Agni Gantari, gadis cantik yang hadirnya amat tidak diinginkan oleh sang Ayah karena berjenis kelamin perempuan. Sejak ia lahir, rumah tangga kedua orangtuanya berantakan. Tiada hari tanpa gadis itu melihat pertengkaran kedua orangtuanya. Bahkan, tak jarang ia pun mendapatkan cacian dari ayahnya sendiri. . . Sebutan anak haram, anak pembawa sial seringkali ia dapatkan dari sang ayah. Sosok yang sering disebut sebagai cinta pertama setiap anak perempuan itu tak bisa Agni rasakan sebab kehadirannya yang sangat ditolak oleh sang ayah. Itulah yang akhirnya membuat Agni tumbuh dengan luka mental di dalam dirinya. . . Pertengkaran serta kekerasan kedua orang tuanya yang seringkali ia lihat di dalam rumah membuat Agni menjadi pribadi yang tak mempercayai sebuah hubungan dengan lawan jenis, terutama yang bernama 'Pernikahan'. Baginya, hubungan antara laki-laki dan perempuan hanyalah sebuah omong kosong. Semuanya akan berujung sama seperti kedua orang tuanya. . Namun, lambat laun, Tuhan mengirimkan satu sosok yang akhirnya mematahkan semua mindset serta ketidakpercayaannya pada suatu hubungan. Siapakah dia? Mampukah ia meyakinkan Agni bahwa "Tidak semua hubungan membawa luka?"
view moreSeorang gadis remaja berusia 15 tahun terlihat mengerjapkan matanya perlahan. Hari masih begitu gelap. Namun, keributan sudah mulai terdengar. Ini bukan satu hal asing lagi untuknya. Segala keributan, pertengkaran serta kekacauan sudah menjadi makanan sehari-hari untuknya.
Memutar bola matanya malas, gadis itu menyingkap selimut yang membalut tubuh bagian bawahnya. "Apa mereka tidak lelah setiap hari selalu saja bertengkar seperti ini?" gumam gadis itu meraup wajahnya kasar. "Aku saja lelah mendengarnya. Rasanya, telingaku seperti akan pecah," lanjutnya lagi mengusap kedua telinga.
Kaki mungil itu kemudian turun dari ranjang dan melangkah keluar kamar berniat ingin menghentikan aksi kedua orang tuanya yang bertengkar di tengah malam seperti ini.
Bahkan saat rumah manusia lain tengah aman dan damai sebab para penghuni yang masih berkutat dengan selimut, tenggelam dalam mimpi indah mereka, rumah gadis itu malah gaduh dan ramai oleh suara-suara pertengkaran serta benda-benda yang berjatuhan.
Prang!
Gadis itu tersentak kaget dan mundur beberapa langkah kala suara benda kaca yang dihantam di atas lantai terdengar diiringi dengan pecahan-pecahan kaca yang berserakan kemana-mana. Beberapa bahkan ada yang tertancap di kakinya.
"Teruskan! Banting semua benda yang ada di rumah ini sampai habis tak bersisa!" ucap wanita berusia 38 tahun dengan mata yang menyorot tajam. Setitik bening terlihat mengalir membasahi pipi mulus wanita itu.
"Bahkan, jika saya mau, mungkin kamu pun bisa saya banting hingga hancur seperti pecahan kaca itu!" sahut sang pria menunjuk pecahan beling yang berserakan. Matanya tak kalah tajam menyorot sang wanita.
Kedua manusia yang saling beradu mulut itu adalah Tari dan Bagas. Mereka tak lain adalah kedua orang tua Agni—sang gadis kecil berusia 15 tahun yang kini tengah menyaksikan pertengkaran mereka di ujung tangga.
"Banting dan bunuh saja aku sekalian agar hidupmu puas! Agar tidak ada lagi wanita yang menurutmu cerewet sepertiku. Agar kau bisa bebas bersenang-senang dengan para jalang di luaran sana!" teriak Tari dengan dada yang kembang kempis. Wajahnya merah padam bak kepiting rebus.
