Matahari sudah berada di ufuk barat bersiap untuk kembali ke peraduannya, tetapi lelaki yang sejak pagi berada di rumah Ona belum juga berniat pulang. Lelaki itu masih asyik bercerita tentang kesehariannya dan dengan bangga memamerkan semua pencapaiannya yang sama sekali tidak menarik perhatian Ona.
Mela berusaha membantu kakaknya dengan memberi kode pada si lelaki untuk segera pulang. Sudah berkali-kali Mela meminta bantuan Ona untuk mengerjakan tugas supaya lelaki itu cepat pulang. Tetapi entah tidak paham atau pura-pura tidak paham dengan kode Mela, lelaki itu malah tambah semangat cerita dan mengabaikan rengekan Mela.
Untuk kesekian kalinya Ona memutar bola matanya menanggapi cerita Reno, anak teman Ibu. Ona menerima tawaran Ibu untuk kenalan dengan anak temannya semata-mata hanya untuk menenangkan Ibu dan tidak menanggap Ona aneh karena tidak mau kenalan dengan seorang lelaki. Tetapi lelaki yang Ibu kenalkan padanya benar-benar jauh dari dugaan Ona. Lelaki itu datang dengan kemeja maroon dan celana kain berwarna hitam lengkap dengan kaca mata bulat dan rambut klimis. Belum lagi cerita tentang pencapaian-pencapaian yang terus diulang-ulang sejak pagi tadi membuat Ona semakin muak. Dia sama sekali tidak tertarik.
Setelah beberapa kali Ona menguap lebar akhirnya Reno sadar diri untuk pamit. Ona mengantar lelaki itu sampai di depan rumah untuk basa-basi. Setelah Reno pulang Ona dapat bernapas lega.
“Reno udah pulang?” tanya Ibu dari belakang Ona. Ona tersentak sambil mengelus dadanya. “Dia pulang sendiri atau kamu usir?”
Ona memutar bola matanya. “Pulang sendiri.”
“Gimana sama dia?”
“Biasa aja,” jawab Ona berjalan ke rumah dan duduk di ruang tengah untuk menonton TV.
“Biasa aja? Kayak gitu kamu bilang biasa aja? Terus kamu mau yang kayak gimana, Na,” keluh Ibu. “Ibu capek ditanya kapan punya mantu.”
“Ya udah gak usah dipikirin omongan tentangga.”
“Kamu jangan jadi kayak Ayah kamu, jangan buat Ibu tertekan, jangan buat Ibu sedih.”
Ona menghela napas, selalu saja seperti ini. Hal ini lah yang membuat Ona malas pulang, Ibu selalu mengulang kejelekan Ayah lalu bayangan tentang Ibu yang berniat bunuh diri kembali berputar di benak Ona. Perempuan itu menggelengkan kepalanya, mengusir bayangan mengerikan itu sebelum hilang kendali dan menangis.
“Aku bukan Ayah,” jawab Ona kesal.
Ibu menghela napas dan menepuk bahu Ona pelan kemudian meninggalkannya di ruang tengah sendirian. Ona menatap punggung rapuh Ibu, ada harapan besar ketika mata Ibu tepat menatap matanya. Apa benar menikah bisa membuat Ibu bahagia? Tapi bagaimana dengan kebahagiaannya?
“Kenapa, Mbak? Ada masalah?” tanya Mela keluar dari kamar dan melihat kakaknya termenung di depan TV yang menyala.
Ona menggeleng. “Gimana sekolah kamu?”
“Baik, kok.”
“Jangan pacaran,” pesan Ona pada adiknya, dia sangat melarang Mela untuk pacaran supaya adiknya itu bisa fokus sekolah.
“Iya, Mbak, iya,” jawab Mela kesal. “Gak ada yang mau sama aku kalau Mbak Ona galak begini.”
“Emang tujuan Mbak gitu.”
“Mbak kapan nikah? Mbak Aisyah bulan depan, tuh,” sindir Mela mengalihkan pembicaraan.
“Udah tahu.”
“Mbak gak berencana bawa pacar pas nikahan Mbak Aisyah nanti?”
“Gak!” jawab Ona kesal dan meninggalkan Mela yang tertawa puas.
***
Pagi ini adalah hari kedua Ona berada di rumah, dia membantu Ibu untuk menyapu halaman rumah sedangkan Ibu sedang membeli sayur di jalan depan rumah barengan dengan tetangganya. Sejak Ibu berhenti kerja sebagai buruh pabrik sejak Ona bekerja, Ibu sibuk mengurus rumah dan semua keperluan rumah Ona yang tanggung. Alasan ini lah yang membuat Ona tidak melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi.
