Dia meremas undangan di tangannya dengan kuat sampai menjadi bentuk bola. Tatapannya menerawang menembus dinding kaca ruang kerjanya dan berhenti pada satu titik di kejauhan yang ia ketahui sebagai sebuah pemancar salah satu stasiun televisi swasta di kota ini, sementara hatinya diliputi amarah sekaligus putus asa. Namun, dirinya sama sekali tidak tahu amarah itu harus ditujukan pada siapa.
Beberapa saat yang lalu asisten pribadinya menunjukkan jadwal serta undangan yang harus ia hadiri esok hari, salah satunya adalah undangan pernikahan daria rekan bisnisnya. Awalnya dia tidak terlalu tertarik membaca sendiri undangan itu karena dia yakin jika sang asisten pribadi pasti sudah mengatur jadwal untuk menghadiri acara itu, tapi warna tosca kombinasi putih undangan itu cukup menarik perhatiannya karena warna itu merupakan warna kesukaan gadis pujaan hatinya.Seperti tersambar petir di siang bolong ketika Aldebaran membaca nama mempelai pengantin wanita yang tertera dalam undangan itu adalah Kania Larasati Prasodjo. Jantungnya seketika berhenti berdetak selama beberapa saat, kemudian dengan tangan gemetar Alde membalik undangan itu untuk melihat jikalau ada foto calon pengantin yang ditampilkan pada undangan itu. Bisa jadi nama sama, tapi orangnya berbeda.Hantaman kembali terasa di dadanya ketika gambar calon mempelai terpampang di halaman belakang undangan itu. Wajah sang mempelai wanita sangat tidak asing baginya. Dia adalah Kania Larasati Prasodjo, sosok yang tidak asing baginya.Kania merupakan gadis yang dia cintai sudah sejak lama, tepatnya sudah tujuh tahun belakangan ini. Akan tetapi di antara mereka tidak pernah ada hubungan apa pun. Itu karena Aldebaran belum juga memiliki nyali untuk mengungkapkan perasaannya pada gadis itu.Kania terlalu cantik dan bersinar hingga membuat jantung Aldebaran berdebar hebat setiap berhadapan dengan gadis itu. Dia pun cerdas dan berbeda dengan gadis-gadis lainnya, membuat Aldebaran tertarik pada gadis itu pada pandangan pertama.Saat itu Alde masih duduk di bangku kelas tiga SMP, sementara Kania merupakan siswi baru di kelas satu. Seperti kebiasaan di beberapa sekolah termasuk di sekolahnya dulu, setiap murid baru harus melalui 'Masa Orientasi Siswa' yang identik dengan perploncoan. Biasanya para senior akan meminta para murid baru untuk berdandan dengan dandanan yang konyol atau melakukan hal yang aneh-aneh, termasuk Kania. Di tengah lapangan ketika semua murid baru dikumpulkan, Kania dihukum menirukan gaya bebek karena salah menjawab pertanyaan para senior.Kania menolak. Dia bersedia menerima hukuman apa saja selama hukuman itu mendidik, tapi jika hanya sekedar untuk lucu-lucuan, dia menyatakan keberatannya. Bahkan ketika para senior mengancam akan melaporkan sikap kurang ajar Kania kepada Kepala Sekolah pun gadis itu justru menerima ancaman itu dengan tangan terbuka. Hal itu membuat para panitia MOS merasa kesal dan jengkel hingga menandai Kania. Mereka semua kompak untuk menganggap Kania tidak pernah ada. Salam setiap perlombaan atau pembagian kelompok, nama Kania tidak pernah disebut lagi.Awalnya Aldebaran beranggapan jika Kania akan mengemis maaf kepada para panitia MOS itu seperti yang biasa dilakukan murid lain. Namun, bukannya meminta maaf, gadis itu langsung mendatangi ketua panitia MOS dan berkata bahwa dirinya dengan senang hati mundur dari kegiatan MOS yang menurutnya kurang membawa manfaat itu, kemudian dia pun melenggang santai meninggalkan lapangan.Aldebaran dan Aldevaro, saudara kembarnya yang memang suka menyendiri di atas atap perpustakaan sekolah pun tertawa melihat hiburan yang terjadi di lapangan."Mirip Alea, ya?" Komentar Aldevaro sambil terbahak."Hmm, tidak juga. Jika itu Alea, sudah habislah mereka." Aldebaran tergelak membayangkan jika saja