"Tolong ampuni saya." Pria di samping Aldebaran itu berkata dengan nada memohon, tapi ketika Aldebaran hanya diam tak merespon ucapannya, ia lun mendesah pasrah. Awalnya, ia menerima pekerjaan itu karena ia pikir lawannya hanya seorang pengusaha yang cemen dan tukang perintah. Orang yang membayarnya tidak memberitahukan informasi detail mengenai sosok yang harus ia habisi malam ini. Akan tetapi, setelah dirinya berhadapan langsung dengan orang yang seharusnya ia lenyapkan nyawanya, yang terjadi justru sebaliknya, nyawanya yang terancam. Bahkan, keluarganya pun terancam. "Jangan keluarga saya," ujarnya lemah. "Anda bisa menghabisi saya, tapi sebelum itu biarkan saya bertemu dengan bayi dan istri saya untuk yang terakhir kalinya. Dia menderita penyakit jantung bawaan sejak lahir dan harus segera menjalani operasi, tetapi itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk itulah saya bersedia menerima tawaran ini.""Apa pekerjaanmu sebelum ini?" Aldebaran bertanya dengan nada dingin."Sopi
Aldebaran mendorong pintu besi itu sedikit, lalu menyelipkan tubuhnya ke samping agar bisa masuk. Ruangan di dalamnya gelap gulita. Hanya ada satu bahaya kecil di sudut bangunan, sedikit jauh di belakang. Ia melangkah pelan menghampiri cahaya itu. Langkah kakinya menggema di ruangan dengan lantai berdebu itu. Matanya cukup jeli untuk melihat dalam gelap hingga ia tak perlu menyalakan senter agar bisa melihat sekitar. Dari tempatnya, Alde bisa melihat sosok tubuh yang duduk di kursi kayu reyot dengan kepala dibaringkan di atas meja. Cahaya kecil yang menerangi di tempat itu ternyata berasal dari sebuah senter LED kecil yang digantungkan pada paku di dinding. Sepertinya lelaki itu sedang tertidur pulas karena ia bahkan tak mendengar ketika Aldebaran mendekat. Di samping kepala lelaki itu berserakan botol anggur murahan yang sudah kosong. Itu menjelaskan mengapa dia menyewa seorang yang belum berpengalaman untuk melakukan tindak kejahatan untuk mengintai dirinya. Aldebaran menendang
Meri berdiri dengan tubuh sedikit gemetar saat berhadapan dengan orang-orang kepercayaan Aldebaran Blackstone."Ini Om Bian, Om Damian, dan Om Tristan." Aldebaran memperkenalkan orang-orang kepercayaan ayahnya kepada Meri. "Mereka akan membimbing dirimu dengan baik karena ke depannya, kau yang akan menggantikan sebagain dari tugas mereka.""Sa-saya?" Meri mendongak, menatap Alde dengan mata membelalak lebar. Ia sungguh tidak menyangka bahwa dirinya akan ditempatkan pada posisi sedemikian penting ketika diminta untuk bekerja pada lelaki itu. Awalnya, dirinya berpikir bahwa dirinya mungkin akan dipekerjakan sebagai office boy atau mungkin mengurus taman. "Ya. Kau." Aldebaran menjawab sambil menepuk pundak Meri dengan keras. "Biasakan berdiri dengan tegak, supaya orang yang melihatmu juga merasa segan. Ia menarik kedua bahu Meri yang terkulai agar lebih tegak. "Penampilan luar sangat menentukan bagaimana orang akan menilaimu.""I-iya." Meri menjawab kikuk. "Oke, sekarang kau akan ikut
