Keluarga adalah harta paling berharga.
Keluarga? Kenapa kata itu terdengar asing di telinga perempuan 25 tahun itu. Baginya keluarga tidak ada harganya, keluarga adalah kata benda tanpa arti dan kehangatan keluarga adalah bualan yang sialnya sampai sekarang masih sering dia dengar. Baginya tidak ada yang lebih berharga selain waktu dan uang. Seperti pepatah yang sering dia dengar “waktu adalah uang.”
Perempuan itu masih memandang foto keluarga Nafa di meja rias, dalam foto berukuran sedang itu ada Nafa lengkap dengan kedua orang tuanya dan kedua adiknya yang tersenyum bahagia ke arah kamera. Hati kecil perempuan itu menjerit iri, jika ada yang bertanya apa dia menginginkan keluarga yang hangat dan harmonis maka dia akan dengan tegas menjawab iya. Tetapi harapan itu sudah hancur bertahun-tahun lalu. Kehangatan yang seharusnya dia dapat musnah, membuatnya berpikir bahwa keluarga hanya kata benda yang tidak memiliki arti. Keluarganya sangat berbeda dengan keluarga Nafa yang harmonis, bahkan Nafa bisa pulang ke rumahnya tiga kali dalam sebulan. Sangat berbeda dengannya yang pulang tiga bulan sekali. Sampai saat ini dia benar-benar tidak ingin membangun sebuah keluarga. Trauma masa kecilnya membuat dia memandang sinis tentang arti keluarga. Beberapa lelaki yang mencoba mendekatinya memilih mundur tidak tahan dengan sikap dingin perempuan itu.
Ketukan pintu disertai dering ponsel menyadarkan perempuan itu dari lamunan panjang. Perempuan itu segera mengembalikan foto keluarga Nafa di tempat semula dan mengambil ponselnya yang terus berdering. Setelah melihat nama yang tertera di layar ponselnya, dia meletakkan ponsel itu dan segera membuka pintu. Seorang perempuan dengan gamis dan jilbab besar berdiri di depan pintu indekosnya.
“Assalamualaikum, Ona,” sapa Aisyah, kakak keponakan Ona.
Ona memandang banyaknya barang bawaan Aisyah dan segera membantu tanpa menjawab salam. Aisyah tidak pernah mengunjungi indekosnya dengan tangan kosong.
“Ini titipan dari ibumu,” ujar Aisyah sambil meletakkan plastik besar yang isinya dapat Ona tebak. Barang bawaan Aisyah setiap bulan selalu sama: mi instan, kopi instan, dan makanan ringan yang semua itu selalu dalam jumlah banyak. Jika Nafa tahu, perempuan itu pasti akan menggagalkan rencana dietnya.
“Kamu kapan pulang, Na? Udah hampir 3 bulan kamu gak pulang, ibumu khawatir.”
Ona hanya bergumam pelan menanggapi ucapan Aisyah, dia selalu berkata hal yang sama setiap kali mengunjungi Ona. Dan jawaban Ona juga akan selalu sama, diam atau bergumam tidak jelas. Ona akan pulang bila terpaksa, itu pun dia di rumah hanya satu sampai dua hari saja.
Dering ponsel Aisyah mengalihkan perhatian kedua perempuan itu. Setelah melihat nama yang tertera di layar ponselnya senyum langsung merekah di wajah cantik Aisyah. Ona dapat menebak panggilan itu pasti dari Ali, calon suami Aisyah. Aisyah menjauh ke balkon kecil indekos, kamar Ona memang terletak di lantai 2, sedangan lantai 1 khusus untuk lelaki. Wajah Aisyah memerah ketika mengucapkan salam, kemudian Aisyah menjawab setiap pertanyaan Ali dengan lembut dan sabar. Sesekali Aisyah tersipu malu atau tertawa pelan. Perempuan itu bahkan tidak ragu lagi menunjukkan sikap manjanya di depan Ali. Aisyah sudah benar-benar jatuh ke pelukan Ali dan Ona meringis menyadari hal itu. Apa nanti Ona bisa mencintai lelaki seperti Aisyah mencintai Ali?
Ona menggelengkan kepala dan memutar musik di ponselnya dengan volume penuh. Berharap Aisyah menyadari ketidaknyamanannya dan mengakhiri panggilan itu. Namun, nampaknya perempuan berhijab itu sama sekali tidak sadar dengan kode Ona dan terus bicara dalam telepon, sama sekali tidak terganggu dengan suara musik dari ponsel Ona.
Satu jam berlalu, percakapan Aisyah dengan calon suaminya belum juga usai. Ona sudah berusaha mengalihkan perhatian dengan membaca novel. Namun, suara samar Aisyah masih tetap masuk ke gendang telinganya. Ona mendengus, sebenarnya Aisyah mengunjunginya untuk apa, sih? Pamer kemesraan dengan calon suaminya?