"Bunuh saja aku sekalian, Brengsek! Untuk apa kau pertahankan aku jika untuk terus kau hina serta kau siksa batin dan raganya seperti ini!" lanjutnya lagi dengan suara yang bergetar. Emosi dalam dirinya sudah tak mampu lagi ia bendung.
"Kurang ajar! Berani kau menjawab ucapanku?! Baik jika ini yang kau minta ...!"
"Stop!" Agni berteriak kencang, menghentikan sang ayah yang tengah melayangkan tangannya ke atas hendak memukul ibunya. Keduanya kini mengalihkan pandangan ke arah sang gadis yang tengah berdiri tak jauh dari mereka. "Jangan sentuh dan sakiti ibuku!" lanjut gadis kecil itu lagi.
Bagas tersenyum miring dan menunjuk ke arah Tari. "Dia yang memulainya terlebih dahulu! Bertanya ini dan itu dengan cerewet hingga telingaku sakit mendengarnya."
"Aku takkan seperti ini jika bukan karena kamu yang berulah. Selalu pulang malam di luar urusan pekerjaan, minum-minuman keras, berkencan sana-sini dengan berbagai macam perempuan. Dasar tidak tahu malu!"
Plak!
Wajah Tari terdorong ke samping kala tamparan keras mendarat di pipinya.
"Berhenti!" teriak Agni lagi untuk yang kedua kalinya. Ia mulai melangkah mendekat. Sakit pada telapak kakinya yang bahkan kini mulai mengeluarkan darah sama sekali tidak ia hiraukan.
"Kalian berdua sama saja! Apa kalian tidak malu selalu saja ribut dan bertengkar seperti ini? Aku saja lelah dan malu sekali mendengarnya. Tidur malamku selalu saja terganggu karena kalian!"
"Diam kamu anak kecil! Tutup saja telingamu atau pergi dari sini jika kamu merasa terganggu! Persetan dengan segala rasa malu!" sahut Bagas dengan sorot mata yang menatap tajam. Warna merah tergambar nyata di wajahnya.
"Jangan ikut campur sebab kamu tidak mengerti apa-apa! Kami seperti ini juga sebab ulahmu, dasar gadis pembawa sial! Andai saja delapan tahun yang lalu kamu tidak kecelakaan hingga menghabiskan banyak biaya, mungkin saja saat ini ekonomi kita akan baik-baik saja. Aku tak perlu pontang-panting bekerja siang malam hingga berakhir dituduh macam-macam seperti ini bahkan oleh istriku sendiri," imbuh Bagas dengan telunjuk yang terus mengarah ke arah sang gadis kecil.
Boom!
Ucapan sang ayah bagai sebuah bom yang dilemparkan tepat ke arah dadanya hingga mengakibatkan ledakan yang amat dahsyat. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia terluka oleh ucapan orang yang seringkali dianggap sebagai cinta pertama oleh anak perempuan lain di luaran sana. Namun, tidak untuknya.
Delapan tahun yang lalu, Agni memang mengalami kecelakaan mobil kala ia tengah berangkat ke sekolah bersama Aarav—sepupunya, hingga membuat ia koma beberapa waktu dan harus mengalami pengobatan yang cukup panjang. Sedangkan Aarav, ia dinyatakan meninggal di tempat dan si penabrak kabur entah ke mana rimbanya.
Bukan itu sebenarnya landasan utama sang ayah membencinya. Sedari kecil, bahkan sejak ia dilahirkan, kehadirannya tak pernah dianggap oleh keluarga Yudistira—keluarga sang ayah.
Bahkan, oleh ayahnya sendiripun ia tidak dianggap. Sebab, Bagas serta seluruh keluarga besar Yudistira hanya menginginkan kelahiran seorang putra untuk generasi penerus. Namun kenyataannya, Tari malah melahirkan seorang putri.
Meninggalnya Aarav sebagai penerus pertama serta satu-satunya keluarga Yudistira yang meninggal akibat kecelakaan bersama Agni menambah kadar kebencian seluruh keluarga pada gadis itu. Mereka menganggap hadirnya Agni memang membawa malapetaka, kesialan, serta kehancuran keluarga Yudistira.
