Kania, batin Aldebaran sambil mengangkat kedua sudut bibirnya. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan mempelai wanitanya itu. Gadis yang sudah tujuh tahun ini menghuni relung jiwanya. Setelah melalui berbagai rintangan dan hambatan, hari ini impiannya untuk mempersunting gadis itu pun akan terwujud.
Aldebaran merasa bahagia tentu saja, tapi tetap saja ada setitik rasa bersalah menggelayuti hatinya. Karena sampai detik ini dirinya belum pernah menyatakan cintanya pada Kania. Sungguh luar biasa, Kania tetap bersedia menerima lamarannya meski tanpa embel-embel 'cinta'."Nanti, Kania," Aldebaran bicara sendiri. "Aku pasti akan memberikan pernyataan cinta yang bahkan tak pernah diimpikan oleh wanita mana pun. Aku janji."Aldebaran menghentikan mobilnya di depan gerbang rumah Kania. Hari masih gelap. Bahkan, langit di ufuk timur pun belum menampakkan fajar. Namun, Aldebaran sudah tidak sabar untuk segera bertemu mempelai wanitanya itu dan bergegas ke hotel, tempat pernikahan mereka akan digelar.Bukan sebuah acara besar, hanya acara yang dihadiri oleh keluarga besar Blackstone saja. Masalahnya dengan Sulthan—mantan calon suami Kania—belum beres hingga dirinya tidak bisa mengekspose pernikahannya ke publik.Sulthan masih marah dan tersinggung karena calon pengantinnya diculik lima belas menit sebelum acara pernikahan itu sendiri digelar, tepat di depan hidungnya. Dan dia tidak bisa melacak keberadaan Kania karena Aldebaran sebagai salah seorang pewaris kerajaan Blackstone telah menyembunyikan gadis itu di pulau pribadi milik keluarganya.Aldebaran tahu bahwa cara yang ia tempuh salah, tapi itu adalah kesempatan terakhir yang ia miliki untuk bisa meraih Kania. Meski konsekuensi dari penculikan itu sangatlah berat dan fatal, tapi semua itu sebanding dengan apa yang ia dapatkan saat ini."Brengsek!" Aldebaran mengumpat keras karena melihat pos penjaga kosong, sementara pintu gerbangnya pun sedikit terbuka. Hal itu tidak bisa dimaklumi mengikat kondisi yang ada saat ini mengharuskan Kania dan keluarganya harus berada dalam penjagaan selama dua puluh empat jam penuh. Semalam, dirinya sudah mewanti-wanti penjaga yang ia tempatkan di rumah Kania untuk tidak meninggalkan pos tanpa penjaga. Lalu, bagaimana bisa saat ini pos itu kosong.Ia pun bergegas turun untuk membuka gerbang itu sendiri, kemudian kembali masuk ke dalam mobil dan melaju cepat masuk ke halaman rumah Kania.Aldebaran mematikan mesin mobil. Seketika suasana menjadi sunyi. Keadaan sekitar pun menjadi gelap gulita karena Lampu dari kendaraan ikut mati seiring dengan dimatikannya mesin mobil. Itu bukan pertanda baik.Setelah keluar dari mobil, Aldebaran mendongak, melihat ke arah kamar Kania dan kembali dihinggapi rasa was-was ketika melihat lampu kamar itu tidak menyala. Seharusnya, saat ini Kania sudah mulai bersiap-siap, berdandan, mungkin, untuk acara pernikahan pagi nanti seperti seluruh anggota keluarganya sendiri yang sejak tadi sudah heboh di rumah.Pernikahan ini sengaja diadakan pagi-pagi sekali karena setelahnya ia dan Kania akan langsung berangkat bulan madu.Aldebaran melangkah cepat melintasi teras, kemudian mendorong pintu utama yang sesuai dugaannya tidak dikunci. Keadaan di dalam yang menyambutnya tidak jauh berbeda dengan di luar: sunyi dan gelap. Bahkan, terlalu sunyi untuk ukuran rumah calon pengantin yang beberapa jam lagi akan melangsungkan pernikahan.Pikiran Aldebaran sangat terganggu dengan keadaan itu. Apakah Kania dan keluarganya kabur? Apakah ....Segala pikiran yang berkecamuk di benak Aldebaran terhenti begitu kakinya menginjak sesuatu yang lunak tapi padat. Ia membungkuk untuk melihat benda yang baru saja ia injak. Ia mencelos saat tahu benda itu adalah sebuah pergelangan tangan. Suasana memang gelap, tapi Aldebaran sangat yakin bahwa itu adalah tangan.Ia pun mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menyalakan