Alde duduk dengan posisi kaku seraya terus menatap tubuh Kania yang berbaring di atas tempat tidur. Mata gadis itu terus terpejam sejak beberapa jam yang lalu dan sudah selama itu pula dirinya tetap berada di samping Kania. Lebam dan memar yang sudah membiru pun masih menghiasai beberapa bagian tubuhnya. "Maaf, Ayah harus memberikan banyak penenang karena dia terus histeris dan berteriak ketika sadar, sementara fisiknya sendiri masih membutuhkan pemulihan."Alde menoleh ke arah sang Ayah yang entah sejak kapan sudah berada di sisihnya. Sepertinya ia tak mendengar suara pintu dibuka atau memang mungkin pikirannya sendiri yang kacau sehingga tak mendengar ketika ayahnya masuk. Saat tatapannya beradu dengan pandangan teduh sang ayah, ia hanya mengangguk singkat sebagai jawaban dari ucapan ayahnya. "Kau belum bisa memutuskan?"Kali ini Alde menghirup napas panjang seraya memejamkan mata. Ia bingung harus menjawab apa. Beberapa waktu lalu, ayahnya me
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam ketika Kania mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa manfaat obat penenang yang diberikan oleh ayah Alde mulai memudar. Pesta masih berlangsung. Tamu undangan juga masih menikmati hidangan serta hiburan yang disajikan. Namun, Kania sama sekali tidak terlihat bahagia menyaksikan kemeriahan pestanya seperti beberapa waktu yang lalu. Gadis itu duduk gelisah sambil sesekali menghela napas berat. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin meledak keluar. Kania sendiri tak tahu apa yang terjadi pada tubuhnya. Tiba-tiba saja baju pengantin yang sejak tadi ia kagumi keindahannya terasa begitu menyebalkan karena membuatnya gerah dan susah bernapas. "Kak Al." Kania berpegangan pada lengan Aldebaran yang sepertinya belum menyadari perubahan ekspresi dan sikap Kania. "Ya, Sayangku. Kau mau kuambilkan minum?" Alde menoleh dengan senyum merekah di wajahnya. Akan tetapi, senyum itu seketika memudar, berganti dengan wajah cemas tatkala mel
Aldebaran duduk bersila di samping ranjang pengantinnya. Di atas ranjang itu terbaring Kania yang tadi sempat pingsan setelah histeris. Saat ini gadis itu sudah lelap seolah tanpa beban. Napasnya teratur dan wajahnya terlihat damai, membuat Alde langsung emosi ketika mengingat hal yang membuat kedamaian itu berubah. Pikiran Alde tertuju kepada Sulthan. Pria itu masih hidup dan berada dalam pengawasan ayahnya, tetapi ayahnya tidak mau memberi tahu di mana pria itu berada. Mungkin, ayahnya khawatir dia akan memburu Sulthan dan mencincangnya hidup-hidup. Dan memang benar, itu yang akan ia lakukan seandainya ada kesempatan lagi bertemu dengan Sulthan. Ohh, ayahnya sudah mencoba meyakinkan dirinya bahwa Sulthan pasti akan mendapat balasan setimpal, tapi ia tidak akan pernah merasa tenang sebelum melihat pria itu menderita dan tersiksa dengan mata kepalanya sendiri.Ia pun mulai memikirkan cara-cara terkejam untuk membunuh Sulthan secara perlahan. Setidaknya, dengan beg
Beban berat yang menimpa dada membuatnya terbangun. Ia membuka mata, lalu berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan dengan pencahayaan sekitar.Ketika matanya sudah bisa beradaptasi dengan baik, ia mulai meneliti keadaan di sekitarnya. Benda berat yang menimpa dadanya tadi, ternyata sebuah lengan kekar milik seorang laki-laki. Ia pun menyingkirkan lengan itu perlahan, kemudian duduk. Tatapannya jatuh pada sebuah kepala seorang lelaki yang bersandar dengan posisi tidak nyaman di tepi tempat tidur. Tangannya terulur, membelai kepala itu dengan sangat pelan karena takut membangunkan lelaki itu. Hatinya seakan dipilin dengan kuat melihat sosok pria itu masih mengenakan stelan jas. Sesuatu pemikiran menghantam kesadarannya dan ia pun langsung melihat ke arahnya sendiri. Ia pun masih mengenakan gaun putih berbahan sutra dengan beberapa hiasan bunga-bunga kecil di bagian lengan dan pundak. Itu adalah gaun pengantinnya dan sosok yang bersila di lantai dengan kep
