Ponsel Aldebaran tidak berhenti berdering. Bukan hanya ponselnya, tetapi hampir semua telepon yang ada di kantornya pun berdering. Ia tahu mengapa semua itu terjadi dan sudah memberikan instruksi yang jelas kepada semua pegawai untuk tidak menerima panggilan itu. Di depan kantornya pun beberapa wartawan dari media yang ingin mengorek berita mengenai keputusan besarnya sudah berkerumun. Akan tetapi, dirinya tidak ada niatan untuk menemui para wartawan itu. Ia hanya duduk manis di dalam ruang kerjanya, menunggu kedatangan orang-orang terpercayanya sambil memikirkan langkah apa saja yang akan ia lakukan. Di hadapannya ada laptop yang menyala, menampilkan berita terbaru 'Bisnis Kita' hari ini. Ia tidak membaca ulang berita yang isinya sudah ia hafal di luar kepala itu. Dirinya lebih tertarik pada kolom komentar yang terus bergerak karena ada komentar-komentar baru yang masuk. Komentar-komentar itu tidaklah penting sebetulnya karena itu hanya dari para netizen atau pengusaha kecil yang
"Dia tiba-tiba menangis tak jelas dan selalu melotot padaku!"Aldebaran tergelak mendengar keluhan saudara kembarnya. "Aku minta maaf soal itu. Kondisi mentalnya memang sedang tidak stabil. Jadi, sering mengalami mood swing secara drastis. Apalagi, ketika efek obat mulai pudar dan terlambat meminum obat selanjutnya.""Yah, aku tahu. Beruntung ada Lila di sini, jadi, di saat seperti itu dia yang bisa menangani istrimu itu.""Lila?" Aldebaran bertanya heran. "Siapa dia?""Ahh, ya, aku belum memberitahu kalau Oma Marisa sedang ada seminar, jadi tidak bisa menemani ke pulau. Jadi, aku mencari tenaga lain. Lila dulunya seorang shadow untuk anak berkebutuhan khusus. Yah, meski bukan pakar kejiwaan, tapi setidaknya dia memiliki kesabaran dan pengalaman dengan hal yang hampir mirip."Alde mendesah. "Semoga dia tidak kesulitan dengan istriku.""Tidak. Dia cekatan dan telaten mengurus istrimu. Dia sabar dan ahli mengurus rumah juga. Dan yang lebih penting dari itu, masakannya enak. Hahaha.""Se
"Tolong ampuni saya." Pria di samping Aldebaran itu berkata dengan nada memohon, tapi ketika Aldebaran hanya diam tak merespon ucapannya, ia lun mendesah pasrah. Awalnya, ia menerima pekerjaan itu karena ia pikir lawannya hanya seorang pengusaha yang cemen dan tukang perintah. Orang yang membayarnya tidak memberitahukan informasi detail mengenai sosok yang harus ia habisi malam ini. Akan tetapi, setelah dirinya berhadapan langsung dengan orang yang seharusnya ia lenyapkan nyawanya, yang terjadi justru sebaliknya, nyawanya yang terancam. Bahkan, keluarganya pun terancam. "Jangan keluarga saya," ujarnya lemah. "Anda bisa menghabisi saya, tapi sebelum itu biarkan saya bertemu dengan bayi dan istri saya untuk yang terakhir kalinya. Dia menderita penyakit jantung bawaan sejak lahir dan harus segera menjalani operasi, tetapi itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk itulah saya bersedia menerima tawaran ini.""Apa pekerjaanmu sebelum ini?" Aldebaran bertanya dengan nada dingin."Sopi
Aldebaran mendorong pintu besi itu sedikit, lalu menyelipkan tubuhnya ke samping agar bisa masuk. Ruangan di dalamnya gelap gulita. Hanya ada satu bahaya kecil di sudut bangunan, sedikit jauh di belakang. Ia melangkah pelan menghampiri cahaya itu. Langkah kakinya menggema di ruangan dengan lantai berdebu itu. Matanya cukup jeli untuk melihat dalam gelap hingga ia tak perlu menyalakan senter agar bisa melihat sekitar. Dari tempatnya, Alde bisa melihat sosok tubuh yang duduk di kursi kayu reyot dengan kepala dibaringkan di atas meja. Cahaya kecil yang menerangi di tempat itu ternyata berasal dari sebuah senter LED kecil yang digantungkan pada paku di dinding. Sepertinya lelaki itu sedang tertidur pulas karena ia bahkan tak mendengar ketika Aldebaran mendekat. Di samping kepala lelaki itu berserakan botol anggur murahan yang sudah kosong. Itu menjelaskan mengapa dia menyewa seorang yang belum berpengalaman untuk melakukan tindak kejahatan untuk mengintai dirinya. Aldebaran menendang