senter. Benar. Itu adalah tangan. Senternya bergerak naik ke atas untuk melihat wajah si pemilik tangan. Jantungnya seakan berhenti berdetak tatkala tatapannya tertumbuk pada wajah pucat calon ayah mertuanya."A-apa yang ...." Aldebaran tidak mampu melanjutkan ucapannya. Pikirannya seketika melayang kepada Kania. Bagaimana nasib gadis itu sekarang?Ia ingin menghambur ke kamar Kania, tapi akal sehatnya mengatakan bahwa dirinya harus memberi kabar ayah dan keluarganya terlebih dahulu agar mereka bisa datang membawa bantuan. Ia tidak.bisa mengambil risiko pembicaraannya dengan sang ayah didengar hingga ia hanya mengirim pesan melalui grup keluarga serta melampirkan foto ayah Kania. Pesan itu pun mendapat balasan hanya beberapa detik setelah ia kirimkan. Ayahnya berjanji untuk segera datang membawa bla bantuan, sementara itu dirinya diminta untuk tetap berhati-hati karena bisa jadi pelaku kejahatan itu masih berada di dalam sana. Aldebaran bangkit. Dirinya tidak bisa menunggu ayahnya datang untuk bisa menemukan Kania. Dengan senter ponsel masih menyala, ia berlari ke arah tangga dan menaikinya dengan tergesa arena kamar Kania terletak di lantai dua. Sampai di anak tangga teratas, ia pun memperlambat langkah dan mempertajam pendengaran. Namun, telinganya tidak bisa menangkap suara apa pun yang mencurigakan. Kakinya terus melangkah, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Itu sangat berat untuk dilakukan karena dorongan hatinya menuntut untuk segera mendobrak pintu kamar Kania, memastikan gadis itu baik-baik saja. Saat itulah telinganya menangkap suara tawa mengejek sekaligus tak sabar dari kamar Kania. Seketika akal sehatnya mati hingga ia pun bergegas menghampiri kamar Kania dan menendang pintunya dengan keras."Akhirnya kau datang juga." Sebuah suara menyambut kedatangan Aldebaran.Sekujur tubuh Aldebaran menegang. Rahangnya berubah kaku dengan kedua tangan mengepal di samping tubuhnya, mengutuk kelalaiannya sendiri. Seharusnya ia tahu bahwa Sulthan pasti masih terus mengintai dan mencari kesempatan untuk membalas dendam.Aldebaran maju beberapa langkah. Tatapannya yang dingin dan tajam jatuh pada sosok perempuan yang sedang berada di pangkuan Sulthan, menciumi leher bajingan itu dengan sangat menjijikkan. Namun, bukan fakta bahwa dia menciumi Sulthan yang membuatnya jijik dan muak, tapi kenyataan bahwa wanita murahan itu adalah ibu tiri Kania yang membuatnya marah.Ibu tiri Kania tidak pernah ia antisipasi akan menjadi musuh dalam selimut. Semalam, wanita itu masih tersenyum padanya, meyakinkan dirinya bahwa Kania akan menjadi pengantin tercantik yang pernah ada. Rupanya itu hanya tipuan yang sangat cerdik. Dan yang membuatnya semakin marah adalah fakta bahwa dirinya pun tertipu. "Ternyata kau ...." Alde mengembuskan napas dengan keras, tak kuasa melanjutkan umpatan yang sudah menumpuk di tenggorokannya.Wanita itu meringis melihat kegelapan dalam tatapan Aldebaran. Ia takut dan sudah banyak mendengar tentang reputasi Aldebaran Blackstone. Ohh, dia tidak pernah terlibat skandal atau tindak kriminal, tapi siapa yang tidak mengenal keluarga Blackstone?Sebelum ibu tiri Kania bisa memperkirakan apa yang akan terjadi padanya, Aldebaran menarik paksa tubuhnya dari pangkuan Sulthan, menghempaskan tubuhnya dengan keras ke meja rias, membuat cermin dan rak kacanya hancur. Tubuh ibu tiri Kania tergeletak di lantai bersimbah darah. Matanya melirik ke atas, mengharap pertolongan dari Sulthan. Namun, ketika pria itu bahkan tidak menoleh ke arahnya, ia pun tahu bahwa dirinya telah diperdaya oleh Sulthan. "Da-da-sar ba-ji ...." Kata-katanya tidak pernah selesai karena nyawa sudah lebih dulu terlepas dari tubuhnya.Sulthan melirik sebentar tubuh ibu tiri Kania, kemudian menyeringai ke arah Aldebaran, sama sekali tidak ada rasa duka atau penyesalan di wajahnya. "Aku