yang ada di bawah itu adalah Alea, adik perempuan bungsunya. Dia gadis yang manis, tapi bisa berubah menjadi singa betina ketika merasa terusik."Apa dia akan dapat masalah?""Mungkin juga, tapi alasannya masuk akal. Memang para panitia itu yang tolol dan konyol." Aldebaran menjawab masih sambil mengamati gadis pemberani yang melangkah cepat ke arah samping sekolah. Dia penasaran, apa yang akan dilakukan gadis itu si gudang, kemudian dia pun mengajak saudara kembarnya untuk pergi ke gudang sekolah, tempat mereka biasa bolos pelajaran atau tidur ketika mengantuk.Di ujung koridor yang menuju ke arah gudang, Aldevaro menyikut rusuk Aldebaran sambil menunjuk seorang gadis yang duduk sendiri di sebuah bangku reyot.Aldebaran menaikkan kedua alisnya berpura-pura terkejut melihat gadis itu, padahal dia sudah tahu. Kemudian dia pun batuk kecil untuk memberi tahukan kehadiran mereka pada gadis itu."Mau apa Kalian?" Kania seketika berdiri dengan tatapan waspada."Seharusnya kami yang bertanya karena ini markas kami." Aldevaro menjawab dengan nada dingin dan sinis.Aldebaran sendiri tidak mengatakan apa pun karena tatapannya sedang tertuju ke arah badge name gadis itu, Kania Larasati Prasodjo. Dia mengulang mengeja nama itu beberapa kali dalam kepalanya."Markas?" Kania mendengus pelan. "Apa sekolah ini milik nenek moyang kalian?" Namun, Kania tidak tahan untuk menunggu jawaban Aldevaro. "Semua orang di sekolah ini sudah sinting!" Dia menggerutu sendiri sambil meraih tasnya di atas bangku dan berniat pergi, tapi salah satu dari makhluk kembar itu menghalangi jalannya.Kania bergerak ke samping untuk melewati Aldebaran, tetapi Alde pun ikut bergerak ke samping kembali menghadang Kania dan ketika gadis itu bergerak ke arah sebaliknya pun, Aldebaran mengikuti gerakannya, masih tetap menghadang jalannya hingga akhirnya Kania pun emosi. Dia mendongak menatap Aldebaran dengan tatapan marah dan menantang.Aldebaran tidak tahu apa yang terjadi, tapi ketika tatapannya beradu dengan Kania, seketika dirinya merasa seperti terkena panah tepat di dalam dadanya. Napasnya tertahan di tenggorokan, sementara debar-debar halus mulai terasa di dalam dadanya, dan yang lebih mengerikan dari itu adalah seluruh tubuhnya yang tiba-tiba terkunci tak bisa digerakkan."Apa maumu?" Kania bertanya masih dengan wajah mendongak dan mata membelalak.Aldebaran tak kuasa menjawab. Ia tetap berdiri kaku seperti patung. Tusukan di dalam dadanya pun terasa semakin dalam seperti anak panah yang melesat tepat sasaran dan sejak saat itu Aldebaran tak pernah bisa mengenyahkan bayangan Kania dari dalam pikiran dan hatinya."Kania Larasati Prasodjo." Alde melafalkan nama itu seiring dengan rasa sakit yang terus menghujam jantungnya. Dirinya tidak sanggup membayangkan sang gadis pujaan hati harus bersanding dengan laki-laki lain. Matanya memanas, kepalanya pun jatuh membentur kaca di hadapannya, sementara sebelah tangannya memegang dadanya yang terasa semakin sakit. Rasanya seperti seluruh dunianya hancur dan tidak ada harapan lagi. Dia pun mengutuk dirinya sendiri yang lengah hingga tidak menyadari jika ada laki-laki yang mendekati gadisnya, padahal selama ini dirinya selalu menguntit Kania hingga tidak ada satu hal pun tentang Kania yang tidak ia ketahui."Apa ada masalah?"Aldebaran tidak menyadari jika di sebelahnya sudah ada asisten pribadinya karena dia pun tidak mendengar suara pintu di ruang kerjanya dibuka ataupun ditutup."Dua puluh menit lagi pertemuan dengan para pemegang saham dimulai, tapi jika kau merasa belum siap, aku bisa menggantikan untuk kali ini saja."Aldebaran menghirup napas panjang, kemudian membuangnya perlahan. Selama kurang lebih satu menit lamanya ia bergelut dengan sakit di hatinya dan berusaha untuk mengendalikan itu. Pertemuan para