Pagi ini, Rena telah berdiri di gedung milik Wira Group. Lastri memintanya tuk mengirim map merah milik Mahen yang tertinggal.
Jujur, Rena sebenarnya tak mau melihat muka Mahen. Kemarin, Mahen memakinya karena tak memberi kabar. Soal pekerjaan baru, ia merahasiakan dari siapa pun. "Lain kali kalau mau kelayapan, balas pesanku!" Mahen membentak Rena yang baru saja menginjakkan kaki di rumah. Saat hendak masuk gedung, Rena menilik penampilannya yang buluk. Para karyawati dengan rapi memakan pakaian formal yang elegan. Sedangkan ia, ia hanya mengenakan celana hitam, kemeja biru gelap, dan sepasang sepatu lusuh. “Bagaimana ini? Aku takut.” Rena mencengkeram ujung bajunya sendiri. Langkahnya berjalan pelan dengan ketakutan yang mendarah daging. “Hei! Cari siapa?” Suaranya menggelegar, hingga Rena terlonjak kaget. “Sa-saya Rena, Pak. Mau antar ini,” sembari mengangkat map merah di tangan kanan. “Oh! Kau kurir?” tebak pria berkumis tebal dengan seragam satpam. Namanya Rob. Bibir Rena kelu. Satu tahun pernikahan, sama sekali Mahen tak pernah memperkenalkannya di depan umum. Orang hanya tahu Mahen sudah menikah, tanpa pernah melihat siapa wanita yang dinikahi. “Bukan, Pak. Sa-saya ....” “Rena!” Rena menoleh. Seseorang berjalan cepat ke arahnya. “Noe?” Dia Noe, asisten pribadi sekaligus sepupu Mahen. Noe tersenyum lebar. Saat mendapat tatapan menyipit dari Rob, ia tertawa pelan. “Rob, dia ini Bu Rena, istri si bos.” “A-apa?” Netra Rob melotot. Bahkan, terkesan mendelik, membuat Rena ngeri. “Ah, itu yang kucari!” Noe bernapas lega saat melihat map merah di tangan Rena. “Aku tadi ke rumah kalian mencari benda itu. Mbok Lastri bilang kau sudah membawanya kemari.” Rena memberikan map yang ia pegang pada Noe. “Kalau begitu, aku pergi dulu, Noe.” “Jangan! Kau tak mau bertemu Mahen?” Kepala Rena menggeleng. Ia takut kena amuk Mahen lagi jika nekat masuk. “Jangan takut, Ren! Aku akan berada di garda terdepan jika dia melukaimu.” Noe meyakinkan istri Mahen. Sejujurnya, Noe lebih setuju Mahen bersama Rena dibanding Riani. Baginya, Rena memiliki sifat yang lebih baik. Meski ragu, akhirnya Rena menyetujui ajakan Noe. Langkahnya sedikit ragu berada di belakang pria itu. Selama berjalan melewati beberapa karyawan dan karyawati, sayup-sayup terdengar pembicaraan yang membuat Rena kena mental. “Siapa wanita kumal itu?” “Oh, tidak! Itukah kekasih Noe?” “Mata Noe buta kali, ya?” Rena hanya menunduk pasrah. Memang ia tak pantas berpijak di kantor semewah ini. Noe dan Rena sampai di lantai paling atas. Di sana ada satu sekat berisi seorang pria muda berkacamata yang tengah membaca beberapa berkas. “Hendri, bos ada?” tanya Noe. “Ada. Tapi ....” Belum selesai Hendri bicara, Noe langsung membuka pintu ruang kerja Mahen dengan diikuti Rena. “Mahen, ada istri ....” Riani dengan wajah kaget langsung berdiri dan buru-buru merapikan penampilan yang acak-acakan. Sedangkan Mahen, lelaki itu dengan santainya bangkit dari sofa, merapikan kemeja biru mudanya yang tampak kusut. "Kalian benar-benar tak tahu adab!" Noe naik pitam. Mata Rena memanas kala melihat bekas lipstik menempel di sekitar bibir Mahen. Ia membuang muka, perih melihat keintiman antara suaminya dan wanita lain dengan mata kepala sendiri. "Apa kau tak punya tangan untuk mengetuk pintu, Noe?” Wajah Mahen merah padam. Noe mengumpat kebodohan Mahen di dalam hati. Ia pun merasa bersalah kepada Rena. “Dia ... istrimu, tadi membawakan ini,” sambil menyodorkan map merah kepada Mahen. Mahen menerimanya, lalu menelengkan kepala, menatap Rena. “Untuk apa kau bawa dia ke ruanganku?” Rena buru-buru menghapus air mata yang menetes. Semakin lama di sini hanya akan membuat Mahen mengolok-oloknya. “Aku pergi dulu.” Rena pergi tanpa mendengar teriakan Noe. Rena berlari, terus berlari tanpa menghiraukan beberapa orang yang berpapasan