Hanya ada satu dari keluarga Yudistira yang tidak membencinya. Dia adalah Yudistira, sang kakek. Hanya dia yang bisa memperlakukan Agni sebagai manusia setelah ibunya sendiri.
"Aku bukan menuduhmu. Aku hanya berbicara fakta! Kamu hanya beralasan kerja padahal aslinya kamu bermain dengan para pelacur yang mengobral lubang," ucap Tari berang.
"Lihat?! Lihatlah bagaimana ibumu ini selalu menuduhku dengan berbagai tuduhan?! Seharusnya kamu tahu kalau kamulah penyebab dari semua ini! Ini semua karena ulahmu, Bangsat! Kamu pengacau! Kamu biang kerok! Dasar anak sialan!" racau Bagas melangkah maju beberapa langkah. Tangannya siap mencekik sang gadis kecil yang kini mulai meneteskan air mata.
"Mati saja kamu, Bangsat! Mati saja! Kenapa pula Tuhan tak mencabut nyawamu delapan tahun silam. Kenapa malah Aarav yang meinggal? Kenapa bukan kamu saja? Kenapa?!" ucap Bagas terus mencekik leher sang putri.
Tari berusaha melepas tangan suaminya yang mencekik leher Agni. Tangisnya pecah.
"Lepas! Kamu tidak punya hak apapun untuk membunuhnya!"
"Aku punya hak sebab aku ayahnya!"
"Ayah mana yang dengan sadar tega membunuh anaknya sendiri?"
Tari masih terus berusaha melepas cekalan tangan kekar suaminya yang melingkar di leher Agni.
Sedangkan Agni, ia hanya pasrah. Tak sedikitpun ia berniat membantu sang ibu untuk melepas tangan Bagas yang mencekik lehernya. Ia sudah amat lelah merasakan sakit hati akibat perbuatan dan perkataan sang ayah. Lelah harus hidup di tengah-tengah keluarga yang tidak harmonis. Telinganya jengah setiap hari mendengar pertengkaran yang terjadi di dalam rumah.
Maka, Agni hanya memejamkan matanya. Pasrah. Berharap kematian menjemputnya kali ini.
"Dia bukan anakku! Aku tak punya anak berjenis kelamin perempuan yang selalu saja menyusahkan!"
"Tapi dia anakku, Brengsek! Lepas!"
"Jangan harap aku melepasnya sebelum ia mati!" ujar Bagas makin mempererat cekikan pada leher gadis berusia 15 tahun itu.
Tari kemudian berlari menuju ke arah meja ruang makan yang tak jauh dari tempatnya berdiri, mengambil ponsel dan mengacungkannya kepada Bagas.
"Aku akan telpon Papa sekarang. Akan aku adukan kamu yang berusaha membunuh cucu wanita kesayangannya!"
Ancaman Tari berhasil membuat Bagas melepaskan genggaman tangannya pada leher Agni.
Setelahnya, Bagas berlalu begitu saja dengan wajah yang masih menahan emosi. Sedangkan Tari langsung berlari menghampiri buah hatinya yang kini terduduk lemas dengan bersandar pada dinding tangga. Ia terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya yang memerah.
"Kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya Tari mengecek kondisi buah hatinya dan menemukan bekas tancapan kuku Bagas di leher Agni.
"Pasti cekikan Ayahmu sangat kuat tadi ya, Nak, sampai lehermu tertancap kuku dan berdarah seperti ini." Tari mengusap-usap leher Agni dengan lembut.
Ditariknya Agni ke dalam dekapan hangatnya. "Maafkan Ibu ya, Nak. Maaf ...," ucap Tari.
Air mata langsung luruh membasahi wajah cantik ibu dari satu orang anak itu. Tidak tega melihat anak sekecil itu harus ikut menanggung dan merasakan kesakitan dari kehancuran rumah tangga orang tuanya. Menjadi anak yang tidak diharapkan, serta mengalami berbagai tekanan batin serta fisik dari ayah dan seluruh keluarga ayahnya.
"Ag-ni ti-dak apa-apa ... Bu. Ja-ngan kha-watir," ucap sang gadis kecil itu tersengal-sengal sembari menghapus air mata di wajah sang ibunda.
