Aldebaran mengernyitkan dahi melihat Kania tiba-tiba menjadi begitu tenang dan penurut. Bahkan, gadis itu terlihat terus tersenyum sendiri seolah ada sesuatu yang tak sabar ingin segera dilakukan.
Ia tak bisa bertanya dan menjawab jawaban yang memuaskan tentu saja, tetapi perubahan sikap yang sedemikian drastis membuatnya cukup takut dan waspada. Apalagi, gadis itu terus saja mencuri pandang ke arah lautan. Ia pun curiga Kania mencoba untuk terjun lagi.Rambut Kania beterbangan tertiup angin. Aldebaran mengumpulkan rambut itu dalam satu genggaman, lalu mengikatnya dengan ikat rambut yang melingkar di pergelangan tangannya."Hmm, kau tidak sedang berpikir untuk meninggalkan aku, kan?" Aldebaran tetap bertanya meski tahu bahwa jawaban yang ia terima tidaklah memuaskan, justru tidak nyambung."Mau main trampolin saja." Kania tertawa renyah. Tawa itu membuat wajahnya berbinar seolah tanpa beban, membuat Aldebaran ikut tersenyum melihatnya."Selamat datang di rumah, Sayang." Bunda Alde menyambut kedatangan putra dan menantunya itu di depan rumah. "Bunda." Alde memeluk sang bunda dengan sebelah tangan sambil mencium kening sang bunda, sementara tangan yang lain masi terus memeluk erat pinggang Kania. Istrinya itu terlihat tidak peduli. Dia hanya diam sambil menatap kakinya sendiri. "Sayang." Bunda Alde memeluk Kania sedikit lebih lama daripada yang diperlukan. "Bunda harap kamu dalam kondisi baik, ya." Ia tahu ucapannya itu tidak benar karena terlihat jelas Kania lebih kurus dibanding saat mereka terakhir kali bertemu. Mata gadis itu terlihat cekung dengan wajah pucat seperti mayat hidup. Tidak ada sinar kehidupan atau semangat di wajahnya."Apa semua ada di dalam?" Alde bertanya sambil melihat ke sekitar."Ya. Semua berkumpul di halaman belakang termasuk Kakek dan Nenek." Carmila tersenyum, lalu menggandeng tangan Kania, menuntunnya masuk ke dalam. Obrolan seketika terhen
Hawa dingin mulai terasa menusuk kulit begitu Hellystone mendarat di helipad yang berada di kawasan perumahan Puncak Tidar. Selama menjalani terapi nanti, Alde berencana untuk tinggal di salah satu property miliknya yang ada di sana. Memang sedikit lebih jauh dari rumah sakit tempat Kania menjalani terapi nanti, tetapi ia merasa lebih nyaman tinggal di rumah itu karena memang rumah itu ia beli dari hasil keringatnya sendiri. Berbeda dengan property lain yang merupakan aset keluarga Blackstone. Tentu saja orangtuanya tidak akan keberatan bila dirinya meminjam salah satu property milik keluarga. Mereka pun memiliki beberapa property di kawasan Araya yang tidak terlalu jauh jaraknya dengan rumah sakit di Lawang. Akan tetapi, selain ingin menikmati hasil jerih payahnya sendiri, Alde juga berpendapat bahwa tempa tinggalnya saat ini lokasinya cukup strategis dari tempat-tempat yang ingin ia kunjungi bersama Kania seperti Batu Secret Zoo atau mungkin Batu Love Garden.