Pintu kamarnya kembali diketuk, Ona bangkit dengan malas dan berjalan gontai menuju pintu. Nafa nyelonong masuk begitu pintu dibuka, perempuan berusia satu tahun lebih muda dari Ona itu melemparkan tasnya dan segera merebahkan tubuhnya di kasur. Ona menatap Nafa kesal.
“Aduh, capek banget gue,” ujar Nafa sambil meraih ponsel Ona dan mematikan musik yang Ona putar. “Ini juga nyalain musik kayak orang budeg aja.”
Ona mendengus dan merebut ponselnya dari tangan Nafa.
Menyadari kedatangan teman sekamar Ona, Aisyah mengakhiri percakapannya dengan Ali dan berjalan menghampiri kedua perempuan berbeda kepribadian itu.
“Abis dari Salatiga, Fa?” sapa Aisyah dan duduk di pinggir tempat tidur.
Nafa bangkit sambil berkata, “Iya, Mbak. Mbak Aisyah udah lama?”
“Udah, tapi tadi sibuk angkat telepon dari Mas Ali sampai lupa kalau lagi di kosnya Ona.” Aisyah tersenyum ketika menyebut nama Ali.
“Bucin banget, Mbak,” kekeh Nafa. “Jadinya kapan nikah, nih, Mbak?”
“Dua bulan lagi. Doain lancar, ya.”
“Aminn. Semoga lancar sampai hari H ya, Mbak, jangan lupa undangannya.”
“Pasti, dong. Kamu kalau datang jangan lupa bawa pasangan, Naf, masak ke kondangan sama Ona terus,” goda Aisyah. “Kamu juga jangan lupa bawa, Na.” Aisyah menatap Ona yang sedang membaca novel.
“Ini mah namanya nyindir alus, Mbak. Tau aja kita berdua jomblo akut,” jawab Nafa dramatis. Aisyah tertawa mendengar jawaban Nafa.
Ona memutar bola matanya dan kembali membaca novel. Dia merasa Nafa lebih akrab dengan Aisyah daripada dirinya, sikap easy going Nafa sangat cocok dengan Aisyah yang ramah. Sikap mereka sangat berbeda dengan Ona yang cenderung diam dan canggung. Jika mereka bertiga kumpul, percakapan hanya diisi oleh Nafa dan Aisyah., Ona akan sibuk dengan kegiatannya sendiri dan sesekali menyahuti pertanyaan mereka. Makanya Ona selalu membawa novel ke mana pun dia pergi untuk mengatasi rasa bosan.
Samar-samar terdengar tawa dari lantai 1, semakin lama semaki keras dan ramai. Suara itu menghentikan percakapan Nafa dan Aisyah, mereka juga penasaran dengan sumber ramai-ramai itu. Tidak bisa menahan rasa penasarannya, Nafa bangkit dan keluar kamar untuk mencari tahu asal suara itu.
Beberapa saat kemudian Nafa kembali dengan air muka semringah. Rusuh dari lantai 1 masih jelas terdengar.
“Ada kabar bahagia!” ujar Nafa heboh.
“Apa?” tanya Aisyah penasaran.
“Ada penghuni baru di lantai 1, cowok ganteng banget.” Mata Nafa berbinar-binar. Ona mengeryit, hanya ada penghuni baru kenapa bisa seheboh itu?
“Katanya dia karyawan baru di Konimex dan besok hari pertama dia masuk,” jelas Nafa semangat.
“Terus?” tanya Ona malas.
“Dia analis pengganti Pak Ranto, Na. Ya ampun, jarang-jangan ada analis ganteng kayak gitu. Besok lo harus liat dia, Na. Lo pasti gak bisa berkata-kata.”
“Lebay.” Ona memutar bola matanya malas.
“Berarti udah pasti dia bakal satu lab sama kita, Na,” ujar Nafa menatap Ona. Ona hanya mengangguk malas menanggapi ucapan Nafa.
Aisyah tersenyum melihat interaksi Ona dan Nafa, mereka berdua saling melengkapi, Aisyah bersyukur Ona memiliki teman sekamar seperti Nafa. Setelah melihat jam di pergelangan tangannya, Aisyah pamit pulang pada Nafa dan Ona.
“Ayo taruhan!” tantang Nafa setelah Aisyah pergi.
Ona menatap Nafa malas, Nafa selalu mengajak Ona taruhan dengan hal-hal sepele yang pada akhirnya Nafa selalu kalah.
“Kalau besok lo gak terpesona sama penghuni baru itu, gue bakal traktir lo beli novel.” Nafa selalu tahu kelemahan Ona yang tidak bisa menolak novel gratis. “Gue yakin lo pasti tersihir sama kegantengan dia, Na,” lanjut Nafa yakin.
