Beranda / Romansa / Cinta Terakhir / BAB 6 : Tak bisakah kau mencintaiku?

Share

BAB 6 : Tak bisakah kau mencintaiku?

Penulis: Ara Mira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-19 16:14:42

Perlahan tapi pasti, Rena mengendarai motor biru bututnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Pikirannya sedang kacau balau. Mahen melukai harga dirinya tanpa sedikit pun rasa iba. Dua kali, dua kali ia dipaksa melayani Mahen dan pria itu berhasil menorehkan luka hati mendalam.

“Aku ingin bercerai, tetapi dia malah menodaiku. Bagaimana jika aku hamil? Aku tak mau dimadu. Hiks!” Pil pencegah kehamilan yang diberikan Mahen ternyata tak mampu menenangkan kegundahan Rena.

Rena tiba di kawasan taman yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Permen kapas warna-warni seolah menggodanya tuk mendekat.

Meski hari kerja, pagi ini banyak muda-mudi berdatangan. Ada yang sekadar lari pagi, mencari jajanan, bahkan cuma duduk-duduk dan bersenda gurau.

Rena memarkirkan motor, lalu berlari kecil ke arah lelaki penjual permen kapas.

“Dek, beli permen kapasnya satu.” Rena memanggilnya seperti itu karena si penjual tampak masih remaja.

“Mau beli yang warna apa, Kak? Merah muda, ungu, biru, atau yang pelangi?” Sangat antusias menawarkan dagangannya.

Senyum manis Rena mengembang. Semangat juang ini yang dulu ia miliki. “Yang pelangi kayaknya enak. Boleh, deh!”

Si penjual langsung membuatkan pesanan Rena dengan sigap. Tangannya begitu cekatan saat memutar-mutar gagang hingga permen yang berbentuk bak kapas mulai tergulung besar.

“Ini permen kapas pelanginya, Kak. Dijamin enak pakai banget,” sembari menyodorkan pada Rena.

Senyum Rena semringah. Dulu, ia selalu merengek minta dibelikan permen kapas ketika ada pasar malam. Namun, sang ibu selalu tak punya uang tuk membelinya.

Tangan Rena merogoh saku celananya. “Lho, kok enggak ada?” Saat masih merogoh, ia terenyak. “Oh, iya! Dompetku tadi ada di nakas. Aku juga enggak bawa ponsel.” Rena tersenyum kikuk dan malu.

“Kenapa, Kak? Kakak enggak bawa uang?”

Permen kapas yang masih di genggaman kini Rena berikan kembali pada si penjual. “Uangku ketinggalan. Maaf.”

Di saat bersamaan, sebuah tangan menyodorkan selembar uang merah. “Aku yang bayar.”

Suara itu? Kepala Rena langsung menoleh.

“Panji?”

Panji tersenyum lebar. Wajahnya tampak menggemaskan. “Hai!” sapanya pada Rena yang melongo.

“Kembaliannya belum ada, Mas. Mas punya uang kecil?”

“Ambil saja kembaliannya,” ujar Panji, membuat si penjual semringah dan tak hentinya mengucapkan terima kasih.

Kini justru Rena yang merasa tak enak. “Ehm ... aku akan mengganti uangmu.”

“Benarkah? Kapan?” Satu alis Panji terangkat, menuntut jawaban.

“Aku akan mentransfernya. Kau bisa kirim nomor rekening padaku.”

Panji bersedekap, mangut-mangut paham. “Berikan nomor ponselmu padaku.”

“Hah?”

“Nomor ponsel. Kau punya ponsel, kan? Akan kukirimkan nomor rekeningnya lewat pesan singkat.”

Ah, dasar Rena! Jantungnya hampir copot mengira Panji sedang modus.

Tanpa diminta, Panji menyodorkan ponselnya pada Rena. Meski ragu, Rena menuruti apa permintaan Panji.

