Aldebaran duduk bersila di samping ranjang pengantinnya. Di atas ranjang itu terbaring Kania yang tadi sempat pingsan setelah histeris. Saat ini gadis itu sudah lelap seolah tanpa beban. Napasnya teratur dan wajahnya terlihat damai, membuat Alde langsung emosi ketika mengingat hal yang membuat kedamaian itu berubah.
Pikiran Alde tertuju kepada Sulthan. Pria itu masih hidup dan berada dalam pengawasan ayahnya, tetapi ayahnya tidak mau memberi tahu di mana pria itu berada. Mungkin, ayahnya khawatir dia akan memburu Sulthan dan mencincangnya hidup-hidup. Dan memang benar, itu yang akan ia lakukan seandainya ada kesempatan lagi bertemu dengan Sulthan. Ohh, ayahnya sudah mencoba meyakinkan dirinya bahwa Sulthan pasti akan mendapat balasan setimpal, tapi ia tidak akan pernah merasa tenang sebelum melihat pria itu menderita dan tersiksa dengan mata kepalanya sendiri.Ia pun mulai memikirkan cara-cara terkejam untuk membunuh Sulthan secara perlahan. Setidaknya, dengan begBeban berat yang menimpa dada membuatnya terbangun. Ia membuka mata, lalu berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan dengan pencahayaan sekitar.Ketika matanya sudah bisa beradaptasi dengan baik, ia mulai meneliti keadaan di sekitarnya. Benda berat yang menimpa dadanya tadi, ternyata sebuah lengan kekar milik seorang laki-laki. Ia pun menyingkirkan lengan itu perlahan, kemudian duduk. Tatapannya jatuh pada sebuah kepala seorang lelaki yang bersandar dengan posisi tidak nyaman di tepi tempat tidur. Tangannya terulur, membelai kepala itu dengan sangat pelan karena takut membangunkan lelaki itu. Hatinya seakan dipilin dengan kuat melihat sosok pria itu masih mengenakan stelan jas. Sesuatu pemikiran menghantam kesadarannya dan ia pun langsung melihat ke arahnya sendiri. Ia pun masih mengenakan gaun putih berbahan sutra dengan beberapa hiasan bunga-bunga kecil di bagian lengan dan pundak. Itu adalah gaun pengantinnya dan sosok yang bersila di lantai dengan kep
Carmila of the Seas berlabuh untuk menurunkan para tamu undangan pada pesta pernikahan, sementara keluarga Blackstone masih akan berlayar hingga dua pelabuhan lagi, sebelum memutuskan untuk pulang. Aldebaran membawa Kania ke dek teratas untuk menyaksikan kesibukan di pelabuhan saat penumpang turun. Para pekerja dengan pakaian hitam dengan lambang Blackstone berwarna emas di dada sebelah kiri dengan sigap melayani para tamu undangan. Ada yang membantu membawakan barang bawaan, ada pula yang menunggu di dermaga untuk mengantarkan mereka ke mobil karena memang segala akomodasi sudah disiapkan oleh keluarga Blackstone.Kania melambai-lambaikan tangannya ke udara, sementara mulutnya terus bergumam, "Tus ... Tus ... Tus." "Kau sedang bermain apa?" Alde menunduk, menatap sang istri yang bahkan tak menyadari bahwa dirinya ada di sana. "Sepertinya seru sekali. Apa aku boleh ikut bermain?"Kania seolah tak mendengar. Kepalanya bergerak ke atas ke bawah se
"Sorry." Aldebaran menghampiri keempat adiknya yang sedang berkumpul di ruangan khusus keluarga mereka dengan wajah lesu dan lelah. Ia tersenyum kecut melihat mata Aaro yang bengkak hingga sulit untuk dibuka, rahang Alden yang memar, dan juga pelipis Aldev yang membiru."Kira-kira juga, dong, kalau mukul. Sampe ngilu begini." Aaro melirik sang kakak dengan raut sebal sambil kembali menempelkan es batu yang telah dibungkus kain ke matanya yang bengkak. Alea membantunya meletakkan es batu itu agar berada di tempat yang tepat sambil sesekali mengikik tertahan. "Kenapa kau tertawa?" Aaro makin kesal karena adik perempuannya malah menertawakan kondisinya. Memang di antara semua anggota keluar Blackstone, Aaro adalah yang paling temperamental dan mudah terpancing emosinya. Maklum saja karena dia laki-laki termuda di keluarga itu. "Apa aku terlihat buruk?""Enggak, kok. Masih tetep ganteng dan gagah seperti biasa." Alea tersenyum manis, tapi bahu gadis itu berge
