“Ibu tadi beli soto ayam kesukaan Nak Sekar.” Tangan Dewi dengan telaten membuka rantang putih tiga susun miliknya yang ketinggalan zaman. Luka di bibir dan tangan Sekar kian berangsur membaik. “Ayo, buka mulutnya!” Dewi menyodorkan suapan tepat di depan mulut Sekar. Gadis bersurai sebahu itu melipat bibir ke dalam. “A-aku bisa makan sendiri.” Kedekatan ini membuat hatinya tak nyaman. Bagaimana pun juga Dewi telah merebut sang papa. Keduanya menikah diam-diam, membuat keharmonisan yang dulu ada sirna sudah. Lagi pula, kebenciannya pada wanita berhijab itu masih terasa nyata. Dewi memang menolongnya dari anak buah Sal yang hendak menodainya. Bahkan, pukulan kayu balok sempat mengenai punggung ringkih itu. Namun, satu kebaikan tak cukup menghapus keburukan di masa lalu yang begitu mendalam, mengakar dalam hati dan pikiran. “Bukankah kau suka disuapi? Papamu selalu cerita kalau ....” Sadar akan perkataannya, Dewi langsung terdiam. Kecanggungan semakin terasa, atmosfer pa
Dewi meneguk ludah teramat sulit. “Dulu, Ibu kerja sebagai sekretaris papamu. Mas Hendra setiap hari mengeluhkan pernikahannya dengan Mbak Ratna. Mbak Ratna terlalu sibuk dengan kehidupannya yang glamor. Bahkan setelah pulang kerja, Mas Hendra tak dilayani dengan baik, sering juga mendapati istrinya tak berada di rumah hanya karena perkumpulan sosialitanya.” Sekar termenung, merasa benar dengan sifat sang mama yang demikian. Sibuk arisan, menongkrong bersama teman-teman yang rata-rata istri pengusaha dan pejabat. “Ibu awalnya hanya iba. Namun, Mas Hendra salah mengartikannya. Dia melamar Ibu sehari setelah peluncuran produk susu kotak terbaru saat itu. Tentu Ibu menolaknya, tak mau jadi duri dalam pernikahan orang lain. Walau pun saat itu status Ibu adalah janda, tetapi Ibu tak berniat menikah lagi.” Tak bisa dipungkiri, ini pertama kali Sekar duduk bersebelahan dengan Dewi, wanita jahat yang amat dibencinya. Namun, entah mengapa ia tak merasa Dewi wanita yang buruk, justru seba
“Ceraikan aku!”Wajah Mahen masih dingin, seolah kalimat yang diutarakan Rena hanya angin lalu. Andai Mahen tahu, Rena mati-matian mengumpulkan nyali demi mengucapkannya.Pandangan menghunus Mahen bak ingin menelan Rena hidup-hidup. Selama satu tahun pernikahan, sifat dingin dan cuek suaminya membuat Rena layaknya seonggok sampah tak bernilai.“Kau dan Riani sudah kembali menjalin kasih, bukan?” Degup jantung hampir meledak di dalam sana. Manik Rena menatap takut Mahen yang masih datar.“Benar.”Merosot sudah bahu Rena. Benar kata Sekar, adik iparnya, jika cinta Mahen sudah habis untuk Riani. Kenyataan itu menyadarkan Rena akan posisi sesungguhnya.Rena hanya pengantin pengganti, bukan pelabuhan terakhir.Dirinya yang tak lain hanya penjual jajanan pasar langganan keluarga Wiratama, karena kaburnya sang pengantin wanita, diminta menjadi pengantin pengganti demi nama baik keluarga atas permintaan mendiang eyang Mahen, Aminah. Hati Rena merekah. Mahen yang amat menyayangi sang eyang, me
“Egh ....”Seberkas sinar mengusik kedamaian. Tubuh kurus di bawah selimut menggeliat. Netra yang terpejam perlahan terbuka. Beberapa kali ia mengerjap untuk mengumpulkan kesadaran penuh.Pandangan pertama yang menyapa adalah kamar serba putih yang tak asing.“Kamar? Aku di kamar?”“Non Rena sudah bangun?”Rena menoleh ke sumber suara. Lastri, wanita paruh baya yang bekerja sebagai ART, menyibak beberapa gorden yang masih tertutup.Rena bangkit dari tidur dan terduduk. Sebuah handuk kecil terjatuh di pangkuan. Dapat ia rasakan di beberapa helai rambut sekitar kening tampak sedikit lembap.“Bagaimana bisa aku ada di sini, Mbok?” Tangan Rena sedikit memijit pangkal hidung. Badan terasa remuk dan lemas seolah semua tulang telah rontok satu persatu.“Semalam si bos yang bawa Non Rena pulang. Non Rena pingsan dan basah kuyup. Memangnya apa yang sebenarnya terjadi, Non?” Lastri mendekat, duduk di sisi ranjang. Hubungan mereka sudah dekat sekali. Lastri menganggap Rena seperti anak sendiri.
