Aldebaran melingkarkan sebuah selimut hangat ke sekitar pundak Kania. Istrinya itu terlihat lebih tenang malam ini. Mereka sedang menikmati pemandangan malam hari dari balkon kamar mereka yang juga berhadapan langsung dengan kolam renang pribadi.
Kania terlihat kelap-kelip lampu di kejauhan yang membentuk keindahan tersendiri malam itu. Rumah mereka yang memang terletak di dataran tinggi Kota Malang memberikan kelebihan yang menguntungkan dari sisi itu—menikmati keindahan pemandangan di area yang lebih rendah."Diminum dulu tehnya. Keburu dingin." Alde ikut duduk di kursi rotan samping Kania. Saat Kania hanya diam, tidak merespon ucapannya, ia pun sudah terbiasa dengan itu. Menurut dokter spesialis kejiwaan yang menangani Kania tadi, guncangan yang dialami Kania sangat berat hingga membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mengatasi hal itu.Beberapa terapi rutin akan dilakukan. Setidaknya seminggu dua kali. Mulai dari terapi interpersonal, psikotik, dAldebaran sedang dalam perjalanan mengantar Kania terapi ketika beberapa pesan masuk di grup keluarga. Semua panik. Ayahnya terluka parah dan sedang dalam kondisi kritis di rumah sakit. Alde membaca berulang kali rentetan pesan itu, berharap menemukan sebuah lelucon di sana. Akan tetapi, ketika pesan terakhir adalah sebuah gambar ayahnya dengan kondisi mengenaskan, ia pun terhenyak. Tangannya gemetar hebat, syok melihat kondisi tubuh ayahnya yang mengenaskan. Penuh luka cabikan hingga wajahnya pun tak bisa dikenali lagi, tapi apa penyebab semua itu terjadi, ia belum tahu. Belum ada kabar lebih lanjut di grup. Ia menekan nomor kakak dan adik-adiknya untuk menanyakan kondisi ayahnya dengan lebih jelas, tetapi tidak satu pun yang menerima panggilan darinya.Alde setengah tak percaya bahwa yang terluka parah itu ayahnya. Kenapa? Ayahnya adalah sosok yang tangguh dan tidak akan mudah ditumbangkan. Lalu, kenapa dia bisa sampai terluka separah itu? Apakah ayahnya dikeroyok orang?Tidak
"Ohh, tidak." Tubuh Aldebaran sedikit limbung ketika melihat kondisi ayahnya yang bersimbah darah. Samar-samar ia mendengar dokter menjelaskan bahwa luka yang mengenai jantung ayahnya cukup parah. Mereka sudah mengupayakan yang terbaik, tetapi kondisi itu tidak bisa diperbaiki. Satu-satunya hal yang mungkin masih bisa menyelamatkan nyawa ayahnya adalah bila ayahnya mendapat donor jantung dengan cepat. Akan tetapi, itu hal yang mustahil. Siapa pula orang gila yang akan telah mendonorkan jantungnya?Alde syok. Jika bukan karena Kania yang menopang tubuhnya, mungkin ia akan roboh dan meraung di lantai. Ia mendekat dan berdiri di tepi ranjang dengan pandangan kabur akibat air mata yang terus mengalir deras dari kedua matanya. Hatinya remuk melihat ayahnya memuntahkan darah setiap kali mencoba untuk berbicara. Makin banyak yang masuk ke dalam untuk melihat ayahnya hingga dokter dan petugas di ruangan itu meminta untuk bergantian agar ruangan tidak terlalu penuh yang itu bisa mempengaruhi
"Bunda makan, ya, dikit-dikit aja." Alde membujuk sang bunda agar mau menyentuh makanannya sambil sesekali menyuapi istrinya yang seperti biasa, hanya diam sambil melamun. Siang tadi, ketika terlalu larut dalam kesedihan akan kondisi ayahnya, ia sampai lupa untuk meminumkan obat Kania. Padahal, dokter sudah berpesan agar Kania tidak sampai melewatkan obatnya. Akan tetapi, pikirannya yang terpecah membuatnya lalai. Dalam hatinya pun berjanji untuk tidak mengulangi hal itu. Bagaimanapun dirinya harus tetap bisa seimbang mengurus Kania, ibunya, dan yang lain. Aldebaran meletakkan sendok untuk menyuapi Kania, lalu mengambil sendok yang ada di piring bundanya. Ia menyendok sedikit bubur ayam itu, lalu mengarahkan sendok itu ke mulut sang bunda. "Kalau Bunda mau Ayah bisa cepat pulih, Bunda harus bisa jaga diri dan kesehatan supaya Ayah juga bisa tenang."Carmila tidak menjawab. Ia tetap menangis dalam diam sambil mengatupkan kedua tangan di depan dadanya. Hatinya terasa remuk melihat sua
Aldebaran mengamati Kania yang sudah pulas. Ia menekan ludah dengan susah payah tatkala tatapannya berhenti pada bibir merekah Kania yang sedikit terbuka. Sudah bertahun-tahun lalu dirinya menginginkan bibir itu, merasakan lembut dan manisnya, tetapi kini, ketika Kania akhirnya menjadi miliknya, ia tak kunjung bisa mengklaim itu sebagai miliknya juga. Tangannya yang gemetar menyentuh sudut bibir Kania. Istrinya itu tidak terganggu dengan sentuhannya dan masih tetap lelap. Itu memberikan dorongan padanya untuk menggerakkan ibu jarinya di sepanjang bibir ranum itu. Ia menahan napas tatkala sensasi kenyal itu bersentuhan dengan kulit ibu jarinya. "Kania," bisiknya lirih. Ia menggeser tubuhnya, turun dari kursi yang ia duduki dan berjongkok di samping wajah Kania. Jaraknya dengan wajah Kania hanya tersisa beberapa inci saja. Hatinya pun tergoda untuk sekedar menempelkan bibirnya ke bibir Kania. Hanya sebentar, pikirnya. Namun, ketika bibir mereka bertemu, akal sehatnya seakan mati. Al
