"Siapa?"
Jantung Aldebaran berdebar ketika mendengar suara itu. Listrik belum menyala hingga suasana kamar pengantin itu masih remang-remang dari lampu emergency yang terpasang di setiap kamar hotel itu. Tidak sepenuhnya terang benderang, tapi cukup untuk memberikan pencahayaan di kamar itu."Kania." Suara Alde terdengar parau. Ia pun menggigit bagian dalam pipinya untuk mengurangi rasa gugup. Debaran di dadanya semakin tak terkendali. Kakinya pun mulai gemetar hingga rasanya lemas seperti tak memiliki tulang. Keringat dingin membasahi wajah dan telapak tangannya.Alde menahan napas ketika Kania berdiri sambil berjalan lambat ke arahnya. Raut wajah gadis itu pun terlihat terkejut dan tak percaya dengan kehadirannya."Kak ... Aldebaran?" Ia menutup mulut dengan kedua tangannya, sementara matanya membelalak lebar.Bukan hanya Kania yang terkejut, Aldebaran pun sama. Kania terlihat cantik dengan baju pengantinnya. Hal itu membuatnya terdiam selama beberapa saat, mengagumi kecantikan gadis itu."A-apa yang kamu lakukan di sini?" Kania yang sudah pulih dari rasa terkejutnya pun bertanya. Kedua tangannya masih memegang dadanya karena kejutan ini masih membuatnya tak percaya."Hhggrrrmm." Alde menggeram tertahan, membuat Kania menatapnya semakin heran.Haish bodoh! Alde mengumpati dirinya sendiri dalam hati. Maksud hatinya ingin memuji kecantikan Kania. Namun, apa daya suaranya malah tersendat di tenggorokan dan berubah menjadi geraman menyeramkan seperti terompet rusak. Sungguh memalukan. Apalagi itu terjadi di hadapan gadis yang ia suka.Kania memiringkan kepala, menunggu penjelasan Alde, tapi nyatanya lelaki itu masih diam sama seperti dulu. Ia pun menghela napas lelah, kemudian memalingkan wajah, sebisa mungkin tidak memandang ke arah Aldebaran-lelaki yang telah sukses mencuri hatinya sejak bertahun-tahun lalu, lelaki yang selalu memberikan perhatian padanya secara diam-diam, mengawasinya secara diam-diam, dan lelaki yang hanya memberikan kebingungan padanya baik itu status, perasaan, juga kepastian.Lalu, apakah sekarang cintanya untuk lelaki itu sudah pergi? Tidak! Sampai kapan pun nama Aldebaran akan tersimpan apik di dalam hatinya. Tidak akan mudah bagi Kania untuk menghapus nama itu dari hati dan pikirannya. Perempuan mana yang bisa dengan mudah melupakan lelaki yang selalu memberikan bunga dan coklat setiap hari tanpa absen selama enam tahun berturut-turut? Perempuan mana yang sanggup membuang bayangan lelaki yang selalu diam-diam menjaganya kemana pun ia pergi, kemudian muncul ketika dirinya berada dalam situasi berbahaya, seperti dilecehkan, dijambret, atau diganggu orang di jalan. Saat itu terjadi, Aldebaran akan muncul menolongnya, kemudian bergegas pergi tanpa mengatakan apa pun.Kania memejamkan mata mengingat apa saja yang telah Aldebaran lakukan untuknya. Bahkan orang bodoh pun tahu jika semua itu dia lakukan karena cinta. Namun, ada satu hal yang selalu Kania tunggu yang tak pernah Alde bisa lakukan untuknya, yaitu memberikan kepastian tentang hubungan mereka. Jangankan mengatakan cinta, Aldebaran bahkan tidak pernah menyapanya. Lelaki itu selalu menghindar dan menjauh begitu berpapasan dengannya, membuat Kania bingung setengah mati.Aldebaran mengamati Kania memejamkan mata seperti menahan rasa sakit. Dirinya tidak suka melihat itu dan ingin mengucapkan kalimat penghiburan, tapi seperti biasa otaknya selalu berhenti berfungsi setiap berhadapan dengan gadis itu. Kemudian, terdengar suara ketukan di pintu kamar—isyarat dari saudaranya untuk bergegas.Ia pun menarik napas panjang, lalu berjalan mendekati Kania dengan langkah berat seperti robot."Pe-pe-per gilah bersamaku!" Alde mengembuskan napas lega ketika sudah berhasil