memang berniat menyingkirkan jalang itu setelah menyelesaikan urusan kita, tapi kau membuat pekerjaanku lebih mudah.""Seharusnya urusan kita sudah selesai, Sulthan. Aku sudah melunasi semua utang keluarga Kania padamu, mengganti semua biaya resepsi pernikahanmu yang batal, dan memberikan cukup kompensasi untukmu. Jadi, jangan lagi mencari masalah denganku."Sulthan mendengus keras. "Kau yang menculik calon pengantinku, lalu kau juga yang menuduhku mencari masalah?""Aku tidak menyesal akan hal itu karena kau melakukan itu hanya untuk menutupi kebobrokanmu, bukan?" Aldebaran sama sekali tidak merasa terintimidasi oleh kemarahan Sulthan. Ayahnya sudah menemui ayah Sulthan untuk menyelesaikan pertikaian di antara mereka secara kekeluargaan. Ayah Sulthan sudah setuju untuk tidak memperpanjang permasalahan yang ada setelah sejumlah uang ia terima sebagai kompensasi.Sulthan mencelos. "Apa maksudmu!?""Jangan berpura-pura. Aku sudah tahu kau menikahi Kania hanya untuk menutupi kenyataan bahwa kau tidak memiliki selera terhadap perempuan. Ayahmu tidak mempermasalahkan itu selama kau bisa tetap menikah dan mendapatkan keturunan sebagai pewaris." Aldebaran menatap Sulthan dengan raut jijik. "Ayahmu yang akan memberikan keturunan itu kepada Kania, tapi kau yang tetap akan berperan sebagai ayahnya. Sungguh rencana yang sangat menjijikkan.""Kau ...." Sulthan memucat, tidak mengira Aldebaran akan mengetahui rahasia tergelapnya itu. Semua kekasihnya terikat perjanjian untuk menjaga rahasia dengan konsekuensi mengerikan jika sampai ada yang bocor. Lalu, dari mana Aldebaran ...."Jangan khawatir soal rahasiamu." Meski Aldebaran dikuasai oleh amarah, dirinya tetap tidak memiliki niat untuk menghancurkan Sulthan. "Aku bersumpah tidak akan menyebarkan hal itu, selama kau bisa melepaskan Kania—""Sudah terlambat," potong Sulthan."Apa maksudmu!?" geram Aldebaran.Sulthan menyeringai, kemudian melangkah ke arah pintu untuk menyalakan saklar lampu yang ada di samping pintu. Kamar seketika menjadi terang benderang. "Jika masih sudi, kau bisa memungutnya." Ia melemparkan pandang ke arah tempat tidur di bagian dalam kamar.Aldebaran berbalik badan. Selama sesaat ia masih mencerna pemandangan yang ada di depannya. Beberapa orang pria bertubuh kekar berada di atas tempat tidur dengan tubuh bagian bawah terbuka, sementara beberapa lagi berdiri di pinggir ranjang, menunggu giliran. Awalnya, ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Namun, saat tatapannya jatuh pergelangan tangan yang tergolek di samping tempat tidur, ia pun tidak bisa lagi menahan diri.Aldebaran mengeluarkan pisau lipat perak dari saku celananya dan maju menerjang. Ia menusukkan pisau itu pada bagian vital orang-orang yang mengerubungi Kania, membutakan dan melumpuhkan mereka. Seperti orang kesetanan, ia pun menendang dan melempar tubuh-tubuh kesakitan itu menjauh dari ranjang. "Tidak!" geraman menyakitkan keluar dari tenggorokannya. "Kania!"Akal sehat Aldebaran mati. Ia berbalik dan menyerang Sulthan, menyabetkan pisau di tangannya ke bagian tubuh Sulthan mana saja yang bisa ia jangkau. Namun, pria itu malah terkekeh, mengejeknya sambil terus menghindari serangannya."Gadis jalang itulah yang akan kau nikahi?" Sulthan mencibir ke arah tempat tidur. "Dia sudah mengkhianatimu, jadi, sudah sepantasnya dia mendapatkan balasan yang setimpal. Dasar jalang!"Tubuh Aldebaran gemetar hebat hingga pisau di tangannya terlepas, sementara tenggorokannya mengeluarkan gerakan seperti binatang buas yang sedang marah."Jalang itu sudah rusak." Sulthan tertawa puas. "Meski kau membunuhku, aku tidak akan pernah menyesalinya. Setidaknya, jalang itu sudah merasakan pembalasan paling menyakitkan dariku."Aldebaran menerjang maju, mencekik leher Sulthan dan mengangkat tubuh itu ke atas hingga kaki Sulthan tidak lagi menapak di lantai. "Aku tak akan membiarkanmu