Aldebaran melingkarkan sebuah selimut hangat ke sekitar pundak Kania. Istrinya itu terlihat lebih tenang malam ini. Mereka sedang menikmati pemandangan malam hari dari balkon kamar mereka yang juga berhadapan langsung dengan kolam renang pribadi. Kania terlihat kelap-kelip lampu di kejauhan yang membentuk keindahan tersendiri malam itu. Rumah mereka yang memang terletak di dataran tinggi Kota Malang memberikan kelebihan yang menguntungkan dari sisi itu—menikmati keindahan pemandangan di area yang lebih rendah. "Diminum dulu tehnya. Keburu dingin." Alde ikut duduk di kursi rotan samping Kania. Saat Kania hanya diam, tidak merespon ucapannya, ia pun sudah terbiasa dengan itu. Menurut dokter spesialis kejiwaan yang menangani Kania tadi, guncangan yang dialami Kania sangat berat hingga membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mengatasi hal itu.Beberapa terapi rutin akan dilakukan. Setidaknya seminggu dua kali. Mulai dari terapi interpersonal, psikotik, d
Aldebaran sedang dalam perjalanan mengantar Kania terapi ketika beberapa pesan masuk di grup keluarga. Semua panik. Ayahnya terluka parah dan sedang dalam kondisi kritis di rumah sakit. Alde membaca berulang kali rentetan pesan itu, berharap menemukan sebuah lelucon di sana. Akan tetapi, ketika pesan terakhir adalah sebuah gambar ayahnya dengan kondisi mengenaskan, ia pun terhenyak. Tangannya gemetar hebat, syok melihat kondisi tubuh ayahnya yang mengenaskan. Penuh luka cabikan hingga wajahnya pun tak bisa dikenali lagi, tapi apa penyebab semua itu terjadi, ia belum tahu. Belum ada kabar lebih lanjut di grup. Ia menekan nomor kakak dan adik-adiknya untuk menanyakan kondisi ayahnya dengan lebih jelas, tetapi tidak satu pun yang menerima panggilan darinya.Alde setengah tak percaya bahwa yang terluka parah itu ayahnya. Kenapa? Ayahnya adalah sosok yang tangguh dan tidak akan mudah ditumbangkan. Lalu, kenapa dia bisa sampai terluka separah itu? Apakah ayahnya dikeroyok orang?Tidak
"Ohh, tidak." Tubuh Aldebaran sedikit limbung ketika melihat kondisi ayahnya yang bersimbah darah. Samar-samar ia mendengar dokter menjelaskan bahwa luka yang mengenai jantung ayahnya cukup parah. Mereka sudah mengupayakan yang terbaik, tetapi kondisi itu tidak bisa diperbaiki. Satu-satunya hal yang mungkin masih bisa menyelamatkan nyawa ayahnya adalah bila ayahnya mendapat donor jantung dengan cepat. Akan tetapi, itu hal yang mustahil. Siapa pula orang gila yang akan telah mendonorkan jantungnya?Alde syok. Jika bukan karena Kania yang menopang tubuhnya, mungkin ia akan roboh dan meraung di lantai. Ia mendekat dan berdiri di tepi ranjang dengan pandangan kabur akibat air mata yang terus mengalir deras dari kedua matanya. Hatinya remuk melihat ayahnya memuntahkan darah setiap kali mencoba untuk berbicara. Makin banyak yang masuk ke dalam untuk melihat ayahnya hingga dokter dan petugas di ruangan itu meminta untuk bergantian agar ruangan tidak terlalu penuh yang itu bisa mempengaruhi
"Bunda makan, ya, dikit-dikit aja." Alde membujuk sang bunda agar mau menyentuh makanannya sambil sesekali menyuapi istrinya yang seperti biasa, hanya diam sambil melamun. Siang tadi, ketika terlalu larut dalam kesedihan akan kondisi ayahnya, ia sampai lupa untuk meminumkan obat Kania. Padahal, dokter sudah berpesan agar Kania tidak sampai melewatkan obatnya. Akan tetapi, pikirannya yang terpecah membuatnya lalai. Dalam hatinya pun berjanji untuk tidak mengulangi hal itu. Bagaimanapun dirinya harus tetap bisa seimbang mengurus Kania, ibunya, dan yang lain. Aldebaran meletakkan sendok untuk menyuapi Kania, lalu mengambil sendok yang ada di piring bundanya. Ia menyendok sedikit bubur ayam itu, lalu mengarahkan sendok itu ke mulut sang bunda. "Kalau Bunda mau Ayah bisa cepat pulih, Bunda harus bisa jaga diri dan kesehatan supaya Ayah juga bisa tenang."Carmila tidak menjawab. Ia tetap menangis dalam diam sambil mengatupkan kedua tangan di depan dadanya. Hatinya terasa remuk melihat sua