Makan malam kali itu adalah makan malam terakhir mereka di kapal. Besok, semua akan kembali pada aktifitas dan kesibukan masing-masing, kecuali Aldebaran dan Kania. Aldebaran memilihkan gaun berwarna marun polos dengan model ketat di bagian atas, lalu mengembang dari perut sampai lutut untuk Kania. Merah marun membuat warna kulit Kania yang putih cenderung pucat terlihat menonjol dan cantik. Sebelah lengan Alde memeluk pinggang Kania, sementara tangannya yang lain memegang dengan erat tangan Kania. Dirinya hanya ingin mengantisipasi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi ketika Kania bertemu dengan keluarga besar dan sahabat yang sudah seperti keluarga. Riuh canda tawa dan obrolan seketika berhenti begitu Kania dan Alde masuk. Ayah Alde memberi isyarat kepada semua yang hadir di sana untuk tenang. Mereka semua sudah tahu kondisi Kania. Jadi, sudah langsung paham ketika diminta tenang dan diam tanpa banyak bertanya. "Sayang." Carmila langsu
Dengkur halus dari arah ranjang membuat Aldebaran merasa sedikit lebih tenang. Itu bisa membuat Aldebaran bisa lebih konsentrasi berkerja. Yah, meski ayahnya berkata bahwa Om Azka dan Om Damian bisa menggantikan semua tugasnya untuk sementara waktu di perusahaan, tetapi dirinya tidak bisa melakukan itu. Sejak kecil dirinya sudah dididik tentang tanggung jawab dan menghadapi sendiri masalah yang ada. Jadi, untuk saat ini pun ia tidak bisa Seperti saat ini, Aldebaran harus menghadapi laporan dari asisten pribadinya di perusahaan bahwa proyek pembangunan resort di Bali sedikit terganggu karena Sulthan yang menjadi penyedia barang tidak bisa melakukan kewajibannya. Itu karena Sulthan masih berada dalam tahanan ayahnya. Sementara itu, ayah Sulthan secara pribadi telah mengirim pesan kepadanya. Intinya, orang tua itu meminta agar keluarga Blackstone melepaskan Sulthan dan sebagai gantinya, pihak mereka akan menutup kasus tentang penculikan Kania pada saat resepsi pern
Langkah kakinya menggema saat menuruni tangga batu melingkar yang menuju ke ruang bawah tanah yang sunyi itu. Lampu dinding dipasang setiap dua meter untuk memberikan pencahayaan yang cukup dan mencegah kelembapan di ruangan itu. Sampai di anak tangga paling bawah, ia berhenti sebentar untuk mengamati sekitar sekaligus melihat ruang nomor berapa yang akan ia tuju. Penjaga di atas sudah memberi tahu nomor ruangan yang akan ia tuju, hanya saja ia belum tahu di mana letak ruangan itu. Sambil mengamati nomor ruangan yang dipasang di atas pintu, ia melangkah perlahan menyusuri lorong memanjang itu. Kosong tujuh, batinnya. Dan saat melihat nomor itu di-embos pada sebuah plat berbahan tembaga, ia pun mempercepat langkahnya menuju ruangan itu. Langkahnya berhenti tepat di depan pintu ruang kosong tujuh. Ruangan itu tidak terlalu besar, tetapi juga tidak terlalu sempit, tetapi di dalamnya sudah dilengkapi toilet pribadi, sebuah tempat tidur yang nyaman meski tid
Aldebaran mengernyitkan dahi melihat Kania tiba-tiba menjadi begitu tenang dan penurut. Bahkan, gadis itu terlihat terus tersenyum sendiri seolah ada sesuatu yang tak sabar ingin segera dilakukan. Ia tak bisa bertanya dan menjawab jawaban yang memuaskan tentu saja, tetapi perubahan sikap yang sedemikian drastis membuatnya cukup takut dan waspada. Apalagi, gadis itu terus saja mencuri pandang ke arah lautan. Ia pun curiga Kania mencoba untuk terjun lagi.Rambut Kania beterbangan tertiup angin. Aldebaran mengumpulkan rambut itu dalam satu genggaman, lalu mengikatnya dengan ikat rambut yang melingkar di pergelangan tangannya. "Hmm, kau tidak sedang berpikir untuk meninggalkan aku, kan?" Aldebaran tetap bertanya meski tahu bahwa jawaban yang ia terima tidaklah memuaskan, justru tidak nyambung."Mau main trampolin saja." Kania tertawa renyah. Tawa itu membuat wajahnya berbinar seolah tanpa beban, membuat Aldebaran ikut tersenyum melihatnya.
"Selamat datang di rumah, Sayang." Bunda Alde menyambut kedatangan putra dan menantunya itu di depan rumah. "Bunda." Alde memeluk sang bunda dengan sebelah tangan sambil mencium kening sang bunda, sementara tangan yang lain masi terus memeluk erat pinggang Kania. Istrinya itu terlihat tidak peduli. Dia hanya diam sambil menatap kakinya sendiri. "Sayang." Bunda Alde memeluk Kania sedikit lebih lama daripada yang diperlukan. "Bunda harap kamu dalam kondisi baik, ya." Ia tahu ucapannya itu tidak benar karena terlihat jelas Kania lebih kurus dibanding saat mereka terakhir kali bertemu. Mata gadis itu terlihat cekung dengan wajah pucat seperti mayat hidup. Tidak ada sinar kehidupan atau semangat di wajahnya."Apa semua ada di dalam?" Alde bertanya sambil melihat ke sekitar."Ya. Semua berkumpul di halaman belakang termasuk Kakek dan Nenek." Carmila tersenyum, lalu menggandeng tangan Kania, menuntunnya masuk ke dalam. Obrolan seketika terhen