Kania mendesah dengan keras. Suasana hatinya benar-benar buruk. Aldebaran tidak lagi peduli padanya seperti biasa. Bahkan, lelaki itu tidak pernah ada lagi saat dirinya bangun tidur atau memandikan dirinya. Semua tugas itu diserahkan kepada Lila. Tangannya memainkan beberapa kapsul di dalam wadah yang diletakkan Lila di atas balas bersama dengan segelas air putih. Setelah meletakkan itu, Lila pamit pergi ke toilet sebentar. Biasanya perempuan itu akan menunggui Kania sampai obat itu habis diminum, tetapi saat itu Kania sedang malas meminum obatnya. Memangnya aku sakit apa sampai harus minum obat sebanyak ini? pikirnya. Ia pun berdiri dengan obat-obat itu berada dalam genggaman tangannya. Kania berdiri di samping jendela. Kepalanya melongok ke luar, lalu melemparkan obat itu ke taman di halaman samping. Dirinya tak peduli pada obat-obat itu. Mari lebih baik daripada diabaikan. Setelah membuang obat-obat itu, Kania berdiri termenung menatap langit tak berbintang malam itu. Seraut wa
Kania memalingkan wajah, menatap ke luar jendela ketika Aldebaran masih sibuk dengan serpihan cangkang kerangnya. Hatinya yang remuk makin remuk akan pengabaian itu. Sekujur tubuhnya terasa kebas, termasuk hatinya. Itu karena ada terlalu banyak emosi yang berkecamuk dalam dadanya, membuatnya bingung. Pikirannya mencoba mencerna semua yang terjadi atau apa yang membuatnya merasa begitu bingung, tetapi yang terjadi justru angin topan seolah menyerang otaknya. Dalam kepalanya ada banyak sekali pasir pantai yang berwarna putih yang berputar membentuk pusaran karena topan itu. Mereka berputar dan terus berputar, membuat kepalanya sakit. Matanya pun tak bisa terus terbuka akibat rasa sakit yang menyerang kepalanya. Kania memejamkan matanya dengan erat sambil memegang kedua sisi kepalanya. Pusing yang menyerang terasa makin menjadi-jadi hingga ia tak kuat lagi menahannya. Ia pun berteriak, menjerit sambil menjambak rambutnya sendiri, berharap itu bisa mengusir angin topan yang terus berpu
Aldebaran hanya bisa tersenyum kecut ketika Kania masih terus tergelak ketika melihat wajahnya. Kali ini bukan hanya Kania yang berani secara terang-terangan menertawakan dirinya, saudara kembarnya pun tertawa melihatnya. "Awas, kau!" Aldebaran mendelik ke arah saudara kembarnya itu. "Hahaha, maaf, tapi kali ini aku setuju dengan istrimu. Kau persis seperti Doraemon sekarang." Aldev menoleh ke arah Lila. "Dia memang mirip Dor—"Aldebaran menendang kaki saudara kembarnya itu dengan keras. "Tutup mulutmu atau aku akan merobeknya dengan pisau.""Wuu, takut." Aldev tergelak makin keras, sementara Lila terlihat syok dan ketakutan mendengar ancaman Aldebaran.Aldebaran mengabaikan ejekan saudara kembarnya itu dengan berpura-pura membetulkan resleting jaket Kania. Pagi itu mereka semua akan kembali ke daratan karena Kania tidak mau ditinggal lagi oleh Alde. Yah, dia tidak secara terang-terangan mengatakan tidak mau ditinggal, tapi setiap Aldebaran berniat pamit, emosi Kania langsung beruba
Sore itu Aldebaran mendapat kabar yang cukup menggembirakan. Ayahnya sudah sepenuhnya sadar dan sudah bisa diajak berkomunikasi. Aldevaro langsung pergi ke rumah sakit begitu mendengar kabar itu, tetapi dirinya tidak karena sore itu dirinya sudah membuat janji dengan dokter yang menangani Kania di Malang .Akhirnya, ia hanya melakukan video call dengan saudaranya dan berkomunikasi dengan ayahnya. Itu cukup mengharukan karena meski kondisinya terlihat begitu buruk, ayahnya tetap memuji semua upayanya untuk mengurus Kania saat ia meminta maaf karena tidak bisa hadir di rumah sakit.Ayahnya belum tahu mengenai gonjang-ganjing yang terjadi di perusahaan. Ia pun sudah mewanti-wanti orang untuk tidak memberitahukan itu kepada ayahnya. Ia hanya ingin ayahnya bisa kembali pulih tanpa perlu direpotkan oleh sesuatu yang bisa membebani pikirannya. Helly Stone mendarat di helipad yang ada di kawasan perumahan miliknya yang ada di Malang. Itu fasilitas di pihak pengembang. Sore itu Alde tidak me