pemegang saham kali ini merupakan pertemuan pertamanya sebagai pemimpin perusahaan dan dirinya harus hadir jika tidak ingin dianggap kurang kompeten karena memang perusahaan property yang ia kelola saat ini merupakan warisan dari ayahnya.Usianya memang masih 21 tahun, tapi ayahnya memutuskan bahwa dirinya sudah cukup layak untuk menjalankan perusahaan milik keluarga itu. Meski masih dalam bimbingan sang ayah, tapi Alde pun ingin menunjukkan kemampuannya sendiri. Untuk itu dirinya harus bisa bersikap profesional. "Alde akan hadir," ujarnya parau sambil berusaha menutupi kegalauan yang melanda hatinya."Kau yakin?"Dari tatapan khawatir Damian—asisten pribadinya yang juga merupakan sahabat dekat ayahnya—Alde tahu jika penampilannya pasti terlihat buruk sekali saat itu. "Ya," jawabnya singkat.Sang asisten pribadi mengangguk ragu, tapi akhirnya tetap membiarkan Aldebaran untuk menghadiri acara pertemuan itu meski dalam keadaan yang sepertinya sedang tertekan. Namun, meski begitu ketika dalam perjalanan ke ruang pertemuan yang letaknya berada persis di sebelah ruang kerja Aldebaran, Damian tetap mengirim pesan kepada ayah Aldebaran dan mengabarkan bahwa Alde terlihat sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja.Ruang pertemuan sudah penuh ketika Aldebaran dan sang asisten pribadi masuk. Semua dewan direksi berdiri untuk menyambut kedatangannya. Aldebaran pun mengucapkan terima kasih atas penyambutan itu dan mempersilakan semua untuk duduk kembali agar acara bisa segera dimulai. Namun, belum sempat moderator membuka acara pertemuan itu, pintu utama ruang pertemuan itu terbuka.Aidan Blackstone masuk bersama sekretaris dan kuasa hukum pribadinya. Hal itu cukup membuat Aldebaran terkejut karena sang ayah tidak pernah mengatakan akan hadir dalam pertemuan itu."Tidak usah berdiri, langsung dimulai saja." Aidan tersenyum kepada semua yang ada di ruangan itu sambil memberi isyarat dengan tangan agar sang moderator melanjutkan tugasnya, sementara dirinya menunggu Damian menyiapkan kursi ekstra untuknya.Selama acara pertemuan itu Alde lebih banyak diam karena saat itu Aidan Blackstone yang mengambil alih untuk menjelaskan mengenai laporan keuangan tahun sebelumnya dengan alasan bahwa saat itu dirinya yang masih menjabat sebagai pemimpin tertinggi di perusahaan, sementara untuk progres yang akan ditargetkan oleh perusahaan ke depannya pun disampaikan oleh Damian.Aldebaran tidak sempat memikirkan mengapa rundown acara pertemuan itu berubah total, tidak sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh asistennya kemarin. Dirinya kebanyakan hanya diam sambil menatap kosong ke depan layar tanpa memerhatikan grafik keuntungan yang telah diraih perusahaan setiap bulan selama satu tahun kemarin yang ditampilkan di sana. Pikirannya masih terus tertuju kepada Kania dan berbagai rencana untuk meminta gadis itu membatalkan pernikahannya hingga dirinya tidak menyadari jika acara pertemuan itu telah berakhir dan semua sudah mulai meninggalkan ruangan. Dia baru terbangun dari lamunannya ketika merasakan sebuah pukulan yang cukup keras di kepalanya."Apa!?" Alde membentak sambil menoleh dengan tatapan marah."Dengan siapa kau berteriak?!"Aldebaran tergemap. Dirinya baru ingat jika saat itu ayahnya hadir dalam rapat pertemuan para pemegang saham. Dia pun mengedarkan pandangannya dengan mata membelalak melihat ruangan itu sudah kosong, hanya menyisakan dirinya, sang ayah, dan para asisten pribadi keluarga Blackstone. "Maaf, Ayah," ujarnya sambil menundukkan pandangan, tidak ingin sampai sang ayah membaca kegelisahan yang ia rasakan."Dasar banci! Potong saja kelaminku, jika masalah begitu saja membuatmu menangis!""Apa?" Alde tidak mengerti ke mana arah pembicaraan ayahnya."Jangan pura-pura bodoh!" bentak Aidan Blackstone