Beranda / Romansa / Cinta Terpendam Sang CEO / 6. Cinta Mengalahkan Nafsu

Share

6. Cinta Mengalahkan Nafsu

Aldebaran membaringkan Kania di dermaga, kemudian melakukan CPR karena gadis itu diam tak bergerak. Meski bukan seorang dokter atau tenaga medis, Alde tetap tahu tindakan pertolongan pertama. Itu semacam pelatihan yang diwajibkan oleh ayahnya.

Aldebaran mengangkat sedikit dagu Kania, kemudian meletakkan telapak tangan di dada Kania dengan lengan lurus dan mulai memberikan tekanan di sana. Sesekali dia berhenti untuk mengecek napas Kania hingga ia pun memberikan napas buatan.

Tak lama kemudian, Kania pun terbatuk-batuk dan sadar. Air menyembur dari mulutnya tatkala ia batuk.

Kania mengerang sambil memegang tenggorokannya yang terasa terbakar. Ia mencoba untuk duduk, tapi Aldebaran tidak mau membantunya. Lelaki itu menatapnya dengan sorot kaku dengan dada naik turun akibat napasnya yang memburu. Ia mencoba mengatakan sesuatu, tapi langsung berhenti berbicara dan kembali terbatuk-batuk tatkala rasa perih dan terbakar kembali menyerang tenggorokan hingga dadanya.

"Apa kau sungguh-sungguh ingin pergi dariku sampai berpikiran nekat?"

Kania tidak menjawab. Ia masih terus memegangi kepalanya sambil menggeleng pelan. Hal itu memunculkan iba yang luar biasa dalam benak Alde. Kemudian, lelaki itu mendekat, meletakkan tangan di belakang lutut dan bawah ketiak Kania, membopong gadis itu ke rumah.

Aldebaran menurunkan Kania di sofa panjang yang ada di ruang tengah. "Tunggu di sini. Aku ambilkan minum," ujarnya pelan, kemudian bergegas ke dapur untuk mengambil air dan kembali tak lama setelahnya.

"Makasih," ucap Kania saya menerima gelas berisi air dari Aldebaran. Ia kembali mengerang ketika sensasi panas dan perih itu kembali menyerang.

"Nggak usah banyak bicara dulu dan habiskan minumnya." Aldebaran menatap Kania khawatir. "Apa yang kau keluhkan sekarang?"

Kania memegang gelas yang baru ia minum separuh di atas pangkuannya. "Perih," jawabnya sambil memegang tenggorokannya.

"Pastinya kau menelan banyak air laut." Aldebaran mendesah keras. Rasa gugup yang biasa ia rasakan saat berada di dekat Kania hilang entah ke mana berganti dengan cemas. "Kau yakin hanya itu yang kau rasakan?"

Kania mengangguk. Namun, itu tidak membuat Aldebaran merasa puas. Ia kembali bangkit berdiri, mengambil ponsel, lalu menghubungi ayahnya. Ia bimbang sesaat, kemudian memutuskan untuk menelpon kakak sulungnya dibanding ayahnya. Beruntung sekali saat itu kakaknya tidak sedang sibuk hingga bisa langsung menerima panggilan darinya.

Aldebaran menceritakan apa yang terjadi pada Kania—hanya bagian gadis itu tenggelam di laut—dan bertanya apa saja yang perlu ia lakukan sekarang. Ia menjelaskan bahwa Kania sudah sadar setelah dirinya melakukan CPR, tapi itu sepertinya belum cukup. Ia ingin kakaknya datang agar bisa memeriksa kondisi Kania. Kakaknya hanya menjawab akan membantu, tapi Alde tak tahu dengan cara apa. Mungkin, dia akan mengirim obat-obatan atau sejenisnya.

Aldebaran kembali ke ruang depan sambil membawa bantal dan selimut. Ia meletakkan bantal di ujung sofa dan meminta Kania berbaring. "Istirahat saja dulu sampai kau merasa agak baikan."

"Aku tidak apa-apa." Kania menolak berbaring, tapi ia menerima selimut yang diberikan Aldebaran dan menyelubungi dirinya dengan selimut. Ia kedinginan karena bajunya basah kuyup, tapi dirinya tak memiliki tenaga pergi ke kamar dan mengganti baju.