Aldebaran mengamati Kania yang sudah pulas. Ia menekan ludah dengan susah payah tatkala tatapannya berhenti pada bibir merekah Kania yang sedikit terbuka. Sudah bertahun-tahun lalu dirinya menginginkan bibir itu, merasakan lembut dan manisnya, tetapi kini, ketika Kania akhirnya menjadi miliknya, ia tak kunjung bisa mengklaim itu sebagai miliknya juga. Tangannya yang gemetar menyentuh sudut bibir Kania. Istrinya itu tidak terganggu dengan sentuhannya dan masih tetap lelap. Itu memberikan dorongan padanya untuk menggerakkan ibu jarinya di sepanjang bibir ranum itu. Ia menahan napas tatkala sensasi kenyal itu bersentuhan dengan kulit ibu jarinya. "Kania," bisiknya lirih. Ia menggeser tubuhnya, turun dari kursi yang ia duduki dan berjongkok di samping wajah Kania. Jaraknya dengan wajah Kania hanya tersisa beberapa inci saja. Hatinya pun tergoda untuk sekedar menempelkan bibirnya ke bibir Kania. Hanya sebentar, pikirnya. Namun, ketika bibir mereka bertemu, akal sehatnya seakan mati. Al
Aldebaran membawa Kania menjenguk ayahnya. Ia merasa bersyukur karena operasinya berjalan dengan lancar, hanya menunggu pemulihan sampai ayahnya bisa dinyatakan benar-benar sehat, baru bisa dibawa ke ruang perawatan biasa. Di depan ruang perawatan intensif sudah berkumpul semua keluarga dan sahabat-sahabat ayahnya. Ia menyalami mereka satu per satu. Dahinya mengerut heran ketika menyadari ada satu yang kurang. Salah seorang sahabat ayahnya tidak tampak ada di sana, tapi ia tidak bertanya kemana gerangan perginya Om Azka. Yah, mungkin saja sahabat ayahnya itu sedang sibuk dengan urusan perusahaan karena Om Azka menjadi kuasa hukum yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan surat-surat dan perjanjian penting di perusahaan milik keluarganya. Aldebaran menghampiri sang bunda, lalu memeluk dan mencium bundanya itu. "Bunda sudah makan?""Sudah," jawab sang bunda sambil melirik ke sampingnya. Ia tersenyum kepada menantunya yang terus memeluk lengan Aldebaran dengan erat. "Gimana kondi
Aldebaran harus menghadiri rapat direksi yang diadakan rutin setiap bulan di perusahaan. Ia hadir bersama Kania tentu saja. Tak peduli berapa banyak yang menggunjing atau menilai dirinya terlalu memanjakan Kania, ia tetap akan membawa istrinya itu ke mana pun ia pergi. Apalagi dalam kondisi istrinya yang sedang hamil saat ini. Setidaknya apa pun pendapat buruk mengenai dirinya dan Kania tidak sampai ke telinganya langsung.Meri sudah menyiapkan sebuah meja dan kursi tambahan untuk Kania. Letaknya persis di tempat Aldebaran duduk nanti. Pekerjaan Meri juga sudah jauh lebih bagus dibanding sebelumnya. Dia bahkan sudah menguasai beberapa ilmu dasar untuk pertahanan diri seperti: menembak, bermain pisau, menyamar, dan karate.Sepertinya para asisten Aldebaran yang lain benar-benar mendidik Meri dengan keras hingga saat ini postur dan cara jalan Meri lun sudah berubah, jauh lebih tegak dan gagah dibanding sebelumnya. Selain itu, Meri pun sudah lebih memahami ritme bekerja dengan keluarga B
Setelah kurang lebih satu bulan lamanya Alde melakukan pembicaraan dari hati ke hati bersama Kania mengenai bayi, akhirnya ia berhasil membujuk istrinya itu untuk melakukan USG. Ia sengaja tidak melakukan tes urine karena sudah merasa yakin bahwa istrinya itu hamil. Selain fakta bahwa Kania tidak pernah lagi mendapatkan menstruasi, juga beberapa tanda lain yang Kania alami seperti morning sick dan ngidam. Pemeriksaan itu tidak dilakukan di rumah sakit, tetapi, ayah Alde yang datang ke pulau membawa USG portabel untuk memeriksa Kania. Ternyata usia kehamilan Kania sudah 13 Minggu. "Sudah bisa dilakukan tes NIPT ini," ujar ayah Alde sambil memeriksa layar yang menampilkan calon cucunya itu. "Tes apa itu, Ayah?""Itu pemeriksaan materi genetik untuk melihat kalau-kalau ada kelainan bawaan janin yang bersifat genetik. Dari sana juga sudah bisa diketahui jenis kelamin calon cucu Ayah ini.""Benarkah? Canggih sekali." Aldebaran berkata takjub sambil menatap layar hitam putih di samping
