Perempuan dengan jaket tebal itu menatap lelaki di depannya kesal, pasalnya dia baru saja turun ke lantai 1 berniat untuk mencari makan malam sendirian karena Nafa sudah tidur tetapi Rey malah mengikutinya sampai di penjual nasi goreng dan ikut makan bersamanya. Apalagi Habib yang sengaja membiarkan dia pergi berdua dengan Rey, lelaki yang mengaku temannya itu beralasan mengantuk padahal dia dapat melihat jelas mata Habib yang masih segar.
“Kamu udah kenyang, Na?” tanya Rey memandang nasi goreng Ona yang masih setengah.
Ona hanya bergumam pelan dan melanjutkan makan. Ingatan Ona kembali pada percakapannya dengan Nafa kemarin sore. Ona bertanya pada Nafa tentang tawaran Rey yang mau menjadi pacar pura-puranya.
“Gini, Na, tapi lo jangan marah ya,” jawab Nafa pelan ketika Ona tanya mengenai tawaran Rey. Ona terus menatap Nafa dan menunggu perempuan itu melanjutkan ucapannya. “Tadi malam ‘kan gue ke dapur buat mi instan, di sana gue ketemu Habib dan Rey lagi ngopi bareng, terus karena gue bingung juga mau memberi saran gimana akhirnya gue cerita ke mereka tentang masalah lo. Eh, tiba-tiba Rey ngomong mau jadi pacar pura-pura lo.”
“Sinetron banget.” Hanya itu tanggapan Ona dan berlalu meninggalkan Nafa. Sebenarnya sampai sekarang Ona masih memikirkan hal itu, dia masih bimbang.
“Ngalamun aja,” ujar Rey sambil mengamati Ona. Perempuan itu tersentak dan melanjutkan makannya tanpa melihat Rey. Rey sudah merasa biasa dengan sikap Ona yang dingin dan irit bicara, perempuan itu sama sekali tidak tergoda dengan pesona Rey. Apa Rey sebaiknya berusaha mendekati Ona dan menghangatkan hatinya yang dingin itu?
Mata Rey mengamati Ona yang makan dengan perlahan, cahaya remang-remang dari lampu penjual nasi goreng membuat Ona berkali lipat lebih menarik di mata Rey, padahal sebelumnya dia sama sekali tidak tertarik dengan perempuan itu. Namun, ketika Rey melihat senyum tipis Ona dan menampakkan lesung pipi membuat Rey terpaku, apalagi kepanikan Ona ketika mati lampu di arsip bersamanya beberapa hari lalu membuat Rey semakin penasaran. Ona seperti sedang menyembunyikan sesuatu yang besar.
Tanpa sadar Rey sudah mengamati Ona terlalu lama sampai perempuan itu sudah selesai makan dan minum teh hangat. Rey tersenyum dan mengalihkan pandangan pada jalan raya yang masih ramai di jam 10 malam, kantor yang menjulang di depan penjual nasi goreng juga masih ramai dengan lampu menyala terang. Akhir bulan memang waktu yang tepat untuk lembur mengejar target bulanan.
Setelah menyelesaikan makannya Ona bangkit diikuti Rey untuk membayar makanan. Namun, ketika Ona mau menyerahkan uang, Rey sudah lebih dulu menyerahkan uang sekalian membayar makanan Ona. Ona malas berdebat dan memilih mengalah. Kemudian mereka berdua berjalan bersama menuju indekos yang berjarak tidak jauh.
“Makasih,” ujar Ona tanpa melihat Rey.
“Sama-sama,” jawab Rey sambil tersenyum padahal Ona tidak melihat wajahnya.
Udara malam membuat Ona merapatkan jaketnya, samar-samar terdengar gemuruh petir yang bertanda akan turun hujan. Langit malam yang biasanya menampilkan kelap-kelip bintang kini hanya ada awan mendung. Suara sepeda motor dan mobil mengisi keheningan perjalanan Ona dan Rey.
Rey memutar otak untuk mencari bahan obrolan tetapi kini otaknya buntu. Rey tidak menemukan ide untuk membuat Ona buka mulut. Mata Rey melihat Ona yang merapatkan jaketnya karena dingin, ada ide terlintas di benak Rey untuk bersikap sok romantis dengan menganggam tangan Ona dan meniup tangan itu supaya lebih hangat. Tetapi pikiran itu segera Rey tepis karena Ona pasti langsung menolaknya dan meninggalkannya berjalan sendirian. Rey memang harus lebih hati-hati untuk mendekati perempuan dingin itu, salah langkah sedikit bisa menutup kesempatan Rey untuk dekat dengan Ona.
