Perempuan dengan kaus dan celana pendek itu meregangkan ototnya, pinggangnya terasa seperti akan patah setelah mencuci baju. Setelah dirasa cukup reda, dia mengangkat ember berisi pakaian bersih ke lantai 1 untuk dijemur. Hari libur adalah hari bermalas-malasan, tetapi sialnya dia lupa mencuci baju sejak 4 hari lalu.
“Udah selesai belum, Na?” teriak Nafa dari depan kamarnya. Ona mendongak menatap Nafa kesal, temannya itu sengaja bertanya untuk mengejek Ona. “Kalau udah cepetan naik, ya, ada yang mau gue ceritain.”
Setelah itu Nafa kembali masuk ke kamarnya. Ona menghela napas memandang banyaknya baju yang dia cuci dan sinar matahari yang mulai panas. Ona ingin segera rebahan di kasur dan tidur.
Lima belas menit kemudian, Ona sudah selesai menjemur baju. Langkah kakinya berjalan cepat ke kamar. Namun, ketika membuka pintu kamar Ona melihat banyak tisu berserakan di lantai. Sedangkan Nafa duduk di tempat tidur dan menatap Ona nelangsa, mata Nafa yang biasanya berbinar-binar kini redup dan air mata terus mengalir di pipi tembamnya. Ona mendekat ke Nafa dengan air muka khawatir.
“Lo kenapa, Naf? Ada masalah?” tanya Ona sambil mengelus bahu Nafa. Di saat seperti ini lah Ona terlihat lebih ekspresif, di balik sikap Ona yang dingin dan sulit dijangkau dia memiliki hati yang lembut. Dan hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat itu, Nafa salah satunya. Makanya Nafa bisa bertahan dengan Ona meski seringkali diabaikan dan seperti bicara sendiri.
Ona masih mengelus bahu Nafa dan menunggu perempuan itu menghentikan tangisnya. Melihat Nafa menangis memang bukan hal asing bagi Ona, teman sekamarnya itu sering tiba-tiba memangis. Ona juga pernah menemani Nafa menangis semalaman penuh karena putus dengan pacarnya.
Jika Ona bersikap dingin dengan lelaki, maka Nafa kebalikannya. Nafa terlalu welcome dengan lelaki dan terlalu royal jika sudah pacaran. Nafa akan mengorbankan apa pun untuk lelaki itu, dan sikap tersebut seringkali dimanfaatkan oleh lelaki tidak bertanggung jawab. Akhirnya Nafa sering patah hati. Sudah tahu begitu, satu bulan kemudian Nafa akan melakukan hal yang sama dan berakhir sama juga.
Nafa memang cukup menarik dengan kulit putih bersih dan gigi gingsul, apalagi pipi tembamnya yang membuat orang lain gemas. Wajah Nafa yang baby face menjadi daya tarik tersendiri.
Setelah cukup tenang, Ona mengambilkan Nafa minum dan menunggu perempuan itu untuk buka mulut. Bagi Nafa, Ona adalah teman yang paling sabar menghadapi sikapnya yang masih labil di usia 24 tahun.
“Ternyata Abi udah punya tunangan, Na,” ujar Nafa beruraian air mata.
Abi adalah lelaki yang sejak 2 minggu lalu mendekati Nafa, dan tentu saja Nafa menerima kehadiran Abi dengan senang hati seperti yang biasa dia lakukan. Nafa memang selalu dikelilingi lelaki, tetapi dia tidak pernah mengajak lelaki mana pun untuk datang ke kondangan karena ingin menemani Ona yang jomblo. Nafa juga suka mengaku tidak punya pasangan setiap kali ada yang bertanya, padahal Nafa punya. Kalau Ona tanya apa alasan dia melakukan ini, Nafa akan dengan mudah menjawab supaya tidak menutup kesempatan orang lain untuk datang dan mendekatinya.
Ona menghela napas, sebenarnya dia sendiri bingung dengan Nafa. Kalau Nafa dibilang buaya betina itu ada benarnya, sangat berbanding terbalik dengan Nafa yang sekarang Ona lihat. Rapuh dan cengeng. Dan yang membuat Ona semakin bingung adalah Nafa selalu mengulang fase yang sama. Apa dia tidak capek patah hati dan menangis?
“Gue merasa dibohongin, kenapa di gak sejak awal bilang punya tunangan, sih?” Nafa bercerita dengan sesengukan. “Terus tadi tunangannya telepon gue dan marah-marah, ngatain gue pelakor padahal gue gak tahu kalau dia udah punya tunangan.”