“Astaga, Rilla! Kenapa kau tak bilang dari semalam kalau mau bolos?” Suara kepanikan sampai di telinga Rena yang tengah duduk di depan kedai yang masih tutup.Jam menunjukkan pukul setengah delapan dan Rena sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu dari rumah karena diusir sang mertua.Si miskin yang memuakkan, begitu kata-kata umpatan Ratna untuk Rena.Adanya Rena di depan kedai ini pun karena tak tahu harus pergi ke mana. Yang pasti, ia ingin mencari pekerjaan baru.Pria berambut kribo itu masih menggerutu. Percakapan di seberang sana tak sengaja terdengar di telinga Rena.“Siapa yang tahu kalau aku bakal kena diare? Dasar brokoli!”“Pft!” Spontan Rena menutup mulut karena menahan tawa.Pria yang masih memegang ponsel itu seketika mengakhiri panggilan, menoleh ke arah Rena dan melirik sebal.“Kau pikir ini lucu?” sindirnya.Rena yang sadar akan kesalahannya buru-buru menetralkan wajah. “Ma-maaf.”Tak ada sahutan. Si pria membuka pintu kedai. Mulutnya masih saja komat-kamit dengan r
Pagi ini, Rena telah berdiri di gedung milik Wira Group. Lastri memintanya tuk mengirim map merah milik Mahen yang tertinggal.Jujur, Rena sebenarnya tak mau melihat muka Mahen. Kemarin, Mahen memakinya karena tak memberi kabar. Soal pekerjaan baru, ia merahasiakan dari siapa pun. "Lain kali kalau mau kelayapan, balas pesanku!" Mahen membentak Rena yang baru saja menginjakkan kaki di rumah. Saat hendak masuk gedung, Rena menilik penampilannya yang buluk. Para karyawati dengan rapi memakan pakaian formal yang elegan. Sedangkan ia, ia hanya mengenakan celana hitam, kemeja biru gelap, dan sepasang sepatu lusuh. “Bagaimana ini? Aku takut.” Rena mencengkeram ujung bajunya sendiri. Langkahnya berjalan pelan dengan ketakutan yang mendarah daging. “Hei! Cari siapa?” Suaranya menggelegar, hingga Rena terlonjak kaget. “Sa-saya Rena, Pak. Mau antar ini,” sembari mengangkat map merah di tangan kanan. “Oh! Kau kurir?” tebak pria berkumis tebal dengan seragam satpam. Namanya Rob. Bibir Rena
“Tolong, lepaskan aku!” teriak Rena kesakitan. Telinga Mahen seakan tuli. Tangannya masih mencengkeram kuat dan menyeret Rena masuk ke dalam rumah. Isak tangis menggema. Lastri tergopoh-gopoh menghampiri. “Astagfirullah! Tuan, jangan sakiti Non Rena.” Tanpa sadar, Lastri pun ikut menangis. Cukup sudah kesakitan yang ia saksikan selama ini. Rena adalah wanita yang baik dan berhak bahagia. Mahen makin berang saat Lastri berusaha melepaskan cengkeramannya pada Rena. “Diam, Mbok!” bentaknya, membuat raut kekecewaan tercetak di gurat wajah tua Lastri. Rena terpaku, menatap Mahen tak percaya. Selama yang ia tahu, Mahen sangat menghormati Lastri bak ibu kandungnya sendiri. Lastri juga yang membantu mengurus Mahen sejak sekolah dasar. “Mahen! Kau tak berhak membentak Mbok Lastri!” protes Rena dengan berani di sisa tenaga yang ada meski suaranya hampir hilang. Mahen tetap menyeret Rena ke lantai dua. Rena pun tak tahu mengapa Mahen begitu semarah ini. Mahen membawa Rena masuk ke