Tiba-tiba ponsel di saku celana Rey berdering nyaring membuat Ona mengalihkan perhatiannya pada Rey karena merasa terganggu dengan suara itu. Rey tersenyum dan segera mengambil ponselnya yang menampilkan panggilan dari ayahnya.
“Iya, Yah?” tanya Rey. Sejenak Ona mematung mendengar Rey memanggil si penelepon Ayah, dalam hati kecilnya Ona sangat merindukan ayahnya. Sebelum rindu itu semakin membuncah Ona segera menggelengkan kepala dan lanjut berjalan.
“Kabar aku baik, Yah. Mungkin minggu depan aku bisa pulang,” jawab Rey sambil tersenyum manis.
Tidak lama kemudian Rey sudah mengakhiri percakapan via telepon dengan ayahnya dan menyusul Ona yang sudah beberapa langkah di depannya.
“Na,” panggil Rey pelan.
“Hmm.”
Rey memandang Ona ragu, Ona balas menatap Rey penuh tanya.
“Tentang tawaran saya untuk jadi pacar pura-pura kamu itu gimana?” Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulut Rey.
Ona menengang, dia sangat ingin menolak tawaran itu seperti tidak ada lelaki lain saja. Dan pacar pura-pura? Ini benar-benar seperti sinetron atau FTV yang sering Mela tonton, kesannya Ona seperti tidak laku karena harus mencari pacar pura-pura. Tetapi kalau dia menolak bagaimana dengan Ibu? Pernikahan Aisyah semakin dekat, dan Ona belum menemukan lelaki yang cocok untuk dikenalkan pada Ibu dan kerabat yang lainnya. Ona juga tidak mungkin mengajak Habib karena Ibu sudah mengenal Habib sebagai temannya. Bagaimana ini? Apa dia harus benar-benar menerima tawaran Rey?
“Kenapa lo mengajukan tawaran itu?” Ona balas bertanya.
“Karena saya juga butuh pacar untuk datang ke pernikahan mantan saya.”
Perempuan itu mengangguk, masuk akal juga alasan Rey. Tidak ada pilihan lain akhirnya Ona mengulurkan tangan kepada Rey. “Deal.”
Rey menyambut uluran tangan itu dengan senang. Senyum lebar terpatri di wajah tampan itu, apalagi binar mata Rey yang lebih indah daripada bintang yang sering Ona pandang setiap malam. Apa bintang-bintang itu sekarang berada di mata Rey?
Ona segera menarik tangannya dan kembali berjalan. Rey memandang tangan kanannya yang baru saja dipegang Ona dan tersenyum, kemudian dia menyusul Ona dan mereka berjalan menuju indekos yang sudah terlihat diujung jalan. Malam ini Rey akan bermimpi indah.
Beda halnya dengan Ona yang masih mempertanyakan keputusannya. Apa ini keputusan yang tepat? Ona masih merasa ragu dengan hal itu.
***
“Gue terima tawaran Rey untuk jadi pacar pura-pura gue,” ujar Ona sambil merapikan rambutnya di meja rias.
“Apa? Seriusan lo terima tawaran itu?” teriak Nafa bangkit dari tempat tidur. Ona memutar bola matanya. “Kesambet apa lo, Na? Lo gak kerasukan ‘kan? Lo sadar ‘kan?”
Nafa menghampiri Ona dan memegang kedua pipi temannya itu. “Apaan, sih.” Ona berusaha melepaskan pegangan Nafa.
“Gila gila gila, kalau Habib tahu kabar ini dia bisa pingsan.” Nafa melepaskan pegangan tangannya dari pipi Ona dan pergi ke kamar mandi dengan semangat. Temannya itu pasti tidak sabar bertemu dengan Habib untuk menceritakan kabar ini.
Ona menghela napas. Bagaimana jika keputusan yang dia ambil salah dan malah menjadu boomerang baginya? Apa dia siap untuk hal itu?