“Ini.” Rena mengembalikan ponsel Panji setelah mengetik nomor ponselnya. “Terima kasih, ya! Kalau begitu aku pergi dulu.” Senyum tipis Rena tercetak sebelum akhirnya beranjak.

Langkah Rena berjalan menuju bangku taman. Ia ingin menikmati permen kapas sembari melihat suasana taman di pagi hari.

Bibir ranum itu tersenyum indah. Satu gigitan dari permen kapas mampu membuat hati Rena sedikit terobati.

Saat menuju pada gigitan kedua, di situlah pandangannya menangkap sosok menjulang Panji yang tersenyum lebar dan berjalan ke arahnya. Kedua tangannya masing-masing membawa cup es krim yang tampak menggoda.

“Fira, boleh aku duduk di sebelahmu? Semua tempat duduknya sudah penuh.”

Kepala Rena menoleh ke beberapa titik di mana bangku-bangku taman memang tak ada yang kosong. Ia langsung bergeser ke sisi paling ujung. Panji duduk di ujung kursi yang tersisa.

“Ini untukmu.” Sebuah cup es krim rasa coklat disodorkan Panji.

“Untukku?” Tunjuk Rena pada diri sendiri.

“Tentu. Kau kira aku habis makan dua cup es krim?” Panji tertawa ringan.

Selain senyum manis, tawa Panji memiliki daya magnet bagi Rena tuk ikut tersenyum juga.

Saat Rena hendak menerima cup es krim yang disodorkan padanya, sebuah tangan lain dengan cepat menampik tangan Panji, membuat es krim di tangannya jatuh tak berbentuk.

“Mahen?” Rena terkejut.

Dengan wajah dingin, Mahen menarik Rena kasar dari duduknya.

“Lepaskan Fira!” Panji hendak meraih tangan Rena, tetapi tubuhnya didorong kasar oleh pria bersetelan jas abu-abu itu hingga terjatuh ke tanah.

“Mahen! Hentikan!”

“Kau membelanya?” Suaranya rendah, terbesit emosi tertahan.

Pancaran amarah dikibarkan oleh Mahen. Belum sempat menjelaskan, Rena ditarik pergi menuju mobil putih milik suaminya.

Panji hendak berlari menghampiri, tetapi Rena menggeleng pelan. Ia tak mau kekacauan akan pecah hanya karena dirinya.

“Masuk!” Mahen semakin mengetatkan rahang kala Rena menatapnya ragu-ragu. “Masuk atau aku habisi selingkuhanmu itu. Cepat!” Bentakan menggelegarnya mampu membuat sang istri menurut bak kelinci kecil.

Pintu mobil ditutup dengan kasar. Sebelum masuk ke dalam mobil, Mahen melemparkan tatapan mengancam pada Panji yang menyorotkan keheranan.

Selama di mobil, tak ada pembicaraan sama sekali. Suasana sangat mencekam, bak acara uji nyali. Dari yang Rena tahu, Mahen mengendarai mobil ke arah jalan menuju kantor.

Jujur, Rena masih trauma. Kebejatan Mahen semalam memberi bekas yang mendalam. Sakitnya masih terasa, baik di hati maupun fisik.

“Turunkan aku di sini,” cicit Rena. Tangannya memeluk erat tas bahu hitam lusuh yang dibelinya sejak SMA.

Bukannya menjawab, Mahen malah tancap gas, mengendarai mobil dengan kecepatan penuh. Spontan Rena berteriak kencang.

Cittttttt!

Tubuh keduanya terhuyung ke depan. Rena menelan ludah susah payah. Tanpa bisa dibendung, air matanya luruh. Tangisnya yang diam berubah kepiluan.

“Kenapa menangis? Menyesal menikah denganku?”

Tangis Rena semakin kencang, membuat Mahen berdecih.

“A-apa salahku?” Pertanyaan lirih yang mampu membuat Mahen menoleh pada istrinya. “Kau jahat padaku selama ini. Apa salahku, Mahen?”

Wajah penuh jejak air mata kepedihan Rena mampu membuat Mahen membeku.