Ona menyodorkan tisu ke Nafa. Dia sama sekali tidak berniat menimpali atau akan memperburuk suasana karena Ona sama sekali tidak pandai menghibur.
“Kenapa cinta gue selalu berakhir tragis ya Tuhan. Kapan jodoh gue dateng.”
Nafa meraih ponselnya yang bergetar kemudian mematikan ponsel itu tanpa melihat siapa yang menelponnya. Ona menghela napas dan mulai membersihkan tisu yang berserakan. Ona tahu betul Nafa tidak benar-benar mencintai Abi, dia hanya kecewa pada Abi yang berbohong. Dan Ona juga tahu betul Nafa tidak benar-benar mencintai lelaki yang mendekatinya dan menjadi pacarnya, dia memberikan apa yang mereka minta hanya supaya mereka senang. Nafa juga selalu menangis setiap semua kisahnya berakhir, tetapi dari apa yang Ona lihat Nafa tidak menangisi hubungannya yang sudah berakhir, Nafa menangis untuk hal lain yang belum Ona ketahui. Yang jelas Nafa hanya menjadikan semua lelaki itu pelampiasan. Di balik sikap dingin Ona, dia adalah pengamat yang baik.
Udara siang hari masuk melalui jendela yang Ona buka lebar supaya Nafa tidak merasa gerah. Ona juga membuka pintu balkon untuk bersantai sambil menunggu Nafa tidur, setelah puas menangis akhirnya Nafa bisa tertidur pulas. Ona sama sekali tidak berniat tidur padahal tadi setelah mencuci dia berencana tidur seharian.
Es di gelasnya sudah mulai mencair ketika ponsel Ona bergetar. Ona melihat nama yang tertera di layar ponselnya dan menghela napas. Setelah tadi menerima curhat dari Nafa, sekarang dia harus siap menerima curhatan dari Mela, adiknya.
“Ada apa?” tanya Ona to the point.
“Mbak cepet pulang, dong, Ibu tanya terus, nih,” adu Mela kesal.
“Kenapa?”
“Ibu kebelet Mbak nikah. Kupingku panas setiap hari denger tetangga bilang kalau Mbak perawan tua, makanya Ibu jadi kebakaran jenggot.”
Ona menghela napas, selalu seperti itu. Ayolah dia baru 25 tahun, belum juga 35 tahun. Dan kenapa pula Ibu harus mendengarkan kata tetangga yang suka julid. Kalau Ona bilang tidak ingin menikah bisa-bisa Ibu pingsan.
“Iya, nanti Mbak pulang.” Ona mencari jawaban aman supaya Mela tidak terus mendesaknya.
“Beneran ya?”
“Iya.”
“Mbak,” panggil Mela pelan. Jika sudah begini pasti ada hal serius yang ingin dia katakan. “Kangen Ayah.”
Ona menegang, tidak biasanya Mela berkata seperti itu. Adiknya yang baru duduk di bangku SMA itu jelas tahu hubungan mereka dengan Ayah tidak baik. Ona bahkan tidak tahu di mana sekarang ayahnya tinggal.
“Tadi aku lihat temenku diantar ayahnya ke sekolah. Katanya cinta pertama seorang anak perempuan itu ayahnya. Kalau kita gak ada Ayah, gimana dengan cinta pertama kita, Mbak?” tanya Ona polos.
***
Terik matahari sore ini tidak menghalangi niat Ona untuk mengangkat jemuran yang banyaknya minta ampun. Sekelebat pertanyaan Mela siang tadi masih berputar-putar di benaknya. Tujuh belas tahun lalu Mela tidak benar-benar tahu apa yang terjadi. Setelah besar dia hanya tahu kalau Ayah dan Ibu berpisah dengan tidak baik-baik.
“Ngalamun aja,” celetuk seorang lelaki dari belakang tubuhnya. Ona tersentak dan memutar tubuhnya. Rey lagi Rey lagi. Ona memutar bola matanya dan melanjutkan mengangkat jemuran.
“Ngalamunin apa, sih?”
Ona masih tidak menjawab pertanyaan Rey, tetapi lelaki itu terus mengikuti langkahnya membuat Ona kesal. “Kenapa, sih?”
Mata bulat Ona mengamati tingkah Rey yang mengambil baju dari keranjangnya. Ona menatap Rey tajam. “Lo kenapa ngambil baju dari keranjang gue!”
Rey menatap Ona polos. “Emang ini baju lo?” tanyanya sambil menunjukkan boxer yang dia ambil dari ranjang Ona.
Ona melotot dan mengamati baju yang sedari tadi dia ambil. Astaga, karena terlalu asyik melamun Ona sampai tidak sadar sudah mengambil deretan jemuran yang bukan punyanya lagi. Wajah Ona merah paham karena malu.