“Anaknya cantik banget, sudah nikah belum, Bu?” tanya tukang sayur. Dari tempat Ona berdiri dia belum pernah melihat tukang sayur itu, pasti tukang sayurnya udah ganti lagi.
“Loh, Bu Retno gak tau to kalau anaknya Bu Ratri sibuk kerja sampai lupa nikah,” sahut Bu Dian, tetangga Ona yang paling julid. Ona memutar bola matanya mendengar ucapan Bu Dian.
“Iya nih, Bu, kapan ngenalin calon mantunya, ini kita udah mau ngendong cucu lo, masak anaknya Bu Ratri masih sendiri aja,” ujar Bu RT, anak Bu RT adalah teman kecil Ona yang sering Ibu bandingkan dengannya.
Ona memegang sapunya erat untuk menyalurkan rasa kesalnya. Emang kenapa kalau dia belum menikah? Ya, terserah Ona mau menikah kapan, kenapa mereka yang repot? Tetapi memang itu lah lingkungan di desanya, kabar sekecil apa pun dengan cepat menyebar. Apalagi kabar Ona yang tidak pernah mengenalkan lelaki ke Ibu pasti sudah sampai ke desa sebelah dan menjadi perbincangan hangat.
Ibu hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dan sindiran tetangga tetapi wajah Ibu terlihat sangat terganggu dan tertekan dengan pertanyaan itu. Awalnya Ibu hanya menganggap pertanyaan itu basa-basi saja, tetapi semakin lama pertanyaan itu terus datang membombardirnya membuat Ibu tertekan. Akhirnya Ibu melampiaskan pertanyaan itu langsung pada Ona.
Apa Ona sebaiknya mencari pacar pura-pura untuk membungkam mulut para tetangganya? Ona menggelengkan kepalanya, itu adalah pemikiran konyol yang akan menambah masalah bukannya menyelesaikan masalah.
Semakin lama Ona semakin tidak tega melihat Ibu yang terus didesak tetangga. Ini menyebalkan, kenapa mereka harus peduli dengan kehidupan Ona?
Tiba-tiba ponsel di saku piamanya bergetar, Ona mengalihkan pandangan dan mengambil ponsel itu. Nama Nafa tertera di layar 6 inchi. Ngapain Nafa pagi-pagi meneleponnya?
“Ada apa?” tanya Ona.
“Lo kapan balik ke Sukoharjo?” tanya Nafa dari seberang telepon yang suaranya hampir tenggelam dengan suara berisik.
“Nanti sore, kenapa?”
“Sial! Gara-gara lo gak ada gue sendirian ngebabu bantuin Habib pindahan,” gerutu Nafa.
“Katanya pindahan minggu depan.”
“Gak jadi, dia kebelet tidur bareng Rey.”
“Terus?”
“Ya, lo cepet balik ke sini, dong!”
“Iya-iya.” Ona mengakhiri panggilan Nafa. Kemudian Ona segera menyelesaikan menyapu halaman dan mengabaikan perkataan para tetangganya yang masih membahas seputar pernikahan. Ibu Ona yang tidak tahan dengan pembahasan itu segera pamit masuk ke rumah.
Setelah kembali ke Sukoharjo nanti Ona harus mencari solusi dari masalah ini, dia tidak bisa membiarkan Ibu tertekan karena masalah ini dan berakhir sakit.
***
“Gimana di rumah, Na? Masih ditanya kapan nikah?” tanya Habib jahil.
Sore ini sesampainya Ona di indekos, Nafa dan Habib langsung menyeretnya ke warung bakso depan indekos. Sebenarnya Ona ingin istirahat setelah kurang lebih 1 jam perjalanan, jarak Boyolali-Sukoharjo memang tidak terlalu jauh, tetapi bagi Ona yang jarang berkendara jauh hal itu cukup menguras tenaganya. Tetapi Nafa tidak mau tahu hal itu dan menyeret Ona sampai lantai 1 untuk menemui Habib. Dan yang membuat Ona semakin kesal adalah ada Rey di sana. Setelah ini Rey pasti akan resmi masuk ke dalam circle pertemanan mereka.
Ona memutar bola matanya malas dan lebih memilih terus makan daripada menanggapi pertanyaan Habib.
“Ona gak di rumah gak di sini pertanyaannya kapan nikah terus,” sahut Nafa semangat. Ona tidak heran lagi, Nafa akan paling semangat jika sudah mem-bully Ona, apalagi ketika Ona memutar bola mata ataupun mendengus hal itu sudah membuktikan keberhasilan Nafa membuat Ona kesal.
“Ona sering ditanya kapan nikah?” tanya Rey penasaran.
“Iya, Pak, di mana pun dan kapan pun.” Nafa tertawa puas. “Padahal baru 25 tahun tapi udah kayak umut 40 tahun aja.”
“Panggil saya Rey aja, ‘kan ini di luar jam kerja.”
