Pagi ini, Rena telah berdiri di gedung milik Wira Group. Lastri memintanya tuk mengirim map merah milik Mahen yang tertinggal.
Jujur, Rena sebenarnya tak mau melihat muka Mahen. Kemarin, Mahen memakinya karena tak memberi kabar. Soal pekerjaan baru, ia merahasiakan dari siapa pun. "Lain kali kalau mau kelayapan, balas pesanku!" Mahen membentak Rena yang baru saja menginjakkan kaki di rumah. Saat hendak masuk gedung, Rena menilik penampilannya yang buluk. Para karyawati dengan rapi memakan pakaian formal yang elegan. Sedangkan ia, ia hanya mengenakan celana hitam, kemeja biru gelap, dan sepasang sepatu lusuh. “Bagaimana ini? Aku takut.” Rena mencengkeram ujung bajunya sendiri. Langkahnya berjalan pelan dengan ketakutan yang mendarah daging. “Hei! Cari siapa?” Suaranya menggelegar, hingga Rena terlonjak kaget. “Sa-saya Rena, Pak. Mau antar ini,” sembari mengangkat map merah di tangan kanan. “Oh! Kau kurir?” tebak pria berkumis tebal dengan seragam satpam. Namanya Rob. Bibir Rena kelu. Satu tahun pernikahan, sama sekali Mahen tak pernah memperkenalkannya di depan umum. Orang hanya tahu Mahen sudah menikah, tanpa pernah melihat siapa wanita yang dinikahi. “Bukan, Pak. Sa-saya ....” “Rena!” Rena menoleh. Seseorang berjalan cepat ke arahnya. “Noe?” Dia Noe, asisten pribadi sekaligus sepupu Mahen. Noe tersenyum lebar. Saat mendapat tatapan menyipit dari Rob, ia tertawa pelan. “Rob, dia ini Bu Rena, istri si bos.” “A-apa?” Netra Rob melotot. Bahkan, terkesan mendelik, membuat Rena ngeri. “Ah, itu yang kucari!” Noe bernapas lega saat melihat map merah di tangan Rena. “Aku tadi ke rumah kalian mencari benda itu. Mbok Lastri bilang kau sudah membawanya kemari.” Rena memberikan map yang ia pegang pada Noe. “Kalau begitu, aku pergi dulu, Noe.” “Jangan! Kau tak mau bertemu Mahen?” Kepala Rena menggeleng. Ia takut kena amuk Mahen lagi jika nekat masuk. “Jangan takut, Ren! Aku akan berada di garda terdepan jika dia melukaimu.” Noe meyakinkan istri Mahen. Sejujurnya, Noe lebih setuju Mahen bersama Rena dibanding Riani. Baginya, Rena memiliki sifat yang lebih baik. Meski ragu, akhirnya Rena menyetujui ajakan Noe. Langkahnya sedikit ragu berada di belakang pria itu. Selama berjalan melewati beberapa karyawan dan karyawati, sayup-sayup terdengar pembicaraan yang membuat Rena kena mental. “Siapa wanita kumal itu?” “Oh, tidak! Itukah kekasih Noe?” “Mata Noe buta kali, ya?” Rena hanya menunduk pasrah. Memang ia tak pantas berpijak di kantor semewah ini. Noe dan Rena sampai di lantai paling atas. Di sana ada satu sekat berisi seorang pria muda berkacamata yang tengah membaca beberapa berkas. “Hendri, bos ada?” tanya Noe. “Ada. Tapi ....” Belum selesai Hendri bicara, Noe langsung membuka pintu ruang kerja Mahen dengan diikuti Rena. “Mahen, ada istri ....” Riani dengan wajah kaget langsung berdiri dan buru-buru merapikan penampilan yang acak-acakan. Sedangkan Mahen, lelaki itu dengan santainya bangkit dari sofa, merapikan kemeja biru mudanya yang tampak kusut. "Kalian benar-benar tak tahu adab!" Noe naik pitam. Mata Rena memanas kala melihat bekas lipstik menempel di sekitar bibir Mahen. Ia membuang muka, perih melihat keintiman antara suaminya dan wanita lain dengan mata kepala sendiri. "Apa kau tak punya tangan untuk mengetuk pintu, Noe?” Wajah Mahen merah padam. Noe mengumpat kebodohan Mahen di dalam hati. Ia pun merasa bersalah kepada Rena. “Dia ... istrimu, tadi membawakan ini,” sambil menyodorkan map merah kepada