Rasa tidak nyaman yang seolah mengaduk isi perutnya membuat Kania terbangun. Ia langsung duduk di tepi tempat tidur dengan tangan menutup mulut. Saat, hendak berlari ke kamar mandi barulah ia sadar bahwa dirinya berada di tempat yang asing.Seketika ia terdiam. Ia meneliti lagi setiap sudut kamar itu dan ia memang tidak mengenali ruangan bernuansa coklat dengan semua furniture yang terbuat dari kayu yang di-coating dengan waena bening hingga tekstur asli kayu masih tetap terlihat jelas. Lalu, tatapannya Kania jatuh ke atas tempat tidur. Ia merasa lega karena debaran ada di sana. Setidaknya, meski dirinya berada di tempat asing, tetap ada Aldebaran di sana. Semua rasa tidak nyaman pada perutnya perlahan menghilang berganti dengan rasa was-was. Ia tak tahu mengapa dirinya dan Aldebaran sampai bisa berada di sana. Apakah mereka diculik atau .... Ahh, entah, kepala Kania terlalu berkunang-kunang hingga ia tak mampu berpikir. Ia pun langsung kembali naik tempat tidur dan meringkuk di sam
Aldebaran kembali ke kamar setelah menyiapkan air hangat untuk berendam dirinya dan Kania. Ia menghampiri buntalan selimut di atas tempat tidur, lalu menyingkap selimut itu dan melemparnya ke lantai. Kedua sudut mulutnya terangkat, membentuk seringai geli."Kenapa sembunyi di dalam selimut begini?" Ia naik ke atas tempat tidur, lalu membungkuk di atas Kania yang menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. "Jangan ditutup, dong, cantiknya jadi nggak kelihatan."Kania menolak ketika Aldebaran berusaha membuka telapak tangan yang menutupi wajahnya. Ia sangat malu hingga rasanya tak sanggup untuk sekedar bertatapan dengan Aldebaran. Apalagi dengan kondisi tak berbusana seperti saat itu. "Kenapa harus malu? Aku sudah terbiasa melihatmu begini, kan? Hampir setiap hari pun aku yang memandikan kamu."Kania terhenyak. Hampir setiap hari? Benarkah? Ia pun mencoba mengingat lagi memorinya bersama Aldebaran selama beberapa waktu belakangan ini. Dan ada sekilas bayangan saat dirinya dimandika
Setelah kurang lebih satu bulan lamanya Alde melakukan pembicaraan dari hati ke hati bersama Kania mengenai bayi, akhirnya ia berhasil membujuk istrinya itu untuk melakukan USG. Ia sengaja tidak melakukan tes urine karena sudah merasa yakin bahwa istrinya itu hamil. Selain fakta bahwa Kania tidak pernah lagi mendapatkan menstruasi, juga beberapa tanda lain yang Kania alami seperti morning sick dan ngidam. Pemeriksaan itu tidak dilakukan di rumah sakit, tetapi, ayah Alde yang datang ke pulau membawa USG portabel untuk memeriksa Kania. Ternyata usia kehamilan Kania sudah 13 Minggu. "Sudah bisa dilakukan tes NIPT ini," ujar ayah Alde sambil memeriksa layar yang menampilkan calon cucunya itu. "Tes apa itu, Ayah?""Itu pemeriksaan materi genetik untuk melihat kalau-kalau ada kelainan bawaan janin yang bersifat genetik. Dari sana juga sudah bisa diketahui jenis kelamin calon cucu Ayah ini.""Benarkah? Canggih sekali." Aldebaran berkata takjub sambil menatap layar hitam putih di samping
Aldebaran harus menghadiri rapat direksi yang diadakan rutin setiap bulan di perusahaan. Ia hadir bersama Kania tentu saja. Tak peduli berapa banyak yang menggunjing atau menilai dirinya terlalu memanjakan Kania, ia tetap akan membawa istrinya itu ke mana pun ia pergi. Apalagi dalam kondisi istrinya yang sedang hamil saat ini. Setidaknya apa pun pendapat buruk mengenai dirinya dan Kania tidak sampai ke telinganya langsung.Meri sudah menyiapkan sebuah meja dan kursi tambahan untuk Kania. Letaknya persis di tempat Aldebaran duduk nanti. Pekerjaan Meri juga sudah jauh lebih bagus dibanding sebelumnya. Dia bahkan sudah menguasai beberapa ilmu dasar untuk pertahanan diri seperti: menembak, bermain pisau, menyamar, dan karate.Sepertinya para asisten Aldebaran yang lain benar-benar mendidik Meri dengan keras hingga saat ini postur dan cara jalan Meri lun sudah berubah, jauh lebih tegak dan gagah dibanding sebelumnya. Selain itu, Meri pun sudah lebih memahami ritme bekerja dengan keluarga B