"Ahh, ya, bajumu basah." Aldebaran kembali bangkit dan beranjak ke kamar untuk mengambilkan baju Kania. "Ini. Aku asal ambil." Ia mengulurkan sepasang piyama tidur kepada Kania yang langsung diterima gadis itu dengan tangan gemetar.

"Makasih." Hanya itu yang bisa Kania ucapkan. "Ehh—"

"Aku tidak akan pergi dari sini, tapi aku akan berbalik badan supaya kau bisa mengganti bajumu," potong Aldebaran tegas, kemudian langsung berbalik memunggungi Kania.

Sambil menunggu Kania selesai ganti baju, Aldebaran membuka ponselnya, mencari berita terbaru mengenai pernikahan pengusaha yang gagal dilaksanakan karena mempelai wanitanya menghilang. Tidak banyak berita yang ia dapatkan karena keluarga Sulthan pasti sudah melakukan banyak upaya untuk membungkam media.

Ia pun belum mendapat kabar terbaru dari saudara-saudaranya yang ia minta untuk terus membuka mata dan telinga mengenai pergerakan Sulthan dan keluarganya. Aksinya menculik Kania pasti akan menimbulkan masalah besar. Ia tahu itu, tapi tidak menyesalinya sama sekali. Bahkan, jika dirinya dan Kania harus hidup di pulau itu berdua jauh dari peradaban, ia rela melakukannya. Ia akan meninggalkan semua demi Kania, termasuk posisinya sebagai CEO di salah satu cabang perusahaan milik Blackstone Corp yang telah diwariskan kepadanya.

Sinar matahari mulai masuk, menembus dinding kaca di ruang tengah itu. Aldebaran pun ingat, bahwa dirinya belum menyiapkan sarapan untuk Kania. Yah, meski beberapa jam tadi mereka sudah menyantap sosis dan sup, tapi pagi ini dirinya harus menyiapkan sesuatu yang bisa membuat tubuh Kania merasa lebih baik setelah kejadian tadi. "Apa kau sudah selesai?"

Tidak ada jawaban dari Kania.

"Apa aku boleh berbalik?"

Masih tidak ada jawaban hingga Aldebaran pun khawatir dan nekat berbalik badan. Ia siap seandainya Kania marah dan menamparnya karena dianggap sebagai tukang intip. Ia hanya ingin memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja.

Aldebaran tertegun. Kania sudah selesai berganti baju dan kembali membungkus dirinya dengan selimut. Dia bersandar di sofa dengan mata terpejam. Alde mendekat dan berjongkok di hadapan gadis itu. Ia mengamati wajah Kania. Dada gadis itu naik turun dengan teratur yang itu berarti dia sudah tertidur. Ia pun membetulkan posisi bantal dan membetulkan posisi Kania agar berbaring di bantal. Saat itulah Aldebaran tahu bahwa Kania demam. Gadis itu menggigil sambil sesekali kejang.

Alde panik, tapi tetap mencoba berpikiran jernih. Mereka berada jauh di tengah laut; Kapal motor pun telah hanyut. Jadi, Alde harus bisa mengatasi situasi itu sendiri sampai pertolongan datang. Dirinya sudah memberi kabar pada saudara kembarnya bahwa perahu motor itu telah hanyut dan memintanya datang membawa banyak barang untuk kebutuhannya dan Kania selama di pulau.

Alde menghempaskan selimut yang menyelimuti Kania ke lantai, lalu memindahkan gadis itu ke kamar. Ia memastikan jendela kamar tertutup, lalu mulai membuka kancing piyama Kania. Satu hal yang ia tahu adalah saat demam, tubuh tidak boleh terbungkus pakaian yang terlalu erat. Dirinya juga harus mengompres tubuh Kania dengan air hangat, tapi itu terlalu merepotkan hingga ia pun memutuskan untuk membawa Kania ke kamar mandi, menempatkannya dengan nyaman ke dalam bathup, lalu menyalakan kran air hangat.

Ia menyesuaikan suhu air panas agar tidak terlalu panas, tapi juga tidak terlalu cepat dingin untuk merendam.

Kania menggeliat ketika merasakan tubuhnya bersentuhan dengan air panas. Mulutnya menggunakan sesuatu yang kurang jelas, seperti "Kamu lama sekali, Kak Al."