Mahen. Mahen menerimanya, lalu menelengkan kepala, menatap Rena. “Untuk apa kau bawa dia ke ruanganku?” Rena buru-buru menghapus air mata yang menetes. Semakin lama di sini hanya akan membuat Mahen mengolok-oloknya. “Aku pergi dulu.” Rena pergi tanpa mendengar teriakan Noe. Rena berlari, terus berlari tanpa menghiraukan beberapa orang yang berpapasan dengannya. Ia bahkan dimaki karena berulang kali menabrak seseorang. Sedangkan di ruangan Mahen, Noe menggeleng tak habis pikir. “Kau keterlaluan, Hen! Bukan begini caranya memperlakukan istrimu.” “Istri?” Mahen berdecih. “Dia hanya ingin hartaku dengan mendekati mendiang eyang.” Rasanya Noe ingin menimpuk kepala sepupunya dengan kayu. “Buka matamu, Hen! Kau tidak lihat penampilan Rena? Bahkan, Rob sempat mengira dia kurir yang mengantar map untukmu. Siapa pun tak akan menyangka jika dia istri CEO Wira Group. Dan kau masih bilang dia hanya ingin hartamu?” Mahen terdiam, membuat Noe menatap tak percaya. "Jangan-jangan, kau tak pernah memberinya uang nafkah selama ini. Iya, Hen?" Mahen tak bergeming. Noe dengan mengumpat kasar memilih keluar dari ruangan Mahen. Ia paling benci jika ada pria yang tak bertanggung jawab seperti sepupunya itu. Riani melirik Mahen yang tampak diam menatap lantai. Jangan sampai perkataan Noe menggoyahkan keputusan Mahen. “Mahen, Noe sedang emosi. Kau tak perlu memasukkan perkataannya ke dalam hati. Kau dan Rena berbeda. Kalian tidak akan bahagia jika memaksakan pernikahan ini.” Otot-otot wajah Mahen yang tegang sedikit mengendur. Tubuh kekar itu terduduk di sofa sembari memijit pelipis. “Lebih baik kau temui mama dan Sekar ke butik. Mereka sedang mencari kebaya untukmu.” Manik Riani terbelalak. “Benarkah?” Mahen mengangguk. “Iya.” “Kalau begitu, aku menyusul mereka dulu, Mahen. Aku akan mengabarimu nanti.” Riani bersiap diri, lalu mengecup pipi kanan Mahen dengan lembut. Di saat bibir Riani menyentuh kulitnya, bayangan wajah terluka Rena melintas di benaknya. ~~~~~~ Tangis lara begitu menyayat siapa pun yang mendengarnya. Seorang wanita terduduk sedih di pagi hari dengan keretakan hati yang tak bisa terobati. Selama ini, ia tak pernah sesakit ini melihat Mahen bersama Riani. Namun, barusan ia melihat sendiri bagaimana Mahen membiarkan dirinya dicumbu dengan menjijikkan. “Aku memang jelek. Aku tak seperti Riani.” Rena mengambil kaca di dalam tasnya. Ia amati wajah yang tak terawat itu. Kulitnya kusam dan tak menarik sama sekali. Sungguh berbeda dari seorang Riani yang bak model. Frustrasi dengan masalah rumah tangga, kedua tangan Rena menjambak rambutnya yang tergerai. Ia berteriak kencang, membuat orang di sekitarnya berlari tunggang-langgang ketakutan. Saat ia merasa kepalanya sakit akibat jambakannya sendiri, sepasang tangan dengan lembut mencoba melepaskan. Rena terkejut saat seseorang sedang duduk di sebelahnya. Buru-buru dirapikannya rambut yang acak-acakan itu. “Tidak baik melukai diri sendiri.” Rena tersadar jika ia pernah bertemu pria di sampingnya. “Ka-kau?” “Kau yang menabrakku di tempat parkir Kedai Starlight?” ujarnya antusias yang ditimpali anggukan lemah Rena. Keduanya terdiam beberapa menit dengan kecanggungan masing-masing. “Apa yang membuatmu menangis?” Pria itu mencoba mencairkan suasana. Rena ragu membicarakan rumah tangganya pada orang asing. “Oh, iya! Namaku Panji, itu kalau yang ingin kau tahu. Namamu siapa?” “Renata Safira.” “Safira? Hmm ... bolehkah aku memanggilmu Fira?” Panji tersenyum manis saat mendapat