“Aku mencintaimu, Mahen.” Manik Rena melirik suaminya yang menatap lurus ke depan. “Karena cintaku ini, aku menerima tawaran eyang untuk jadi istrimu. Meski kau membenciku, aku tetap mencintaimu. Kau cinta pertamaku.”

Rena tak menyadari, Mahen kini tengah mencengkeram stir mobil kuat-kuat.

“Kau maki aku setiap hari, kau sakiti aku dengan tuduhanmu, kau tak mengakuiku istri, aku masih tetap bertahan.” Dicengkeramnya dada yang amat sesak. Nyerinya kian mengakar, menjalar tanpa bisa ditahan.

“Namun, jika kau ingin menikah lagi, a-aku mundur.”

Mahen melirik Rena sekilas. Wanita itu terpejam, membuat buliran air mata semakin luruh berjatuhan.

“Riani adalah cinta pertamaku. Kau tahu sendiri jika cinta pertama adalah yang paling membekas.”

“Kalau begitu, jadikan aku cinta terakhirmu. Kau tahu cinta terakhir adalah yang paling tulus menerimamu apa adanya.”

“Aku mencintai Riani.”

“Tak bisakah kau belajar mencintaiku?”

“Andai bisa, kau tak akan mendapatkan cinta yang utuh. Karena sebagian cintaku menjadi milik Riani. Kau mau hidup dengan suami yang masih mencintai orang lain?”

Tak ada jawaban dari bibir merah muda Rena yang membengkak.

Mahen mengembuskan napas berat, lalu menghidupkan mobilnya kembali, menerobos hiruk-piruk jalanan kota yang ramai.

"Kau terlalu bodoh dengan mencintaiku, Rena. Hanya sakit hati yang akan kau dapat."

"Kalau begitu, beri aku waktumu."

"Maksudmu?"

"Berikan aku waktumu selama sebulan. Jadilah suami sesungguhnya untukku. Setelahnya, aku akan merelakanmu, mengalah dari Riani."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Raswada Mata
semangat thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Cinta Terakhir   BAB 7 : Antara Mahen dan Riani

    Dua hari berlalu begitu cepat. Permintaan satu bulan menjadi suami istri sungguhan ditolak Mahen mentah-mentah. Sejujurnya, Rena memiliki harapan dari satu bulan itu. Harapan yang paling diinginkan adalah Mahen jatuh cinta padanya setelah sebulan penuh diberi ruang untuk saling melengkapi. Atau harapan yang lebih realistis, Rena kalah dan hanya bisa membawa kenangan indah di antara mereka berdua. "Rumah tanggaku memang tak ada harapan lagi sejak lama," gumamnya. Sia-sia ia manahan hati selama ini. Sekarang Rena kembali berdiri di sini. Pandangannya mengarah pada nama yang tertera di atas bangunan vintage di hadapannya. Kedai Starlight. Dari pintu kaca, maniknya menangkap Onky yang sigap menyiapkan alat-alat untuk meracik kopi dengan mulutnya yang komat-kamit. Bersenandung sembari bekerja adalah kebiasaannya. Baru saja akan melangkah masuk, tepukan di bahu membuat wanita manis itu menoleh. Matanya yang bulat begitu indah kala membola. “Noe?” “Sendirian, Ren?” Rena

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-26
  • Cinta Terakhir   BAB 8 : Jahilnya Sang Sepupu