dengannya. Ia bahkan dimaki karena berulang kali menabrak seseorang. Sedangkan di ruangan Mahen, Noe menggeleng tak habis pikir. “Kau keterlaluan, Hen! Bukan begini caranya memperlakukan istrimu.” “Istri?” Mahen berdecih. “Dia hanya ingin hartaku dengan mendekati mendiang eyang.” Rasanya Noe ingin menimpuk kepala sepupunya dengan kayu. “Buka matamu, Hen! Kau tidak lihat penampilan Rena? Bahkan, Rob sempat mengira dia kurir yang mengantar map untukmu. Siapa pun tak akan menyangka jika dia istri CEO Wira Group. Dan kau masih bilang dia hanya ingin hartamu?” Mahen terdiam, membuat Noe menatap tak percaya. "Jangan-jangan, kau tak pernah memberinya uang nafkah selama ini. Iya, Hen?" Mahen tak bergeming. Noe dengan mengumpat kasar memilih keluar dari ruangan Mahen. Ia paling benci jika ada pria yang tak bertanggung jawab seperti sepupunya itu. Riani melirik Mahen yang tampak diam menatap lantai. Jangan sampai perkataan Noe menggoyahkan keputusan Mahen. “Mahen, Noe sedang emosi. Kau tak perlu memasukkan perkataannya ke dalam hati. Kau dan Rena berbeda. Kalian tidak akan bahagia jika memaksakan pernikahan ini.” Otot-otot wajah Mahen yang tegang sedikit mengendur. Tubuh kekar itu terduduk di sofa sembari memijit pelipis. “Lebih baik kau temui mama dan Sekar ke butik. Mereka sedang mencari kebaya untukmu.” Manik Riani terbelalak. “Benarkah?” Mahen mengangguk. “Iya.” “Kalau begitu, aku menyusul mereka dulu, Mahen. Aku akan mengabarimu nanti.” Riani bersiap diri, lalu mengecup pipi kanan Mahen dengan lembut. Di saat bibir Riani menyentuh kulitnya, bayangan wajah terluka Rena melintas di benaknya. ~~~~~~ Tangis lara begitu menyayat siapa pun yang mendengarnya. Seorang wanita terduduk sedih di pagi hari dengan keretakan hati yang tak bisa terobati. Selama ini, ia tak pernah sesakit ini melihat Mahen bersama Riani. Namun, barusan ia melihat sendiri bagaimana Mahen membiarkan dirinya dicumbu dengan menjijikkan. “Aku memang jelek. Aku tak seperti Riani.” Rena mengambil kaca di dalam tasnya. Ia amati wajah yang tak terawat itu. Kulitnya kusam dan tak menarik sama sekali. Sungguh berbeda dari seorang Riani yang bak model. Frustrasi dengan masalah rumah tangga, kedua tangan Rena menjambak rambutnya yang tergerai. Ia berteriak kencang, membuat orang di sekitarnya berlari tunggang-langgang ketakutan. Saat ia merasa kepalanya sakit akibat jambakannya sendiri, sepasang tangan dengan lembut mencoba melepaskan. Rena terkejut saat seseorang sedang duduk di sebelahnya. Buru-buru dirapikannya rambut yang acak-acakan itu. “Tidak baik melukai diri sendiri.” Rena tersadar jika ia pernah bertemu pria di sampingnya. “Ka-kau?” “Kau yang menabrakku di tempat parkir Kedai Starlight?” ujarnya antusias yang ditimpali anggukan lemah Rena. Keduanya terdiam beberapa menit dengan kecanggungan masing-masing. “Apa yang membuatmu menangis?” Pria itu mencoba mencairkan suasana. Rena ragu membicarakan rumah tangganya pada orang asing. “Oh, iya! Namaku Panji, itu kalau yang ingin kau tahu. Namamu siapa?” “Renata Safira.” “Safira? Hmm ... bolehkah aku memanggilmu Fira?” Panji tersenyum manis saat mendapat persetujuan Rena. Rena sempat terpaku dengan senyum Panji yang menawan. Buru-buru ia membuang pikiran nakalnya. “Sepertinya kau butuh sesuatu untuk kembali ceria, Fira.” Panji mengacak-acak surai hitam panjang Rena sebelum beranjak pergi. Rena masih terdiam sembari menatap punggung Panji yang menjauh. Pria itu berjalan, mengarah ke seorang penjual es krim. Saat pandangan Rena terpaku pada Panji, suara yang terdengar dari belakang membuat tubuhnya meremang. “Ternyata benar kata Riani. Kau juga berselingkuh di belakangku?"