mengutarakan maksudnya.Kania membelalak lebar, kemudian mendengus pelan. "Tidak ada alasan kuat untuk melakukan itu."Alde menatap Kania dengan tatapan memohon. Satu tusukan ia rasakan begitu menyakitkan di hati tatkala melihat sorot mata Kania yang berbeda dari yang selalu gadis itu tunjukkan padanya dulu. Dia tidak lagi tersenyum ramah padanya atau menatapnya dengan penuh kelembutan seperti dulu. Kali ini wajah Kania seakan menyiratkan kebencian padanya. Apakah itu berarti sekarang Kania membencinya?"Aku ... aku ...." Alde kesulitan untuk melanjutkan ucapannya. Padahal, dirinya begitu ingin mengatakan bahwa dirinya sangat mencintai gadis itu melebihi apa pun di dunia ini, tapi itu sulit sekali untuk dilakukan, membuatnya frustrasi."Tidak. Aku tidak akan ke mana-mana. Beberapa menit lagi, pernikahan akan dimulai. Pergilah!" Kania mengusir Alde yang masih berdiri mematung di hadapannya. Ia memalingkan wajah, khawatir tekadnya untuk merelakan Aldebaran dan membuka hati untuk laki-laki lain runtuh.Memang menyakitkan melihat Aldebaran begitu berantakan dan putus asa seperti sekarang, tapi beberapa waktu lalu dirinya sudah memutuskan untuk menerima lamaran dari seorang pria baik hati yang selalu membantu mengembangkan bisnis orang tuanya."Kau tidak menginginkan pernikahan ini, bukan?" Alde maju lagi beberapa langkah. "Jangan," ujarnya saat melihat Kania mundur menghindarinya. Itu membuat hatinya pedih. Selama ini, Kania tidak pernah menunjukkan penolakan yang nyata padanya.Kania tertawa gemetar. Apakah penting, dirinya menginginkan pernikahan itu atau tidak? batinnya bertanya pilu. Toh, hidup harus terus berjalan.Belakang lututnya menabrak kursi meja rias, membuatnya hilang keseimbangan dan jatuh terduduk di kursi itu. Kepalanya mendongak dengan raut ngeri melihat Aldebaran terus mendekat ke arahnya."Stop!" Kania mengangkat telapak tangannya ke arah Aldebaran, memintanya berhenti. Namun, lelaki itu seolah tidak mendengar karena dia terus maju hingga lutut mereka saling bersentuhan."Aku akan membawamu lari." Alde berkata mantap sambil memegang kedua lengan Kania, tapi langsung melepaskannya karena terkejut oleh sensasi seperti tersengat aliran listrik yang ia rasakan di sekujur tubuhnya ketika kulitnya dan Kania saling bersentuhan. Ia terpana sekaligus tak menyangka bahwa sensasi seperti itu ada.Kemudian suara ketukan di pintu kembali terdengar yang itu berarti Aldebaran harus keluar saat itu juga."Tidak!" Kania menolak. "Tidak ada alasan bagiku untuk kabur.""Kau penting bagiku, kita pergi sekarang!" Alde berteriak tepat di depan wajah Kania, gusar karena gadis itu tidak juga mau mengerti perasaannya. "Aku bisa hancur jika tak ada kau.""Lepas!" Kania menghempaskan tangan Alde. Matanya menatap tajam lelaki yang sudah mengacaukan hidupnya itu."Percayalah ... Aku bisa mati kalau kau tak ada." Alde memelas.Kania memejamkan mata seraya menggeleng pelan. "Aku lelah. Sudah terlalu lama aku menunggu sampai akhirnya aku sadar, aku memang tidak ada artinya untukmu." Pedih hati Kania saat mengatakan itu. Ia tahu persis meski Alde tak pernah mengatakan apa pun, tapi perhatian yang diberikan pria itu sangat membuatnya merasa dicintai. Namun, tetap saja hidup harus berjalan realistis. Dirinya tak bisa terus hidup dalam khayalan bahwa Aldebaran begitu mencintai dirinya. Tidak! Karena Alde sendiri tak pernah mengatakan itu."Itu tidak benar! Kau sangat berarti bagi-""Berarti dalam artian apa, Kak?" Kania memotong ucapan Alde."I-itu ... A-aku c-ci," gagap Alde. Ia mengusap keringat dingin di wajahnya. Ya Tuhan, mengapa mulut ini terasa kaku sekali? rintihnya dalam hati.Alde menampar pipinya sendiri, berharap dirinya bisa mengatakan sesuatu