Semakin dihapus, malah semakin basah pipi Tari sebab air mata yang mengalir semakin deras.
"Ayo kita ke atas. Kita kemasi barang-barang kita dan pergi dari sini, Nak!" ucap Tari menghapus air matanya dan membantu Agni untuk berdiri.
Bagas yang saat itu kembali melangkah hendak keluar rumah seketika menolehkan wajahnya ke arah ke dua wanita di ruang makan.
"Selangkah saja kalian pergi dari rumah ini tanpa berniat kembali, maka akan kupastikan salah satu dari kalian akan menemukan mayat masing-masing. Entah Agni yang akan menemukan mayat ibunya atau malah sang ibu yang akan menemukan mayat sang anak," ucap Bagas dengan ekspresi datarnya.
"Kalian tahu, aku tak pernah main-main dengan ucapanku. Jadi, jangan berani-beraninya kalian mencoba atau ...." Bagas menggerakkan tangannya membentuk garis horizontal lantas melangkah pergi begitu saja meninggalkan Agni dan Tari yang menatap berang pada sosok pria yang perlahan menghilang di balik pintu.
"Ayo, Bu. Kita pergi saja. Aku sudah tidak tahan melihat ibu diperlakukan seperti ini terus oleh Ayah," ujar Agni memohon pada sang ibunda.
Sedangkan Tari, ia hanya diam menatap pintu dengan pandangan mata yang kosong. Bimbang. Apakah ia harus pergi atau menetap. Pandangannya kemudian beralih pada sang putri. Ia teringat oleh janji Yudistira yang akan diberikan jika saja ia bertahan bersama Bagas hingga Agni berusia 25 tahun.
———
"Sial*n! Gila, ya, itu orang!" rutuk Agni setelah keluar dari sebuah ruangan yang berada tak jauh dari halte tempat ia tertidur semalam."Kamu yang gila," celetuk Tirtha menimpali.Setelah drama debat pagi tadi, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk mendatangi tempat di mana Agni tertidur semalam. Menyelidiki di mana motor wanita itu berada. Tentunya semua terjadi atas paksaan dari seorang Agni Gantari.Beruntung, di area tersebut ada satu cctv. Meski tak sepenuhnya mengarah ke halte. Namun, itu cukup membantu mereka sebab ia bisa melihat siapa seseorang yang membawa motornya pergi meski area wajah sang pelaku tidak terlihat sempurna.Agni menghentikan langkahnya, memutar tubuh, menatap Tirtha dengan tatapan sengit."Kenapa? Mau protes?" tanya Tirtha balik menatap Agni. Pria itu kini mulai berani menentang setelah merasa bahwa dirinya berada satu langkah di depan sang wanita; sedikit merasa mampu mengendalikan, dan berharap ia mampu melunakkan kerasnya hati seorang Agni Gantari. "
Hari mulai larut. Jarum jam di pergelangan tangan milik Tirtha sudah mulai menunjukkan waktu dini hari. Namun, pria tampan itu masih berada di jalanan sebab baru saja menyelesaikan pertemuan dalam menjamu para klien dari luar negeri.Pertemuan di bar dengan minuman dan para wanita cantik di malam hari sudah menjadi satu hal lumrah di kalangan para pebisnis. Pria di balik kursi kemudi itu memijat tengkuknya perlahan, mencoba menetralkan rasa kaku dan letih yang mulai terasa di seluruh tubuhnya. "Berendam enak kali, ya," gumam Tirtha pelan.Netranya terus fokus mengemudi, menancap gas lebih cepat sebab sudah tak sabar rasanya ingin sampai di rumah untuk berendam air hangat lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk.Namun, di tengah perjalanan menuju pulang, netranya menyipit, fokusnya sedikit terbagi pada satu sosok manusia yang terbaring di jejeran kursi halte bus.Menurunkan kecepatan laju mobilnya, sedikit menepi, dan ...."Astaga, Agni!" pekiknya terkejut dengan mata terbe
Setelah menghembuskan napas berkali-kali, Agni kembali mencoba meyakinkan diri bahwa ini adalah keputusan terbaik yang memang harus ia pilih.Wanita itu lantas melangkah ke dalam, kembali ke mejanya dengan menggenggam satu keputusan final."Maaf membuat kalian lama menunggu," ucap Agni kembali duduk seraya tersenyum ramah ke arah semua orang. Ekspresinya berbanding terbalik dengan beberapa waktu sebelumnya di mana ia selalu menekuk wajah cantiknya itu dengan ketus."It's oke. Kami mengerti mungkin kamu terkejut dengan ini semua. Dan, ya ... Jika kamu membutuhkan waktu lebih untuk menjawabnya, kami bersedia memberikannya," ucap Lina—Mama Tirtha, mencoba untuk memahami."Tapi bukankah lebih cepat lebih baik, bukan begitu, Agni? Aku tak masalah jika kamu menolak perjodohan ini. Jangan membuang waktuku lebih lama dengan harus menunggu jawabanmu yang belum pasti itu," ucap Tirtha menimpali. Melipat kedua tangan di depan dada, bersandar santai di sandaran kursi yang didudukinya."Tirtha ..