Aldebaran meraih handuk tebal yang ada di rak dan menempatkan handuk itu di belakang kepala Kania, menjadikannya sebagai bantal. Namun, karena tubuh Kania terus merosot ke dalam bak, ia pun akhirnya memutuskan untuk ikut masuk ke dalam bathup agar bisa menyangga tubuh Kania. Tak hanya itu, ia pun membuka atasan piyama Kania karena kain sutranya licin membuat Alde kesulitan untuk menahan tubuh Kania agar tetap di tempat.

Atasan kemeja itu ia lemparkan ke dalam keranjang cucian, lalu ia duduk di belakang tubuh Kania, menyangga gadis itu agar tetap pada posisi duduk.

Aldebaran menelan ludah tatkala halus dan lembutnya kulit Kania menempel di tubuhnya. Dirinya tidak menyangka akan bisa sedekat dan seintim itu dengan Kania. Yah, cintanya pada Kania benar-benar perasaan sayang yang murni tanpa pernah diwarnai oleh nafsu buta semata. Akan tetapi, sebagai seorang laki-laki, ia pun tak munafik bahwa terkadang dirinya mendambakan bisa menyentuh Kania atau lebih dari itu.

Tangan Aldebaran gemetar ketika memegang perut rata Kania. Apalagi tatkala lengannya tanpa sengaja menyenggol dada Kania, ia pun menggeram tertahan untuk meredakan dorongan nakal yang memerintahkan agar dirinya lebih berani mengeksplorasi tubuh Kania. Akan tetapi, rasa cinta dan pedulinya pada Kania lebih besar hingga ia pun tak mengikuti dorongan itu.

Kania adalah gadis baik-baik. Dia pantas diperlakukan dengan cara terhormat. Ayahnya pun selalu menekankan agar dirinya tidak pernah bermain-main dengan perempuan apa pun alasannya. Karena hubungan ayah dan bundanya diawali oleh kejadian yang kurang menyenangkan. Pernikahan mereka terjadi karena ayahnya telah memaksakan kehendaknya kepada bundanya. Meski pada akhirnya mereka hidup bahagia dan saling mencintai, tapi ayahnya selalu berkata bahwa rasa bersalah itu tidak pernah hilang. Untuk itulah ayahnya selalu berupaya memperlakukan bundanya selayaknya ratu, demi menebus semua kesalahan yang pernah dilakukan dulu.

Aldebaran cukup waras untuk tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang pernah dilakukan ayahnya pada bundanya dulu. Meski pusat gairahnya terus mendesak, menuntut pemuasan, dirinya bisa dengan mudah mengabaikan itu hanya dengan memikirkan bahwa tak lama lagi dirinya dan Kania akan menikah. Jadi, dirinya harus menunggu sampai saat itu tiba.

Napas Kania yang semula memburu, perlahan mulai teratur. Aldebaran tidak tahu apakah demamnya sudah turun atau belum karena tubuhnya sendiri saat itu pun terasa panas hingga tak bisa laki merasakan tubuh Kania masih demam atau tidak.

Begitu air sudah merendam Kania kira-kira sampai pundak, Alde mematikan kran. Saat itulah dirinya mendengar deru berisik dari luar rumah. Tanpa perlu melihat pun dirinya tahu itu adalah helikopter milik keluarganya. Entah siapa yang datang: kakak atau saudara kembarnya, tapi yang jelas Alde merasa lega. Setidaknya ada tambahan tenaga yang bisa ia mintai saran dan bantuan.

Ia pun membuka sumbat bathup, kemudian berdiri dengan sebelah lengan masih menyangga pundak Kania. Ia tak ingin siapa pun yang datang melihat Kania-nya dalam kondisi tak berbusana.

Kania mengigau. "Kak Al."

"Kita kembali ke kamar, ya," jawab Alde spontan, meski ia tahu bahwa Kania tak akan bisa mendengarnya.

Setelah air dalam bathup hanya tersisa separuh, Alde dengan hati-hati menyandarkan kepala Kania ke tepian bathup yang sudah dialasi handuk, lalu ia melepaskan pakaiannya yang basah sebelum mengangkat Kania dari dalam bathup dan membawanya kembali ke kamar.

Dari luar Alde mendengar suara yang sangat familiar memanggil. Itu suara ayahnya. "Sial!" Ia mengumpat pelan. Ia pun bergegas menutupi tubuh Kania dengan selimut, sebelum berlari keluar kamar untuk menyambut kedatangan ayahnya dan bersiap menerima amukannya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status