pada sang putra. "Kau berasal dari darah seorang fighter, jadi jangan mencoreng nama keluarga dengan tingkahmu yang seperti bayi!""Lo pernah menjadi seperti bayi itu, kan, Aidan?" Azka—kuasa hukum Aidan yang juga merupakan sahabat Aidan—pun berkomentar."Yah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Sekretaris Aidan yang bernama Bian ikut menambahkan."Jangan ada yang ikut campur!" Aidan menatap bergantian orang-orang kepercayaannya itu dengan mata melotot. "Buruan balik ke kantor!"Setelah mengatakan itu, Aidan Blackstone pun segera meninggalkan ruangan, sementara sekretaris dan kuasa hukumnya masih berbincang-bincang dengan Damian."Jangan terlalu diambil hati." Kuasa hukum pribadi Aidan mendekati Aldebaran dan menepuk pelan pundak pemuda itu. "Dia peduli padamu. Begitu mendengar kabar dari Damian jika kondisimu sedang tidak baik, dia membatalkan semua agendanya siang ini dan bergegas datang kemari untuk menggantikan kamu menghandle pertemuan tadi.""Makasih, Om." Alde menatap kuasa hukum pribadi ayahnya itu dengan wajah kusut. "Tapi ayah tidak tahu masalah yang sebenarnya, kan?""Apa ada hal yang ayahmu tidak tahu?"Aldebaran pun mendesah membayangkan amukan dari sang ayah. Sejak kecil dia dan semua saudaranya dididik untuk menjadi pribadi yang tangguh dan pantang menyerah dalam segala hal. Jika ayahnya tahu tentang Kania, bisa-bisa dirinya dicoret dari anggota keluarga Blackstone karena dianggap pecundang."Aku sama sekali tidak menyalahkan mu. Terkadang laki-laki memiliki alasan kuat untuk memilih memendam sendiri perasaannya. Yah, meski aku tidak tahu apa alasanmu, tapi aku tahu persis bagaimana rasanya ketika kita hanya bisa menatap dari jauh wanita yang kau cintai tanpa pernah memiliki nyali untuk mengungkapkan perasaanmu yang sebenarnya.""Om Azka ... Jadi, Om Azka belum menikah sampai sekarang karena Om tidak berani menyatakan perasaan Om?" Aldebaran menjadi begitu bersimpati pada salah satu sahabat baik ayahnya itu dan tiba-tiba beban yang ia rasakan begitu berat tadi menjadi sedikit lebih ringan karena merasa ada yang senasib sepenanggungan. "Sudah berapa lama?"Azka tertawa renyah. "Kau pasti terkejut mendengarnya, tapi jika kau memang penasaran, kira-kira sudah 23 tahun.""Demi Tuhan! Bagaimana bisa Om bertahan selama itu? Lalu bagaimana kabar gadis itu sekarang?""Dia sudah menikah dan memiliki banyak anak.""Dan Om Azka diam saja ketika dia menikah?" Aldebaran tidak menyukai bagian ini. "Apa perasaan itu akhirnya hilang?""Yang terpenting dia bahagia dan perasaan itu tidak pernah sirna. Kian hari justru kian membesar." Azka menjawab dengan tatapan menerawang, tapi wajahnya terlihat tenang dan tidak menyiratkan cemburu sedikit pun. "Tapi aku bersumpah dalam hatiku, jika sekali saja suaminya bertindak kasar atau bahkan membuatnya menangis, maka aku tidak akan segan untuk membawanya kabur."Aldebaran menggelengkan kepala, tanda tidak setuju dengan keputusan yang diambil oleh sahabat ayahnya itu. Dia pun bertanya apa alasan Azka memilih tetap bungkam selama lebih dari dua puluh tahun ini, bukannya memperjuangkan cintanya. Namun, karena saat itu sekretaris ayahnya datang dan berkata bahwa ayahnya sudah menunggu di luar, ia pun akhirnya tidak sempat mendengar jawaban itu. Padahal dirinya membutuhkan referensi agar bisa mengambil tindakan yang tepat dan tidak sampai salah langkah.Sepeninggal sekretaris dan kuasa hukum ayahnya, Aldebaran masih duduk diam di dalam ruang pertemuan itu. Kepalanya memutar otak, memikirkan cara untuk membatalkan pernikahan Kania. Dirinya tidak mau bernasib seperti Om Azka. Jadi, pada detik-detik terakhir ini dirinya akan berjuang untuk mendapatkan cintanya. ****Aldebaran duduk sendiri di bawah pohon mangga di belakang rumahnya, menjauh dari anggota keluarganya yang