Kania, batin Aldebaran sambil mengangkat kedua sudut bibirnya. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan mempelai wanitanya itu. Gadis yang sudah tujuh tahun ini menghuni relung jiwanya. Setelah melalui berbagai rintangan dan hambatan, hari ini impiannya untuk mempersunting gadis itu pun akan terwujud. Aldebaran merasa bahagia tentu saja, tapi tetap saja ada setitik rasa bersalah menggelayuti hatinya. Karena sampai detik ini dirinya belum pernah menyatakan cintanya pada Kania. Sungguh luar biasa, Kania tetap bersedia menerima lamarannya meski tanpa embel-embel 'cinta'."Nanti, Kania," Aldebaran bicara sendiri. "Aku pasti akan memberikan pernyataan cinta yang bahkan tak pernah diimpikan oleh wanita mana pun. Aku janji."Aldebaran menghentikan mobilnya di depan gerbang rumah Kania. Hari masih gelap. Bahkan, langit di ufuk timur pun belum menampakkan fajar. Namun, Aldebaran sudah tidak sabar untuk segera bertemu mempelai wanitanya itu dan bergegas ke hotel,
Dia meremas undangan di tangannya dengan kuat sampai menjadi bentuk bola. Tatapannya menerawang menembus dinding kaca ruang kerjanya dan berhenti pada satu titik di kejauhan yang ia ketahui sebagai sebuah pemancar salah satu stasiun televisi swasta di kota ini, sementara hatinya diliputi amarah sekaligus putus asa. Namun, dirinya sama sekali tidak tahu amarah itu harus ditujukan pada siapa.Beberapa saat yang lalu asisten pribadinya menunjukkan jadwal serta undangan yang harus ia hadiri esok hari, salah satunya adalah undangan pernikahan daria rekan bisnisnya. Awalnya dia tidak terlalu tertarik membaca sendiri undangan itu karena dia yakin jika sang asisten pribadi pasti sudah mengatur jadwal untuk menghadiri acara itu, tapi warna tosca kombinasi putih undangan itu cukup menarik perhatiannya karena warna itu merupakan warna kesukaan gadis pujaan hatinya. Seperti tersambar petir di siang bolong ketika Aldebaran membaca nama mempelai pengantin wanita yang tertera dalam
Aldebaran duduk sendiri di bawah pohon mangga di belakang rumahnya, menjauh dari anggota keluarganya yang lain. Dirinya sedang tidak ingin terlibat obrolan atau interaksi dengan mereka karena pada setiap detik yang berjalan hatinya semakin merasa tak tenang. Hidupnya terasa seperti di ujung tanduk dan untuk tetap bertahan dirinya harus segera bertindak atau semua akan terlambat dan Kania akhirnya menjadi milik lelaki lain."Kenapa tidak gabung dengan yang lain?"Alde tidak menoleh untuk melihat siapa yang datang. Dari suaranya saja Alde sudah tahu jika itu adalah kakak sulungnya. Sesaat dirinya terpikir untuk meminta bantuan kakaknya yang serba bisa itu, tapi mengingat sang kakak baru saja menikah, dirinya membatalkan niatnya itu. "Lagi cari angin.""Jangan bohong! Dari nada suaramu saja, Kakak tau kau sedang ada masalah. Ada apa?" Alde menghela napas berat. Sulit untuk berpura-pura bahwa dirinya baik-baik saja karena hatinya rasanya sudah remuk. Namun,
"Siapa?"Jantung Aldebaran berdebar ketika mendengar suara itu. Listrik belum menyala hingga suasana kamar pengantin itu masih remang-remang dari lampu emergency yang terpasang di setiap kamar hotel itu. Tidak sepenuhnya terang benderang, tapi cukup untuk memberikan pencahayaan di kamar itu. "Kania." Suara Alde terdengar parau. Ia pun menggigit bagian dalam pipinya untuk mengurangi rasa gugup. Debaran di dadanya semakin tak terkendali. Kakinya pun mulai gemetar hingga rasanya lemas seperti tak memiliki tulang. Keringat dingin membasahi wajah dan telapak tangannya. Alde menahan napas ketika Kania berdiri sambil berjalan lambat ke arahnya. Raut wajah gadis itu pun terlihat terkejut dan tak percaya dengan kehadirannya."Kak ... Aldebaran?" Ia menutup mulut dengan kedua tangannya, sementara matanya membelalak lebar.Bukan hanya Kania yang terkejut, Aldebaran pun sama. Kania terlihat cantik dengan baju pengantinnya. Hal itu membuatnya terdiam selama b