mati dengan mudah. Kau harus merasakan penderitaan seperti yang dialami Kania."Saat itulah Sulthan baru merasa ketakutan. Awalnya,.ia mengira bahwa Aldebaran akan membunuhnya, tapi ternyata tidak. Mantan rekan bisnisnya itu mengeluarkan pisau lipat lain dari balik jaketnya, lebih kecil dan terlihat lebih tajam. "A-apa yang akan kau lakukan?" Ia bertanya dengan suara gemetar.Aldebaran tidak menjawab. Ia menggerakkan pisau bermata tajam itu di sepanjang rahang Sulthan, lalu naik di sekitar matanya. Namun, sebelum dirinya sempat melakukan sesuatu dengan pisau itu, sebuah tangan menahannya dengan kuat dan menarik pisau itu dari tangannya."Biar Ayah yang urus dia. Kania membutuhkan pertolonganmu."Aldebaran hanya menjawab dengan geraman keras yang bahkan ia sendiri tidak tahu bisa melakukannya."Tangani Kania sekarang atau terlambat!""Tidak." Aldebaran akhirnya menoleh. Saat itulah ia melihat bahwa kakak dan juga empat adiknya ikut datang bersama ayahnya. Saudara kembarnya maju ke sisinya dan berkata, "serahkan dia padaku."Ia hanya menjawab dengan tatapan mata yang mungkin hanya saudara kembarnya itu yang tahu apa artinya. Mereka sudah seperti satu jiwa yang saling memahami satu sama lain tanpa perlu banyak berkata."Kania." Ayahnya kembali mengingatkan sambil merangkul pundak Aldebaran ke arah tempat tidur.Kakak sulung Aldebaran yang seorang dokter langsung memalingkan wajah ketika melihat tubuh telanjang Kania, hingga ayahnya datang membawa bed cover yang sebelumnya tergeletak di lantai untuk menutupi tubuh Kania. Namun, Aldebaran masih sempat melihat beberapa bagian tubuh Kania yang memar serta darah yang menggenang di antara kedua paha Kania.Hatinya perih dan air mata tanpa sadar menetes dari kedua sudut matanya. Ia pun memejamkan mata dengan erat untuk menahan sakit saat mengetahui gadis yang sangat ia cintai harus mengalami nasib yang demikian kejam. Telinganya bisa menangkap percakapan ayah dan kakaknya yang sedang memeriksa kondisi Kania, tapi dirinya tidak mampu untuk bergerak membantu. Bahkan, untuk sekedar melangkah ke arah tempat tidur saja ia tak mampu."Ini bukan saatnya untuk meratapi nasib!" Ayah Aldebaran meninju kepala Aldebaran. "Gendong dia ke bawa, ayah akan siapkan mobil. Dia membutuhkan pertolongan medis secepatnya!"Aldebaran melirik ke tempat tidur sebentar, kemudian mengangguk. Aku harus kuat, batinnya. Kemudian, sambil mengusap air mata yang menghalangi penglihatannya, ia naik ke atas tempat tidur dan mengangkat tubuh Kania dengan sangat hati-hati seolah tubuh itu benda rapuh yang bisa dengan mudah hancur berkeping jika dirinya tidak berhati-hati.Air mata Aldebaran kembali mengalir deras tatkala melihat wajah pucat Kania. "Kumohon bertahanlah," ujarnya dengan suara bergetar. Dalam hatinya bersumpah akan membuat Sulthan membayar apa yang sudah dia perbuat terhadap Kania.***Dia meremas undangan di tangannya dengan kuat sampai menjadi bentuk bola. Tatapannya menerawang menembus dinding kaca ruang kerjanya dan berhenti pada satu titik di kejauhan yang ia ketahui sebagai sebuah pemancar salah satu stasiun televisi swasta di kota ini, sementara hatinya diliputi amarah sekaligus putus asa. Namun, dirinya sama sekali tidak tahu amarah itu harus ditujukan pada siapa.Beberapa saat yang lalu asisten pribadinya menunjukkan jadwal serta undangan yang harus ia hadiri esok hari, salah satunya adalah undangan pernikahan daria rekan bisnisnya. Awalnya dia tidak terlalu tertarik membaca sendiri undangan itu karena dia yakin jika sang asisten pribadi pasti sudah mengatur jadwal untuk menghadiri acara itu, tapi warna tosca kombinasi putih undangan itu cukup menarik perhatiannya karena warna itu merupakan warna kesukaan gadis pujaan hatinya. Seperti tersambar petir di siang bolong ketika Aldebaran membaca nama mempelai pengantin wanita yang tertera dalam