yang bisa membuat Kania bersedia ikut pergi bersamanya, tapi sekali lagi ia hanya mengeluarkan dengkur mengerikan dari tenggorokannya yang membuat mata Kania menyorotnya dengan pandangan terluka."Pergilah, Kak! Jangan lagi menggangguku. Biarkan aku menempuh hidup baru bersama Sulthan." Kania berkata getir. Hatinya patah seiring dengan ucapannya itu. Alde adalah lelaki yang sangat ia inginkan, bahkan selalu ia mimpikan setiap malam untuk menjadi pasangan hidupnya. Sangat menyakitkan rasanya harus melepaskan padahal sudah ada di depan mata.Alde menggeleng. Pembicaraannya bersama Kania membutuhkan banyak waktu dan sementara itu, Kania tidak boleh menikah dengan siapa pun. Tangannya merogoh sapu tangan yang ada di saku celananya. Sapu tangan itu telah dibubuhi obat bius dengan dosis yang tidak membahayakan-tentu saja ia mendapatkannya dari kakak sulungnya yang seorang dokter spesialis bedah."Sampai kapan pun aku tidak akan membiarkan siapa pun memilikimu!" Alde membekap Kania, menangkap tubuh Kania yang roboh, dan memanggulnya di pundak, kemudian berderap pergi meninggalkan kamar pengantin itu. Ia sama sekali tidak memikirkan resiko yang akan ditanggungnya setelah ini. Ohh, dirinya bahkan tak peduli akan risiko yang harus ia hadapi setelah ini. Baginya yang terpenting saat ini adalah menyembunyikan Kania karena gadis itu tidak boleh menjadi milik pria lain."Kau milik-ku Kania," bisiknya lirih."Aku mencintaimu, sangat mencintaimu."***Aaro langsung menginjak pedal gas begitu Alde sudah masuk ke dalam mobil bersama Kania. Di belakangnya Alden mengikuti bersama Aldev dan Alea. Suasana basement gelap gulita karena sekali lagi ia dan Alden harus membuat listrik di hotel itu padam total agar tidak ada yang memergoki mereka. Petugas yang menjaga portal pun tertidur di dalam posnya karena Alden tadi memberikan minuman yang sudah dibubuhi obat tidur. Jejak bekas minuman itu pun telah mereka singkirkan agar tidak bisa terlacak oleh siapa pun."Sial!" Aaro mengumpat dengan keras sambil memukul stir kemudi ketika jalanan di depan hotel sedikit macet. Hal itu tentu menghambat pelarian mereka.Ponsel Alde berbunyi tanda pesan masuk. Ia terkejut karena ternyata pesan itu berasal dari sang Ayah yang saat ini pun sedang berada di dalam hotel, menghadiri undangan pernikahan Kania bersama bundanya.Point 12 lurus utara kosong!Alde tertawa tertahan bercampur terkejut ketika membaca pesan dari sang ayah. Ada kelegaan luar biasa yang ia rasakan. Ayahnya tahu apa yang telah ia dan adik-adiknya lakukan dan tidak marah. Terbukti dari pesan yang baru saja ia terima."Lurus utara, point 12 kosong." Alde memberitahu adiknya yang sedang mengemudi."Kakak yakin? Bukankah di sana biasanya macet?" Aaro ragu."Sepertinya Ayah sudah mengosongkan jalan untuk kita." Alde tertawa lebar."Ayah?" Aaro terkejut."Siapa lagi?"Mereka berdua terbahak bersama. Mana tahan sang Ayah tidak ikut dalam aksi heroik anak-anaknya. Segila apa pun hal yang dilakukan oleh putra-putrinya, Aidan Blackstone akan tetap menjadi garda terdepan yang mendukung dan melindungi mereka. Tentu saja semua itu tanpa sepengetahuan sang istri.Aaro menghubungi Alden yang ada di mobil belakang melalui sambungan yang sengaja ia keraskan agar Alde bisa ikut mendengar percakapan mereka. Ia memberi tahu sang kakak rute jalan yang harus mereka lalui. Tak lupa Aaro juga menyampaikan jika pengosongan jalan itu adalah ulah sang Ayah."Kau yakin itu bukan jebakan?" Alden bertanya dari seberang sambungan."Yakin seratus persen. Pesan itu berasal dari nomor ponsel pribadi, Ayah." Alde menjelaskan. Kemudian ia, Aaro dan ketiga adiknya yang ada di mobil belakang pun terbahak bersama. Mereka semua merasa aman dan