lain. Dirinya sedang tidak ingin terlibat obrolan atau interaksi dengan mereka karena pada setiap detik yang berjalan hatinya semakin merasa tak tenang. Hidupnya terasa seperti di ujung tanduk dan untuk tetap bertahan dirinya harus segera bertindak atau semua akan terlambat dan Kania akhirnya menjadi milik lelaki lain."Kenapa tidak gabung dengan yang lain?"Alde tidak menoleh untuk melihat siapa yang datang. Dari suaranya saja Alde sudah tahu jika itu adalah kakak sulungnya. Sesaat dirinya terpikir untuk meminta bantuan kakaknya yang serba bisa itu, tapi mengingat sang kakak baru saja menikah, dirinya membatalkan niatnya itu. "Lagi cari angin.""Jangan bohong! Dari nada suaramu saja, Kakak tau kau sedang ada masalah. Ada apa?" Alde menghela napas berat. Sulit untuk berpura-pura bahwa dirinya baik-baik saja karena hatinya rasanya sudah remuk. Namun,
"Siapa?"Jantung Aldebaran berdebar ketika mendengar suara itu. Listrik belum menyala hingga suasana kamar pengantin itu masih remang-remang dari lampu emergency yang terpasang di setiap kamar hotel itu. Tidak sepenuhnya terang benderang, tapi cukup untuk memberikan pencahayaan di kamar itu. "Kania." Suara Alde terdengar parau. Ia pun menggigit bagian dalam pipinya untuk mengurangi rasa gugup. Debaran di dadanya semakin tak terkendali. Kakinya pun mulai gemetar hingga rasanya lemas seperti tak memiliki tulang. Keringat dingin membasahi wajah dan telapak tangannya. Alde menahan napas ketika Kania berdiri sambil berjalan lambat ke arahnya. Raut wajah gadis itu pun terlihat terkejut dan tak percaya dengan kehadirannya."Kak ... Aldebaran?" Ia menutup mulut dengan kedua tangannya, sementara matanya membelalak lebar.Bukan hanya Kania yang terkejut, Aldebaran pun sama. Kania terlihat cantik dengan baju pengantinnya. Hal itu membuatnya terdiam selama b
Angin berhembus dengan kencang seiring dengan suara debur ombak yang memecah karang. Aldebaran beranjak dari tempatnya duduk di samping ranjang Kania untuk menutup jendela yang terus terbuka dan tertutup karena tertiup angin. Saat ini dirinya sedang berada di pulau pribadi milik keluarga Blackstone. Sebuah tempat yang aman untuk menyembunyikan Kania sementara waktu.Sejak tiba di pulau sampai menjelang tengah malam, Kania belum juga bangun. Gadis itu masih lelap tak terganggu oleh keributan suara angin, debur ombak, dan juga jendela yang terus menabrak daun pintu dengan keras.Aldebaran khawatir dan sempat menghubungi kakak sulungnya, bertanya kapan efek obat bius itu hilang atau jangan-jangan kakaknya itu telah memberikan dosis di luar batas wajar. Namun, sang kakak tidak memberi jawaban memuaskan. "Kalau mau dia cepat bangun, tampar saja wajahnya. Lagipula, ini kan salahmu sendiri kenapa memilih menjadi pecundang dan tidak segera mengikat gadis yang kau suka
"Dasar sinting!" Kania memaki pintu kamar yang menutup dengan keras. Dadanya bergerak naik turun dengan napas terengah-engah dalam upaya mengendalikan emosi dan menjaga kewarasan akal sehatnya. Dirinya sudah muak dengan semua sikap tidak pasti Aldebaran yang selalu seperti ini. Sejak dulu, lelaki itu hanya akan muncul di saat-saat dirinya berusaha membuka hati dan kesempatan untuk kaum lelaki. Si Brengsek itu membuat semua cowok yang mencoba mendekatinya mundur teratur bahkan tanpa dia butuh melakukan apa pun. Kania kembali teringat, dulu ada seniornya di kampus yang ingin berkenalan lebih dekat dengannya. Dia berkunjung ke rumah Kania layaknya seorang cowok yang sedang apel pada ceweknya. Dan entah hanya kebetulan atau bagaimana, saat itu juga Aldebaran muncul di pintu rumahnya, membawa bunga, coklat, dan boneka super besar yang pastinya tidak murah, membuat seniornya itu akhirnya memilih pamit pulang dan tidak pernah menyapanya lagi meski berpapasan di kampus.