persetujuan Rena. Rena sempat terpaku dengan senyum Panji yang menawan. Buru-buru ia membuang pikiran nakalnya. “Sepertinya kau butuh sesuatu untuk kembali ceria, Fira.” Panji mengacak-acak surai hitam panjang Rena sebelum beranjak pergi. Rena masih terdiam sembari menatap punggung Panji yang menjauh. Pria itu berjalan, mengarah ke seorang penjual es krim. Saat pandangan Rena terpaku pada Panji, suara yang terdengar dari belakang membuat tubuhnya meremang. “Ternyata benar kata Riani. Kau juga berselingkuh di belakangku?"“Tolong, lepaskan aku!” teriak Rena kesakitan. Telinga Mahen seakan tuli. Tangannya masih mencengkeram kuat dan menyeret Rena masuk ke dalam rumah. Isak tangis menggema. Lastri tergopoh-gopoh menghampiri. “Astagfirullah! Tuan, jangan sakiti Non Rena.” Tanpa sadar, Lastri pun ikut menangis. Cukup sudah kesakitan yang ia saksikan selama ini. Rena adalah wanita yang baik dan berhak bahagia. Mahen makin berang saat Lastri berusaha melepaskan cengkeramannya pada Rena. “Diam, Mbok!” bentaknya, membuat raut kekecewaan tercetak di gurat wajah tua Lastri. Rena terpaku, menatap Mahen tak percaya. Selama yang ia tahu, Mahen sangat menghormati Lastri bak ibu kandungnya sendiri. Lastri juga yang membantu mengurus Mahen sejak sekolah dasar. “Mahen! Kau tak berhak membentak Mbok Lastri!” protes Rena dengan berani di sisa tenaga yang ada meski suaranya hampir hilang. Mahen tetap menyeret Rena ke lantai dua. Rena pun tak tahu mengapa Mahen begitu semarah ini. Mahen membawa Rena masuk ke
Perlahan tapi pasti, Rena mengendarai motor biru bututnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Pikirannya sedang kacau balau. Mahen melukai harga dirinya tanpa sedikit pun rasa iba. Dua kali, dua kali ia dipaksa melayani Mahen dan pria itu berhasil menorehkan luka hati mendalam. “Aku ingin bercerai, tetapi dia malah menodaiku. Bagaimana jika aku hamil? Aku tak mau dimadu. Hiks!” Pil pencegah kehamilan yang diberikan Mahen ternyata tak mampu menenangkan kegundahan Rena. Rena tiba di kawasan taman yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Permen kapas warna-warni seolah menggodanya tuk mendekat. Meski hari kerja, pagi ini banyak muda-mudi berdatangan. Ada yang sekadar lari pagi, mencari jajanan, bahkan cuma duduk-duduk dan bersenda gurau. Rena memarkirkan motor, lalu berlari kecil ke arah lelaki penjual permen kapas. “Dek, beli permen kapasnya satu.” Rena memanggilnya seperti itu karena si penjual tampak masih remaja. “Mau beli yang warna apa, Kak? Merah muda, ungu, biru,
Dua hari berlalu begitu cepat. Permintaan satu bulan menjadi suami istri sungguhan ditolak Mahen mentah-mentah. Sejujurnya, Rena memiliki harapan dari satu bulan itu. Harapan yang paling diinginkan adalah Mahen jatuh cinta padanya setelah sebulan penuh diberi ruang untuk saling melengkapi. Atau harapan yang lebih realistis, Rena kalah dan hanya bisa membawa kenangan indah di antara mereka berdua. "Rumah tanggaku memang tak ada harapan lagi sejak lama," gumamnya. Sia-sia ia manahan hati selama ini. Sekarang Rena kembali berdiri di sini. Pandangannya mengarah pada nama yang tertera di atas bangunan vintage di hadapannya. Kedai Starlight. Dari pintu kaca, maniknya menangkap Onky yang sigap menyiapkan alat-alat untuk meracik kopi dengan mulutnya yang komat-kamit. Bersenandung sembari bekerja adalah kebiasaannya. Baru saja akan melangkah masuk, tepukan di bahu membuat wanita manis itu menoleh. Matanya yang bulat begitu indah kala membola. “Noe?” “Sendirian, Ren?” Rena