Meri berdiri dengan tubuh sedikit gemetar saat berhadapan dengan orang-orang kepercayaan Aldebaran Blackstone."Ini Om Bian, Om Damian, dan Om Tristan." Aldebaran memperkenalkan orang-orang kepercayaan ayahnya kepada Meri. "Mereka akan membimbing dirimu dengan baik karena ke depannya, kau yang akan menggantikan sebagain dari tugas mereka.""Sa-saya?" Meri mendongak, menatap Alde dengan mata membelalak lebar. Ia sungguh tidak menyangka bahwa dirinya akan ditempatkan pada posisi sedemikian penting ketika diminta untuk bekerja pada lelaki itu. Awalnya, dirinya berpikir bahwa dirinya mungkin akan dipekerjakan sebagai office boy atau mungkin mengurus taman. "Ya. Kau." Aldebaran menjawab sambil menepuk pundak Meri dengan keras. "Biasakan berdiri dengan tegak, supaya orang yang melihatmu juga merasa segan. Ia menarik kedua bahu Meri yang terkulai agar lebih tegak. "Penampilan luar sangat menentukan bagaimana orang akan menilaimu.""I-iya." Meri menjawab kikuk. "Oke, sekarang kau akan ikut
Kania mendesah dengan keras. Suasana hatinya benar-benar buruk. Aldebaran tidak lagi peduli padanya seperti biasa. Bahkan, lelaki itu tidak pernah ada lagi saat dirinya bangun tidur atau memandikan dirinya. Semua tugas itu diserahkan kepada Lila. Tangannya memainkan beberapa kapsul di dalam wadah yang diletakkan Lila di atas balas bersama dengan segelas air putih. Setelah meletakkan itu, Lila pamit pergi ke toilet sebentar. Biasanya perempuan itu akan menunggui Kania sampai obat itu habis diminum, tetapi saat itu Kania sedang malas meminum obatnya. Memangnya aku sakit apa sampai harus minum obat sebanyak ini? pikirnya. Ia pun berdiri dengan obat-obat itu berada dalam genggaman tangannya. Kania berdiri di samping jendela. Kepalanya melongok ke luar, lalu melemparkan obat itu ke taman di halaman samping. Dirinya tak peduli pada obat-obat itu. Mari lebih baik daripada diabaikan. Setelah membuang obat-obat itu, Kania berdiri termenung menatap langit tak berbintang malam itu. Seraut wa
Kania memalingkan wajah, menatap ke luar jendela ketika Aldebaran masih sibuk dengan serpihan cangkang kerangnya. Hatinya yang remuk makin remuk akan pengabaian itu. Sekujur tubuhnya terasa kebas, termasuk hatinya. Itu karena ada terlalu banyak emosi yang berkecamuk dalam dadanya, membuatnya bingung. Pikirannya mencoba mencerna semua yang terjadi atau apa yang membuatnya merasa begitu bingung, tetapi yang terjadi justru angin topan seolah menyerang otaknya. Dalam kepalanya ada banyak sekali pasir pantai yang berwarna putih yang berputar membentuk pusaran karena topan itu. Mereka berputar dan terus berputar, membuat kepalanya sakit. Matanya pun tak bisa terus terbuka akibat rasa sakit yang menyerang kepalanya. Kania memejamkan matanya dengan erat sambil memegang kedua sisi kepalanya. Pusing yang menyerang terasa makin menjadi-jadi hingga ia tak kuat lagi menahannya. Ia pun berteriak, menjerit sambil menjambak rambutnya sendiri, berharap itu bisa mengusir angin topan yang terus berpu
Aldebaran hanya bisa tersenyum kecut ketika Kania masih terus tergelak ketika melihat wajahnya. Kali ini bukan hanya Kania yang berani secara terang-terangan menertawakan dirinya, saudara kembarnya pun tertawa melihatnya. "Awas, kau!" Aldebaran mendelik ke arah saudara kembarnya itu. "Hahaha, maaf, tapi kali ini aku setuju dengan istrimu. Kau persis seperti Doraemon sekarang." Aldev menoleh ke arah Lila. "Dia memang mirip Dor—"Aldebaran menendang kaki saudara kembarnya itu dengan keras. "Tutup mulutmu atau aku akan merobeknya dengan pisau.""Wuu, takut." Aldev tergelak makin keras, sementara Lila terlihat syok dan ketakutan mendengar ancaman Aldebaran.Aldebaran mengabaikan ejekan saudara kembarnya itu dengan berpura-pura membetulkan resleting jaket Kania. Pagi itu mereka semua akan kembali ke daratan karena Kania tidak mau ditinggal lagi oleh Alde. Yah, dia tidak secara terang-terangan mengatakan tidak mau ditinggal, tapi setiap Aldebaran berniat pamit, emosi Kania langsung beruba