Aldebaran memasukkan lagi ponselnya ke dalam saku. Ia baru saja mendapat kabar bahwa orang-orang kepercayaannya kehilangan jejak Raden Mangkubumi. Padahal, mereka sudah menempatkan beberapa mata-mata di pelabuhan untuk mengawasi pergerakan bajingan tua itu. Aldebaran ingin menangkap basah upaya penyelundupan gadis-gadis lugu tak berdosa yang akan ia kirim ke luar negeri untuk dijadikan pekerja seks di sana. Tentu saja semua gadis itu telah dicicipi oleh Raden sebelum akhirnya dia memutuskan sudah bosan dan membuang para gadis itu. Bedebah! batin Alde marah setiap kali mengingat kejadian yang sudah menimpa Kania. Jadi atau tidaknya Kania menikah dengan Sulthan, dia tidak akan selamat dari kejahatan keluarga Mangkubumi.Alde membuka laptopnya, melihat beberapa gambar dan video yang sudah dikirimkan oleh Meri terkait pengamatan mereka terhadap Raden. Ternyata, Raden tidak bekerja sendiri. Ada bantuan dari pejabat berwenang hingga semua aksinya itu selalu berjalan mulus tanpa ada yang me
Aldebaran harus menghadiri rapat direksi yang diadakan rutin setiap bulan di perusahaan. Ia hadir bersama Kania tentu saja. Tak peduli berapa banyak yang menggunjing atau menilai dirinya terlalu memanjakan Kania, ia tetap akan membawa istrinya itu ke mana pun ia pergi. Apalagi dalam kondisi istrinya yang sedang hamil saat ini. Setidaknya apa pun pendapat buruk mengenai dirinya dan Kania tidak sampai ke telinganya langsung.Meri sudah menyiapkan sebuah meja dan kursi tambahan untuk Kania. Letaknya persis di tempat Aldebaran duduk nanti. Pekerjaan Meri juga sudah jauh lebih bagus dibanding sebelumnya. Dia bahkan sudah menguasai beberapa ilmu dasar untuk pertahanan diri seperti: menembak, bermain pisau, menyamar, dan karate.Sepertinya para asisten Aldebaran yang lain benar-benar mendidik Meri dengan keras hingga saat ini postur dan cara jalan Meri lun sudah berubah, jauh lebih tegak dan gagah dibanding sebelumnya. Selain itu, Meri pun sudah lebih memahami ritme bekerja dengan keluarga B
Setelah kurang lebih satu bulan lamanya Alde melakukan pembicaraan dari hati ke hati bersama Kania mengenai bayi, akhirnya ia berhasil membujuk istrinya itu untuk melakukan USG. Ia sengaja tidak melakukan tes urine karena sudah merasa yakin bahwa istrinya itu hamil. Selain fakta bahwa Kania tidak pernah lagi mendapatkan menstruasi, juga beberapa tanda lain yang Kania alami seperti morning sick dan ngidam. Pemeriksaan itu tidak dilakukan di rumah sakit, tetapi, ayah Alde yang datang ke pulau membawa USG portabel untuk memeriksa Kania. Ternyata usia kehamilan Kania sudah 13 Minggu. "Sudah bisa dilakukan tes NIPT ini," ujar ayah Alde sambil memeriksa layar yang menampilkan calon cucunya itu. "Tes apa itu, Ayah?""Itu pemeriksaan materi genetik untuk melihat kalau-kalau ada kelainan bawaan janin yang bersifat genetik. Dari sana juga sudah bisa diketahui jenis kelamin calon cucu Ayah ini.""Benarkah? Canggih sekali." Aldebaran berkata takjub sambil menatap layar hitam putih di samping