Aldebaran duduk sendiri di bawah pohon mangga di belakang rumahnya, menjauh dari anggota keluarganya yang lain. Dirinya sedang tidak ingin terlibat obrolan atau interaksi dengan mereka karena pada setiap detik yang berjalan hatinya semakin merasa tak tenang. Hidupnya terasa seperti di ujung tanduk dan untuk tetap bertahan dirinya harus segera bertindak atau semua akan terlambat dan Kania akhirnya menjadi milik lelaki lain."Kenapa tidak gabung dengan yang lain?"Alde tidak menoleh untuk melihat siapa yang datang. Dari suaranya saja Alde sudah tahu jika itu adalah kakak sulungnya. Sesaat dirinya terpikir untuk meminta bantuan kakaknya yang serba bisa itu, tapi mengingat sang kakak baru saja menikah, dirinya membatalkan niatnya itu. "Lagi cari angin.""Jangan bohong! Dari nada suaramu saja, Kakak tau kau sedang ada masalah. Ada apa?" Alde menghela napas berat. Sulit untuk berpura-pura bahwa dirinya baik-baik saja karena hatinya rasanya sudah remuk. Namun,
"Siapa?"Jantung Aldebaran berdebar ketika mendengar suara itu. Listrik belum menyala hingga suasana kamar pengantin itu masih remang-remang dari lampu emergency yang terpasang di setiap kamar hotel itu. Tidak sepenuhnya terang benderang, tapi cukup untuk memberikan pencahayaan di kamar itu. "Kania." Suara Alde terdengar parau. Ia pun menggigit bagian dalam pipinya untuk mengurangi rasa gugup. Debaran di dadanya semakin tak terkendali. Kakinya pun mulai gemetar hingga rasanya lemas seperti tak memiliki tulang. Keringat dingin membasahi wajah dan telapak tangannya. Alde menahan napas ketika Kania berdiri sambil berjalan lambat ke arahnya. Raut wajah gadis itu pun terlihat terkejut dan tak percaya dengan kehadirannya."Kak ... Aldebaran?" Ia menutup mulut dengan kedua tangannya, sementara matanya membelalak lebar.Bukan hanya Kania yang terkejut, Aldebaran pun sama. Kania terlihat cantik dengan baju pengantinnya. Hal itu membuatnya terdiam selama b
Angin berhembus dengan kencang seiring dengan suara debur ombak yang memecah karang. Aldebaran beranjak dari tempatnya duduk di samping ranjang Kania untuk menutup jendela yang terus terbuka dan tertutup karena tertiup angin. Saat ini dirinya sedang berada di pulau pribadi milik keluarga Blackstone. Sebuah tempat yang aman untuk menyembunyikan Kania sementara waktu.Sejak tiba di pulau sampai menjelang tengah malam, Kania belum juga bangun. Gadis itu masih lelap tak terganggu oleh keributan suara angin, debur ombak, dan juga jendela yang terus menabrak daun pintu dengan keras.Aldebaran khawatir dan sempat menghubungi kakak sulungnya, bertanya kapan efek obat bius itu hilang atau jangan-jangan kakaknya itu telah memberikan dosis di luar batas wajar. Namun, sang kakak tidak memberi jawaban memuaskan. "Kalau mau dia cepat bangun, tampar saja wajahnya. Lagipula, ini kan salahmu sendiri kenapa memilih menjadi pecundang dan tidak segera mengikat gadis yang kau suka
"Dasar sinting!" Kania memaki pintu kamar yang menutup dengan keras. Dadanya bergerak naik turun dengan napas terengah-engah dalam upaya mengendalikan emosi dan menjaga kewarasan akal sehatnya. Dirinya sudah muak dengan semua sikap tidak pasti Aldebaran yang selalu seperti ini. Sejak dulu, lelaki itu hanya akan muncul di saat-saat dirinya berusaha membuka hati dan kesempatan untuk kaum lelaki. Si Brengsek itu membuat semua cowok yang mencoba mendekatinya mundur teratur bahkan tanpa dia butuh melakukan apa pun. Kania kembali teringat, dulu ada seniornya di kampus yang ingin berkenalan lebih dekat dengannya. Dia berkunjung ke rumah Kania layaknya seorang cowok yang sedang apel pada ceweknya. Dan entah hanya kebetulan atau bagaimana, saat itu juga Aldebaran muncul di pintu rumahnya, membawa bunga, coklat, dan boneka super besar yang pastinya tidak murah, membuat seniornya itu akhirnya memilih pamit pulang dan tidak pernah menyapanya lagi meski berpapasan di kampus.
