"Bunda makan, ya, dikit-dikit aja." Alde membujuk sang bunda agar mau menyentuh makanannya sambil sesekali menyuapi istrinya yang seperti biasa, hanya diam sambil melamun. Siang tadi, ketika terlalu larut dalam kesedihan akan kondisi ayahnya, ia sampai lupa untuk meminumkan obat Kania. Padahal, dokter sudah berpesan agar Kania tidak sampai melewatkan obatnya. Akan tetapi, pikirannya yang terpecah membuatnya lalai. Dalam hatinya pun berjanji untuk tidak mengulangi hal itu. Bagaimanapun dirinya harus tetap bisa seimbang mengurus Kania, ibunya, dan yang lain. Aldebaran meletakkan sendok untuk menyuapi Kania, lalu mengambil sendok yang ada di piring bundanya. Ia menyendok sedikit bubur ayam itu, lalu mengarahkan sendok itu ke mulut sang bunda. "Kalau Bunda mau Ayah bisa cepat pulih, Bunda harus bisa jaga diri dan kesehatan supaya Ayah juga bisa tenang."Carmila tidak menjawab. Ia tetap menangis dalam diam sambil mengatupkan kedua tangan di depan dadanya. Hatinya terasa remuk melihat sua
Aldebaran mengamati Kania yang sudah pulas. Ia menekan ludah dengan susah payah tatkala tatapannya berhenti pada bibir merekah Kania yang sedikit terbuka. Sudah bertahun-tahun lalu dirinya menginginkan bibir itu, merasakan lembut dan manisnya, tetapi kini, ketika Kania akhirnya menjadi miliknya, ia tak kunjung bisa mengklaim itu sebagai miliknya juga. Tangannya yang gemetar menyentuh sudut bibir Kania. Istrinya itu tidak terganggu dengan sentuhannya dan masih tetap lelap. Itu memberikan dorongan padanya untuk menggerakkan ibu jarinya di sepanjang bibir ranum itu. Ia menahan napas tatkala sensasi kenyal itu bersentuhan dengan kulit ibu jarinya. "Kania," bisiknya lirih. Ia menggeser tubuhnya, turun dari kursi yang ia duduki dan berjongkok di samping wajah Kania. Jaraknya dengan wajah Kania hanya tersisa beberapa inci saja. Hatinya pun tergoda untuk sekedar menempelkan bibirnya ke bibir Kania. Hanya sebentar, pikirnya. Namun, ketika bibir mereka bertemu, akal sehatnya seakan mati. Al
Aldebaran membawa Kania menjenguk ayahnya. Ia merasa bersyukur karena operasinya berjalan dengan lancar, hanya menunggu pemulihan sampai ayahnya bisa dinyatakan benar-benar sehat, baru bisa dibawa ke ruang perawatan biasa. Di depan ruang perawatan intensif sudah berkumpul semua keluarga dan sahabat-sahabat ayahnya. Ia menyalami mereka satu per satu. Dahinya mengerut heran ketika menyadari ada satu yang kurang. Salah seorang sahabat ayahnya tidak tampak ada di sana, tapi ia tidak bertanya kemana gerangan perginya Om Azka. Yah, mungkin saja sahabat ayahnya itu sedang sibuk dengan urusan perusahaan karena Om Azka menjadi kuasa hukum yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan surat-surat dan perjanjian penting di perusahaan milik keluarganya. Aldebaran menghampiri sang bunda, lalu memeluk dan mencium bundanya itu. "Bunda sudah makan?""Sudah," jawab sang bunda sambil melirik ke sampingnya. Ia tersenyum kepada menantunya yang terus memeluk lengan Aldebaran dengan erat. "Gimana kondi
"Ayah." Aldebaran memijat pangkal hidungnya untuk meredakan penat yang ia rasakan. Malam sudah larut, tetapi ia masih berada di perusahaan bersama dengan Kania. Ia memang memiliki ruang istirahat di samping kantornya. Dulu, dirinya sering lembur hingga malas untuk pulang hingga akhirnya membuat sebuah kamar di samping ruang kerjanya di perusahaan.Kania sudah lelap di kamar, sementara Alde masih duduk di depan meja kerjanya. Tadi, dirinya sudah mengadakan pertemuan dengan jajaran direksi di perusahaannya untuk membahas masalah yang ada. Sebagian dari mereka mengusulkan agar dirinya memberikan penawaran lebih tinggi kepada perusahaan yang memutuskan untuk tidak memperpanjang masa kerja sama dengannya. Sementara sebagian lagi, berpendapat bahwa harga yang mereka tawarkan selama ini sudah jauh lebih tinggi dari perusahaan lain.Akhirnya Aldebaran mengambil satu keputusan yang cukup berat untuk dilakukan. Dirinya akan membuka perusahaan sendiri yang bergerak di bidang jasa pembangunan da