Seganteng apa, sih?
“Gaes, hari ini ada karyawan baru penggantinya Pak Ratno!” ujar Habib ketika memasuki laboratorium pengujian obat. “Udah tau,” sahut Nafa sambil merapikan alat pengujian di laci kerjanya. Ona hanya diam mendengarkan percakapan kedua temannya. Mereka bertiga sudah berteman sejak menjadi karyawan baru di PT. Konimex, atau lebih tepatnya sejak 7 tahun lalu. Kebetulan mereka berada di satu bagian, yaitu bagian quality control atau biasa disebut QC. Bedanya, Ona asisten analis dari Bu Dama, sedangkan Nafa dan Habib asisten analis dari Pak Ratno yang resign 1 bulan lalu dan baru hari ini ada penggatinya. “Sejak kapan lo lebih update daripada gue?” protes Habib merasa tersaingi, Habib adalah sumber gosip bagi Ona dan Nafa. Lelaki itu sangat lihai mencari bahan gosip. “Lo pasti gak tahu ‘kan kalau dia satu indekos sama kita,” ujar Nafa sombong sambil mengibaskan rambut panjangnya. “Seriusan dia satu indekos sama kalian! Demi apa?” t
Langkah kecil Ona menuruni tangga dengan tergesa, kedua tangannya sibuk merapikan rambut yang masih basah. Mulut mungilnya tidak berhenti menggerutu kesal menyalahkan Nafa, karena kemarin Nafa memaksanya nonton drama korea sampai jam 3 pagi. Alhasil dia jadi bangun kesiangan dan yang membuat Ona semakin dongkol adalah Nafa sengaja tidak membangunkannya dan berangkat ke kantor duluan. Jam di pergelangan tangan Ona sudah menunjukkan pukul 7.55 yang artinya 5 menit lagi akan memasuki jam kerja. Ona tidak akan terlambat kalau dia segera menyalakan sepeda motornya dan melaju ke kantor yang hanya berjarak beberapa meter saja dari indekos. Namun, nasip baik tidak berpihak padanya. Ketika Ona siap menyalakan sepeda motor ponsel di tas kecilnya berbunyi nyaring, Ona mendengus dan mengambil ponsel yang berkedip dengan nama Ibu itu. Ona sudah sering menolak panggilan dari Ibu, dan kalau hari ini dia abaikan panggilan dari Ibu lagi maka nanti ketika dia pulang ke rumah Ibu akan
Perempuan dengan kaus dan celana pendek itu meregangkan ototnya, pinggangnya terasa seperti akan patah setelah mencuci baju. Setelah dirasa cukup reda, dia mengangkat ember berisi pakaian bersih ke lantai 1 untuk dijemur. Hari libur adalah hari bermalas-malasan, tetapi sialnya dia lupa mencuci baju sejak 4 hari lalu. “Udah selesai belum, Na?” teriak Nafa dari depan kamarnya. Ona mendongak menatap Nafa kesal, temannya itu sengaja bertanya untuk mengejek Ona. “Kalau udah cepetan naik, ya, ada yang mau gue ceritain.” Setelah itu Nafa kembali masuk ke kamarnya. Ona menghela napas memandang banyaknya baju yang dia cuci dan sinar matahari yang mulai panas. Ona ingin segera rebahan di kasur dan tidur. Lima belas menit kemudian, Ona sudah selesai menjemur baju. Langkah kakinya berjalan cepat ke kamar. Namun, ketika membuka pintu kamar Ona melihat banyak tisu berserakan di lantai. Sedangkan Nafa duduk di tempat tidur dan menatap Ona nelangsa, mata Nafa yang biasanya b
Gadis kecil berusia 8 tahun itu meringkuk di pojok kamar bersama dengan adiknya yang baru berusia 2 tahun. Sebagai kakak, gadis itu menutup rapat telinga adiknya supaya tidak mendengar teriakan Ayah dan Ibu yang sedang bertengkar. Sejak pulang sekolah tadi suasana rumahnya sudah berbeda. Ibu hanya berkata singkat menyuruhnya ke kamar dan menutup pintunya rapat-rapat. Dan ketika Ayah pulang kerja Ibu langsung berkata dengan nada marah dan keras. “Aku kurang apa, Mas? Cepet bilang aku kurang apa sampai kamu tega menghamili perempuan lain,” rintih Ibu. Gadis kecil yang dikenal dengan nama Ona itu memejamkan matanya, air mengalir di kedua pipinya mendengar pertengkaran Ibu dan Ayah. “Sejak dulu aku gak cinta sama kamu, akau menuruti perjodohan orang tua kita karena Ibu sakit keras,” jelas Ayah pelan. Ona paham betul kedua orang tuanya bersatu atas dasar perjodohnya, tetapi selama ini yang Ona lihat Ibu dan Ayah saling mencintai. Setiap hari Ibu dan Ayah tampil ro