Aldebaran membaringkan Kania di dermaga, kemudian melakukan CPR karena gadis itu diam tak bergerak. Meski bukan seorang dokter atau tenaga medis, Alde tetap tahu tindakan pertolongan pertama. Itu semacam pelatihan yang diwajibkan oleh ayahnya. Aldebaran mengangkat sedikit dagu Kania, kemudian meletakkan telapak tangan di dada Kania dengan lengan lurus dan mulai memberikan tekanan di sana. Sesekali dia berhenti untuk mengecek napas Kania hingga ia pun memberikan napas buatan. Tak lama kemudian, Kania pun terbatuk-batuk dan sadar. Air menyembur dari mulutnya tatkala ia batuk. Kania mengerang sambil memegang tenggorokannya yang terasa terbakar. Ia mencoba untuk duduk, tapi Aldebaran tidak mau membantunya. Lelaki itu menatapnya dengan sorot kaku dengan dada naik turun akibat napasnya yang memburu. Ia mencoba mengatakan sesuatu, tapi langsung berhenti berbicara dan kembali terbatuk-batuk tatkala rasa perih dan terbakar kembali menyerang tenggorokan hingga da
"Ayah." Aldebaran menyambut ayahnya yang datang membawa koper yang ia yakin berisi beberapa perlengkapan medis. Ayahnya adalah seorang dokter. Dokter yang jenius dan berbakat. Ayahnya tidak menjawab, justru bersikap seolah tak melihatnya sama sekali. "Ayah, tunggu!" Alde mengikuti ayahnya yang langsung menerobos masuk ke dalam. "Kania ada di ... Dia—"Aidan Blackstone berhenti di depan pintu kamar Kania, ia menoleh sebentar ke arah sang putra, kemudian langsung mendorong pintu itu hingga terbuka. "Ayah." Aldebaran menahan lengan sang ayah. Ia tidak ingin ayahnya melihat Kania yang sedang tidak berbusana, tetapi ayahnya itu mengibaskan tangannya dengan mudah dan langsung mendekati tempat tidur di mana Kania masih mengigau dengan mata terpejam. Ia pun akhirnya hanya bisa pasrah ketika ayahnya sudah mulai memeriksa Kania, menyingkap sedikit selimut di yang menutupi bagian atas tubuh gadis itu. "Aku tidak melakukan apa-apa, hanya membawan
Aldebaran berniat menengok Kania di kamarnya, kalau dia sudah bangun. Namun, ia terkejut ketika mendapati gadis itu justru sedang duduk memeluk lututnya sendiri sambil menangis. "Ada apa?" Aldebaran melintasi ruang kamar dalam langkah panjang agar bisa lekas menghampiri Kania. Ia duduk di tepi tempat tidur menghadap Kania. "Apa ada yang sakit?" Kania tidak menjawab. Ia hanya terus terisak, membuat Aldebaran kebingungan. "Mungkin sebaiknya kau berbaring dulu. Aku panggilkan Ayah supaya memeriksa kondisimu lebih teliti lagi."Kania menggeleng. "Aku mendengar percakapanmu dan ayahmu,"ujarnya dengan suara serak."Kau ... Bagaimana bisa?" "Aku haus dan berniat mengambil air ke dapur, tapi aku salah jalan." Kania menjelaskan di sela-sela isak tangsinya."Ahh." Aldebaran mengangguk mengerti. "Aku seharusnya mengantisipasi hal itu," ujarnya dengan penuh penyesalan. "Maafkan aku."Kania tidak merespon lagi. Gadis itu
Alde berjalan dengan langkah kaki seperti robot, kembali ke dapur. Di pintu dapur langkahnya terhenti. Ia mengatur napas sambil berusaha menguasai diri agar bisa berbicara dengan lancar di hadapan Kania. Tebersit rasa bersalah menghantui tatkala melihat Kania duduk di depan meja dengan tangan ia tumpukan di atas meja, sementara makanan di atas meja masih utuh dan piring-piring pun masih bersih belum terisi makanan.Alde membuang napas dengan keras, kemudian melangkah ke dapur dengan suara langkah kaki se-berisik mungkin untuk menarik perhatian Kania. "Kau belum makan?" Ia bertanya cepat. Dalam hatinya mendesah lega karena kalimat itu keluar dengan lancar. "Aku menunggumu kembali dari toilet." Kania mengangkat kepala, menatap Alde dengan senyum manis tersungging di wajahnya. Hal itu membuat Alde terdiam seketika, terpana oleh senyum yang selalu melumpuhkan seluruh sel syaraf di tubuhnya. "Ayok, makan, Kak. Aku sudah lapar sekali." Kania menatap Alde denga