Aldebaran membaringkan Kania di dermaga, kemudian melakukan CPR karena gadis itu diam tak bergerak. Meski bukan seorang dokter atau tenaga medis, Alde tetap tahu tindakan pertolongan pertama. Itu semacam pelatihan yang diwajibkan oleh ayahnya. Aldebaran mengangkat sedikit dagu Kania, kemudian meletakkan telapak tangan di dada Kania dengan lengan lurus dan mulai memberikan tekanan di sana. Sesekali dia berhenti untuk mengecek napas Kania hingga ia pun memberikan napas buatan. Tak lama kemudian, Kania pun terbatuk-batuk dan sadar. Air menyembur dari mulutnya tatkala ia batuk. Kania mengerang sambil memegang tenggorokannya yang terasa terbakar. Ia mencoba untuk duduk, tapi Aldebaran tidak mau membantunya. Lelaki itu menatapnya dengan sorot kaku dengan dada naik turun akibat napasnya yang memburu. Ia mencoba mengatakan sesuatu, tapi langsung berhenti berbicara dan kembali terbatuk-batuk tatkala rasa perih dan terbakar kembali menyerang tenggorokan hingga da
"Ayah." Aldebaran menyambut ayahnya yang datang membawa koper yang ia yakin berisi beberapa perlengkapan medis. Ayahnya adalah seorang dokter. Dokter yang jenius dan berbakat. Ayahnya tidak menjawab, justru bersikap seolah tak melihatnya sama sekali. "Ayah, tunggu!" Alde mengikuti ayahnya yang langsung menerobos masuk ke dalam. "Kania ada di ... Dia—"Aidan Blackstone berhenti di depan pintu kamar Kania, ia menoleh sebentar ke arah sang putra, kemudian langsung mendorong pintu itu hingga terbuka. "Ayah." Aldebaran menahan lengan sang ayah. Ia tidak ingin ayahnya melihat Kania yang sedang tidak berbusana, tetapi ayahnya itu mengibaskan tangannya dengan mudah dan langsung mendekati tempat tidur di mana Kania masih mengigau dengan mata terpejam. Ia pun akhirnya hanya bisa pasrah ketika ayahnya sudah mulai memeriksa Kania, menyingkap sedikit selimut di yang menutupi bagian atas tubuh gadis itu. "Aku tidak melakukan apa-apa, hanya membawan
Aldebaran berniat menengok Kania di kamarnya, kalau dia sudah bangun. Namun, ia terkejut ketika mendapati gadis itu justru sedang duduk memeluk lututnya sendiri sambil menangis. "Ada apa?" Aldebaran melintasi ruang kamar dalam langkah panjang agar bisa lekas menghampiri Kania. Ia duduk di tepi tempat tidur menghadap Kania. "Apa ada yang sakit?" Kania tidak menjawab. Ia hanya terus terisak, membuat Aldebaran kebingungan. "Mungkin sebaiknya kau berbaring dulu. Aku panggilkan Ayah supaya memeriksa kondisimu lebih teliti lagi."Kania menggeleng. "Aku mendengar percakapanmu dan ayahmu,"ujarnya dengan suara serak."Kau ... Bagaimana bisa?" "Aku haus dan berniat mengambil air ke dapur, tapi aku salah jalan." Kania menjelaskan di sela-sela isak tangsinya."Ahh." Aldebaran mengangguk mengerti. "Aku seharusnya mengantisipasi hal itu," ujarnya dengan penuh penyesalan. "Maafkan aku."Kania tidak merespon lagi. Gadis itu