Aldebaran masuk dengan langkah percaya diri ke dalam ruang kerja salah satu rekannya dulu. "Selamat siang, Brad.""Siang." Pria yang disapa Brad itu terlihat gugup dan gelisah di tempat duduknya seakan tidak dengan penglihatannya sendiri. Aldebaran datang sendiri ke kantornya setelah kemarin ia mengirim utusan untuk menemui asisten pribadi lelaki itu, menyampaikan bahwa perusahannya tidak akan melanjutkan kontrak perjanjian kerja sama setelah masanya berakhir minggu depan.Sebenarnya ia tidak benar-benar ingin mengakhiri perjanjian itu, tetapi salah seorang koleganya mengatakan bahwa seharusnya perusahaan Blackstone bisa memberikan harga yang lebih pantas dari yang sudah ada. Jika tidak, dia harus bisa membuat Aldebaran berpikir untuk memberikan kenaikan itu. Salah satu caranya adalah dengan berpura-pura memutuskan hubungan kerja. Awalnya, ia menolak karena yakin bahwa cara itu tidak akan membuat Aldebaran mengemis kerja sama dengannya, tetapi rekannya itu akhirnya mengusulkan satu h
Raden Mangkubumi menerima kedatangan Aldebaran dengan tangan terbuka. Pria paruh baya itu berdiri, lalu menghampiri Alde yang berdiri di tengah ruang kerjanya. "Blackstone, suatu kebanggan bisa menerima kunjungan darimu." Raden Mangkubumi menyalami Alde, lali mempersilakan pemuda itu untuk duduk di sofa ruang kerjanya. "Kau mau minum kopi atau teh?""Tidak perlu repot." Aldebaran menjawab kaki.""Sama sekali tidak repot. Ahh, aku punya kopi terbaik yang diproses secara tradisional dan tanpa campuran apa pun. Kau harus mencobanya." Raden Mangkubumi langsung menghubungi sekretarisnya melalui interkom di meja samping sofa dan memesan dua cangkir kopi dan makanan ringan. "Sebenarnya saya tidak akan lama." Aldebaran menarik napas panjang, lalu menjelaskan maksud kedatangannya. "Saya hanya ingin menyerahkan dokumen yang Anda kirim kemari. Saya sudah menandatanganinya." Alde menyerahkan sebuah map coklat besar ke hadapan Raden Mangkubumi. "Saya sengaja datang sendiri sekaligus untuk mengu
Kania terus tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya yang putih. Sebetulnya ada sesuatu yang sedikit menganggu pikirannya, tetapi rasa bahagia yang seolah terus meluap dari dalam dadanya membuat hal menganggu itu membuatnya teralihkan. Sikap Aldebaran sedikit berbeda hari itu. Dia tetap menjaganya, berjalan di sampingnya, dan membantunya saat dibutuhkan, tetapi dia sedikit menjaga jarak darinya. Bahkan, dia tidak menanggapi ocehannya seperti biasa. Bisa dibilang, hari itu sosok Aldebaran lebih mirip orang lain. "Apa Anda mau minum?" Seorang wanita muda berparas cantik bertanya kepada Kania yang terlihat menikmati perjalanan laut menggunakan perahu motor itu. "Minum?" Kania mengerutkan dahinya heran. "Kenapa harus minum?" Ia bertanya dengan sedikit kethus, tetapi perempuan itu tetap menampilkan senyum lembut yang menenangkan ke arahnya. "Karena sejak tadi Anda belum banyak minum, makanya saya menawarkan itu." Wanita itu mengayunkan botol air mineral di tangannya ke arah
Ponsel Aldebaran tidak berhenti berdering. Bukan hanya ponselnya, tetapi hampir semua telepon yang ada di kantornya pun berdering. Ia tahu mengapa semua itu terjadi dan sudah memberikan instruksi yang jelas kepada semua pegawai untuk tidak menerima panggilan itu. Di depan kantornya pun beberapa wartawan dari media yang ingin mengorek berita mengenai keputusan besarnya sudah berkerumun. Akan tetapi, dirinya tidak ada niatan untuk menemui para wartawan itu. Ia hanya duduk manis di dalam ruang kerjanya, menunggu kedatangan orang-orang terpercayanya sambil memikirkan langkah apa saja yang akan ia lakukan. Di hadapannya ada laptop yang menyala, menampilkan berita terbaru 'Bisnis Kita' hari ini. Ia tidak membaca ulang berita yang isinya sudah ia hafal di luar kepala itu. Dirinya lebih tertarik pada kolom komentar yang terus bergerak karena ada komentar-komentar baru yang masuk. Komentar-komentar itu tidaklah penting sebetulnya karena itu hanya dari para netizen atau pengusaha kecil yang