Perlahan tapi pasti, Rena mengendarai motor biru bututnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Pikirannya sedang kacau balau. Mahen melukai harga dirinya tanpa sedikit pun rasa iba. Dua kali, dua kali ia dipaksa melayani Mahen dan pria itu berhasil menorehkan luka hati mendalam. “Aku ingin bercerai, tetapi dia malah menodaiku. Bagaimana jika aku hamil? Aku tak mau dimadu. Hiks!” Pil pencegah kehamilan yang diberikan Mahen ternyata tak mampu menenangkan kegundahan Rena. Rena tiba di kawasan taman yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Permen kapas warna-warni seolah menggodanya tuk mendekat. Meski hari kerja, pagi ini banyak muda-mudi berdatangan. Ada yang sekadar lari pagi, mencari jajanan, bahkan cuma duduk-duduk dan bersenda gurau. Rena memarkirkan motor, lalu berlari kecil ke arah lelaki penjual permen kapas. “Dek, beli permen kapasnya satu.” Rena memanggilnya seperti itu karena si penjual tampak masih remaja. “Mau beli yang warna apa, Kak? Merah muda, ungu, biru,
Dewi meneguk ludah teramat sulit. “Dulu, Ibu kerja sebagai sekretaris papamu. Mas Hendra setiap hari mengeluhkan pernikahannya dengan Mbak Ratna. Mbak Ratna terlalu sibuk dengan kehidupannya yang glamor. Bahkan setelah pulang kerja, Mas Hendra tak dilayani dengan baik, sering juga mendapati istrinya tak berada di rumah hanya karena perkumpulan sosialitanya.” Sekar termenung, merasa benar dengan sifat sang mama yang demikian. Sibuk arisan, menongkrong bersama teman-teman yang rata-rata istri pengusaha dan pejabat. “Ibu awalnya hanya iba. Namun, Mas Hendra salah mengartikannya. Dia melamar Ibu sehari setelah peluncuran produk susu kotak terbaru saat itu. Tentu Ibu menolaknya, tak mau jadi duri dalam pernikahan orang lain. Walau pun saat itu status Ibu adalah janda, tetapi Ibu tak berniat menikah lagi.” Tak bisa dipungkiri, ini pertama kali Sekar duduk bersebelahan dengan Dewi, wanita jahat yang amat dibencinya. Namun, entah mengapa ia tak merasa Dewi wanita yang buruk, justru seba
“Ibu tadi beli soto ayam kesukaan Nak Sekar.” Tangan Dewi dengan telaten membuka rantang putih tiga susun miliknya yang ketinggalan zaman. Luka di bibir dan tangan Sekar kian berangsur membaik. “Ayo, buka mulutnya!” Dewi menyodorkan suapan tepat di depan mulut Sekar. Gadis bersurai sebahu itu melipat bibir ke dalam. “A-aku bisa makan sendiri.” Kedekatan ini membuat hatinya tak nyaman. Bagaimana pun juga Dewi telah merebut sang papa. Keduanya menikah diam-diam, membuat keharmonisan yang dulu ada sirna sudah. Lagi pula, kebenciannya pada wanita berhijab itu masih terasa nyata. Dewi memang menolongnya dari anak buah Sal yang hendak menodainya. Bahkan, pukulan kayu balok sempat mengenai punggung ringkih itu. Namun, satu kebaikan tak cukup menghapus keburukan di masa lalu yang begitu mendalam, mengakar dalam hati dan pikiran. “Bukankah kau suka disuapi? Papamu selalu cerita kalau ....” Sadar akan perkataannya, Dewi langsung terdiam. Kecanggungan semakin terasa, atmosfer pa