Carmila of the Seas berlabuh untuk menurunkan para tamu undangan pada pesta pernikahan, sementara keluarga Blackstone masih akan berlayar hingga dua pelabuhan lagi, sebelum memutuskan untuk pulang. Aldebaran membawa Kania ke dek teratas untuk menyaksikan kesibukan di pelabuhan saat penumpang turun. Para pekerja dengan pakaian hitam dengan lambang Blackstone berwarna emas di dada sebelah kiri dengan sigap melayani para tamu undangan. Ada yang membantu membawakan barang bawaan, ada pula yang menunggu di dermaga untuk mengantarkan mereka ke mobil karena memang segala akomodasi sudah disiapkan oleh keluarga Blackstone.Kania melambai-lambaikan tangannya ke udara, sementara mulutnya terus bergumam, "Tus ... Tus ... Tus." "Kau sedang bermain apa?" Alde menunduk, menatap sang istri yang bahkan tak menyadari bahwa dirinya ada di sana. "Sepertinya seru sekali. Apa aku boleh ikut bermain?"Kania seolah tak mendengar. Kepalanya bergerak ke atas ke bawah se
"Sorry." Aldebaran menghampiri keempat adiknya yang sedang berkumpul di ruangan khusus keluarga mereka dengan wajah lesu dan lelah. Ia tersenyum kecut melihat mata Aaro yang bengkak hingga sulit untuk dibuka, rahang Alden yang memar, dan juga pelipis Aldev yang membiru."Kira-kira juga, dong, kalau mukul. Sampe ngilu begini." Aaro melirik sang kakak dengan raut sebal sambil kembali menempelkan es batu yang telah dibungkus kain ke matanya yang bengkak. Alea membantunya meletakkan es batu itu agar berada di tempat yang tepat sambil sesekali mengikik tertahan. "Kenapa kau tertawa?" Aaro makin kesal karena adik perempuannya malah menertawakan kondisinya. Memang di antara semua anggota keluar Blackstone, Aaro adalah yang paling temperamental dan mudah terpancing emosinya. Maklum saja karena dia laki-laki termuda di keluarga itu. "Apa aku terlihat buruk?""Enggak, kok. Masih tetep ganteng dan gagah seperti biasa." Alea tersenyum manis, tapi bahu gadis itu berge
Makan malam kali itu adalah makan malam terakhir mereka di kapal. Besok, semua akan kembali pada aktifitas dan kesibukan masing-masing, kecuali Aldebaran dan Kania. Aldebaran memilihkan gaun berwarna marun polos dengan model ketat di bagian atas, lalu mengembang dari perut sampai lutut untuk Kania. Merah marun membuat warna kulit Kania yang putih cenderung pucat terlihat menonjol dan cantik. Sebelah lengan Alde memeluk pinggang Kania, sementara tangannya yang lain memegang dengan erat tangan Kania. Dirinya hanya ingin mengantisipasi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi ketika Kania bertemu dengan keluarga besar dan sahabat yang sudah seperti keluarga. Riuh canda tawa dan obrolan seketika berhenti begitu Kania dan Alde masuk. Ayah Alde memberi isyarat kepada semua yang hadir di sana untuk tenang. Mereka semua sudah tahu kondisi Kania. Jadi, sudah langsung paham ketika diminta tenang dan diam tanpa banyak bertanya. "Sayang." Carmila langsu
Dengkur halus dari arah ranjang membuat Aldebaran merasa sedikit lebih tenang. Itu bisa membuat Aldebaran bisa lebih konsentrasi berkerja. Yah, meski ayahnya berkata bahwa Om Azka dan Om Damian bisa menggantikan semua tugasnya untuk sementara waktu di perusahaan, tetapi dirinya tidak bisa melakukan itu. Sejak kecil dirinya sudah dididik tentang tanggung jawab dan menghadapi sendiri masalah yang ada. Jadi, untuk saat ini pun ia tidak bisa Seperti saat ini, Aldebaran harus menghadapi laporan dari asisten pribadinya di perusahaan bahwa proyek pembangunan resort di Bali sedikit terganggu karena Sulthan yang menjadi penyedia barang tidak bisa melakukan kewajibannya. Itu karena Sulthan masih berada dalam tahanan ayahnya. Sementara itu, ayah Sulthan secara pribadi telah mengirim pesan kepadanya. Intinya, orang tua itu meminta agar keluarga Blackstone melepaskan Sulthan dan sebagai gantinya, pihak mereka akan menutup kasus tentang penculikan Kania pada saat resepsi pern