Aldebaran membawa Kania menjenguk ayahnya. Ia merasa bersyukur karena operasinya berjalan dengan lancar, hanya menunggu pemulihan sampai ayahnya bisa dinyatakan benar-benar sehat, baru bisa dibawa ke ruang perawatan biasa. Di depan ruang perawatan intensif sudah berkumpul semua keluarga dan sahabat-sahabat ayahnya. Ia menyalami mereka satu per satu. Dahinya mengerut heran ketika menyadari ada satu yang kurang. Salah seorang sahabat ayahnya tidak tampak ada di sana, tapi ia tidak bertanya kemana gerangan perginya Om Azka. Yah, mungkin saja sahabat ayahnya itu sedang sibuk dengan urusan perusahaan karena Om Azka menjadi kuasa hukum yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan surat-surat dan perjanjian penting di perusahaan milik keluarganya. Aldebaran menghampiri sang bunda, lalu memeluk dan mencium bundanya itu. "Bunda sudah makan?""Sudah," jawab sang bunda sambil melirik ke sampingnya. Ia tersenyum kepada menantunya yang terus memeluk lengan Aldebaran dengan erat. "Gimana kondi
"Ayah." Aldebaran memijat pangkal hidungnya untuk meredakan penat yang ia rasakan. Malam sudah larut, tetapi ia masih berada di perusahaan bersama dengan Kania. Ia memang memiliki ruang istirahat di samping kantornya. Dulu, dirinya sering lembur hingga malas untuk pulang hingga akhirnya membuat sebuah kamar di samping ruang kerjanya di perusahaan.Kania sudah lelap di kamar, sementara Alde masih duduk di depan meja kerjanya. Tadi, dirinya sudah mengadakan pertemuan dengan jajaran direksi di perusahaannya untuk membahas masalah yang ada. Sebagian dari mereka mengusulkan agar dirinya memberikan penawaran lebih tinggi kepada perusahaan yang memutuskan untuk tidak memperpanjang masa kerja sama dengannya. Sementara sebagian lagi, berpendapat bahwa harga yang mereka tawarkan selama ini sudah jauh lebih tinggi dari perusahaan lain.Akhirnya Aldebaran mengambil satu keputusan yang cukup berat untuk dilakukan. Dirinya akan membuka perusahaan sendiri yang bergerak di bidang jasa pembangunan da
Aldebaran masuk dengan langkah percaya diri ke dalam ruang kerja salah satu rekannya dulu. "Selamat siang, Brad.""Siang." Pria yang disapa Brad itu terlihat gugup dan gelisah di tempat duduknya seakan tidak dengan penglihatannya sendiri. Aldebaran datang sendiri ke kantornya setelah kemarin ia mengirim utusan untuk menemui asisten pribadi lelaki itu, menyampaikan bahwa perusahannya tidak akan melanjutkan kontrak perjanjian kerja sama setelah masanya berakhir minggu depan.Sebenarnya ia tidak benar-benar ingin mengakhiri perjanjian itu, tetapi salah seorang koleganya mengatakan bahwa seharusnya perusahaan Blackstone bisa memberikan harga yang lebih pantas dari yang sudah ada. Jika tidak, dia harus bisa membuat Aldebaran berpikir untuk memberikan kenaikan itu. Salah satu caranya adalah dengan berpura-pura memutuskan hubungan kerja. Awalnya, ia menolak karena yakin bahwa cara itu tidak akan membuat Aldebaran mengemis kerja sama dengannya, tetapi rekannya itu akhirnya mengusulkan satu h
Raden Mangkubumi menerima kedatangan Aldebaran dengan tangan terbuka. Pria paruh baya itu berdiri, lalu menghampiri Alde yang berdiri di tengah ruang kerjanya. "Blackstone, suatu kebanggan bisa menerima kunjungan darimu." Raden Mangkubumi menyalami Alde, lali mempersilakan pemuda itu untuk duduk di sofa ruang kerjanya. "Kau mau minum kopi atau teh?""Tidak perlu repot." Aldebaran menjawab kaki.""Sama sekali tidak repot. Ahh, aku punya kopi terbaik yang diproses secara tradisional dan tanpa campuran apa pun. Kau harus mencobanya." Raden Mangkubumi langsung menghubungi sekretarisnya melalui interkom di meja samping sofa dan memesan dua cangkir kopi dan makanan ringan. "Sebenarnya saya tidak akan lama." Aldebaran menarik napas panjang, lalu menjelaskan maksud kedatangannya. "Saya hanya ingin menyerahkan dokumen yang Anda kirim kemari. Saya sudah menandatanganinya." Alde menyerahkan sebuah map coklat besar ke hadapan Raden Mangkubumi. "Saya sengaja datang sendiri sekaligus untuk mengu