Aldebaran kembali ke kamar setelah menyiapkan air hangat untuk berendam dirinya dan Kania. Ia menghampiri buntalan selimut di atas tempat tidur, lalu menyingkap selimut itu dan melemparnya ke lantai. Kedua sudut mulutnya terangkat, membentuk seringai geli."Kenapa sembunyi di dalam selimut begini?" Ia naik ke atas tempat tidur, lalu membungkuk di atas Kania yang menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. "Jangan ditutup, dong, cantiknya jadi nggak kelihatan."Kania menolak ketika Aldebaran berusaha membuka telapak tangan yang menutupi wajahnya. Ia sangat malu hingga rasanya tak sanggup untuk sekedar bertatapan dengan Aldebaran. Apalagi dengan kondisi tak berbusana seperti saat itu. "Kenapa harus malu? Aku sudah terbiasa melihatmu begini, kan? Hampir setiap hari pun aku yang memandikan kamu."Kania terhenyak. Hampir setiap hari? Benarkah? Ia pun mencoba mengingat lagi memorinya bersama Aldebaran selama beberapa waktu belakangan ini. Dan ada sekilas bayangan saat dirinya dimandika
Rasa tidak nyaman yang seolah mengaduk isi perutnya membuat Kania terbangun. Ia langsung duduk di tepi tempat tidur dengan tangan menutup mulut. Saat, hendak berlari ke kamar mandi barulah ia sadar bahwa dirinya berada di tempat yang asing.Seketika ia terdiam. Ia meneliti lagi setiap sudut kamar itu dan ia memang tidak mengenali ruangan bernuansa coklat dengan semua furniture yang terbuat dari kayu yang di-coating dengan waena bening hingga tekstur asli kayu masih tetap terlihat jelas. Lalu, tatapannya Kania jatuh ke atas tempat tidur. Ia merasa lega karena debaran ada di sana. Setidaknya, meski dirinya berada di tempat asing, tetap ada Aldebaran di sana. Semua rasa tidak nyaman pada perutnya perlahan menghilang berganti dengan rasa was-was. Ia tak tahu mengapa dirinya dan Aldebaran sampai bisa berada di sana. Apakah mereka diculik atau .... Ahh, entah, kepala Kania terlalu berkunang-kunang hingga ia tak mampu berpikir. Ia pun langsung kembali naik tempat tidur dan meringkuk di sam
Aldebaran membongkar kulkas di rumah kakak sulungnya, mencari bahan-bahan untuk membuat rujak manis. Ia hanya menemukan anggur, jeruk, dan pisang. Lalu, sambil membuang napas dengan keras ia membawa semua buah itu ke kamar."Hanya ada ini. Kau mau yang mana?"Kania melipat lengan di depan dada dengan raut dongkol. Ia sendiri tak tahu mengapa minat Alde tidak serius mencarikan rujak buah untuknya bisa membuat hatinya luar biasa sakit. Air matanya yang sudah mengering pun kembali menetes ke pipi. Kali ini diikuti oleh isak pilu, membuat siapa saja yang mendengar pasti merasa iba.Aldebaran meletakkan keranjang buah di tangannya ke atas meja, lalu berjongkok di hadapan Kania. "Aku harus cari ke mana rujak itu malam-malam begini?""Tidak tahu!""Aku janji besok pasti aku belikan itu untukmu."Kania melengos, tak mau menatap wajah Aldebaran yang terlihat makin menyebalkan saat itu. Pura-pura memelas untuk menarik simpatinya. Jangan harap! batinnya keji. "Sayang—""Pelit." Kania memotong u
"Berapa orang yang mati?"Aldebaran menjawab pertanyaan kakak sulungnya hanya dengan mengangkat kedua bahunya. Ia datang untuk menjemput istrinya. "Apa kau tidak berhasil membunuh satu pun?""Ohh, diamlah, Kak." Aldebaran langsung menghempaskan tubuhnya di sofa panjang sambil merentangkan tangan. "Aku lelah sekali." Namun, sebelum ia bisa mengatur napas agar lebih rileks, kakak sulungnya itu sudah berdiri di hadapannya sambil mencekik lehernya. "Aku bertanya baik-baik! Jadi, jawablah dengan baik juga!"Aldebaran menarik lepas tangan kakaknya itu dari lehernya. "Apaan, sih, main cekik aja.!?" "Jawab dulu atau kupatahkan lehermu!" Aldebaran mendesah. Kakak sulungnya yang super dingin itu masih belum berubah juga meski sudah mempunyai istri. Meski tubuhnya ramping dan tidak lebih tinggi dari dirinya, tapi soal kekuatan, ia masih kalah jauh bila dibanding Aleron Blackstone. "Oke, aku jelasin detail, tapi nggak ada segelas air minum dulu, nih?" Aldebaran mengusap lehernya yang baru sa