“Tolong, lepaskan aku!” teriak Rena kesakitan. Telinga Mahen seakan tuli. Tangannya masih mencengkeram kuat dan menyeret Rena masuk ke dalam rumah. Isak tangis menggema. Lastri tergopoh-gopoh menghampiri. “Astagfirullah! Tuan, jangan sakiti Non Rena.” Tanpa sadar, Lastri pun ikut menangis. Cukup sudah kesakitan yang ia saksikan selama ini. Rena adalah wanita yang baik dan berhak bahagia. Mahen makin berang saat Lastri berusaha melepaskan cengkeramannya pada Rena. “Diam, Mbok!” bentaknya, membuat raut kekecewaan tercetak di gurat wajah tua Lastri. Rena terpaku, menatap Mahen tak percaya. Selama yang ia tahu, Mahen sangat menghormati Lastri bak ibu kandungnya sendiri. Lasti juga yang membantu mengurus Mahen sejak sekolah dasar. “Mahen! Kau tak berhak membentak Mbok Lastri!” protes Rena dengan berani di sisa tenaga yang ada meski suaranya hampir hilang. Mahen tetap menyeret Rena ke lantai dua. Rena pun tak tahu mengapa Mahen begitu semarah ini. Mahen membawa Rena masuk ke
Perlahan tapi pasti, Rena mengendarai motor biru bututnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Pikirannya sedang kacau balau. Mahen melukai harga dirinya tanpa sedikit pun rasa iba. Dua kali, dua kali ia dipaksa melayani Mahen dan pria itu berhasil menorehkan luka hati mendalam.“Aku ingin bercerai, tetapi dia malah menodaiku. Bagaimana jika aku hamil? Aku tak mau dimadu. Hiks!” Pil pencegah kehamilan yang diberikan Mahen ternyata tak mampu menenangkan kegundahan Rena.Rena tiba di kawasan taman yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Permen kapas warna-warni seolah menggodanya tuk mendekat.Meski hari kerja, pagi ini banyak muda-mudi berdatangan. Ada yang sekadar lari pagi, mencari jajanan, bahkan cuma duduk-duduk dan bersenda gurau.Rena memarkirkan motor, lalu berlari kecil ke arah lelaki penjual permen kapas.“Dek, beli permen kapasnya satu.” Rena memanggilnya seperti itu karena si penjual tampak masih remaja.“Mau beli yang warna apa, Kak? Merah muda, ungu, biru, atau yang pelang
“Ceraikan aku!”Wajah Mahen masih dingin, seolah kalimat yang diutarakan Rena hanya angin lalu. Andai Mahen tahu, Rena mati-matian mengumpulkan nyali demi mengucapkannya.Pandangan menghunus Mahen bak ingin menelan Rena hidup-hidup. Selama satu tahun pernikahan, sifat dingin dan cuek suaminya membuat Rena layaknya seonggok sampah tak bernilai.“Kau dan Riani sudah kembali menjalin kasih, bukan?” Degup jantung hampir meledak di dalam sana. Manik Rena menatap takut Mahen yang masih datar.“Benar.”Merosot sudah bahu Rena. Benar kata Sekar, adik iparnya, jika cinta Mahen sudah habis untuk Riani. Kenyataan itu menyadarkan Rena akan posisi sesungguhnya.Rena hanya pengantin pengganti, bukan pelabuhan terakhir.Dirinya yang tak lain hanya penjual jajanan pasar langganan keluarga Wiratama, karena kaburnya sang pengantin wanita, diminta menjadi pengantin pengganti demi nama baik keluarga atas permintaan mendiang eyang Mahen, Aminah. Hati Rena merekah. Mahen yang amat menyayangi sang eyang, me
“Egh ....”Seberkas sinar mengusik kedamaian. Tubuh kurus di bawah selimut menggeliat. Netra yang terpejam perlahan terbuka. Beberapa kali ia mengerjap untuk mengumpulkan kesadaran penuh.Pandangan pertama yang menyapa adalah kamar serba putih yang tak asing.“Kamar? Aku di kamar?”“Non Rena sudah bangun?”Rena menoleh ke sumber suara. Lastri, wanita paruh baya yang bekerja sebagai ART, menyibak beberapa gorden yang masih tertutup.Rena bangkit dari tidur dan terduduk. Sebuah handuk kecil terjatuh di pangkuan. Dapat ia rasakan di beberapa helai rambut sekitar kening tampak sedikit lembap.“Bagaimana bisa aku ada di sini, Mbok?” Tangan Rena sedikit memijit pangkal hidung. Badan terasa remuk dan lemas seolah semua tulang telah rontok satu persatu.“Semalam si bos yang bawa Non Rena pulang. Non Rena pingsan dan basah kuyup. Memangnya apa yang sebenarnya terjadi, Non?” Lastri mendekat, duduk di sisi ranjang. Hubungan mereka sudah dekat sekali. Lastri menganggap Rena seperti anak sendiri.