“Sore ini kamu udah gak ada sampel ‘kan?” tanya Bu Dama setelah Ona menyerahkan sampel hasil preparasinya untuk pengujian yang akan dilakukan Bu Dama. Ona mengangguk, perasaannya tiba-tiba tidak enak.“Ibu minta tolong anterin Pak Rey ke arsip, ya, ada obat lupa saya uji bulan lalu. Nanti kamu sekalian pulang gak papa.”Ona melirik meja Rey yang berada di depan Bu Dama, Rey tersenyum manis ketika mata mereka bertemu. Ona mengela napas, dia ingin menolak tetapi untuk apa dia di lab kalau tidak ada kerjaan. Akhirnya Ona mengangguk pasrah.Setelah itu Ona keluar menuju mejanya yang hanya terpisah dinding kaca dengan meja Bu Dama. Ona merapikan meja kerjanya dan menaruh alat yang kotor ke tempat pencucinya yang nantinya akan dicuci oleh Dena.Melihat Ona yang sudah membersihkan meja kerjanya membuat Nafa dan Habib iri, pasalnya mereka berdua harus kejar target dan lembur. Pandangan iri kedua temannya terus mengikuti Ona sampai ma
Matahari sudah berada di ufuk barat bersiap untuk kembali ke peraduannya, tetapi lelaki yang sejak pagi berada di rumah Ona belum juga berniat pulang. Lelaki itu masih asyik bercerita tentang kesehariannya dan dengan bangga memamerkan semua pencapaiannya yang sama sekali tidak menarik perhatian Ona.Mela berusaha membantu kakaknya dengan memberi kode pada si lelaki untuk segera pulang. Sudah berkali-kali Mela meminta bantuan Ona untuk mengerjakan tugas supaya lelaki itu cepat pulang. Tetapi entah tidak paham atau pura-pura tidak paham dengan kode Mela, lelaki itu malah tambah semangat cerita dan mengabaikan rengekan Mela.Untuk kesekian kalinya Ona memutar bola matanya menanggapi cerita Reno, anak teman Ibu. Ona menerima tawaran Ibu untuk kenalan dengan anak temannya semata-mata hanya untuk menenangkan Ibu dan tidak menanggap Ona aneh karena tidak mau kenalan dengan seorang lelaki. Tetapi lelaki yang Ibu kenalkan padanya benar-benar jauh dari dugaan Ona. Lelaki itu dat
Udara malam masuk melalui celah jendela kamar indekos kedua perempuan yang duduk berhadapan di tempat tidur itu. Gerimis mulai turun yang lama-lama berubah deras dan meredam suara percakapan dari lantai 1. Mendung mengantung di langin malam membuat orang-orang malas dan memilih untuk segera tidur.Tetapi yang dilakukan kedua perempuan itu malah bercerita melalui tatapan mata. Hanya ada satu dua kata yang keluar dari mulut itu, selebihnya hanya suara musik dari ponsel dan helaan napas yang beradu dengan derasnya hujan.“Gue gak paham maksud cerita lo,” keluh Nafa putus asa. Pasalnya sedari tadi Ona hanya berkata satu dua kata dan Nafa sama sekali tidak menangkap maksud Ona selain air muka panik perempuan itu. Ona terus menghela napas lelah dan matanya bergerak tak tentu arah bertanda kalau dia sedang bingung dan panik.Ona menghela napas dan bangkit untuk mengambil minum. “Nyokap gue nanya terus kapan gue nikah.”“Itu ‘k
Perempuan dengan jaket tebal itu menatap lelaki di depannya kesal, pasalnya dia baru saja turun ke lantai 1 berniat untuk mencari makan malam sendirian karena Nafa sudah tidur tetapi Rey malah mengikutinya sampai di penjual nasi goreng dan ikut makan bersamanya. Apalagi Habib yang sengaja membiarkan dia pergi berdua dengan Rey, lelaki yang mengaku temannya itu beralasan mengantuk padahal dia dapat melihat jelas mata Habib yang masih segar.“Kamu udah kenyang, Na?” tanya Rey memandang nasi goreng Ona yang masih setengah.Ona hanya bergumam pelan dan melanjutkan makan. Ingatan Ona kembali pada percakapannya dengan Nafa kemarin sore. Ona bertanya pada Nafa tentang tawaran Rey yang mau menjadi pacar pura-puranya.“Gini, Na, tapi lo jangan marah ya,” jawab Nafa pelan ketika Ona tanya mengenai tawaran Rey. Ona terus menatap Nafa dan menunggu perempuan itu melanjutkan ucapannya. “Tadi malam ‘kan gue ke dapur buat mi instan, di sana g