“Sore ini kamu udah gak ada sampel ‘kan?” tanya Bu Dama setelah Ona menyerahkan sampel hasil preparasinya untuk pengujian yang akan dilakukan Bu Dama. Ona mengangguk, perasaannya tiba-tiba tidak enak.
“Ibu minta tolong anterin Pak Rey ke arsip, ya, ada obat lupa saya uji bulan lalu. Nanti kamu sekalian pulang gak papa.”
Ona melirik meja Rey yang berada di depan Bu Dama, Rey tersenyum manis ketika mata mereka bertemu. Ona mengela napas, dia ingin menolak tetapi untuk apa dia di lab kalau tidak ada kerjaan. Akhirnya Ona mengangguk pasrah.
Setelah itu Ona keluar menuju mejanya yang hanya terpisah dinding kaca dengan meja Bu Dama. Ona merapikan meja kerjanya dan menaruh alat yang kotor ke tempat pencucinya yang nantinya akan dicuci oleh Dena.
Melihat Ona yang sudah membersihkan meja kerjanya membuat Nafa dan Habib iri, pasalnya mereka berdua harus kejar target dan lembur. Pandangan iri kedua temannya terus mengikuti Ona sampai masuk ke loker. Ona menahan senyum melihat wajah memelas kedua temannya.
Di loker Ona segera melepas jas lab, topi, dan sepatu khusus yang dia kenakan. Dirasa cukup Ona merapikan rambut sebahunya dan memakai sandal biasa. Ketika Ona keluar loker, Rey sudah menunggu bersadar di dinding dan menyilangkan kakinya dengan kedua tangan masuk ke saku celana. Ona memandang Rey malas.
Rey tersenyum manis menyambut kedatangan Ona sedangkan Ona hanya menatap Rey datar dan terus berjalan menuju tangga turun. Rey menghela napas dan mengikuti langkah perempuan itu. Mereka berjalan bersisihan menuju lantai 1 tempat ruang arsip berada.
Sepanjang perjalanan Rey menatap proses pembuatan obat dengan kagum. Mereka melintasi koridor dengan kanan dan kiri ruang produksi yang dapat dilihat melalui kaca. Ona terus berjalan hingga sampai di ujung koridor yang bersebelahan dengan pintu keluar.
Setelah membuka pintu arsip dengan kunci yang Ona bawa, mereka memasuki ruang arsip dan mencari sakelar untuk menyalakan lampu.
“Mau cari obat apa?” tanya Ona.
“Obat sakit kepala, bulan lalu Bu Dama kelewatan 1 batch,” jawab Rey senang untuk pertama kalinya diajak Ona bicara. Batch adalah pengelompokkan nomor dalam setiap produksi obat.
Ona dengan cekatan menuju lorong untuk mencari bagian obat sakit kepala. Rey mengikuti langkah Ona sambil membaca nama obat yang tertulis di setiap kardus. Tiba di bagian ujung Ona menemukan satu kardus berisi obat sakit kepala dengan nomor batch 1-10.
“Iya yang ini,” ujar Rey sambil mencari gunting untuk membuka kardus.
Sambil menunggu Rey mencari gunting, mata bulat Ona mengamati sekitar yang mana banyak rak menjulang tinggi dengan kardus berjajar rapi. Tiba-tiba tengkuk Ona meremang, pikiran Ona sudah melayang entah ke mana, bayangan tentang hantu-hantu kantor yang sering dia dengar memenuhi kepalanya. Ona takut.
“Akhirnya ketemu.” Ona menghela napas mendengar suara Rey dan melihat lelaki itu mulai melangkah mendekatinya.
Rey membuka kardus dan segera mencari obat dengan nomor batch 9. Setelah mendapatkan 1 bandel obat yang dia cari. Rey menutup kardus dengan rapat seperti semula dan mengembalikan ke dalam rak. Namun, ketika mereka melangkah untuk keluar ruangan tiba-tiba lampu mati dan ruang arsip gelap gulita.
Ona menegang, tangannya mulai berkeringat dan dada yang mulai sesak. Tiba-tiba ada yang mengenggam tangan Ona dari samping, itu pasti tangan Rey. Ona ingin melepaskan tangan itu tetapi yang dia lakukan malah mengenggam erat tangan itu dan memejamkan mata. Bayangan masa lalu itu kembali datang, Ona merasakan tubuhnya yang mulai basah oleh keringan.