Aldebaran masuk dengan langkah percaya diri ke dalam ruang kerja salah satu rekannya dulu. "Selamat siang, Brad.""Siang." Pria yang disapa Brad itu terlihat gugup dan gelisah di tempat duduknya seakan tidak dengan penglihatannya sendiri. Aldebaran datang sendiri ke kantornya setelah kemarin ia mengirim utusan untuk menemui asisten pribadi lelaki itu, menyampaikan bahwa perusahannya tidak akan melanjutkan kontrak perjanjian kerja sama setelah masanya berakhir minggu depan.Sebenarnya ia tidak benar-benar ingin mengakhiri perjanjian itu, tetapi salah seorang koleganya mengatakan bahwa seharusnya perusahaan Blackstone bisa memberikan harga yang lebih pantas dari yang sudah ada. Jika tidak, dia harus bisa membuat Aldebaran berpikir untuk memberikan kenaikan itu. Salah satu caranya adalah dengan berpura-pura memutuskan hubungan kerja. Awalnya, ia menolak karena yakin bahwa cara itu tidak akan membuat Aldebaran mengemis kerja sama dengannya, tetapi rekannya itu akhirnya mengusulkan satu h
Raden Mangkubumi menerima kedatangan Aldebaran dengan tangan terbuka. Pria paruh baya itu berdiri, lalu menghampiri Alde yang berdiri di tengah ruang kerjanya. "Blackstone, suatu kebanggan bisa menerima kunjungan darimu." Raden Mangkubumi menyalami Alde, lali mempersilakan pemuda itu untuk duduk di sofa ruang kerjanya. "Kau mau minum kopi atau teh?""Tidak perlu repot." Aldebaran menjawab kaki.""Sama sekali tidak repot. Ahh, aku punya kopi terbaik yang diproses secara tradisional dan tanpa campuran apa pun. Kau harus mencobanya." Raden Mangkubumi langsung menghubungi sekretarisnya melalui interkom di meja samping sofa dan memesan dua cangkir kopi dan makanan ringan. "Sebenarnya saya tidak akan lama." Aldebaran menarik napas panjang, lalu menjelaskan maksud kedatangannya. "Saya hanya ingin menyerahkan dokumen yang Anda kirim kemari. Saya sudah menandatanganinya." Alde menyerahkan sebuah map coklat besar ke hadapan Raden Mangkubumi. "Saya sengaja datang sendiri sekaligus untuk mengu
Kania terus tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya yang putih. Sebetulnya ada sesuatu yang sedikit menganggu pikirannya, tetapi rasa bahagia yang seolah terus meluap dari dalam dadanya membuat hal menganggu itu membuatnya teralihkan. Sikap Aldebaran sedikit berbeda hari itu. Dia tetap menjaganya, berjalan di sampingnya, dan membantunya saat dibutuhkan, tetapi dia sedikit menjaga jarak darinya. Bahkan, dia tidak menanggapi ocehannya seperti biasa. Bisa dibilang, hari itu sosok Aldebaran lebih mirip orang lain. "Apa Anda mau minum?" Seorang wanita muda berparas cantik bertanya kepada Kania yang terlihat menikmati perjalanan laut menggunakan perahu motor itu. "Minum?" Kania mengerutkan dahinya heran. "Kenapa harus minum?" Ia bertanya dengan sedikit kethus, tetapi perempuan itu tetap menampilkan senyum lembut yang menenangkan ke arahnya. "Karena sejak tadi Anda belum banyak minum, makanya saya menawarkan itu." Wanita itu mengayunkan botol air mineral di tangannya ke arah
Ponsel Aldebaran tidak berhenti berdering. Bukan hanya ponselnya, tetapi hampir semua telepon yang ada di kantornya pun berdering. Ia tahu mengapa semua itu terjadi dan sudah memberikan instruksi yang jelas kepada semua pegawai untuk tidak menerima panggilan itu. Di depan kantornya pun beberapa wartawan dari media yang ingin mengorek berita mengenai keputusan besarnya sudah berkerumun. Akan tetapi, dirinya tidak ada niatan untuk menemui para wartawan itu. Ia hanya duduk manis di dalam ruang kerjanya, menunggu kedatangan orang-orang terpercayanya sambil memikirkan langkah apa saja yang akan ia lakukan. Di hadapannya ada laptop yang menyala, menampilkan berita terbaru 'Bisnis Kita' hari ini. Ia tidak membaca ulang berita yang isinya sudah ia hafal di luar kepala itu. Dirinya lebih tertarik pada kolom komentar yang terus bergerak karena ada komentar-komentar baru yang masuk. Komentar-komentar itu tidaklah penting sebetulnya karena itu hanya dari para netizen atau pengusaha kecil yang