Aldebaran kembali ke kamar setelah menyiapkan air hangat untuk berendam dirinya dan Kania. Ia menghampiri buntalan selimut di atas tempat tidur, lalu menyingkap selimut itu dan melemparnya ke lantai. Kedua sudut mulutnya terangkat, membentuk seringai geli."Kenapa sembunyi di dalam selimut begini?" Ia naik ke atas tempat tidur, lalu membungkuk di atas Kania yang menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. "Jangan ditutup, dong, cantiknya jadi nggak kelihatan."Kania menolak ketika Aldebaran berusaha membuka telapak tangan yang menutupi wajahnya. Ia sangat malu hingga rasanya tak sanggup untuk sekedar bertatapan dengan Aldebaran. Apalagi dengan kondisi tak berbusana seperti saat itu. "Kenapa harus malu? Aku sudah terbiasa melihatmu begini, kan? Hampir setiap hari pun aku yang memandikan kamu."Kania terhenyak. Hampir setiap hari? Benarkah? Ia pun mencoba mengingat lagi memorinya bersama Aldebaran selama beberapa waktu belakangan ini. Dan ada sekilas bayangan saat dirinya dimandika
Rasa tidak nyaman yang seolah mengaduk isi perutnya membuat Kania terbangun. Ia langsung duduk di tepi tempat tidur dengan tangan menutup mulut. Saat, hendak berlari ke kamar mandi barulah ia sadar bahwa dirinya berada di tempat yang asing.Seketika ia terdiam. Ia meneliti lagi setiap sudut kamar itu dan ia memang tidak mengenali ruangan bernuansa coklat dengan semua furniture yang terbuat dari kayu yang di-coating dengan waena bening hingga tekstur asli kayu masih tetap terlihat jelas. Lalu, tatapannya Kania jatuh ke atas tempat tidur. Ia merasa lega karena debaran ada di sana. Setidaknya, meski dirinya berada di tempat asing, tetap ada Aldebaran di sana. Semua rasa tidak nyaman pada perutnya perlahan menghilang berganti dengan rasa was-was. Ia tak tahu mengapa dirinya dan Aldebaran sampai bisa berada di sana. Apakah mereka diculik atau .... Ahh, entah, kepala Kania terlalu berkunang-kunang hingga ia tak mampu berpikir. Ia pun langsung kembali naik tempat tidur dan meringkuk di sam
Aldebaran membongkar kulkas di rumah kakak sulungnya, mencari bahan-bahan untuk membuat rujak manis. Ia hanya menemukan anggur, jeruk, dan pisang. Lalu, sambil membuang napas dengan keras ia membawa semua buah itu ke kamar."Hanya ada ini. Kau mau yang mana?"Kania melipat lengan di depan dada dengan raut dongkol. Ia sendiri tak tahu mengapa minat Alde tidak serius mencarikan rujak buah untuknya bisa membuat hatinya luar biasa sakit. Air matanya yang sudah mengering pun kembali menetes ke pipi. Kali ini diikuti oleh isak pilu, membuat siapa saja yang mendengar pasti merasa iba.Aldebaran meletakkan keranjang buah di tangannya ke atas meja, lalu berjongkok di hadapan Kania. "Aku harus cari ke mana rujak itu malam-malam begini?""Tidak tahu!""Aku janji besok pasti aku belikan itu untukmu."Kania melengos, tak mau menatap wajah Aldebaran yang terlihat makin menyebalkan saat itu. Pura-pura memelas untuk menarik simpatinya. Jangan harap! batinnya keji. "Sayang—""Pelit." Kania memotong u