Noe berjalan perlahan, menatap iba sang sepupu yang memandang lurus, sorotnya sendu. Sudah dua hari Rena terbaring koma. Selama itu pula Mahen merenung, menyalahkan diri sendiri yang tak becus menjaganya. “Hen, minum dulu.” Noe menyodorkan air mineral botol yang diterima Mahen dengan lemas. Ia terduduk, mengembuskan napas berat. “Ada kemajuan?” Kepala Mahen menggeleng pelan, bahunya menurun. Noe yakin, sangat yakin. Saat ini, Mahen sedang dilanda kekhawatiran yang besar. “Aku mengenal Rena, sangat mengenalnya. Dia pasti bisa sembuh. Dia wanita yang kuat dengan mata sendunya.” Noe memberi afirmasi positif agar pikiran Mahen tak kacau. Tangan pria berjaket kulit hitam itu menyugar rambut dengan kalut. “Noe, aku takut. Entah mengapa di sini,” tangannya menepuk-nepuk dada sendiri, “sakit sekali melihatnya terbaring tak berdaya. Aku takut jika dia tak membuka mata lagi.” Maniknya memerah, rahang berkedut. Bibir Noe melengkung tipis. Dugaan yang lama ia simpan seolah mendap
“Sepuluh menit lagi syuting dimulai. Cepat bersiap!" Riani mendengkus, mematikan sambungan ponsel yang tak ada jawaban dari seberang sana. “Kekasihmu lagi?” Sebagai asisten pribadi, wanita gembul cantik itu memberi botol minum pada Riani. Riani menerima, menenggak terburu-buru hingga suara tegukan dapat terdengar jelas. “Hah!” Usapan tangan di bibir yang basah begitu anggun. “Mahen ... akhir-akhir ini sulit sekali dihubungi." “Mungkin dia sibuk.” “Sesibuk apa pun, dia pasti lebih mengutamakanku.” Gigi mengatupkan bibir, menduga-duga. Empat tahun bekerja bersama Riani membuatnya begitu paham. "Kenapa tidak cari pria single saja, sih? Dia sudah beristri.” Tatapan Riani menghunus tajam. Tak suka dengan sebutan “sudah beristri” yang didengarnya. “Tak ada yang lebih baik dari Mahen. Dia selalu memprioritaskan aku sejak dulu. Lagi pula, mereka akan bercerai.” Gigi mendesah pelan sembari membenarkan kacamatanya. “Kudengar hubungan itu saling timbal balik. Saat dia me
BUGH! BUGH! Untuk pertama kalinya, Rena menyaksikan puncak kemarahan seorang Mahen. Tinju pria itu tepat sasaran, membuat Sal mengerang, memekikkan telinga. Wajah, perut, kaki, semua tak luput dari keberingasannya yang liar. Tak lama, derap kaki serentak terdengar mendekat. Beberapa pria berseragam polisi datang. Tubuh Mahen yang tengah menduduki Sal bangkit, tangannya terkepal, cairan merah menempel. Sal diringkus dengan wajah bonyok dan napas tersengal. “Kurang ajar! Lepaskan aku!” Sal mencak-mencak, tak terima diseret dan diborgol. Rena masih terduduk di kasur, memeluk diri sendiri penuh gemetar. Gigi Mahen bergemeletuk menyaksikan kondisi sang istri yang acak-acakan. “Rena, apa ada yang terluka?” Kedua tangan besarnya yang hangat menangkup pipi sang istri, membuat wanita itu membalas tatapannya. Tak ada suara. Hanya air mata yang deras seperti sungai mengalir. Sudut bibir merah mudanya melengkung ke bawah. Mahen merengkuh tubuh Rena ke dalam pelukan, berharap
“Enak banget makanannya, Bu. Kapan-kapan kita harus ke sini lagi.” Rena tersenyum senang. Tangannya mengelus perut yang kenyang. Dewi terkekeh melihat ekspresi wanita di sampingnya. “Iya, Nak.” Saat hendak menyalakan motor, tak disengaja mata Rena menangkap sesuatu yang ia kenali. “Lho, bukannya dia Sekar?” Spontan Dewi menoleh ke arah yang sama. “Astagfirullah! Siapa pria itu?” Tampak pria bersetelan jas abu-abu menarik paksa Sekar tuk masuk mobil hitamnya. Yang lebih membuat Rena melongo, tampilan Sekar sangat terbuka. Gaun merah dengan pundak terbuka dan panjang selutut. Rena cukup mengetahui jika adik iparnya tak suka pakaian terlalu terbuka. “E-eh, mau ke mana mereka?” “Nak, ayo kita ikuti Sekar! Ibu merasa dia dalam bahaya.” Rena pun mengangguk setuju. Motor biru bututnya menyala, menerobos jalanan yang lumayan ramai dengan gesit. “Bu, tolong hubungi Mahen. Ponselku ada di saku jaket.” Dewi merogoh saku jaket hitam Rena tuk mengambil ponsel. Tangan kirinya be