“Kamu udah ada pasangan buat datang ke pernikahan aku belum, Na?” tanya Aisyah.“Udah ada dong, Mbak,” sahut Nafa semangat sambil membuka undangan pernikahan yang baru saja Aisyah berikan. Hari Minggu ini Aisyah sengaja menyempatkan diri untuk mengunjungi indekos Ona, selain untuk mengantarkan makanan instan dari Ibu, juga untuk membagikan undangan pada Nafa dan Habib secara langsung.“Seriusan udah ada?” Aisyah menatap Nafa dan Ona dengan binar mata bahagia. Ona membalas tatapan Aisyah dengan malas, apa nantinya reaksi Ibu dan kerabatnya akan sama dengan Aisyah ketika mendengar Ona akan mengenalkan seorang lelaki?“Iya, Mbak, ganteng banget, lebih ganteng daripada mantan aku,” tambah Nafa hiperbolis.“Mantan kamu yang mana, Fa?”“Mbak Aisyah tahu aja kalau mantanku banyak,” jawab Nafa sambil tersenyum malu. Sedangkan Aisyah tertawa pelan.“Bulik Rani udah tahu kal
“Yah,” panggil Rey melalui sambungan telepon dengan ayahnya. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 21.00 malam, tetapi percakapan ayah dan anak melalui sambungan telepon sejak satu jam lalu itu belum ada tanda-tanda akan berakhir. Rey sangat senang berbincang dengan ayahnya.“Apa?” sahut Ayah dari seberang telepon, tadi Rey sengaja menelepon Ayah duluan untuk sekedar menanyakan kabar tetapi percakapan itu malah melebar ke mana-mana seperti tidak ada ujungnya. Rey tidak akan segan bersikap manja dengan ayahnya meskipun usianya sudah hampir kepala tiga. Jika dengan Ayah, Rey seperti anak berusia 5 tahun yang menggemaskan.“Rey ketemu cewek,” ujar Rey setelah menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia cerita dengan Ayah atau tidak. Rey tidak memiliki rahasia apa pun dengan ayahnya sejak kecil. Hal sekecil apa pun akan dia ceritakan dengan Ayah, bahkan waktu Rey mulai dekat dengan Seli sampai putus saja ayahnya tahu.“Cantikan ma
“Gimana persiapan pernikahan Mbak Aisyah?”Ona memutar bola matanya mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Rey, sejak kapan dia merasa begitu dekat dengannya sampai menanyakan perihal pernikahan Mbak Aisyah? Dan sejak kapan Rey dengan percaya dirinya memanggil Aisyah dengan sebutan Mbak, padahal jelas tua Rey daripada Aisyah.Merasa Ona tidak akan menjawab pertanyaannya, Rey menghela napas dan kembali fokus mengendarai sepeda motor menuju gedung II untuk melakukan safety meeting bagian quality control. Safety meeting dilakukan sebulan sekali yang membahas perihal perkembangan bagian serta ramah taman antar karyawan. Di safety meeting juga akan ada perkenalan anak magang dan PKL yang akan meringankan beban para karyawan tetap yang gila lembur.Nafa dan Habib sudah berangkat lebih dulu, dan hal itu lah yang membuat Ona kesal karena harus barengan lagi dengan Rey. Mata Ona menatap punggung tegap Rey yang berbalut
Tatapan dingin perempuan itu mengamati sekitar, teman-teman dan karyawan lainnya sedang sibuk mengerjakan sampelnya. Tidak jauh beda dengan para analis yang berjuang mengejar target bulan ini, akhir bulan memang selalu menjadi hari-hari sibuk laboratorium. Perempuan itu menghela napas dan mulai memasukkan daftar sampelnya ke komputer di depannya menggantikan Dena yang sedang mencuci alat-alat gelas.Anak PKL titipan Bu Dama sedang dia suruh untuk mengeringkan alat-alat karena akan digunakan lagi, di satu baris meja yang berisi Ona, Habib, dan Nafa ada 2 anak PKL SMK. Satu laki-laki yang sekarang sedang membantu Habib menimbang sampel dan satu cewek yang kini sedang Ona suruh menggeringkan alat. Adanya anak PKL memang sangat membantu, tetapi sayangnya anak PKL tidak boleh lembur, padahal di akhir bulan begini banyak sekali lembur.Perempuan itu menghela napas memandang banyaknya sampel yang akan datang besok. Hari ini adalah hari pertama Bu Dama cuti melahirkan dan sial