“Astaga, Rilla! Kenapa kau tak bilang dari semalam kalau mau bolos?” Suara kepanikan sampai di telinga Rena yang tengah duduk di depan kedai yang masih tutup.Jam menunjukkan pukul setengah delapan dan Rena sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu dari rumah karena diusir sang mertua.Si miskin yang memuakkan, begitu kata-kata umpatan Ratna untuk Rena.Adanya Rena di depan kedai ini pun karena tak tahu harus pergi ke mana. Yang pasti, ia ingin mencari pekerjaan baru.Pria berambut kribo itu masih menggerutu. Percakapan di seberang sana tak sengaja terdengar di telinga Rena.“Siapa yang tahu kalau aku bakal kena diare? Dasar brokoli!”“Pft!” Spontan Rena menutup mulut karena menahan tawa.Pria yang masih memegang ponsel itu seketika mengakhiri panggilan, menoleh ke arah Rena dan melirik sebal.“Kau pikir ini lucu?” sindirnya.Rena yang sadar akan kesalahannya buru-buru menetralkan wajah. “Ma-maaf.”Tak ada sahutan. Si pria membuka pintu kedai. Mulutnya masih saja komat-kamit dengan r
Perlahan tapi pasti, Rena mengendarai motor biru bututnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Pikirannya sedang kacau balau. Mahen melukai harga dirinya tanpa sedikit pun rasa iba. Dua kali, dua kali ia dipaksa melayani Mahen dan pria itu berhasil menorehkan luka hati mendalam.“Aku ingin bercerai, tetapi dia malah menodaiku. Bagaimana jika aku hamil? Aku tak mau dimadu. Hiks!” Pil pencegah kehamilan yang diberikan Mahen ternyata tak mampu menenangkan kegundahan Rena.Rena tiba di kawasan taman yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Permen kapas warna-warni seolah menggodanya tuk mendekat.Meski hari kerja, pagi ini banyak muda-mudi berdatangan. Ada yang sekadar lari pagi, mencari jajanan, bahkan cuma duduk-duduk dan bersenda gurau.Rena memarkirkan motor, lalu berlari kecil ke arah lelaki penjual permen kapas.“Dek, beli permen kapasnya satu.” Rena memanggilnya seperti itu karena si penjual tampak masih remaja.“Mau beli yang warna apa, Kak? Merah muda, ungu, biru, atau yang pelang
“Tolong, lepaskan aku!” teriak Rena kesakitan. Telinga Mahen seakan tuli. Tangannya masih mencengkeram kuat dan menyeret Rena masuk ke dalam rumah. Isak tangis menggema. Lastri tergopoh-gopoh menghampiri. “Astagfirullah! Tuan, jangan sakiti Non Rena.” Tanpa sadar, Lastri pun ikut menangis. Cukup sudah kesakitan yang ia saksikan selama ini. Rena adalah wanita yang baik dan berhak bahagia. Mahen makin berang saat Lastri berusaha melepaskan cengkeramannya pada Rena. “Diam, Mbok!” bentaknya, membuat raut kekecewaan tercetak di gurat wajah tua Lastri. Rena terpaku, menatap Mahen tak percaya. Selama yang ia tahu, Mahen sangat menghormati Lastri bak ibu kandungnya sendiri. Lasti juga yang membantu mengurus Mahen sejak sekolah dasar. “Mahen! Kau tak berhak membentak Mbok Lastri!” protes Rena dengan berani di sisa tenaga yang ada meski suaranya hampir hilang. Mahen tetap menyeret Rena ke lantai dua. Rena pun tak tahu mengapa Mahen begitu semarah ini. Mahen membawa Rena masuk ke