“Rena?” Pelukan hangat menyergap Rena tiba-tiba. Tubuhnya menggoyang ke kanan dan kiri, menandakan sebahagia apa wanita itu bertemu dengannya. Pelukan mereka terlerai. “Lama enggak ketemu, Ren. Gimana kabarmu? Oh iya, sekarang aku sudah bisa masak, lho!” pamernya. Senyum Rena kikuk. Ia merasa tak begitu dekat dengan Prisa, tetapi wanita tersebut malah sebaliknya. Memang beberapa kali pertemuan mereka terjadi di awal Rena menjadi istri Mahen karena status Prisa adalah pacar Noe. Prisa juga sering menanyakan perihal cara memasak dari Rena yang ia tanggapi ala kadarnya. “Kabarku baik. Jadi, Kakak sudah bisa membedakan garam dan gula halus?” Prisa malah tertawa mengingat kebodohannya di masa lalu. “Sa, kau sudah coba gaun dan kebayanya?” Noe yang baru masuk butik menyela. “Belum, Noe. Aku baru sampai karena habis rapat. Kita enggak punya waktu banyak. Setelah ini, kita harus segera coba tester makanan untuk resepsi.” “Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo, kita coba pakaian pe
“Uhuk!” “Astaga, Mahen!” Riani menyodorkan segelas air putih pada kekasihnya. Seperti kesetanan, Mahen menenggak air hingga tandas. Rasa pedas masih tertinggal di sana. “Ada apa, sih? Masalah di kantor?” Riani menatap curiga ke arah ponsel yang tergeletak di meja makan. Mahen tersedak setelah menerima pesan dari ponselnya. “Ekhm! Hmm ... enggak apa-apa. Makanan ini sedikit pedas. Kau tahu bukan jika aku tak bisa memakannya?” Tangan pria itu mendorong pelan piring berisi ayam pedas daun jeruk di depannya. “Padahal, aku sudah meminta mereka tuk membuatnya tak terlalu pedas. Ini salah satu menu andalan di sini. Kalau begitu, pesan yang lain saja, ya?” Riani mengangkat tangan kanannya dengan anggun hingga seorang karyawan restoran menghampiri. Pilihan jatuh pada makanan favorit Mahen, nasi dan ayam bakar. Setelah menunggu beberapa waktu, pesanan pun tiba. Mahen mulai makan perlahan. Namun, pikirannya tak henti-hentinya memaki Noe. “Lihatlah pria ini! Ia siap menggantikanm
“Tapi, aku tak bisa melakukannya.” Rena menggigit kuku ibu jari kanannya. Ragu menuruti rencana dua sejoli di seberang sana. “Lakukan saja apa yang kami rencanakan. Dijamin tokcer!” Tawa keduanya justru membuat Rena menggaruk rambut tak gatal. “Baik, Kak. Akan kucoba. Sampai jumpa lagi, Kak!” Rena melempar ponselnya di atas kasur hingga memantul. Tubuhnya lengket dan bau asam. Berendam pilihan yang menyenangkan. Surai yang tergerai dicepol asal-asalan. Segera tangan putihnya melepas kancing kemeja satu persatu. Setelah terlepas semua, ia mulai menurunkannya. BRUG! “Hah?!” Spontan kemeja yang sudah menggantung di lengan tertarik kembali. Mahen berdiri di ambang pintu. Tas kerja yang biasa ditentengnya terjatuh di lantai. Keduanya sejenak melempar pandangan satu sama lain. “A-ada apa?” Rena merasa tak nyaman. “Ekhm!” Dengan susah payah Mahen menelan saliva. Tangan Rena kian mengeratkan kemeja yang membalut tubuh. Bayangan Mahen memaksanya malam itu kembali berputar,