Sialan.
Gadis kecil berusia 8 tahun itu meringkuk di pojok kamar bersama dengan adiknya yang baru berusia 2 tahun. Sebagai kakak, gadis itu menutup rapat telinga adiknya supaya tidak mendengar teriakan Ayah dan Ibu yang sedang bertengkar. Sejak pulang sekolah tadi suasana rumahnya sudah berbeda. Ibu hanya berkata singkat menyuruhnya ke kamar dan menutup pintunya rapat-rapat. Dan ketika Ayah pulang kerja Ibu langsung berkata dengan nada marah dan keras. “Aku kurang apa, Mas? Cepet bilang aku kurang apa sampai kamu tega menghamili perempuan lain,” rintih Ibu. Gadis kecil yang dikenal dengan nama Ona itu memejamkan matanya, air mengalir di kedua pipinya mendengar pertengkaran Ibu dan Ayah. “Sejak dulu aku gak cinta sama kamu, akau menuruti perjodohan orang tua kita karena Ibu sakit keras,” jelas Ayah pelan. Ona paham betul kedua orang tuanya bersatu atas dasar perjodohnya, tetapi selama ini yang Ona lihat Ibu dan Ayah saling mencintai. Setiap hari Ibu dan Ayah tampil ro
“Sore ini kamu udah gak ada sampel ‘kan?” tanya Bu Dama setelah Ona menyerahkan sampel hasil preparasinya untuk pengujian yang akan dilakukan Bu Dama. Ona mengangguk, perasaannya tiba-tiba tidak enak.“Ibu minta tolong anterin Pak Rey ke arsip, ya, ada obat lupa saya uji bulan lalu. Nanti kamu sekalian pulang gak papa.”Ona melirik meja Rey yang berada di depan Bu Dama, Rey tersenyum manis ketika mata mereka bertemu. Ona mengela napas, dia ingin menolak tetapi untuk apa dia di lab kalau tidak ada kerjaan. Akhirnya Ona mengangguk pasrah.Setelah itu Ona keluar menuju mejanya yang hanya terpisah dinding kaca dengan meja Bu Dama. Ona merapikan meja kerjanya dan menaruh alat yang kotor ke tempat pencucinya yang nantinya akan dicuci oleh Dena.Melihat Ona yang sudah membersihkan meja kerjanya membuat Nafa dan Habib iri, pasalnya mereka berdua harus kejar target dan lembur. Pandangan iri kedua temannya terus mengikuti Ona sampai ma
Matahari sudah berada di ufuk barat bersiap untuk kembali ke peraduannya, tetapi lelaki yang sejak pagi berada di rumah Ona belum juga berniat pulang. Lelaki itu masih asyik bercerita tentang kesehariannya dan dengan bangga memamerkan semua pencapaiannya yang sama sekali tidak menarik perhatian Ona.Mela berusaha membantu kakaknya dengan memberi kode pada si lelaki untuk segera pulang. Sudah berkali-kali Mela meminta bantuan Ona untuk mengerjakan tugas supaya lelaki itu cepat pulang. Tetapi entah tidak paham atau pura-pura tidak paham dengan kode Mela, lelaki itu malah tambah semangat cerita dan mengabaikan rengekan Mela.Untuk kesekian kalinya Ona memutar bola matanya menanggapi cerita Reno, anak teman Ibu. Ona menerima tawaran Ibu untuk kenalan dengan anak temannya semata-mata hanya untuk menenangkan Ibu dan tidak menanggap Ona aneh karena tidak mau kenalan dengan seorang lelaki. Tetapi lelaki yang Ibu kenalkan padanya benar-benar jauh dari dugaan Ona. Lelaki itu dat
Udara malam masuk melalui celah jendela kamar indekos kedua perempuan yang duduk berhadapan di tempat tidur itu. Gerimis mulai turun yang lama-lama berubah deras dan meredam suara percakapan dari lantai 1. Mendung mengantung di langin malam membuat orang-orang malas dan memilih untuk segera tidur.Tetapi yang dilakukan kedua perempuan itu malah bercerita melalui tatapan mata. Hanya ada satu dua kata yang keluar dari mulut itu, selebihnya hanya suara musik dari ponsel dan helaan napas yang beradu dengan derasnya hujan.“Gue gak paham maksud cerita lo,” keluh Nafa putus asa. Pasalnya sedari tadi Ona hanya berkata satu dua kata dan Nafa sama sekali tidak menangkap maksud Ona selain air muka panik perempuan itu. Ona terus menghela napas lelah dan matanya bergerak tak tentu arah bertanda kalau dia sedang bingung dan panik.Ona menghela napas dan bangkit untuk mengambil minum. “Nyokap gue nanya terus kapan gue nikah.”“Itu ‘k