tidak perlu mengkhawatirkan apa pun jika sang ayah sudah ikut campur.Sepanjang perjalanan mereka pun membahas kemungkinan-kemungkinan mereka terlihat oleh sang ayah atau ada salah satu dari mereka yang bocor, tapi nyatanya tak ada satu pun dari mereka yang begitu bodoh mengadu pada sang ayah hingga akhirnya mereka pun menyerah memikirkan kemungkinan itu dan berpikir bahwa ayah mereka memiliki indera keenam.Menjelang senja mereka semua sampai di pelabuhan milik keluarga Blackstone. Di sana terdapat beberapa kapal motor dan juga kapal pesiar kecil untuk keluarga mereka.Seorang petugas berpakaian serba hitam dengan lambang Blackstone di dada sebelah kiri bergegas menghampiri begitu mereka semua turun dari dalam mobil."Apa sudah siap?" Aldebaran bertanya kepada petugas itu."Semua perintah Anda sudah dilaksanakan.""Tidak ada yang tahu, kan?" Alde kembali meyakinkan."Siap, tidak ada.""Bagus. Terima kasih banyak," ujar Alde sambil menyerahkan sebuah koper kecil untuk dibawakan ke atas kapal, kemudian ia berbalik menghadap keempat adiknya. "Aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih pada kalian semua.""Mulai lagi dia!" Aaro mendengus keras, tapi kemudian rautnya berubah sedih. "Kita saudara, kan?""Tentu saja kita semua saudara." Alde memukul lengan adiknya itu. "Hari sudah mulai gelap, sebaiknya aku segera berangkat," ujarnya sambil menatap adiknya satu per satu."Jaga dirimu baik-baik!" Aldev memeluk saudara kembarnya itu sembari menepuk-tepuk punggungnya. Ini pertama kalinya mereka akan berpisah."Kau juga, jaga dirimu dan juga mereka." Alde melirik ketiga adiknya yang mencibir mendengar ucapannya. Bergantian ia memeluk ketiga adiknya yang lain. Ia menamatkan wajah mereka satu per satu dan berharap mereka bisa segera bertemu dan berkumpul lagi secepatnya. "Jaga diri kalian baik-baik! Jangan bandel! Titip Ayah sama Bunda.""Kakak juga, hubungi kita kalau ada masalah." Alden memeluk sang kakak."Begitu sampai tujuan, jangan lupa memberi kabar!" Aaro mengingatkan."Alea pasti akan merindukan Kakak." Si bungsu Alea menubruk dada sang kakak dan menangis. Sedih harus berpisah dengan cara seperti ini. Sejak kecil mereka selalu bersama, tapi jika memang hal ini bisa memberikan kebahagiaan bagi sang kakak, ia pun harus mendukung."Ssstt! Sudah jangan nangis, masak jagoan nangis?" Alde mengusap punggung adik perempuan kesayangannya itu. "Alea harus nurut sama kakak-kakak ya? Nggak boleh bandel, nggak boleh pacaran, dan nggak boleh keluar malam kalau nggak ditemani kakak-kakak, ngerti!"Setelah saling mengucapkan kalimat perpisahan, Alde kembali ke mobil untuk menjemput Kania. Gadis itu masih dipengaruhi obat bius hingga ia pun harus menggendongnya saat menaiki kapal yang akan ia kendarai sendiri menuju pulau pribadi milik keluarga Blackstone. Ia melambaikan tangan ke arah keempat adiknya yang berdiri berjajar di dermaga sebelum menyalakan mesin kapal motor dan melaju ke tengah lautan, menyongsong masa depannya bersama Kania.Ada rasa berat yang ia rasakan ketika harus meninggalkan keluarga yang selama ini telah menjadi tempatnya untuk tumbuh dan menerima begitu banyak cinta. Namun, ia pun bisa mati jika harus hidup tanpa Kania.Dalam hati Alde berharap semoga saja Kania lebih mudah untuk dibujuk dan mereka bisa secepatnya kembali untuk mempertanggung jawabkan kekacauan yang telah ia ciptakan dan segera menikah.