“Bukankah suamimu seorang CEO? Kenapa memilih bekerja di tempat kecil ini?” Panji meletakkan secangkir cokelat hangat untuk Rena. Aroma pekat cokelat menggelitik indra penciuman. Harumnya menenangkan, membuat Rena tak tahan tuk menyeruputnya. “Bagaimana? Enak?” Rena mengangguk, meletakkan cangkirnya di atas meja. Keduanya duduk di bangku Kedai Starlight. Posisi mereka yang bersebelahan dengan jendela membuat lalu lalang kendaraan dan manusia sebagai hiburan. “Kau belum menjawabku, Fira. Kenapa ingin bekerja di sini?” Panji menatap intens wanita yang ia suka. Rena menelan ludah. Tak mungkin ia menjelaskan semuanya pada Panji. “Aku hanya bosan di rumah. Ijazahku cuma SMA. Dapat bekerja di sini sudah membuatku bahagia.” “Tapi, gaji di kedaiku kecil. Kau pasti mendapat uang jutaan dari suamimu setiap bulan, bukan? Kurasa gaji di sini tak ada apa-apanya.” Pria itu bersedekap, mencari sesuatu yang janggal dalam sorot mata Rena. “Eh ... aku bosan di rumah. Dari kecil sudah terb
Mahen menatap istri lugunya yang berjalan dengan kebisuan saat memasuki rumah. Sejujurnya, ia tahu jika manik bulat yang biasa tersorot binar cinta untuknya kini berembun. Hidung mungil yang kembang-kempis tentu menandakan jika Rena menahan tangis. Siapa yang tak sedih jika ada di posisi Rena? Ia dipaksa mencarikan cincin pernikahan suami yang dicintainya dengan wanita lain. “Selamat malam Tuan Mahen, Non Rena! Lho, Non Rena kenapa? Hidungnya kok memerah? Matanya juga berair.” Lastri begitu khawatir. Tangan Rena mengusap hidungnya perlahan. “Aku sedikit flu, Mbok," bohongnya. "Hmm ... aku ke kamar dulu, ya, Mbok.” “Iya, Non. Jangan mandi dulu, Non! Ini sudah malam soalnya.” Nasihat Lastri dibalas anggukkan oleh Rena. Sesampainya di kamar, Rena tak tahan dan menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya terduduk di ranjang sembari menangkup wajah dengan kedua telapak tangan. “Ke-kenapa dia jahat sekali?” Rena makin sesenggukan. “Kalau ... kalau memang dia membenciku, ke-kenapa haru
Dewi meneguk ludah teramat sulit. “Dulu, Ibu kerja sebagai sekretaris papamu. Mas Hendra setiap hari mengeluhkan pernikahannya dengan Mbak Ratna. Mbak Ratna terlalu sibuk dengan kehidupannya yang glamor. Bahkan setelah pulang kerja, Mas Hendra tak dilayani dengan baik, sering juga mendapati istrinya tak berada di rumah hanya karena perkumpulan sosialitanya.” Sekar termenung, merasa benar dengan sifat sang mama yang demikian. Sibuk arisan, menongkrong bersama teman-teman yang rata-rata istri pengusaha dan pejabat. “Ibu awalnya hanya iba. Namun, Mas Hendra salah mengartikannya. Dia melamar Ibu sehari setelah peluncuran produk susu kotak terbaru saat itu. Tentu Ibu menolaknya, tak mau jadi duri dalam pernikahan orang lain. Walau pun saat itu status Ibu adalah janda, tetapi Ibu tak berniat menikah lagi.” Tak bisa dipungkiri, ini pertama kali Sekar duduk bersebelahan dengan Dewi, wanita jahat yang amat dibencinya. Namun, entah mengapa ia tak merasa Dewi wanita yang buruk, justru seba
“Ibu tadi beli soto ayam kesukaan Nak Sekar.” Tangan Dewi dengan telaten membuka rantang putih tiga susun miliknya yang ketinggalan zaman. Luka di bibir dan tangan Sekar kian berangsur membaik. “Ayo, buka mulutnya!” Dewi menyodorkan suapan tepat di depan mulut Sekar. Gadis bersurai sebahu itu melipat bibir ke dalam. “A-aku bisa makan sendiri.” Kedekatan ini membuat hatinya tak nyaman. Bagaimana pun juga Dewi telah merebut sang papa. Keduanya menikah diam-diam, membuat keharmonisan yang dulu ada sirna sudah. Lagi pula, kebenciannya pada wanita berhijab itu masih terasa nyata. Dewi memang menolongnya dari anak buah Sal yang hendak menodainya. Bahkan, pukulan kayu balok sempat mengenai punggung ringkih itu. Namun, satu kebaikan tak cukup menghapus keburukan di masa lalu yang begitu mendalam, mengakar dalam hati dan pikiran. “Bukankah kau suka disuapi? Papamu selalu cerita kalau ....” Sadar akan perkataannya, Dewi langsung terdiam. Kecanggungan semakin terasa, atmosfer pa