Keinginan tuk pergi meninggalkan rumah Mahen nyatanya baru terwujud sekarang. Ya, dua minggu sejak ia keluar dari rumah sakit. Rasa nyeri di sekujur tubuh membuatnya mengurungkan niat tuk sementara waktu. Dan di sinilah ia sekarang, berada di kost kecil satu petak dengan kamar mandi dalam. Jaraknya tak terlalu jauh dari Kedai Starlight. Hanya cukup keluar gang kecil beberapa ratus meter. Tak ada kata pamit secara langsung. Di dalam secarik kertas yang diletakkannya di nakas pinggir ranjang Mahen, Rena menumpahkan semua kegundahan, alasan mengapa memilih berpisah rumah. Perceraian. Rena mantap untuk itu. Walau ia rasakan akhir-akhir ini Mahen sedikit lunak. Ciuman mereka di pasar malam sempat menggoyahkannya sesaat. Apa pun itu, Rena tetap sadar diri. Di hati Mahen hanya ada Riani, dan tak ada yang bisa menyingkirkannya. Baru saja langkah Rena keluar dari kost, seorang wanita yang dikenalinya juga keluar, membawa tas kain merah merek salah satu minimarket ternama. “Bu Dewi?”
“Jawab!” “Mahen! Apa yang kau lakukan?” Rena terbelalak saat dengan kasar Mahen mencengkeram kedua sisi bahu wanita tua itu. Tubuhnya spontan bangkit hendak duduk, tetapi kepalanya yang luka begitu berat dan nyeri. “Aw!” “Rena!” Tangan Mahen melepas cengkeramannya, beralih pada sang istri yang meringis sembari memegangi kepala yang diperban. Bagaimana tak sakit? Tiga jahitan diterima kepala Rena setelah terkena batu saat tawuran. Dewi, wanita paruh baya berjilbab itu menangis dalam diam. Sesekali diusapnya air mata yang hampir menetes. Dalam ketakutan, ekor matanya melirik Mahen. Mahen terduduk di kursi, menggenggam tangan Rena penuh kelembutan. Tangan lainnya terangkat, menyentuh pipi tembam sang istri. Tindakan yang tak biasa semakin membuat Rena mengernyit. Noe hanya bisa diam, tak tahu harus bagaimana. Wanita yang membuat Mahen naik pitam tentu ia mengenalnya. “Rena, bagaimana bisa ini terjadi?” Wajah yang biasa dingin dan tak peduli, kini menyorotkan kekhawati
Langkahnya perlahan menyusuri trotoar, menghirup segar udara selepas hujan. Ia suka dengan suasana seperti ini, ketika para manusia mulai keluar dari tempat berteduh, berjalan tuk melanjutkan keinginan yang sempat tertunda. Satu minggu, sikap Rena dan Mahen menjadi canggung satu sama lain. Setelah apa yang Mahen lakukan di bawah rinai hujan malam itu, tak ada sepatah kata sebagai klarifikasi. Selama itu pula, keduanya hanya bicara jika perlu, tak berniat mengungkit. “Ya, ampun! Ini sudah hampir pukul delapan. Aku harus sampai ke kedai. Kalau telat, Kak Onky akan menjelma jadi ibu-ibu cerewet.” Rena berlari kecil. Sial sekali karena motor bututnya mogok saat dinyalakan tadi sebelum berangkat. Suara riuh terdengar dari belakang, mendekat seperti mengikuti langkah Rena. Saat menoleh, dilihatnya banyak para pemuda berseragam sekolah awut-awutan tunggang-langgang. “Lari! Ada tawuran!” Beberapa manusia di sekitar Rena ikut menjauh. Jumlah pemuda onar ada banyak. Rena tak luput