***Angin berhembus dengan kencang seiring dengan suara debur ombak yang memecah karang. Aldebaran beranjak dari tempatnya duduk di samping ranjang Kania untuk menutup jendela yang terus terbuka dan tertutup karena tertiup angin. Saat ini dirinya sedang berada di pulau pribadi milik keluarga Blackstone. Sebuah tempat yang aman untuk menyembunyikan Kania sementara waktu.Sejak tiba di pulau sampai menjelang tengah malam, Kania belum juga bangun. Gadis itu masih lelap tak terganggu oleh keributan suara angin, debur ombak, dan juga jendela yang terus menabrak daun pintu dengan keras.Aldebaran khawatir dan sempat menghubungi kakak sulungnya, bertanya kapan efek obat bius itu hilang atau jangan-jangan kakaknya itu telah memberikan dosis di luar batas wajar. Namun, sang kakak tidak memberi jawaban memuaskan. "Kalau mau dia cepat bangun, tampar saja wajahnya. Lagipula, ini kan salahmu sendiri kenapa memilih menjadi pecundang dan tidak segera mengikat gadis yang kau suka
"Dasar sinting!" Kania memaki pintu kamar yang menutup dengan keras. Dadanya bergerak naik turun dengan napas terengah-engah dalam upaya mengendalikan emosi dan menjaga kewarasan akal sehatnya. Dirinya sudah muak dengan semua sikap tidak pasti Aldebaran yang selalu seperti ini. Sejak dulu, lelaki itu hanya akan muncul di saat-saat dirinya berusaha membuka hati dan kesempatan untuk kaum lelaki. Si Brengsek itu membuat semua cowok yang mencoba mendekatinya mundur teratur bahkan tanpa dia butuh melakukan apa pun. Kania kembali teringat, dulu ada seniornya di kampus yang ingin berkenalan lebih dekat dengannya. Dia berkunjung ke rumah Kania layaknya seorang cowok yang sedang apel pada ceweknya. Dan entah hanya kebetulan atau bagaimana, saat itu juga Aldebaran muncul di pintu rumahnya, membawa bunga, coklat, dan boneka super besar yang pastinya tidak murah, membuat seniornya itu akhirnya memilih pamit pulang dan tidak pernah menyapanya lagi meski berpapasan di kampus.
Aldebaran membaringkan Kania di dermaga, kemudian melakukan CPR karena gadis itu diam tak bergerak. Meski bukan seorang dokter atau tenaga medis, Alde tetap tahu tindakan pertolongan pertama. Itu semacam pelatihan yang diwajibkan oleh ayahnya. Aldebaran mengangkat sedikit dagu Kania, kemudian meletakkan telapak tangan di dada Kania dengan lengan lurus dan mulai memberikan tekanan di sana. Sesekali dia berhenti untuk mengecek napas Kania hingga ia pun memberikan napas buatan. Tak lama kemudian, Kania pun terbatuk-batuk dan sadar. Air menyembur dari mulutnya tatkala ia batuk. Kania mengerang sambil memegang tenggorokannya yang terasa terbakar. Ia mencoba untuk duduk, tapi Aldebaran tidak mau membantunya. Lelaki itu menatapnya dengan sorot kaku dengan dada naik turun akibat napasnya yang memburu. Ia mencoba mengatakan sesuatu, tapi langsung berhenti berbicara dan kembali terbatuk-batuk tatkala rasa perih dan terbakar kembali menyerang tenggorokan hingga da
"Ayah." Aldebaran menyambut ayahnya yang datang membawa koper yang ia yakin berisi beberapa perlengkapan medis. Ayahnya adalah seorang dokter. Dokter yang jenius dan berbakat. Ayahnya tidak menjawab, justru bersikap seolah tak melihatnya sama sekali. "Ayah, tunggu!" Alde mengikuti ayahnya yang langsung menerobos masuk ke dalam. "Kania ada di ... Dia—"Aidan Blackstone berhenti di depan pintu kamar Kania, ia menoleh sebentar ke arah sang putra, kemudian langsung mendorong pintu itu hingga terbuka. "Ayah." Aldebaran menahan lengan sang ayah. Ia tidak ingin ayahnya melihat Kania yang sedang tidak berbusana, tetapi ayahnya itu mengibaskan tangannya dengan mudah dan langsung mendekati tempat tidur di mana Kania masih mengigau dengan mata terpejam. Ia pun akhirnya hanya bisa pasrah ketika ayahnya sudah mulai memeriksa Kania, menyingkap sedikit selimut di yang menutupi bagian atas tubuh gadis itu. "Aku tidak melakukan apa-apa, hanya membawan