Belum habis rasa dukanya, dunia seolah berniat kembali menguji seorang Agni Gantari.Hati yang selalu dipenuhi amarah semakin meluap-luap kala ia ditarik paksa oleh anak buah Yudistira. Didandani sedemikian rupa dan dipaksa menghadiri sebuah pertemuan di sebuah hotel dengan Yudistira beserta rekan bisnisnya untuk membahas sebuah perjodohan."Apa-apaan ini, Opa?!" protes Agni setelah berhasil membawa Yudistira menyingkir dari para keluarga di dalam. "Hanya kamu yang bisa membantu Opa, Nak.""Dengan cara seperti ini? Ya Tuhan, Opa!" keluh Agni tidak habis pikir dengan keluarganya sendiri yang seolah tiada henti memperalatnya. "Tidak! Agni tidak akan pernah mau dijodohkan. Agni tidak akan menikah sampai kapan pun, Opa!" tolak Agni pada Yudistira dengan kata-kata yang penuh penekanan.Keduanya tengah berada di balkon saat ini. Meninggalkan dua keluarga yang sedang asik berbincang di meja makan di restoran dalam hotel tersebut.Yudistira hanya mampu memijat keningnya, pening. Berbagai car
Sejak hari itu, Agni kembali pada kepribadiannya yang dulu, bahkan terkesan lebih parah dari sebelumnya.Ia yang beberapa waktu terakhir berhenti minum dan balapan liar sebab harus segera pulang ke rumah setelah rutinitasnya kuliah dan bekerja—demi menjaga sang bunda di rumah, kini hampir tak pernah lagi pulang ke rumahnya.Harinya kini hanya dihabiskan di jalanan luar. Mabuk, balap liar kembali menjadi rutinitas kesehariannya lagi.Pulang ke rumah hanya untuk tidur—meski tak jarang, ia lebih memilih tidur di jalanan. Hidupnya kembali berantakan, kuliahnya tak lagi dilanjutkan pun dengan pekerjaannya di kantor serta beberapa misi yang ia tinggalkan.Hanya satu misi yang gadis itu tanam dan lakukan dengan gencar, yaitu membalaskan dendamnya pada Bagas. Segala bukti sudah ia lampirkan untuk laporan ke pihak kepolisian. Namun, sayang ... Otak kasus pembunuhan sang bunda itu tengah melarikan diri saat ini. Berbagai prasangka buruk berlarian di otak Agni, mengira bahwa Yudistira yang mel
Selepas menjalani serangkaian proses serta berbagai prosedur untuk bukti pelaporan ke pihak kepolisian atas kasus pembunuhan sesuai permintaan langsung dari Agni, kini Tari akhirnya bisa dibawa pulang ke rumah duka untuk segera dimakamkan.Yudistira berada di samping Agni, terus berusaha mendampingi meski tak dihiraukan keberadaannya.Pun dengan Tirtha. Pria yang belum pulih betul dari luka tembak itu pun datang mengucap bela sungkawanya.Saat semua proses pemakaman telah berjalan lancar, David yang beberapa hari belakangan tidak terlihat batang hidungnya pun kembali muncul. Dengan setelan kemeja hitam serasi dengan celana bahannya yang juga berwarna hitam, ia memasuki pekarangan rumah Agni. Netranya langsung tertuju pada gadis cantik yang tengah terduduk dengan tatap mata yang memandang kosong. Garis sendu terlihat jelas di raut wajahnya yang pucat."Hai," sapa seorang pria yang langsung duduk berjongkok di hadapan Agni.Gadis itu terbelalak, cukup terkejut ketika melihat David yang