"Berapa orang yang mati?"Aldebaran menjawab pertanyaan kakak sulungnya hanya dengan mengangkat kedua bahunya. Ia datang untuk menjemput istrinya. "Apa kau tidak berhasil membunuh satu pun?""Ohh, diamlah, Kak." Aldebaran langsung menghempaskan tubuhnya di sofa panjang sambil merentangkan tangan. "Aku lelah sekali." Namun, sebelum ia bisa mengatur napas agar lebih rileks, kakak sulungnya itu sudah berdiri di hadapannya sambil mencekik lehernya. "Aku bertanya baik-baik! Jadi, jawablah dengan baik juga!"Aldebaran menarik lepas tangan kakaknya itu dari lehernya. "Apaan, sih, main cekik aja.!?" "Jawab dulu atau kupatahkan lehermu!" Aldebaran mendesah. Kakak sulungnya yang super dingin itu masih belum berubah juga meski sudah mempunyai istri. Meski tubuhnya ramping dan tidak lebih tinggi dari dirinya, tapi soal kekuatan, ia masih kalah jauh bila dibanding Aleron Blackstone. "Oke, aku jelasin detail, tapi nggak ada segelas air minum dulu, nih?" Aldebaran mengusap lehernya yang baru sa
Mobil sewaan Raden telah tiba di pelabuhan. Ia tersenyum puas melihat Katerine sudah siap berangkat. Rencananya berjalan dengan mulus. Ia akan segera pergi meninggalkan negara dengan segala permasalahan yang ada. Setelah Aldebaran menyabotase semua peluang bisnisnya, ia mengalami kebangkrutan dengan banyak utang yang melilit. Belum lagi kematian putranya dengan cara mengenaskan, tapi tidak ada satu pun pihak berwajib yang mampu mengusut tuntas masalah itu. Padahal, ia pun langsung tahu siapa pelakunya. Akan tetapi, tanpa bayaran yang cukup besar dan koneksi kuat, ia tak bisa melanjutkan penyelidikan terhadap kasus itu. Berbagai upaya balas dendam yang ia lakukan untuk menghancurkan Aldebaran pun tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Pembunuh bayaran yang ia sewa untuk menembak dengan racun Aldebaran berhasil ditangkap dengan mudah oleh para pengawal pribadi Blackstone. Dan berbagai upaya lain yang juga tak membuahkan hasil.Setelah semua kegagalan itu, Raden pun terus mencari tahu d
"Siapa namamu?" Aldebaran bertanya sebelum pergi."Ardian.""Oke. Laksanakan tugasmu sekarang!"Setelah mengatakan itu, Aldebaran mencari tempat yang tepat untuk bersembunyi sambil mengamati situasi. Ia tidak mau terlalu jauh dari Ardian, paling tidak sampai dirinya bisa mendengar semua percakapan Ardian dengan temannya. "Dari mana saja kau?" Teman Ardian bertanya."Ke kamar kecil sambil menyeret wanita itu ke tempat yang lebih aman."Teman Ardian menoleh ke tempat Aldebaran tadi digeletakkan, lalu menatap Ardian heran. "Untuk apa repot-repot begitu?""Angin berembus kencang, kalau dia mati kedinginan, gajiku tidak akan cair.""Ahh, kau benar juga." Teman Ardian menyetujui. "Aku bahkan tidak berpikir sampai sana. Tuan Raden pasti marah kalau tahu targetnya mati sebelum laku mahal.""Itulah, kita harus menjaganya dengan baik sampai semua beres." Ardian mengedarkan pandangan ke segala arah berpura-pura sedang meneliti kondisi di sana, padahal ia sedang mencari tahu di mana kapal yang d
Suasana pelabuhan malam itu terasa mencekam. Semua berada di posisi masing-masing menunggu aba-aba dan perintah untuk bergerak. Aldebaran pun menunggu sampai instruksi dari ayahnya untuk bergerak. Dan selama itu, dirinya hanya bisa diam tak bergerak terbungkus selimut dengan wajah menekuk ke bawah. Ia sengaja melakukan itu agar tidak ada yang curiga bahwa dirinya bukanlah Kania.Setelah memperkirakan rencana Raden, ia langsung menghubungi saudara kembarnya dan memintanya datang ke pulau. Karena korban yang sedang Raden incar bukanlah dirinya, melainkan Kania. Raden tahu titik kelemahan Aldebaran ada pada Kania. Jadi, untuk menghancurkan dirinya, Raden tidak perlu langsung berurusan dengannya, cukup ambil Kania darinya dan ia akan hancur. Raden membuat jadwal keberangkatan palsu malam kemarin untuk menarik perhatian Aldebaran dan semua pengawalnya. Dan ketika semua perhatian pengawal Blackstone tertuju ke pelabuhan untuk misi penangkapan, Raden justru melakukan hal yang berbeda. Dia m