Lelaki yang berada di samping Ona merasakan tangan Ona yang mulai bergetar dan berkeringat. Rey memandang Ona yang mematung di sampingnya dengan keringan bercucuran dan napas memburu seperti habis lari. Perempuan itu memejamkan matanya dan memegang tangan Rey erat sampai sakit, kuku Ona panjang seperti menusuk tangannya. Rey merasakan ada yang tidak beres dengan Ona. Apa perempuan dingin itu takut gelap?
“Kamu takut gelap?” tanya Rey pelan.
Tidak ada jawaban. Ona terus memejamkan mata dan mengenggam tangan Rey erat. Entah keberanian dari mata Rey mulai menyentuh bahu Ona dan membawa perempuan itu ke dalam pelukannya. Dan yang membuat Rey senang adalah Ona tidak menolak hal itu.
“Ada saya di sini,” bisik Rey di telinga Ona. Rey merasakan napas Ona yang mulai kembali normal.
Beberapa menit bertahan dengan posisi pelukan, tiba-tiba lampu kembali menyala. Ona menyadari dirinya sudah melewati batas yang dia buat. Ona segera melepaskan pelukan Rey dengan cepat, setelah itu Ona mengalihkan pandangan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Rey tersenyum melihat tingkah gugup Ona.
Ona melangkah cepat ke pintu keluar, Rey mengikuti langkah Ona. Setelah keluar Ona segera mengunci pintu dan melangkah cepat meninggalkan Rey. Dia ingin segera ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya dan melupakan kejadian yang baru saja terjadi.
***
“Lo gak jadi lembur?” tanya Ona ketika jam 6 sore Nafa sudah memasuki kamar dengan wajah lesu.
“Gak jadi, katanya nanti ada mati lampu lagi.” Nafa merebahkan tubuhnya di tempat tidur. “Capek banget, padahal masih pertengahan bulan tapi sampel banyaknya minta ampun.”
Ona mendengarkan keluhan Nafa sambil membaca buku.
“Rey juga, mentang-mentang masih baru bebas pulang cepet dan ninggalin kedua anak buahnya buat kerja rodi. Kayaknya dia perlu asisten analis tambahan, deh, gue sama Habib kalau berdua doang gak kuat.”
“Bilang ke manager kalau mau asisten analis tambahan, siapa tahu dikasih,” jawab Ona sekenanya.
“Gak mungkin, manager kita udah kayak diktator gitu.”
“Tuh tahu.”
Nafa mendengus kesal. Berkeluh kesah dengan Ona bukannya meringankan beban malah menambah beban. Apalagi jawaban Ona yang menyebalkan membuat orang yang berbicara dengannya harus menyiapkan tenaga ekstra.
“By the way tadi pas mati lampu lo masih di arsip, Na?” tanya Nafa.
Ona menengang kembali mengingat kejadian di ruang arsip tadi. Nafa tahu betul Ona takut dengan gelap, makanya dia selalu bertanya jika Ona tidak bersamanya ketika mati lampu. Karena ketika gelap Ona akan menjadi sangat panik.
“Na? Kok ngalamun? Tadi ada sesuatu ya?” tanya Nafa penasaran.
“Gak.”
Nafa menghela napas, memang sulit memancing Ona bercerita. Tujuh tahun satu kamar juga Nafa tidak tahu persis apa masalah Ona sampai jarang pulang, yang Nafa tahu Ona hanya malas jika terus ditanya kapan nikah. Nafa juga tidak tahu masalah apa yang membuat Ona takut dengan gelap, atau kejadian apa yang membuat Ona bersikap dingin dan memandang sinis sebuah keluarga. Nafa dengan kehidupan keluarga yang harmonis dan hangat tidak akan paham dengan masalah Ona. Begitu pemikiran Ona yang membuatnya malas bercerita.
Azan maghrib berkumandang. Ona menutup novelnya dan bangkit untuk melaksanakan salat. Tetapi ucapan Nafa menghentikan langkahnya.
“Minggu depan Habib pindah ke indekos kita, sekamar sama Rey.”
Matahari sudah berada di ufuk barat bersiap untuk kembali ke peraduannya, tetapi lelaki yang sejak pagi berada di rumah Ona belum juga berniat pulang. Lelaki itu masih asyik bercerita tentang kesehariannya dan dengan bangga memamerkan semua pencapaiannya yang sama sekali tidak menarik perhatian Ona.Mela berusaha membantu kakaknya dengan memberi kode pada si lelaki untuk segera pulang. Sudah berkali-kali Mela meminta bantuan Ona untuk mengerjakan tugas supaya lelaki itu cepat pulang. Tetapi entah tidak paham atau pura-pura tidak paham dengan kode Mela, lelaki itu malah tambah semangat cerita dan mengabaikan rengekan Mela.Untuk kesekian kalinya Ona memutar bola matanya menanggapi cerita Reno, anak teman Ibu. Ona menerima tawaran Ibu untuk kenalan dengan anak temannya semata-mata hanya untuk menenangkan Ibu dan tidak menanggap Ona aneh karena tidak mau kenalan dengan seorang lelaki. Tetapi lelaki yang Ibu kenalkan padanya benar-benar jauh dari dugaan Ona. Lelaki itu dat
Udara malam masuk melalui celah jendela kamar indekos kedua perempuan yang duduk berhadapan di tempat tidur itu. Gerimis mulai turun yang lama-lama berubah deras dan meredam suara percakapan dari lantai 1. Mendung mengantung di langin malam membuat orang-orang malas dan memilih untuk segera tidur.Tetapi yang dilakukan kedua perempuan itu malah bercerita melalui tatapan mata. Hanya ada satu dua kata yang keluar dari mulut itu, selebihnya hanya suara musik dari ponsel dan helaan napas yang beradu dengan derasnya hujan.“Gue gak paham maksud cerita lo,” keluh Nafa putus asa. Pasalnya sedari tadi Ona hanya berkata satu dua kata dan Nafa sama sekali tidak menangkap maksud Ona selain air muka panik perempuan itu. Ona terus menghela napas lelah dan matanya bergerak tak tentu arah bertanda kalau dia sedang bingung dan panik.Ona menghela napas dan bangkit untuk mengambil minum. “Nyokap gue nanya terus kapan gue nikah.”“Itu ‘k
Perempuan dengan jaket tebal itu menatap lelaki di depannya kesal, pasalnya dia baru saja turun ke lantai 1 berniat untuk mencari makan malam sendirian karena Nafa sudah tidur tetapi Rey malah mengikutinya sampai di penjual nasi goreng dan ikut makan bersamanya. Apalagi Habib yang sengaja membiarkan dia pergi berdua dengan Rey, lelaki yang mengaku temannya itu beralasan mengantuk padahal dia dapat melihat jelas mata Habib yang masih segar.“Kamu udah kenyang, Na?” tanya Rey memandang nasi goreng Ona yang masih setengah.Ona hanya bergumam pelan dan melanjutkan makan. Ingatan Ona kembali pada percakapannya dengan Nafa kemarin sore. Ona bertanya pada Nafa tentang tawaran Rey yang mau menjadi pacar pura-puranya.“Gini, Na, tapi lo jangan marah ya,” jawab Nafa pelan ketika Ona tanya mengenai tawaran Rey. Ona terus menatap Nafa dan menunggu perempuan itu melanjutkan ucapannya. “Tadi malam ‘kan gue ke dapur buat mi instan, di sana g
“Kamu udah ada pasangan buat datang ke pernikahan aku belum, Na?” tanya Aisyah.“Udah ada dong, Mbak,” sahut Nafa semangat sambil membuka undangan pernikahan yang baru saja Aisyah berikan. Hari Minggu ini Aisyah sengaja menyempatkan diri untuk mengunjungi indekos Ona, selain untuk mengantarkan makanan instan dari Ibu, juga untuk membagikan undangan pada Nafa dan Habib secara langsung.“Seriusan udah ada?” Aisyah menatap Nafa dan Ona dengan binar mata bahagia. Ona membalas tatapan Aisyah dengan malas, apa nantinya reaksi Ibu dan kerabatnya akan sama dengan Aisyah ketika mendengar Ona akan mengenalkan seorang lelaki?“Iya, Mbak, ganteng banget, lebih ganteng daripada mantan aku,” tambah Nafa hiperbolis.“Mantan kamu yang mana, Fa?”“Mbak Aisyah tahu aja kalau mantanku banyak,” jawab Nafa sambil tersenyum malu. Sedangkan Aisyah tertawa pelan.“Bulik Rani udah tahu kal
“Yah,” panggil Rey melalui sambungan telepon dengan ayahnya. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 21.00 malam, tetapi percakapan ayah dan anak melalui sambungan telepon sejak satu jam lalu itu belum ada tanda-tanda akan berakhir. Rey sangat senang berbincang dengan ayahnya.“Apa?” sahut Ayah dari seberang telepon, tadi Rey sengaja menelepon Ayah duluan untuk sekedar menanyakan kabar tetapi percakapan itu malah melebar ke mana-mana seperti tidak ada ujungnya. Rey tidak akan segan bersikap manja dengan ayahnya meskipun usianya sudah hampir kepala tiga. Jika dengan Ayah, Rey seperti anak berusia 5 tahun yang menggemaskan.“Rey ketemu cewek,” ujar Rey setelah menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia cerita dengan Ayah atau tidak. Rey tidak memiliki rahasia apa pun dengan ayahnya sejak kecil. Hal sekecil apa pun akan dia ceritakan dengan Ayah, bahkan waktu Rey mulai dekat dengan Seli sampai putus saja ayahnya tahu.“Cantikan ma
“Gimana persiapan pernikahan Mbak Aisyah?”Ona memutar bola matanya mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Rey, sejak kapan dia merasa begitu dekat dengannya sampai menanyakan perihal pernikahan Mbak Aisyah? Dan sejak kapan Rey dengan percaya dirinya memanggil Aisyah dengan sebutan Mbak, padahal jelas tua Rey daripada Aisyah.Merasa Ona tidak akan menjawab pertanyaannya, Rey menghela napas dan kembali fokus mengendarai sepeda motor menuju gedung II untuk melakukan safety meeting bagian quality control. Safety meeting dilakukan sebulan sekali yang membahas perihal perkembangan bagian serta ramah taman antar karyawan. Di safety meeting juga akan ada perkenalan anak magang dan PKL yang akan meringankan beban para karyawan tetap yang gila lembur.Nafa dan Habib sudah berangkat lebih dulu, dan hal itu lah yang membuat Ona kesal karena harus barengan lagi dengan Rey. Mata Ona menatap punggung tegap Rey yang berbalut
Tatapan dingin perempuan itu mengamati sekitar, teman-teman dan karyawan lainnya sedang sibuk mengerjakan sampelnya. Tidak jauh beda dengan para analis yang berjuang mengejar target bulan ini, akhir bulan memang selalu menjadi hari-hari sibuk laboratorium. Perempuan itu menghela napas dan mulai memasukkan daftar sampelnya ke komputer di depannya menggantikan Dena yang sedang mencuci alat-alat gelas.Anak PKL titipan Bu Dama sedang dia suruh untuk mengeringkan alat-alat karena akan digunakan lagi, di satu baris meja yang berisi Ona, Habib, dan Nafa ada 2 anak PKL SMK. Satu laki-laki yang sekarang sedang membantu Habib menimbang sampel dan satu cewek yang kini sedang Ona suruh menggeringkan alat. Adanya anak PKL memang sangat membantu, tetapi sayangnya anak PKL tidak boleh lembur, padahal di akhir bulan begini banyak sekali lembur.Perempuan itu menghela napas memandang banyaknya sampel yang akan datang besok. Hari ini adalah hari pertama Bu Dama cuti melahirkan dan sial
“Lo kenapa?” tanya Ona sambil mendekat ke Rey tanpa ragu.Rey menatap Ona lemah sambil menahan sakit di perutnya. Ona meraih lengan Rey dan membantu lelaki itu melepaskan jas lab dan sepatu khusus untuk masuk laboratorium. Rey mengikuti gerakan Ona dengan pelan, perutnya benar-benar sakit dan Rey baru ingat dia tadi tidak sempat makan siang karena banyaknya sampel. Ditambah sekarang lembur sampai jam setengah 11 malam.Setelah selesai, Ona segera mencari loker bernama Rey dan mengeluarkan ponsel yang ditinggalnya. Rey tidak membawa apa pun selain ponsel dan dompet yang berada di sakunya. Benar-benar simpel. Ona menatap wajah pucat Rey panik, dalam hati Rey tersenyum, baru kali ini dia melihat wajah Ona yang panik, biasanya perempuan itu selalu menunjukkan wajah dingin dan tidak bersahabat.“Kamu be