Hari mulai pagi. Matahari menampakkan sinarnya terang.Akan tetapi, terangnya mentari pagi sepertinya kurang mampu menerangi kekalutan serta kegelapan hati seorang Agni Gantari.Gelisah tiada tepi terus menyerang sanubarinya. Jemari saling beradu di atas pangkuan seiring dengan degup jantung yang berdetak tak karuan.Netranya sulit sekali untuk terpejam. Sedari semalam, silih berganti perawat yang datang mengecek cairan infus terus saja menegurnya untuk lekas beristirahat. Namun, bagaimana mungkin ia bisa beristirahat di tengah-tengah kondisi pikiran yang seperti ini? Ibunya tengah berada di luaran sana dengan kondisi yang entah seperti apa keadaannya. Namun, tiada apa pun yang bisa ia lakukan untuk bisa menyelamatkan sang bunda selain berdoa semoga tiada hal buruk apa pun yang terjadi.Gundah tidak lantas pergi. Sedari tadi masih saja terus menghantui, berkali-kali jemarinya terus berusaha menghubungi hampir semua tim yang terjun ke lapangan dalam mencari ibunya. Namun, tak satu pun
"Beberapa orang, siapa pun, yang paling dekat dengan arah Utara di mana tadi saya dan Aryawan pergi, segera ke sini!" titah Tirtha kepada anak buahnya melalui sambungan earphone."Saya dan Jun serta beberapa yang lain segera meluncur ke sana, Tuan," sahut seseorang di seberang sana.Jun menoleh ke arah Aryawan yang juga tengah menatap ke arahnya. Keduanya lantas mengangguk berbarengan lalu membalikkan badan, berlari cepat mengejar para sekelompok pria dengan salah seorang wanita di antaranya.Berlari dan terus bersembunyi dari balik pohon yang satu ke pohon yang lainnya agar langkahnya tidak lekas disadari oleh pihak lawan demi misi yang harus terealisasikan.Hingga saat jarak mereka sudah semakin dekat, Tirtha kembali berucap, "Waktu bermain telah tiba, Aryawan. Kau atau aku yang akan menghadapi para cecunguk itu?" tanyanya mengangkat sebelah alis dengan senyum menyeringai yang menghiasi wajah tampannya."Biar saya yang menghadapi mereka
Seorang pria berkemeja hitam yang warnanya serasi dengan celana yang dipakainya itu terlihat serius di depan layar laptopnya. Dia adalah Aryawan—tangan kanan Tirtha yang juga ahli dalam bidang IT.Aryawan dipanggil ke rumah sakit atas permintaan Tirtha setelah ia mendengar semua penuturan Agni.Bukan tanpa sebab Agni menceritakan semuanya kepada Tirtha. Kondisi waktu yang terdesak serta Tirtha yang terus saja memaksa, berkali-kali meyakinkan Agni bahwa ia mampu dan berjanji akan membantu menyelamatkan Tari; membuat Agni tak punya pilihan lain selain menceritakan semuanya kepada Tirtha. Berharap, Tirtha benar-benar bisa menepati janjinya dalam membantunya menyelamatkan sang bunda.Hendak ke tempat David pun percuma sebab waktu yang sudah semakin larut. Khawatir Bagas lekas menyadari bahwa ia mencari tahu dengan menulis beberapa nomor di handphone Bagas yang dianggap sebagai anak buahnya."Bagaimana?" tanya Agni untuk kesekian kalinya dengan nada suara yang amat khawatir.Aryawan hanya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments