marah karena ketahuan malam tanpa izin juga marah karena Alde suka muncul tiba-tiba, membuatnya terkejut saja.

Aldebaran ragu sejenak, tapi kemudian ia memutuskan untuk maju dan duduk di kursi samping Kania. Wajahnya tegang, sementara jantungnya serasa ingin melompat keluar. Ia ingin mengatakan sesuatu yang mencairkan suasana, tapi itu sulit dengan kondisi Kania yang terus menatapnya sinis hingga akhirnya yang ia lakukan hanya duduk diam dengan postur kaku dengan jari-jari kaki menekuk ke dalam.

"Aku sudah kenyang." Kania memutuskan untuk membuka suara, setelah lama menunggu, tapi Alde tak mengatakan apa pun juga. "Kalau mau, habiskan saja daripada terbuang."

Alde hanya mengangguk, kemudian mencomot sosis di piring dan memakannya dalam diam. Sesekali ia tersedak ketika melirik Kania dan ternyata gadis itu masih terus mengamati dirinya.

"Kenapa terus menatapku seperti itu?" Akhirnya Alde bertanya dengan suara yang ia upayakan senormal mungkin. Padahal, sekujur tubuhnya rasanya gemetar.

"Aku sedang memikirkan arti dari semua sikapmu ini, Kak."

"Bukankah sudah jelas!?" Alde meninggikan suaranya, tapi sesaat kemudian ia menyesalinya. Sepertinya memang lebih mudah berbicara dengan Kania ketika dirinya sedang dilanda marah atau cemburu karena kata-kata yang keluar dari mulutnya pasti lancar dan tidak terbata, tapi dia tidak ingin bersikap begitu kasar pada gadis yang ia cintai.

"Aku tidak mengerti. Untuk itu, aku mencoba mencari jawabannya di wajahmu." Kania menjawab dengan tenang. Dia sudah terbiasa dengan sikap Aldebaran yang suka berubah-ubah, terkadang baik, terkadang marah tanpa sebab, terkadang juga dingin seperti orang yang tidak saling kenal.

"Lalu?" Aldebaran menutupi kegelisahannya dengan mengambil sepotong kentang goreng dan memakannya. Ia merasakan telapak tangannya mulai berkeringat, itu yang selalu terjadi ketika dirinya gugup.

"Aku tidak tahu dan sudah terlambat untuk tahu. Jadi, bisakah kamu melepaskan aku?" Kania memalingkan wajah saat mengatakan itu, menatap ke luar jendela yang terbuka. Sorot matanya sayu dan penuh beban.

"Terlambat?" Aldebaran tercekat.

"Ya. Sekarang ini aku tidak lagi mau tahu karena seharusnya aku sudah menikah dan berbakti kepada suamiku. Jika dua bulan lalu kau menculikku seperti ini, aku tidak akan keberatan sama sekali. Tapi, untuk saat ini, aku harus kembali demi kebaikan banyak pihak."

"Tidak, Kania!" Aldebaran berdiri, kali ini tubuhnya benar-benar bergetar hebat, campuran gugup, marah, dan juga sedih karena Kania sepertinya masih ingin terus kembali kepada Sulthan. Kemudian, ketika akhirnya ia menemukan suaranya kembali, nada suaranya begitu merana dan menderita. "Aku sudah mengatakan padamu bahwa aku akan menyelesaikan semua. Aku akan bicara dengan Sulthan dan ayahmu. Tidak bisakah kau percaya padaku?"

Kania mendesah dengan bahu terkulai. "Aku dingin," ujarnya mengalihkan pembicaraan karena ia tahu tak akan membuahkan hasil. Lagipula, hatinya perih melihat lelaki yang selalu tampil sebagai sosok yang tangguh, gagah, dan penuh percaya diri saat itu terlihat begitu rapuh di hadapannya.

"Apa?" Aldebaran mengernyitkan dahi, bingung ketika topik pembicaraan mereka berganti begitu saja.

"Aku dingin. Apakah ada baju hangat yang bisa kupakai?" Kania menunjuk gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya.

"Ohh, maaf." Alde mengayunkan tubuhnya ke depan dan ke belakang, salah tingkah oleh tatapan dan senyum hangat Kania padanya. "A-Aku lupa ... Ehh, di lemari itu ada baju-baju. Kau pilih sendiri saja. Aku akan keluar supaya kau bisa mengganti bajumu. Mungkin, kau juga ingin mandi dan membersihkan diri juga."

"Tunggu!" Kania berteriak ketika Aldebaran sudah berbalik badan dan melangkah cepat ke arah pintu. "Baju-baju siapa yang akan kupakai itu? Maaf, Kak, tapi aku tidak terbiasa memakai barang orang tanpa izin."

"Baju ibu dan adikku. Mereka tak akan keberatan sama sekali." Alde kembali menghadap Kania. "Atau kau mau pakai bajuku saja?"

Kania menggeleng. Tubuh Aldebaran jauh lebih tinggi dan lebih besar darinya. Otomatis baju lelaki itu akan terlihat seperti kurungan di tubuhnya. "Aku pilih di lemari saja, tapi tolong pastikan aku mendapat izin dari ibu atau adikmu."

***

Kania keluar dari kamar. Ia bosan jika harus terus terkurung di dalam ruangan itu. Jadi, ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar. Dimulai dari ruang tengah yang luas dan terlihat sangat nyaman, sangat sesuai dengan keluarga Blackstone yang terkenal banyak anak saat berkumpul.

Ruangan itu bernuansa putih tulang dan coklat yang hangat dengan sedikit furnitur. Hanya ada sebuah sofa sangat panjang di tepi dan karpet lebar di tengah ruangan. Sebuah meja setinggi perut diletakkan di seberang ruangan dengan seperangkat home teater di atasnya, sementara di samping meja itu ada rak kaca setinggi dinding berisi beberapa buah gitar, mikrofon, dan alat musik lain yang Kania tak tahu apa namanya.

Kania tersenyum sendiri membayangkan keluarga Blackstone yang terkenal dingin dan tidak ramah pada siapa pun itu karaokean atau bermain musik di ruangan itu.

Kania lanjut memeriksa seluruh isi rumah: dapur, halaman belakang, lantai atas yang terdiri dari beberapa kamar, tapi ia tidak menemukan Aldebaran di mana pun. Ia pun lanjut turun dan memeriksa ke area di luar rumah. Saat itulah dirinya dibuat terpukau oleh pemandangan indah yang terhampar di hadapannya. Halaman luar dialasi oleh pasir putih dengan beberapa pohon palem serta aneka tanaman yang Kania tidak tahu namanya.

Kaki telanjangnya menyusuri jalanan berpasir putih itu hingga sampai ke teluk. Sebuah motor boat terparkir di dermaga kecil yang ada di teluk. Selamat sesaat, Kania tidak tahu apa yang harus dilakukan sampai sebuah ide gila tiba-tiba saja melintas di pikirannya. Ia melompat masuk ke dalam motor boat itu.

Meski tidak tahu bagaimana cara mengendalikan perahu motor itu, Kania nekat melepaskan tali yang mengaitkan perahu itu ke sebuah palang kayu di tepi dermaga. Ia berpikir bahwa mengendalikan perahu motor mungkin sama saja dengan mengendarai motor, tidak akan terlalu susah.

Setelah berada di dalam kapal motor barulah Kania sadar jika dirinya membutuhkan kunci untuk menyalakan mesinnya, tapi sudah terlambat. Dirinya tidak mungkin masuk lagi ke dalam rumah untuk mencari kunci perahu motor itu karena gelombang air laut di teluk telah menghanyutkan perahu motor itu menjauhi teluk.

Kania panik. Perahu motor bergerak semakin menjauhi teluk, sementara dirinya tidak mungkin melompat ke dalam air dan kembali ke teluk karena tidak bisa berenang. Alhasil yang ia lakukan hanya berteriak sekencang-kencangnya, meminta tolong entah pada siapa.