Mobil sewaan Raden telah tiba di pelabuhan. Ia tersenyum puas melihat Katerine sudah siap berangkat. Rencananya berjalan dengan mulus. Ia akan segera pergi meninggalkan negara dengan segala permasalahan yang ada. Setelah Aldebaran menyabotase semua peluang bisnisnya, ia mengalami kebangkrutan dengan banyak utang yang melilit. Belum lagi kematian putranya dengan cara mengenaskan, tapi tidak ada satu pun pihak berwajib yang mampu mengusut tuntas masalah itu. Padahal, ia pun langsung tahu siapa pelakunya. Akan tetapi, tanpa bayaran yang cukup besar dan koneksi kuat, ia tak bisa melanjutkan penyelidikan terhadap kasus itu. Berbagai upaya balas dendam yang ia lakukan untuk menghancurkan Aldebaran pun tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Pembunuh bayaran yang ia sewa untuk menembak dengan racun Aldebaran berhasil ditangkap dengan mudah oleh para pengawal pribadi Blackstone. Dan berbagai upaya lain yang juga tak membuahkan hasil.Setelah semua kegagalan itu, Raden pun terus mencari tahu d
"Siapa namamu?" Aldebaran bertanya sebelum pergi."Ardian.""Oke. Laksanakan tugasmu sekarang!"Setelah mengatakan itu, Aldebaran mencari tempat yang tepat untuk bersembunyi sambil mengamati situasi. Ia tidak mau terlalu jauh dari Ardian, paling tidak sampai dirinya bisa mendengar semua percakapan Ardian dengan temannya. "Dari mana saja kau?" Teman Ardian bertanya."Ke kamar kecil sambil menyeret wanita itu ke tempat yang lebih aman."Teman Ardian menoleh ke tempat Aldebaran tadi digeletakkan, lalu menatap Ardian heran. "Untuk apa repot-repot begitu?""Angin berembus kencang, kalau dia mati kedinginan, gajiku tidak akan cair.""Ahh, kau benar juga." Teman Ardian menyetujui. "Aku bahkan tidak berpikir sampai sana. Tuan Raden pasti marah kalau tahu targetnya mati sebelum laku mahal.""Itulah, kita harus menjaganya dengan baik sampai semua beres." Ardian mengedarkan pandangan ke segala arah berpura-pura sedang meneliti kondisi di sana, padahal ia sedang mencari tahu di mana kapal yang d
Suasana pelabuhan malam itu terasa mencekam. Semua berada di posisi masing-masing menunggu aba-aba dan perintah untuk bergerak. Aldebaran pun menunggu sampai instruksi dari ayahnya untuk bergerak. Dan selama itu, dirinya hanya bisa diam tak bergerak terbungkus selimut dengan wajah menekuk ke bawah. Ia sengaja melakukan itu agar tidak ada yang curiga bahwa dirinya bukanlah Kania.Setelah memperkirakan rencana Raden, ia langsung menghubungi saudara kembarnya dan memintanya datang ke pulau. Karena korban yang sedang Raden incar bukanlah dirinya, melainkan Kania. Raden tahu titik kelemahan Aldebaran ada pada Kania. Jadi, untuk menghancurkan dirinya, Raden tidak perlu langsung berurusan dengannya, cukup ambil Kania darinya dan ia akan hancur. Raden membuat jadwal keberangkatan palsu malam kemarin untuk menarik perhatian Aldebaran dan semua pengawalnya. Dan ketika semua perhatian pengawal Blackstone tertuju ke pelabuhan untuk misi penangkapan, Raden justru melakukan hal yang berbeda. Dia m