Nafa menggaruk tengkuknya canggung. “I-iya, Rey.”
“Lo sok kaku amat, Naf,” balas Habib. “Lo gerogi ya deket orang ganteng.”
“Apaan, sih!”
Habib tertawa melihat wajah merona Nafa. Ona menggelengkan kepalanya sudah biasa melihat sikap Nafa dan Habib yang heboh jika sedang berkumpul.
“Kamu sering ditanya kapan nikah, Na? Kebetulan banget saya juga sering didesak kayak gitu,” ujar Rey kalem.
Udara malam masuk melalui celah jendela kamar indekos kedua perempuan yang duduk berhadapan di tempat tidur itu. Gerimis mulai turun yang lama-lama berubah deras dan meredam suara percakapan dari lantai 1. Mendung mengantung di langin malam membuat orang-orang malas dan memilih untuk segera tidur.Tetapi yang dilakukan kedua perempuan itu malah bercerita melalui tatapan mata. Hanya ada satu dua kata yang keluar dari mulut itu, selebihnya hanya suara musik dari ponsel dan helaan napas yang beradu dengan derasnya hujan.“Gue gak paham maksud cerita lo,” keluh Nafa putus asa. Pasalnya sedari tadi Ona hanya berkata satu dua kata dan Nafa sama sekali tidak menangkap maksud Ona selain air muka panik perempuan itu. Ona terus menghela napas lelah dan matanya bergerak tak tentu arah bertanda kalau dia sedang bingung dan panik.Ona menghela napas dan bangkit untuk mengambil minum. “Nyokap gue nanya terus kapan gue nikah.”“Itu ‘k
Perempuan dengan jaket tebal itu menatap lelaki di depannya kesal, pasalnya dia baru saja turun ke lantai 1 berniat untuk mencari makan malam sendirian karena Nafa sudah tidur tetapi Rey malah mengikutinya sampai di penjual nasi goreng dan ikut makan bersamanya. Apalagi Habib yang sengaja membiarkan dia pergi berdua dengan Rey, lelaki yang mengaku temannya itu beralasan mengantuk padahal dia dapat melihat jelas mata Habib yang masih segar.“Kamu udah kenyang, Na?” tanya Rey memandang nasi goreng Ona yang masih setengah.Ona hanya bergumam pelan dan melanjutkan makan. Ingatan Ona kembali pada percakapannya dengan Nafa kemarin sore. Ona bertanya pada Nafa tentang tawaran Rey yang mau menjadi pacar pura-puranya.“Gini, Na, tapi lo jangan marah ya,” jawab Nafa pelan ketika Ona tanya mengenai tawaran Rey. Ona terus menatap Nafa dan menunggu perempuan itu melanjutkan ucapannya. “Tadi malam ‘kan gue ke dapur buat mi instan, di sana g
“Kamu udah ada pasangan buat datang ke pernikahan aku belum, Na?” tanya Aisyah.“Udah ada dong, Mbak,” sahut Nafa semangat sambil membuka undangan pernikahan yang baru saja Aisyah berikan. Hari Minggu ini Aisyah sengaja menyempatkan diri untuk mengunjungi indekos Ona, selain untuk mengantarkan makanan instan dari Ibu, juga untuk membagikan undangan pada Nafa dan Habib secara langsung.“Seriusan udah ada?” Aisyah menatap Nafa dan Ona dengan binar mata bahagia. Ona membalas tatapan Aisyah dengan malas, apa nantinya reaksi Ibu dan kerabatnya akan sama dengan Aisyah ketika mendengar Ona akan mengenalkan seorang lelaki?“Iya, Mbak, ganteng banget, lebih ganteng daripada mantan aku,” tambah Nafa hiperbolis.“Mantan kamu yang mana, Fa?”“Mbak Aisyah tahu aja kalau mantanku banyak,” jawab Nafa sambil tersenyum malu. Sedangkan Aisyah tertawa pelan.“Bulik Rani udah tahu kal
“Yah,” panggil Rey melalui sambungan telepon dengan ayahnya. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 21.00 malam, tetapi percakapan ayah dan anak melalui sambungan telepon sejak satu jam lalu itu belum ada tanda-tanda akan berakhir. Rey sangat senang berbincang dengan ayahnya.“Apa?” sahut Ayah dari seberang telepon, tadi Rey sengaja menelepon Ayah duluan untuk sekedar menanyakan kabar tetapi percakapan itu malah melebar ke mana-mana seperti tidak ada ujungnya. Rey tidak akan segan bersikap manja dengan ayahnya meskipun usianya sudah hampir kepala tiga. Jika dengan Ayah, Rey seperti anak berusia 5 tahun yang menggemaskan.“Rey ketemu cewek,” ujar Rey setelah menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia cerita dengan Ayah atau tidak. Rey tidak memiliki rahasia apa pun dengan ayahnya sejak kecil. Hal sekecil apa pun akan dia ceritakan dengan Ayah, bahkan waktu Rey mulai dekat dengan Seli sampai putus saja ayahnya tahu.“Cantikan ma