    “Rena?” Pelukan hangat menyergap Rena tiba-tiba. Tubuhnya menggoyang ke kanan dan kiri, menandakan sebahagia apa wanita itu bertemu dengannya. Pelukan mereka terlerai. “Lama enggak ketemu, Ren. Gimana kabarmu? Oh iya, sekarang aku sudah bisa masak, lho!” pamernya. Senyum Rena kikuk. Ia merasa tak begitu dekat dengan Prisa, tetapi wanita tersebut malah sebaliknya. Memang beberapa kali pertemuan mereka terjadi di awal Rena menjadi istri Mahen karena status Prisa adalah pacar Noe. Prisa juga sering menanyakan perihal cara memasak dari Rena yang ia tanggapi ala kadarnya. “Kabarku baik. Jadi, Kakak sudah bisa membedakan garam dan gula halus?” Prisa malah tertawa mengingat kebodohannya di masa lalu. “Sa, kau sudah coba gaun dan kebayanya?” Noe yang baru masuk butik menyela. “Belum, Noe. Aku baru sampai karena habis rapat. Kita enggak punya waktu banyak. Setelah ini, kita harus segera coba tester makanan untuk resepsi.” “Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo, kita coba pakaian pe

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Cinta Terakhir   BAB 9 : Cemburu

    “Uhuk!” “Astaga, Mahen!” Riani menyodorkan segelas air putih pada kekasihnya. Seperti kesetanan, Mahen menenggak air hingga tandas. Rasa pedas masih tertinggal di sana. “Ada apa, sih? Masalah di kantor?” Riani menatap curiga ke arah ponsel yang tergeletak di meja makan. Mahen tersedak setelah menerima pesan dari ponselnya. “Ekhm! Hmm ... enggak apa-apa. Makanan ini sedikit pedas. Kau tahu bukan jika aku tak bisa memakannya?” Tangan pria itu mendorong pelan piring berisi ayam pedas daun jeruk di depannya. “Padahal, aku sudah meminta mereka tuk membuatnya tak terlalu pedas. Ini salah satu menu andalan di sini. Kalau begitu, pesan yang lain saja, ya?” Riani mengangkat tangan kanannya dengan anggun hingga seorang karyawan restoran menghampiri. Pilihan jatuh pada makanan favorit Mahen, nasi dan ayam bakar. Setelah menunggu beberapa waktu, pesanan pun tiba. Mahen mulai makan perlahan. Namun, pikirannya tak henti-hentinya memaki Noe. “Lihatlah pria ini! Ia siap menggantikanm

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • Cinta Terakhir   BAB 10 : Mahen Berbeda

    “Tapi, aku tak bisa melakukannya.” Rena menggigit kuku ibu jari kanannya. Ragu menuruti rencana dua sejoli di seberang sana. “Lakukan saja apa yang kami rencanakan. Dijamin tokcer!” Tawa keduanya justru membuat Rena menggaruk rambut tak gatal. “Baik, Kak. Akan kucoba. Sampai jumpa lagi, Kak!” Rena melempar ponselnya di atas kasur hingga memantul. Tubuhnya lengket dan bau asam. Berendam pilihan yang menyenangkan. Surai yang tergerai dicepol asal-asalan. Segera tangan putihnya melepas kancing kemeja satu persatu. Setelah terlepas semua, ia mulai menurunkannya. BRUG! “Hah?!” Spontan kemeja yang sudah menggantung di lengan tertarik kembali. Mahen berdiri di ambang pintu. Tas kerja yang biasa ditentengnya terjatuh di lantai. Keduanya sejenak melempar pandangan satu sama lain. “A-ada apa?” Rena merasa tak nyaman. “Ekhm!” Dengan susah payah Mahen menelan saliva. Tangan Rena kian mengeratkan kemeja yang membalut tubuh. Bayangan Mahen memaksanya malam itu kembali berputar,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Cinta Terakhir   BAB 11 : Cincin Pernikahan