Perempuan dengan jaket tebal itu menatap lelaki di depannya kesal, pasalnya dia baru saja turun ke lantai 1 berniat untuk mencari makan malam sendirian karena Nafa sudah tidur tetapi Rey malah mengikutinya sampai di penjual nasi goreng dan ikut makan bersamanya. Apalagi Habib yang sengaja membiarkan dia pergi berdua dengan Rey, lelaki yang mengaku temannya itu beralasan mengantuk padahal dia dapat melihat jelas mata Habib yang masih segar.“Kamu udah kenyang, Na?” tanya Rey memandang nasi goreng Ona yang masih setengah.Ona hanya bergumam pelan dan melanjutkan makan. Ingatan Ona kembali pada percakapannya dengan Nafa kemarin sore. Ona bertanya pada Nafa tentang tawaran Rey yang mau menjadi pacar pura-puranya.“Gini, Na, tapi lo jangan marah ya,” jawab Nafa pelan ketika Ona tanya mengenai tawaran Rey. Ona terus menatap Nafa dan menunggu perempuan itu melanjutkan ucapannya. “Tadi malam ‘kan gue ke dapur buat mi instan, di sana g
“Kamu udah ada pasangan buat datang ke pernikahan aku belum, Na?” tanya Aisyah.“Udah ada dong, Mbak,” sahut Nafa semangat sambil membuka undangan pernikahan yang baru saja Aisyah berikan. Hari Minggu ini Aisyah sengaja menyempatkan diri untuk mengunjungi indekos Ona, selain untuk mengantarkan makanan instan dari Ibu, juga untuk membagikan undangan pada Nafa dan Habib secara langsung.“Seriusan udah ada?” Aisyah menatap Nafa dan Ona dengan binar mata bahagia. Ona membalas tatapan Aisyah dengan malas, apa nantinya reaksi Ibu dan kerabatnya akan sama dengan Aisyah ketika mendengar Ona akan mengenalkan seorang lelaki?“Iya, Mbak, ganteng banget, lebih ganteng daripada mantan aku,” tambah Nafa hiperbolis.“Mantan kamu yang mana, Fa?”“Mbak Aisyah tahu aja kalau mantanku banyak,” jawab Nafa sambil tersenyum malu. Sedangkan Aisyah tertawa pelan.“Bulik Rani udah tahu kal
“Yah,” panggil Rey melalui sambungan telepon dengan ayahnya. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 21.00 malam, tetapi percakapan ayah dan anak melalui sambungan telepon sejak satu jam lalu itu belum ada tanda-tanda akan berakhir. Rey sangat senang berbincang dengan ayahnya.“Apa?” sahut Ayah dari seberang telepon, tadi Rey sengaja menelepon Ayah duluan untuk sekedar menanyakan kabar tetapi percakapan itu malah melebar ke mana-mana seperti tidak ada ujungnya. Rey tidak akan segan bersikap manja dengan ayahnya meskipun usianya sudah hampir kepala tiga. Jika dengan Ayah, Rey seperti anak berusia 5 tahun yang menggemaskan.“Rey ketemu cewek,” ujar Rey setelah menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia cerita dengan Ayah atau tidak. Rey tidak memiliki rahasia apa pun dengan ayahnya sejak kecil. Hal sekecil apa pun akan dia ceritakan dengan Ayah, bahkan waktu Rey mulai dekat dengan Seli sampai putus saja ayahnya tahu.“Cantikan ma
“Gimana persiapan pernikahan Mbak Aisyah?”Ona memutar bola matanya mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Rey, sejak kapan dia merasa begitu dekat dengannya sampai menanyakan perihal pernikahan Mbak Aisyah? Dan sejak kapan Rey dengan percaya dirinya memanggil Aisyah dengan sebutan Mbak, padahal jelas tua Rey daripada Aisyah.Merasa Ona tidak akan menjawab pertanyaannya, Rey menghela napas dan kembali fokus mengendarai sepeda motor menuju gedung II untuk melakukan safety meeting bagian quality control. Safety meeting dilakukan sebulan sekali yang membahas perihal perkembangan bagian serta ramah taman antar karyawan. Di safety meeting juga akan ada perkenalan anak magang dan PKL yang akan meringankan beban para karyawan tetap yang gila lembur.Nafa dan Habib sudah berangkat lebih dulu, dan hal itu lah yang membuat Ona kesal karena harus barengan lagi dengan Rey. Mata Ona menatap punggung tegap Rey yang berbalut