“Gimana persiapan pernikahan Mbak Aisyah?”Ona memutar bola matanya mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Rey, sejak kapan dia merasa begitu dekat dengannya sampai menanyakan perihal pernikahan Mbak Aisyah? Dan sejak kapan Rey dengan percaya dirinya memanggil Aisyah dengan sebutan Mbak, padahal jelas tua Rey daripada Aisyah.Merasa Ona tidak akan menjawab pertanyaannya, Rey menghela napas dan kembali fokus mengendarai sepeda motor menuju gedung II untuk melakukan safety meeting bagian quality control. Safety meeting dilakukan sebulan sekali yang membahas perihal perkembangan bagian serta ramah taman antar karyawan. Di safety meeting juga akan ada perkenalan anak magang dan PKL yang akan meringankan beban para karyawan tetap yang gila lembur.Nafa dan Habib sudah berangkat lebih dulu, dan hal itu lah yang membuat Ona kesal karena harus barengan lagi dengan Rey. Mata Ona menatap punggung tegap Rey yang berbalut
Tatapan dingin perempuan itu mengamati sekitar, teman-teman dan karyawan lainnya sedang sibuk mengerjakan sampelnya. Tidak jauh beda dengan para analis yang berjuang mengejar target bulan ini, akhir bulan memang selalu menjadi hari-hari sibuk laboratorium. Perempuan itu menghela napas dan mulai memasukkan daftar sampelnya ke komputer di depannya menggantikan Dena yang sedang mencuci alat-alat gelas.Anak PKL titipan Bu Dama sedang dia suruh untuk mengeringkan alat-alat karena akan digunakan lagi, di satu baris meja yang berisi Ona, Habib, dan Nafa ada 2 anak PKL SMK. Satu laki-laki yang sekarang sedang membantu Habib menimbang sampel dan satu cewek yang kini sedang Ona suruh menggeringkan alat. Adanya anak PKL memang sangat membantu, tetapi sayangnya anak PKL tidak boleh lembur, padahal di akhir bulan begini banyak sekali lembur.Perempuan itu menghela napas memandang banyaknya sampel yang akan datang besok. Hari ini adalah hari pertama Bu Dama cuti melahirkan dan sial
“Lo kenapa?” tanya Ona sambil mendekat ke Rey tanpa ragu.Rey menatap Ona lemah sambil menahan sakit di perutnya. Ona meraih lengan Rey dan membantu lelaki itu melepaskan jas lab dan sepatu khusus untuk masuk laboratorium. Rey mengikuti gerakan Ona dengan pelan, perutnya benar-benar sakit dan Rey baru ingat dia tadi tidak sempat makan siang karena banyaknya sampel. Ditambah sekarang lembur sampai jam setengah 11 malam.Setelah selesai, Ona segera mencari loker bernama Rey dan mengeluarkan ponsel yang ditinggalnya. Rey tidak membawa apa pun selain ponsel dan dompet yang berada di sakunya. Benar-benar simpel. Ona menatap wajah pucat Rey panik, dalam hati Rey tersenyum, baru kali ini dia melihat wajah Ona yang panik, biasanya perempuan itu selalu menunjukkan wajah dingin dan tidak bersahabat.“Kamu be
Musik gamelan khas hajatan pernikahan daerah Jawa Tengah memenuhi indra pendengaran perempuan yang sudah rapi dengan kebaya dusty pink dan berdiri malas di depan rumahnya. Dia baru saja mendapat kabar bahwa Nafa, Habib, dan Rey sedang dalam perjalanan ke rumahnya. Ibu dan Mela juga menemaninya menunggu dengan wajah penasaran dan sumringah yang membuatnya memutar bola mata.Sejak kepulangan Ona kemarin, dia langsung berkata pada Ibu akan mengenalkan seorang lelaki. Ona berkata mereka hanya sekedar teman dan memperingatkan Ibu supaya tidak terlalu berharap dengan hubungan Ona dan Rey seperti hubungan Ona dan Habib beberapa tahun lalu. Tetapi tetap saja Ibu mengabaikan perkataan Ona karena terlalu senang, setelah ini semoga Ibu tidak akan mendengar nyiyiran dari tetangga lagi.Reaksi Mela tidak jauh beda dengan Ibu, ketika mendengar Ona akan mengenalkan Rey dan menunjukkan foto Rey pada Mela. Mata adik perempuannya itu langsung berbinar senang, apalagi wajah tamp