“Lo kenapa?” tanya Ona sambil mendekat ke Rey tanpa ragu.Rey menatap Ona lemah sambil menahan sakit di perutnya. Ona meraih lengan Rey dan membantu lelaki itu melepaskan jas lab dan sepatu khusus untuk masuk laboratorium. Rey mengikuti gerakan Ona dengan pelan, perutnya benar-benar sakit dan Rey baru ingat dia tadi tidak sempat makan siang karena banyaknya sampel. Ditambah sekarang lembur sampai jam setengah 11 malam.Setelah selesai, Ona segera mencari loker bernama Rey dan mengeluarkan ponsel yang ditinggalnya. Rey tidak membawa apa pun selain ponsel dan dompet yang berada di sakunya. Benar-benar simpel. Ona menatap wajah pucat Rey panik, dalam hati Rey tersenyum, baru kali ini dia melihat wajah Ona yang panik, biasanya perempuan itu selalu menunjukkan wajah dingin dan tidak bersahabat.“Kamu be
Musik gamelan khas hajatan pernikahan daerah Jawa Tengah memenuhi indra pendengaran perempuan yang sudah rapi dengan kebaya dusty pink dan berdiri malas di depan rumahnya. Dia baru saja mendapat kabar bahwa Nafa, Habib, dan Rey sedang dalam perjalanan ke rumahnya. Ibu dan Mela juga menemaninya menunggu dengan wajah penasaran dan sumringah yang membuatnya memutar bola mata.Sejak kepulangan Ona kemarin, dia langsung berkata pada Ibu akan mengenalkan seorang lelaki. Ona berkata mereka hanya sekedar teman dan memperingatkan Ibu supaya tidak terlalu berharap dengan hubungan Ona dan Rey seperti hubungan Ona dan Habib beberapa tahun lalu. Tetapi tetap saja Ibu mengabaikan perkataan Ona karena terlalu senang, setelah ini semoga Ibu tidak akan mendengar nyiyiran dari tetangga lagi.Reaksi Mela tidak jauh beda dengan Ibu, ketika mendengar Ona akan mengenalkan Rey dan menunjukkan foto Rey pada Mela. Mata adik perempuannya itu langsung berbinar senang, apalagi wajah tamp
Setelah melalui serangkaian acara pernikahan adat jawa, akhirnya memasuki sesi foto bersama. Para tamu undangan yang ingin foto bersama bisa antre ke pelaminan sekalian dengan salaman. Sebenarnya Ona malas melakukan hal tersebut, namun atas paksaan Nafa dan Habib akhirnya Ona hanya bisa mengangguk. Sedangkan Rey menjadi tim netral, sejak kedatangannya tadi Rey terus senyum pada Ona, tidak jarang juga Ona menangkap basah Rey yang menatapnya.Banyak tetangga Ona yang menyapa Rey dengan tatapan kagum, dan Ona benar-benar berharap semoga dengan ini bisa membungkam mulut mereka meskipun kemungkinannya kecil. Para remaja di desanya juga menatap Rey kagum membuat Ona yang selalu berada di samping Rey risih karena dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian.Setelah menunggu antrean cukup panjang akhirnya tiba saatnya Ona dan teman-temannya untuk foto bareng dengan sepa
Mati lampu! Tangan Ona bergetar hebat ketika lampu di indekosnya tiba-tiba mati tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, biasanya jika akan ada pemadaman listrik Ona akan mempersiapkan diri, entah tidur lebih awal atau tetap di kamar bersama Nafa. Saking paniknya Ona tidak sengaja menjatuhkan gelas yang ada di meja, kompornya masih menyala dan itu satu-satunya sumber cahaya yang ada.Keringat mulai membasahi tubuh ramping Ona, ingatan masa lalu kembali berputar di benaknya, sekarang apa yang harus dia lakukan? Tidak ada yang bisa menolongnya selain dirinya sendiri, tetapi Ona tidak berdaya, tubuhnya benar-benar lemas.“Kamu gak papa?”Ona berbalik cepat ketika suara seorang lelaki masuk ke indra pendengarannya. Lelaki itu berdiri di belakangnya, Ona menyipitkan matanya berusaha menebak siapa lelaki yang kini berdiri di depannya.“Airnya udah mendidih, kalau kamu gak matiin kompornya airnya bisa habis,” ujar lelaki itu sambil mematikan k