Aldebaran berniat menengok Kania di kamarnya, kalau dia sudah bangun. Namun, ia terkejut ketika mendapati gadis itu justru sedang duduk memeluk lututnya sendiri sambil menangis. "Ada apa?" Aldebaran melintasi ruang kamar dalam langkah panjang agar bisa lekas menghampiri Kania. Ia duduk di tepi tempat tidur menghadap Kania. "Apa ada yang sakit?" Kania tidak menjawab. Ia hanya terus terisak, membuat Aldebaran kebingungan. "Mungkin sebaiknya kau berbaring dulu. Aku panggilkan Ayah supaya memeriksa kondisimu lebih teliti lagi."Kania menggeleng. "Aku mendengar percakapanmu dan ayahmu,"ujarnya dengan suara serak."Kau ... Bagaimana bisa?" "Aku haus dan berniat mengambil air ke dapur, tapi aku salah jalan." Kania menjelaskan di sela-sela isak tangsinya."Ahh." Aldebaran mengangguk mengerti. "Aku seharusnya mengantisipasi hal itu," ujarnya dengan penuh penyesalan. "Maafkan aku."Kania tidak merespon lagi. Gadis itu
Alde berjalan dengan langkah kaki seperti robot, kembali ke dapur. Di pintu dapur langkahnya terhenti. Ia mengatur napas sambil berusaha menguasai diri agar bisa berbicara dengan lancar di hadapan Kania. Tebersit rasa bersalah menghantui tatkala melihat Kania duduk di depan meja dengan tangan ia tumpukan di atas meja, sementara makanan di atas meja masih utuh dan piring-piring pun masih bersih belum terisi makanan.Alde membuang napas dengan keras, kemudian melangkah ke dapur dengan suara langkah kaki se-berisik mungkin untuk menarik perhatian Kania. "Kau belum makan?" Ia bertanya cepat. Dalam hatinya mendesah lega karena kalimat itu keluar dengan lancar. "Aku menunggumu kembali dari toilet." Kania mengangkat kepala, menatap Alde dengan senyum manis tersungging di wajahnya. Hal itu membuat Alde terdiam seketika, terpana oleh senyum yang selalu melumpuhkan seluruh sel syaraf di tubuhnya. "Ayok, makan, Kak. Aku sudah lapar sekali." Kania menatap Alde denga
Hujan yang turun deras tak membuat Aldebaran memperlambat laju mobilnya. Dirinya sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan Prasodjo, ayah Kania, untuk melamar Kania secara resmi. Sebelumnya, Aldebaran telah berkomunikasi via video call dengan ayah Kania untuk meminta maaf karena dirinya telah menculik gadis itu. Ia juga menjelaskan mengenai motif Sulthan menikahi Kania dan berjanji untuk secepat mungkin bertemu dengan Sulthan dengan membahas masalah mereka secepat mungkin, setidaknya setelah hubungannya dengan Kania telah diresmikan dalam ikatan suci pernikahan. Untuk itu, dirinya berharap ayah Kania bersedia memberikan restu. "Apa kau memang mau menikah dengannya atau karena hal lain?" tanya ayah Kania pada putrinya siang tadi melalui video call."Ya, Ayah." Jawaban Kania sukses membuat Aldebaran bersorak kegirangan dalam hati. Dan di sinilah ia sekarang, mengemudi dengan tak sabar karena ingin segera menemui melamar Kania secara langsung kepada ayahn
Alde duduk termenung di ruang kerja kakaknya di rumah sakit. Perasaannya sedang kalut. Apalagi setelah mendengar penjelasan dari ayahnya mengenai kondisi Kania yang telah diperkosa beramai-ramai oleh anak buah Sulthan dengan cara yang sungguh tak manusiawi. Meski ayahnya sudah memberikan prostinol untuk mencegah kehamilan yang mungkin saja terjadi, tapi proses pemulihan ke depannya tidak akan mudah sama sekali. Akan ada trauma hebat yang dialami Kania hingga dia akan membutuhkan terapi psikologis sebagai upaya penyembuhan. Alde menghirup napas panjang, berharap sesak yang terus menghimpit dadanya bisa sedikit membaik. Namun, pergolakan yang terjadi di dalam dirinya, membuatnya semakin susah bernapas. Sang kakak yang sejak beberapa menit yang lalu masih berkutat dengan laporan-laporan di meja kerjanya pun akhirnya berdiri dan menghampiri dirinya. Dia duduk di samping Alde seraya menyandarkan tubuh dan mengendorkan dasi yang terasa mencekik leher.