Noe berjalan perlahan, menatap iba sang sepupu yang memandang lurus, sorotnya sendu. Sudah dua hari Rena terbaring koma. Selama itu pula Mahen merenung, menyalahkan diri sendiri yang tak becus menjaganya. “Hen, minum dulu.” Noe menyodorkan air mineral botol yang diterima Mahen dengan lemas. Ia terduduk, mengembuskan napas berat. “Ada kemajuan?” Kepala Mahen menggeleng pelan, bahunya menurun. Noe yakin, sangat yakin. Saat ini, Mahen sedang dilanda kekhawatiran yang besar. “Aku mengenal Rena, sangat mengenalnya. Dia pasti bisa sembuh. Dia wanita yang kuat dengan mata sendunya.” Noe memberi afirmasi positif agar pikiran Mahen tak kacau. Tangan pria berjaket kulit hitam itu menyugar rambut dengan kalut. “Noe, aku takut. Entah mengapa di sini,” tangannya menepuk-nepuk dada sendiri, “sakit sekali melihatnya terbaring tak berdaya. Aku takut jika dia tak membuka mata lagi.” Maniknya memerah, rahang berkedut. Bibir Noe melengkung tipis. Dugaan yang lama ia simpan seolah mendap
“Sepuluh menit lagi syuting dimulai. Cepat bersiap!" Riani mendengkus, mematikan sambungan ponsel yang tak ada jawaban dari seberang sana. “Kekasihmu lagi?” Sebagai asisten pribadi, wanita gembul cantik itu memberi botol minum pada Riani. Riani menerima, menenggak terburu-buru hingga suara tegukan dapat terdengar jelas. “Hah!” Usapan tangan di bibir yang basah begitu anggun. “Mahen ... akhir-akhir ini sulit sekali dihubungi." “Mungkin dia sibuk.” “Sesibuk apa pun, dia pasti lebih mengutamakanku.” Gigi mengatupkan bibir, menduga-duga. Empat tahun bekerja bersama Riani membuatnya begitu paham. "Kenapa tidak cari pria single saja, sih? Dia sudah beristri.” Tatapan Riani menghunus tajam. Tak suka dengan sebutan “sudah beristri” yang didengarnya. “Tak ada yang lebih baik dari Mahen. Dia selalu memprioritaskan aku sejak dulu. Lagi pula, mereka akan bercerai.” Gigi mendesah pelan sembari membenarkan kacamatanya. “Kudengar hubungan itu saling timbal balik. Saat dia me
BUGH! BUGH! Untuk pertama kalinya, Rena menyaksikan puncak kemarahan seorang Mahen. Tinju pria itu tepat sasaran, membuat Sal mengerang, memekikkan telinga. Wajah, perut, kaki, semua tak luput dari keberingasannya yang liar. Tak lama, derap kaki serentak terdengar mendekat. Beberapa pria berseragam polisi datang. Tubuh Mahen yang tengah menduduki Sal bangkit, tangannya terkepal, cairan merah menempel. Sal diringkus dengan wajah bonyok dan napas tersengal. “Kurang ajar! Lepaskan aku!” Sal mencak-mencak, tak terima diseret dan diborgol. Rena masih terduduk di kasur, memeluk diri sendiri penuh gemetar. Gigi Mahen bergemeletuk menyaksikan kondisi sang istri yang acak-acakan. “Rena, apa ada yang terluka?” Kedua tangan besarnya yang hangat menangkup pipi sang istri, membuat wanita itu membalas tatapannya. Tak ada suara. Hanya air mata yang deras seperti sungai mengalir. Sudut bibir merah mudanya melengkung ke bawah. Mahen merengkuh tubuh Rena ke dalam pelukan, berharap