Selama hampir sepuluh menit, Kania menjerit sambil berusaha menghela perahu itu agar kembali ke teluk dengan cara menggoyang-goyangkan stir kemudi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Perahu motor bergerak semakin menjauhi teluk.

Kania putus asa dan pasrah, tapi tetap mencoba untuk memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya. Satu harapan yang besar muncul dalam benaknya bahwa nantinya perahu motor itu akan sampai ke daratan, entah di daratan mana saja. Jika memang bisa seperti itu, nanti setelah sampai di daratan dirinya akan mencari cara untuk kembali ke rumah. Namun, jika ternyata semua tidak berjalan sesuai harapannya itu, ia tetap berharap bahwa nanti dirinya akan berpapasan dengan perahu nelayan atau siapa saja di tengah laut yang bisa ia mintai tolong.

Kami pun akhirnya bisa duduk dengan tenang di atas perahu motor yang terus bergerak ke tengah lautan. Saat itulah ia melihat Aldebaran berlari ke arah teluk, raut wajah lelaki itu terlihat ketakutan sekaligus khawatir. Setitik rasa puas muncul di dalam hatinya ketika melihat raut lelaki itu, tapi rasa puas itu berganti dengan syok tatkala Aldebaran justru langsung melompat ke dalam air dan berusaha melawan ombak, menghampiri perahu motor.

"Jangan!" Kania menjerit ngeri ketika melihat Aldebaran tertimpa ombak beberapa kali, membuat dirinya refleks berdiri untuk menghela Aldebaran agar kembali ke pulau dan hilang keseimbangan. Tangannya menggapai kemudi untuk berpegangan, tapi meleset. Jemarinya hanya mengenai besi tepian pegangan setir yang akhirnya merosot ke udara. Tubuhnya limbung dan oleng.

Kania tahu, hidupnya akan berakhir saat dirinya jatuh ke dalam air, tapi dirinya merasa bahwa memang sepertinya itu yang terbaik. Jika boleh jujur, hatinya tersiksa ketika harus menikah dengan laki-laki yang tidak ia cintai, tapi dirinya pun tidak bisa menerima tawaran Aldebaran karena terikat oleh janji yang sudah ia buat kepada Sulthan yang pasti hal itu akan membuat orang tuanya sedih. Jadi, satu-satunya solusi bagi semua adalah dirinya menghilang dari bumi ini. 

Awalnya, Kania berpikir bahwa hidupnya akan segera berakhir begitu tubuhnya menyentuh air. Akan tetapi, semua tidak semudah yang ia bayangkan. Rasa sesak dan tak nyaman menerpa tubuhnya ketika gelombang air laut membuat tubuh terlempar ke sana kemari. Belum lagi air laut yang tidak sengaja terhisap masuk ke dalam hidung, membuat hidungnya terasa terbakar dan matanya perih. Sangat menyiksa. Kenapa ingin mati saja harus sesakit itu, pikir Kania.

Melihat Kania tercebur ke dalam air, Aldebaran mengumpat dengan keras sampai menelan air laut karenanya. Ia pun berenang semakin cepat agar bisa menggapai Kania yang kepalanya timbul tenggelam di samping perahu motor. 

"Bodoh!" Aldebaran kembali mengumpat begitu tangannya sudah berhasil meraih pergelangan tangan Kania. Namun, gadis itu tidak menjawab. Kepalanya terkulai lemas di pundak Alde. Dia pun tahu tidak ada gunanya memarahi Kania sekarang, pun jika dirinya bertanya apa gadis itu bisa berpegangan padanya. Akhirnya dengan sebelah tangan menahan tubuh Kania agar tetap merapat padanya, Aldebaran sekuat tenaga mengarungi lautan demi membawa sang pujaan hati kembali ke pulau. Dalam hatinya bertekad untuk tidak akan lengah lagi—membiarkan Kania sendirian—yang itu bisa membahayakan gadis yang begitu ia cintai.

"Kania, kumohon bertahanlah."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status