Pagi ini, Rena telah berdiri di gedung milik Wira Group. Lastri memintanya tuk mengirim map merah milik Mahen yang tertinggal.Jujur, Rena sebenarnya tak mau melihat muka Mahen. Kemarin, Mahen memakinya karena tak memberi kabar. Soal pekerjaan baru, ia merahasiakan dari siapa pun. "Lain kali kalau mau kelayapan, balas pesanku!" Mahen membentak Rena yang baru saja menginjakkan kaki di rumah. Saat hendak masuk gedung, Rena menilik penampilannya yang buluk. Para karyawati dengan rapi memakan pakaian formal yang elegan. Sedangkan ia, ia hanya mengenakan celana hitam, kemeja biru gelap, dan sepasang sepatu lusuh. “Bagaimana ini? Aku takut.” Rena mencengkeram ujung bajunya sendiri. Langkahnya berjalan pelan dengan ketakutan yang mendarah daging. “Hei! Cari siapa?” Suaranya menggelegar, hingga Rena terlonjak kaget. “Sa-saya Rena, Pak. Mau antar ini,” sembari mengangkat map merah di tangan kanan. “Oh! Kau kurir?” tebak pria berkumis tebal dengan seragam satpam. Namanya Rob. Bibir Rena
“Astaga, Rilla! Kenapa kau tak bilang dari semalam kalau mau bolos?” Suara kepanikan sampai di telinga Rena yang tengah duduk di depan kedai yang masih tutup.Jam menunjukkan pukul setengah delapan dan Rena sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu dari rumah karena diusir sang mertua.Si miskin yang memuakkan, begitu kata-kata umpatan Ratna untuk Rena.Adanya Rena di depan kedai ini pun karena tak tahu harus pergi ke mana. Yang pasti, ia ingin mencari pekerjaan baru.Pria berambut kribo itu masih menggerutu. Percakapan di seberang sana tak sengaja terdengar di telinga Rena.“Siapa yang tahu kalau aku bakal kena diare? Dasar brokoli!”“Pft!” Spontan Rena menutup mulut karena menahan tawa.Pria yang masih memegang ponsel itu seketika mengakhiri panggilan, menoleh ke arah Rena dan melirik sebal.“Kau pikir ini lucu?” sindirnya.Rena yang sadar akan kesalahannya buru-buru menetralkan wajah. “Ma-maaf.”Tak ada sahutan. Si pria membuka pintu kedai. Mulutnya masih saja komat-kamit dengan r
“Egh ....”Seberkas sinar mengusik kedamaian. Tubuh kurus di bawah selimut menggeliat. Netra yang terpejam perlahan terbuka. Beberapa kali ia mengerjap untuk mengumpulkan kesadaran penuh.Pandangan pertama yang menyapa adalah kamar serba putih yang tak asing.“Kamar? Aku di kamar?”“Non Rena sudah bangun?”Rena menoleh ke sumber suara. Lastri, wanita paruh baya yang bekerja sebagai ART, menyibak beberapa gorden yang masih tertutup.Rena bangkit dari tidur dan terduduk. Sebuah handuk kecil terjatuh di pangkuan. Dapat ia rasakan di beberapa helai rambut sekitar kening tampak sedikit lembap.“Bagaimana bisa aku ada di sini, Mbok?” Tangan Rena sedikit memijit pangkal hidung. Badan terasa remuk dan lemas seolah semua tulang telah rontok satu persatu.“Semalam si bos yang bawa Non Rena pulang. Non Rena pingsan dan basah kuyup. Memangnya apa yang sebenarnya terjadi, Non?” Lastri mendekat, duduk di sisi ranjang. Hubungan mereka sudah dekat sekali. Lastri menganggap Rena seperti anak sendiri.
“Ceraikan aku!”Wajah Mahen masih dingin, seolah kalimat yang diutarakan Rena hanya angin lalu. Andai Mahen tahu, Rena mati-matian mengumpulkan nyali demi mengucapkannya.Pandangan menghunus Mahen bak ingin menelan Rena hidup-hidup. Selama satu tahun pernikahan, sifat dingin dan cuek suaminya membuat Rena layaknya seonggok sampah tak bernilai.“Kau dan Riani sudah kembali menjalin kasih, bukan?” Degup jantung hampir meledak di dalam sana. Manik Rena menatap takut Mahen yang masih datar.“Benar.”Merosot sudah bahu Rena. Benar kata Sekar, adik iparnya, jika cinta Mahen sudah habis untuk Riani. Kenyataan itu menyadarkan Rena akan posisi sesungguhnya.Rena hanya pengantin pengganti, bukan pelabuhan terakhir.Dirinya yang tak lain hanya penjual jajanan pasar langganan keluarga Wiratama, karena kaburnya sang pengantin wanita, diminta menjadi pengantin pengganti demi nama baik keluarga atas permintaan mendiang eyang Mahen, Aminah. Hati Rena merekah. Mahen yang amat menyayangi sang eyang, me