"Dia tiba-tiba menangis tak jelas dan selalu melotot padaku!"Aldebaran tergelak mendengar keluhan saudara kembarnya. "Aku minta maaf soal itu. Kondisi mentalnya memang sedang tidak stabil. Jadi, sering mengalami mood swing secara drastis. Apalagi, ketika efek obat mulai pudar dan terlambat meminum obat selanjutnya.""Yah, aku tahu. Beruntung ada Lila di sini, jadi, di saat seperti itu dia yang bisa menangani istrimu itu.""Lila?" Aldebaran bertanya heran. "Siapa dia?""Ahh, ya, aku belum memberitahu kalau Oma Marisa sedang ada seminar, jadi tidak bisa menemani ke pulau. Jadi, aku mencari tenaga lain. Lila dulunya seorang shadow untuk anak berkebutuhan khusus. Yah, meski bukan pakar kejiwaan, tapi setidaknya dia memiliki kesabaran dan pengalaman dengan hal yang hampir mirip."Alde mendesah. "Semoga dia tidak kesulitan dengan istriku.""Tidak. Dia cekatan dan telaten mengurus istrimu. Dia sabar dan ahli mengurus rumah juga. Dan yang lebih penting dari itu, masakannya enak. Hahaha.""Se
"Tolong ampuni saya." Pria di samping Aldebaran itu berkata dengan nada memohon, tapi ketika Aldebaran hanya diam tak merespon ucapannya, ia lun mendesah pasrah. Awalnya, ia menerima pekerjaan itu karena ia pikir lawannya hanya seorang pengusaha yang cemen dan tukang perintah. Orang yang membayarnya tidak memberitahukan informasi detail mengenai sosok yang harus ia habisi malam ini. Akan tetapi, setelah dirinya berhadapan langsung dengan orang yang seharusnya ia lenyapkan nyawanya, yang terjadi justru sebaliknya, nyawanya yang terancam. Bahkan, keluarganya pun terancam. "Jangan keluarga saya," ujarnya lemah. "Anda bisa menghabisi saya, tapi sebelum itu biarkan saya bertemu dengan bayi dan istri saya untuk yang terakhir kalinya. Dia menderita penyakit jantung bawaan sejak lahir dan harus segera menjalani operasi, tetapi itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk itulah saya bersedia menerima tawaran ini.""Apa pekerjaanmu sebelum ini?" Aldebaran bertanya dengan nada dingin."Sopi
Aldebaran mendorong pintu besi itu sedikit, lalu menyelipkan tubuhnya ke samping agar bisa masuk. Ruangan di dalamnya gelap gulita. Hanya ada satu bahaya kecil di sudut bangunan, sedikit jauh di belakang. Ia melangkah pelan menghampiri cahaya itu. Langkah kakinya menggema di ruangan dengan lantai berdebu itu. Matanya cukup jeli untuk melihat dalam gelap hingga ia tak perlu menyalakan senter agar bisa melihat sekitar. Dari tempatnya, Alde bisa melihat sosok tubuh yang duduk di kursi kayu reyot dengan kepala dibaringkan di atas meja. Cahaya kecil yang menerangi di tempat itu ternyata berasal dari sebuah senter LED kecil yang digantungkan pada paku di dinding. Sepertinya lelaki itu sedang tertidur pulas karena ia bahkan tak mendengar ketika Aldebaran mendekat. Di samping kepala lelaki itu berserakan botol anggur murahan yang sudah kosong. Itu menjelaskan mengapa dia menyewa seorang yang belum berpengalaman untuk melakukan tindak kejahatan untuk mengintai dirinya. Aldebaran menendang
Meri berdiri dengan tubuh sedikit gemetar saat berhadapan dengan orang-orang kepercayaan Aldebaran Blackstone."Ini Om Bian, Om Damian, dan Om Tristan." Aldebaran memperkenalkan orang-orang kepercayaan ayahnya kepada Meri. "Mereka akan membimbing dirimu dengan baik karena ke depannya, kau yang akan menggantikan sebagain dari tugas mereka.""Sa-saya?" Meri mendongak, menatap Alde dengan mata membelalak lebar. Ia sungguh tidak menyangka bahwa dirinya akan ditempatkan pada posisi sedemikian penting ketika diminta untuk bekerja pada lelaki itu. Awalnya, dirinya berpikir bahwa dirinya mungkin akan dipekerjakan sebagai office boy atau mungkin mengurus taman. "Ya. Kau." Aldebaran menjawab sambil menepuk pundak Meri dengan keras. "Biasakan berdiri dengan tegak, supaya orang yang melihatmu juga merasa segan. Ia menarik kedua bahu Meri yang terkulai agar lebih tegak. "Penampilan luar sangat menentukan bagaimana orang akan menilaimu.""I-iya." Meri menjawab kikuk. "Oke, sekarang kau akan ikut