Udara malam masuk melalui celah jendela kamar indekos kedua perempuan yang duduk berhadapan di tempat tidur itu. Gerimis mulai turun yang lama-lama berubah deras dan meredam suara percakapan dari lantai 1. Mendung mengantung di langin malam membuat orang-orang malas dan memilih untuk segera tidur.
Tetapi yang dilakukan kedua perempuan itu malah bercerita melalui tatapan mata. Hanya ada satu dua kata yang keluar dari mulut itu, selebihnya hanya suara musik dari ponsel dan helaan napas yang beradu dengan derasnya hujan.
“Gue gak paham maksud cerita lo,” keluh Nafa putus asa. Pasalnya sedari tadi Ona hanya berkata satu dua kata dan Nafa sama sekali tidak menangkap maksud Ona selain air muka panik perempuan itu. Ona terus menghela napas lelah dan matanya bergerak tak tentu arah bertanda kalau dia sedang bingung dan panik.
Ona menghela napas dan bangkit untuk mengambil minum. “Nyokap gue nanya terus kapan gue nikah.”
“Itu ‘kan udah biasa, terus masalahnya di mana?” tanya Nafa penasaran.
“Masalahnya lama-lama gue gak tega liat nyokap tertekan karena pertanyaan itu. Kemarin aja nyokap nyuruh gue kenalan sama anak temannya yang gak banget.”
“Waahh, daebak!” ujar Nafa takjub. “Tujuh tahun kita tidur bareng akhirnya lo cerita banyak ke gue, Na.”
Ona memutar bola matanya menanggapi sikap lebay Nafa. “Jadi gimana?”
“Ya, lo cari pacar, dong, ajak ke rumah dan kenalin ke nyokap lo”
“Lo ‘kan tau gue gak mau pacaran.”
“Terus lo maunya langsung nikah?”
“Bukan gitu.”
“Jadi?”
“Sebenarnya … gue gak mau nikah.”
“Apa?” tanya Nafa kaget. “Lo gak mau nikah? Kenapa?”
Ona melangkah mendekati jendela dan menutupnya untuk mencegah hawa dingin masuk ke kamar kedua perempuan itu, hujan masih deras bahkan beradu dengan petir. Kemudian Ona duduk di lantai yang beralaskan karpen hangat. Menyadari tingkah Ona yang tidak berniat menjawab pertanyaannya, Nafa menghela napas dan bertanya lagi untuk mengalihkan pembicaraan.
“Terus lo maunya gimana? Cari pacar pura-pura kayak di FTV?”
“Gue gak tahu,” jawab Ona putus asa. Jika tidak ada jalan lain mungkin mencari pacar pura-pura itu jalan satu-satunya.
Nafa menggelengkan kepalanya tidak percaya. “Gila.”
Musik yang berputar dari ponsel Ona sudah dimatikan Nafa. Perempuan itu bangkit dan keluar kamar ke dapur umum untuk membuat mi instan. Ona menikmati kesendiriannya dengan merenung. Apa yang harus dia lakukan? Bagaimana jika dia bicara jujur saja dengan Ibu jika tidak mau menikah? Tetapi kalau Ibu sakit gimana?
Kekhawatiran yang berkumpul di dada dan kepala Ona rasanya seperti mau meledak. Meskipun dia jarang pulang tetapi kebahagiaan Ibu tetap yang utama baginya. Ona berpindah tempat duduk di meja rias dan memandang wajah bulatnya di kaca. Dengan mata bulat besar dan lesung pipi seharusnya tidak susah untuk Ona mendapatkan pasangan. Namun, sikap dingin dan pasif Ona membuat para lelaki segan dan memilih mundur.
Tiba-tiba Nafa membuka pintu kamar membuat Ona tersentak. “Gue ada ide!” ujar Nafa ngos-ngosan, pasti perempuan itu berlari menaiki tangga.
Ona menatap Nafa bingung sembari menaikkan salah satu alisnya.
“Gimana kalau Rey yang jadi pacar pura-pura lo?”
Ona menatap Nafa tajam. Rey? Yang benar saja!
***
“Gimana saran gue kemarin, Na? Udah lo pertimbangin belum?” tanya Nafa di sela pekerjaannya.
“Belum,” jawab Ona dengan kedua tangan sibuk memegang labu ukur untuk melakukan pengenceran obat.
“Kenapa belum, sih? Seharusnya langsung lo iyain, siapa juga yang gak mau sama Pak Rey, udah ganteng, cekatan, ramah, humoris juga, udah mapan lagi, pokoknya paket lengkap, deh,” cerocos Nafa sambil menghaluskan tablet obat menggunakan mortar dan alu.
“Kerja woy kerja! Ghibah aja,” teriak Habib tepat di telinga kedua perempuan itu.
Tangan Nafa refleks memukul punggung Habib, sedangkan Ona mengusap telinganya. Habib tertawa renyah yang membuatnya menjadi pusat perhatian sesaat di laboratorium.
“Gue ada kabar hot, nih,” ujar Habib sambil mengambil sampel obat baru dan mulai membuka bungkusnya. Lelaki itu baru saja menyelesaikan preparasinya dan menyerahkan sampel ke Rey, pasti dia mencuri dengar percakapan Rey dan Bu Dama sehingga bisa dapat gosip baru. Preparasi adalah salah satu tahapan penting dalam pengujian obat karena sampel yang dianalisis harus bening dan tidak ada endapan. Setelah preparasi sampel di serahkan kepada analis untuk dilakukan pengujian HPLC (high performance liquid chromatography) atau pengujian kadar kalsium dan masih banyak lagi. Itulah salah satu tugas asisten analis.
“Apa-apa?” tanya Nafa semangat. Ona hanya diam menanggapi ucapan Habib, tetapi dia menyiapkan telinganya untuk mendengarkan gosip dari Habib.
“Bulan depan bakal ada anak PKL (praktik kerja lapangan) dari SMA di Boyolali.”
“Seriusan?” Mata Nafa berbinar senang, adanya anak PKL adalah kebahagiaan tersendiri bagi karyawan seperti mereka. Dengan adanya anak PKL pekerjaan mereka bisa menjadi lebih ringan karena dibagi dua dengan anak PKL.
“Iya, Rey minta satu, Bu Dama juga satu, jadi di meja kita nanti bakal ada 2 anak PKL.”
“Akhirnya…”
“Lebay,” sahut Airin yang duduk manis di depan meja Habib, dari gelagat perempuan itu pasti sudah tidak ada sampel dan tinggal menunggu waktu pulang. Makanya dia berkeliling mencari teman adu mulut. Benar-benar kurang kerjaan. “Gue juga ada anak PKL, tapi gue gak selebay kalian, tuh.”
“Gak nanya!” balas Habib ngegas.
“Lo kan sampelnya dikit, kalau ada anak PKL nanti yang ada anak PKL-nya nganggur atau suka cari gara-gara kayak lo,” sahut Nafa pedas.
“Syirik aja lo!” Airin bangkit dan meninggalkan meja mereka. Habib tersenyum mengejek sama halnya dengan Nafa.
“Terus-terus,” ujar Habib melanjutkan gosipnya. Nafa dan Ona mendengarkan dengan saksama. “Bu Dama bentar lagi bakal cuti.”
“Terus penggantinya siapa, dong?” tanya Nafa mewakili pertanyaan Ona.
“Nah itu, gue gak tau.”
“Yeee.” Napa menampol kepala Habib kesal. “Kasian Ona ditinggal Ibu tercinta.”
Ona memutar bola matanya dan segera menyelesaikan pengenceran obatnya. Dia sangat bersyukur bila Bu Dama cuti, artinya dia tidak perlu lagi kena marah setiap pulang kerja karena telat menyerahkan hasil preparasi padahal memang sampelnya yang datang terlambat. Tetapi bagaimana jika pengganti Bu Dama lebih menyebalkan daripada Bu Dama?
“Ngalamun aja, gak siap ditinggal Bu Dama, ya?” tanya Nafa menyadarkan Ona.
“Gak.”
“Atau ngalamunin Rey, ya?”
“Apaan, sih!”
“Gak usah malu-malu gitu, Na.” Nafa masih terus menggoda Ona.
“Gak diem gue lempar labu ukur,” ujar Ona galak sambil mengangkat labu ukur 100 ml.
“Iya-iya,” balas Nafa mengalah sambil tertawa, perempuan itu kemudian ke ruang timbang untuk menimbang sampel terakhirnya.
Beberapa menit kemudian, Ona sudah menyelesaikan preparasinya dan menyerahkan kepada Bu Dama. Namun, ketika dia melewati meja kerja Rey lelaki itu meraih tangannya dan menghentikan langkah Ona. Ona menatap genggaman tangan Rey di tangannya tajam.
“Gimana sama tawaran saya untuk jadi pacar pura-pura kamu?”
“Tawaran?”
“Iya, saya menawarkan diri untuk jadi pacar pura-pura kamu.”
Ona menatap Rey tajam kemudian menghempaskan tangan itu dan segera berjalan ke meja kerjanya. Nafa, iya Nafa pasti tau masalah ini.
Sesampainya di meja kerja, Ona segera menghampiri Nafa yang sedang mencuci alat kerjanya.
“Apa yang lo bicarakan dengan Rey semalam?”
Perempuan dengan jaket tebal itu menatap lelaki di depannya kesal, pasalnya dia baru saja turun ke lantai 1 berniat untuk mencari makan malam sendirian karena Nafa sudah tidur tetapi Rey malah mengikutinya sampai di penjual nasi goreng dan ikut makan bersamanya. Apalagi Habib yang sengaja membiarkan dia pergi berdua dengan Rey, lelaki yang mengaku temannya itu beralasan mengantuk padahal dia dapat melihat jelas mata Habib yang masih segar.“Kamu udah kenyang, Na?” tanya Rey memandang nasi goreng Ona yang masih setengah.Ona hanya bergumam pelan dan melanjutkan makan. Ingatan Ona kembali pada percakapannya dengan Nafa kemarin sore. Ona bertanya pada Nafa tentang tawaran Rey yang mau menjadi pacar pura-puranya.“Gini, Na, tapi lo jangan marah ya,” jawab Nafa pelan ketika Ona tanya mengenai tawaran Rey. Ona terus menatap Nafa dan menunggu perempuan itu melanjutkan ucapannya. “Tadi malam ‘kan gue ke dapur buat mi instan, di sana g
“Kamu udah ada pasangan buat datang ke pernikahan aku belum, Na?” tanya Aisyah.“Udah ada dong, Mbak,” sahut Nafa semangat sambil membuka undangan pernikahan yang baru saja Aisyah berikan. Hari Minggu ini Aisyah sengaja menyempatkan diri untuk mengunjungi indekos Ona, selain untuk mengantarkan makanan instan dari Ibu, juga untuk membagikan undangan pada Nafa dan Habib secara langsung.“Seriusan udah ada?” Aisyah menatap Nafa dan Ona dengan binar mata bahagia. Ona membalas tatapan Aisyah dengan malas, apa nantinya reaksi Ibu dan kerabatnya akan sama dengan Aisyah ketika mendengar Ona akan mengenalkan seorang lelaki?“Iya, Mbak, ganteng banget, lebih ganteng daripada mantan aku,” tambah Nafa hiperbolis.“Mantan kamu yang mana, Fa?”“Mbak Aisyah tahu aja kalau mantanku banyak,” jawab Nafa sambil tersenyum malu. Sedangkan Aisyah tertawa pelan.“Bulik Rani udah tahu kal
“Yah,” panggil Rey melalui sambungan telepon dengan ayahnya. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 21.00 malam, tetapi percakapan ayah dan anak melalui sambungan telepon sejak satu jam lalu itu belum ada tanda-tanda akan berakhir. Rey sangat senang berbincang dengan ayahnya.“Apa?” sahut Ayah dari seberang telepon, tadi Rey sengaja menelepon Ayah duluan untuk sekedar menanyakan kabar tetapi percakapan itu malah melebar ke mana-mana seperti tidak ada ujungnya. Rey tidak akan segan bersikap manja dengan ayahnya meskipun usianya sudah hampir kepala tiga. Jika dengan Ayah, Rey seperti anak berusia 5 tahun yang menggemaskan.“Rey ketemu cewek,” ujar Rey setelah menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia cerita dengan Ayah atau tidak. Rey tidak memiliki rahasia apa pun dengan ayahnya sejak kecil. Hal sekecil apa pun akan dia ceritakan dengan Ayah, bahkan waktu Rey mulai dekat dengan Seli sampai putus saja ayahnya tahu.“Cantikan ma
“Gimana persiapan pernikahan Mbak Aisyah?”Ona memutar bola matanya mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Rey, sejak kapan dia merasa begitu dekat dengannya sampai menanyakan perihal pernikahan Mbak Aisyah? Dan sejak kapan Rey dengan percaya dirinya memanggil Aisyah dengan sebutan Mbak, padahal jelas tua Rey daripada Aisyah.Merasa Ona tidak akan menjawab pertanyaannya, Rey menghela napas dan kembali fokus mengendarai sepeda motor menuju gedung II untuk melakukan safety meeting bagian quality control. Safety meeting dilakukan sebulan sekali yang membahas perihal perkembangan bagian serta ramah taman antar karyawan. Di safety meeting juga akan ada perkenalan anak magang dan PKL yang akan meringankan beban para karyawan tetap yang gila lembur.Nafa dan Habib sudah berangkat lebih dulu, dan hal itu lah yang membuat Ona kesal karena harus barengan lagi dengan Rey. Mata Ona menatap punggung tegap Rey yang berbalut
Tatapan dingin perempuan itu mengamati sekitar, teman-teman dan karyawan lainnya sedang sibuk mengerjakan sampelnya. Tidak jauh beda dengan para analis yang berjuang mengejar target bulan ini, akhir bulan memang selalu menjadi hari-hari sibuk laboratorium. Perempuan itu menghela napas dan mulai memasukkan daftar sampelnya ke komputer di depannya menggantikan Dena yang sedang mencuci alat-alat gelas.Anak PKL titipan Bu Dama sedang dia suruh untuk mengeringkan alat-alat karena akan digunakan lagi, di satu baris meja yang berisi Ona, Habib, dan Nafa ada 2 anak PKL SMK. Satu laki-laki yang sekarang sedang membantu Habib menimbang sampel dan satu cewek yang kini sedang Ona suruh menggeringkan alat. Adanya anak PKL memang sangat membantu, tetapi sayangnya anak PKL tidak boleh lembur, padahal di akhir bulan begini banyak sekali lembur.Perempuan itu menghela napas memandang banyaknya sampel yang akan datang besok. Hari ini adalah hari pertama Bu Dama cuti melahirkan dan sial
“Lo kenapa?” tanya Ona sambil mendekat ke Rey tanpa ragu.Rey menatap Ona lemah sambil menahan sakit di perutnya. Ona meraih lengan Rey dan membantu lelaki itu melepaskan jas lab dan sepatu khusus untuk masuk laboratorium. Rey mengikuti gerakan Ona dengan pelan, perutnya benar-benar sakit dan Rey baru ingat dia tadi tidak sempat makan siang karena banyaknya sampel. Ditambah sekarang lembur sampai jam setengah 11 malam.Setelah selesai, Ona segera mencari loker bernama Rey dan mengeluarkan ponsel yang ditinggalnya. Rey tidak membawa apa pun selain ponsel dan dompet yang berada di sakunya. Benar-benar simpel. Ona menatap wajah pucat Rey panik, dalam hati Rey tersenyum, baru kali ini dia melihat wajah Ona yang panik, biasanya perempuan itu selalu menunjukkan wajah dingin dan tidak bersahabat.“Kamu be
Musik gamelan khas hajatan pernikahan daerah Jawa Tengah memenuhi indra pendengaran perempuan yang sudah rapi dengan kebaya dusty pink dan berdiri malas di depan rumahnya. Dia baru saja mendapat kabar bahwa Nafa, Habib, dan Rey sedang dalam perjalanan ke rumahnya. Ibu dan Mela juga menemaninya menunggu dengan wajah penasaran dan sumringah yang membuatnya memutar bola mata.Sejak kepulangan Ona kemarin, dia langsung berkata pada Ibu akan mengenalkan seorang lelaki. Ona berkata mereka hanya sekedar teman dan memperingatkan Ibu supaya tidak terlalu berharap dengan hubungan Ona dan Rey seperti hubungan Ona dan Habib beberapa tahun lalu. Tetapi tetap saja Ibu mengabaikan perkataan Ona karena terlalu senang, setelah ini semoga Ibu tidak akan mendengar nyiyiran dari tetangga lagi.Reaksi Mela tidak jauh beda dengan Ibu, ketika mendengar Ona akan mengenalkan Rey dan menunjukkan foto Rey pada Mela. Mata adik perempuannya itu langsung berbinar senang, apalagi wajah tamp
Setelah melalui serangkaian acara pernikahan adat jawa, akhirnya memasuki sesi foto bersama. Para tamu undangan yang ingin foto bersama bisa antre ke pelaminan sekalian dengan salaman. Sebenarnya Ona malas melakukan hal tersebut, namun atas paksaan Nafa dan Habib akhirnya Ona hanya bisa mengangguk. Sedangkan Rey menjadi tim netral, sejak kedatangannya tadi Rey terus senyum pada Ona, tidak jarang juga Ona menangkap basah Rey yang menatapnya.Banyak tetangga Ona yang menyapa Rey dengan tatapan kagum, dan Ona benar-benar berharap semoga dengan ini bisa membungkam mulut mereka meskipun kemungkinannya kecil. Para remaja di desanya juga menatap Rey kagum membuat Ona yang selalu berada di samping Rey risih karena dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian.Setelah menunggu antrean cukup panjang akhirnya tiba saatnya Ona dan teman-temannya untuk foto bareng dengan sepa