“Enak banget makanannya, Bu. Kapan-kapan kita harus ke sini lagi.” Rena tersenyum senang. Tangannya mengelus perut yang kenyang. Dewi terkekeh melihat ekspresi wanita di sampingnya. “Iya, Nak.” Saat hendak menyalakan motor, tak disengaja mata Rena menangkap sesuatu yang ia kenali. “Lho, bukannya dia Sekar?” Spontan Dewi menoleh ke arah yang sama. “Astagfirullah! Siapa pria itu?” Tampak pria bersetelan jas abu-abu menarik paksa Sekar tuk masuk mobil hitamnya. Yang lebih membuat Rena melongo, tampilan Sekar sangat terbuka. Gaun merah dengan pundak terbuka dan panjang selutut. Rena cukup mengetahui jika adik iparnya tak suka pakaian terlalu terbuka. “E-eh, mau ke mana mereka?” “Nak, ayo kita ikuti Sekar! Ibu merasa dia dalam bahaya.” Rena pun mengangguk setuju. Motor biru bututnya menyala, menerobos jalanan yang lumayan ramai dengan gesit. “Bu, tolong hubungi Mahen. Ponselku ada di saku jaket.” Dewi merogoh saku jaket hitam Rena tuk mengambil ponsel. Tangan kirinya be
Keinginan tuk pergi meninggalkan rumah Mahen nyatanya baru terwujud sekarang. Ya, dua minggu sejak ia keluar dari rumah sakit. Rasa nyeri di sekujur tubuh membuatnya mengurungkan niat tuk sementara waktu. Dan di sinilah ia sekarang, berada di kost kecil satu petak dengan kamar mandi dalam. Jaraknya tak terlalu jauh dari Kedai Starlight. Hanya cukup keluar gang kecil beberapa ratus meter. Tak ada kata pamit secara langsung. Di dalam secarik kertas yang diletakkannya di nakas pinggir ranjang Mahen, Rena menumpahkan semua kegundahan, alasan mengapa memilih berpisah rumah. Perceraian. Rena mantap untuk itu. Walau ia rasakan akhir-akhir ini Mahen sedikit lunak. Ciuman mereka di pasar malam sempat menggoyahkannya sesaat. Apa pun itu, Rena tetap sadar diri. Di hati Mahen hanya ada Riani, dan tak ada yang bisa menyingkirkannya. Baru saja langkah Rena keluar dari kost, seorang wanita yang dikenalinya juga keluar, membawa tas kain merah merek salah satu minimarket ternama. “Bu Dewi?”
“Jawab!” “Mahen! Apa yang kau lakukan?” Rena terbelalak saat dengan kasar Mahen mencengkeram kedua sisi bahu wanita tua itu. Tubuhnya spontan bangkit hendak duduk, tetapi kepalanya yang luka begitu berat dan nyeri. “Aw!” “Rena!” Tangan Mahen melepas cengkeramannya, beralih pada sang istri yang meringis sembari memegangi kepala yang diperban. Bagaimana tak sakit? Tiga jahitan diterima kepala Rena setelah terkena batu saat tawuran. Dewi, wanita paruh baya berjilbab itu menangis dalam diam. Sesekali diusapnya air mata yang hampir menetes. Dalam ketakutan, ekor matanya melirik Mahen. Mahen terduduk di kursi, menggenggam tangan Rena penuh kelembutan. Tangan lainnya terangkat, menyentuh pipi tembam sang istri. Tindakan yang tak biasa semakin membuat Rena mengernyit. Noe hanya bisa diam, tak tahu harus bagaimana. Wanita yang membuat Mahen naik pitam tentu ia mengenalnya. “Rena, bagaimana bisa ini terjadi?” Wajah yang biasa dingin dan tak peduli, kini menyorotkan kekhawati
Langkahnya perlahan menyusuri trotoar, menghirup segar udara selepas hujan. Ia suka dengan suasana seperti ini, ketika para manusia mulai keluar dari tempat berteduh, berjalan tuk melanjutkan keinginan yang sempat tertunda. Satu minggu, sikap Rena dan Mahen menjadi canggung satu sama lain. Setelah apa yang Mahen lakukan di bawah rinai hujan malam itu, tak ada sepatah kata sebagai klarifikasi. Selama itu pula, keduanya hanya bicara jika perlu, tak berniat mengungkit. “Ya, ampun! Ini sudah hampir pukul delapan. Aku harus sampai ke kedai. Kalau telat, Kak Onky akan menjelma jadi ibu-ibu cerewet.” Rena berlari kecil. Sial sekali karena motor bututnya mogok saat dinyalakan tadi sebelum berangkat. Suara riuh terdengar dari belakang, mendekat seperti mengikuti langkah Rena. Saat menoleh, dilihatnya banyak para pemuda berseragam sekolah awut-awutan tunggang-langgang. “Lari! Ada tawuran!” Beberapa manusia di sekitar Rena ikut menjauh. Jumlah pemuda onar ada banyak. Rena tak luput