    “Bukankah suamimu seorang CEO? Kenapa memilih bekerja di tempat kecil ini?” Panji meletakkan secangkir cokelat hangat untuk Rena. Aroma pekat cokelat menggelitik indra penciuman. Harumnya menenangkan, membuat Rena tak tahan tuk menyeruputnya. “Bagaimana? Enak?” Rena mengangguk, meletakkan cangkirnya di atas meja. Keduanya duduk di bangku Kedai Starlight. Posisi mereka yang bersebelahan dengan jendela membuat lalu lalang kendaraan dan manusia sebagai hiburan. “Kau belum menjawabku, Fira. Kenapa ingin bekerja di sini?” Panji menatap intens wanita yang ia suka. Rena menelan ludah. Tak mungkin ia menjelaskan semuanya pada Panji. “Aku hanya bosan di rumah. Ijazahku cuma SMA. Dapat bekerja di sini sudah membuatku bahagia.” “Tapi, gaji di kedaiku kecil. Kau pasti mendapat uang jutaan dari suamimu setiap bulan, bukan? Kurasa gaji di sini tak ada apa-apanya.” Pria itu bersedekap, mencari sesuatu yang janggal dalam sorot mata Rena. “Eh ... aku bosan di rumah. Dari kecil sudah terb

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Cinta Terakhir   BAB 12 : Mati Lampu

    Mahen menatap istri lugunya yang berjalan dengan kebisuan saat memasuki rumah. Sejujurnya, ia tahu jika manik bulat yang biasa tersorot binar cinta untuknya kini berembun. Hidung mungil yang kembang-kempis tentu menandakan jika Rena menahan tangis. Siapa yang tak sedih jika ada di posisi Rena? Ia dipaksa mencarikan cincin pernikahan suami yang dicintainya dengan wanita lain. “Selamat malam Tuan Mahen, Non Rena! Lho, Non Rena kenapa? Hidungnya kok memerah? Matanya juga berair.” Lastri begitu khawatir. Tangan Rena mengusap hidungnya perlahan. “Aku sedikit flu, Mbok," bohongnya. "Hmm ... aku ke kamar dulu, ya, Mbok.” “Iya, Non. Jangan mandi dulu, Non! Ini sudah malam soalnya.” Nasihat Lastri dibalas anggukkan oleh Rena. Sesampainya di kamar, Rena tak tahan dan menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya terduduk di ranjang sembari menangkup wajah dengan kedua telapak tangan. “Ke-kenapa dia jahat sekali?” Rena makin sesenggukan. “Kalau ... kalau memang dia membenciku, ke-kenapa haru

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Cinta Terakhir   BAB 13 : Keputusanku Melepasmu

    “Sayang, aku pasti akan merindukanmu.” Riani menyentuh wajah Mahen dengan lembut. Pria ini, pria yang membawa hidupnya menjadi lebih terarah. Andai tak mengenal Mahen, ia mungkin tetap menjadi cleaning service di hotel dan serba kekurangan. Sebagai anak yang besar di panti asuhan, hidup keras adalah sahabatnya. Ia tak mau mengulangi masa-masa kelam yang sangat dibencinya. “Kenapa kau sangat berambisi dalam karier, Riani? Saat menjadi istriku, kau akan mendapat semuanya.” Mahen menatap lekat-lekat wanita yang mendiami hatinya sejak lama. Entah mengapa mereka dekat, tetapi seolah jauh tuk saling menggapai. “Kau memang akan memenuhi semua yang aku mau. Namun, aku juga ingin berdiri di atas kakiku sendiri. Aku tak mau saat menjadi istrimu, orang-orang akan menghinaku, mencela latar belakangku yang berasal dari panti asuhan. Bagaimana pun juga, status kita berasal dari kasta berbeda.” Bukan tanpa alasan Riani tinggal di panti asuhan. Kedua orang tuanya wafat karena kecelakaan saat pul

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Cinta Terakhir   BAB 14 : Bukan Rena Yang Dulu

    “Kak, browniesnya enak banget. Dari dulu memang enak, tapi yang ini enaknya berkali lipat. Aku jadi beli lagi buat orang di rumah.” “Wah, syukurlah kalau Kakak suka! Kami senang sekali,” ujar Rilla amat riang. Gadis berseragam putih abu-abu itu tersenyum manis. Pipinya yang gembul semakin menggemaskan. “Kalau begitu, aku permisi dulu, Kak. Terima kasih!” “Sama-sama, Kak. Terima kasih sudah menikmati hari di Kedai Starlight! Kami tunggu kedatangannya kembali!” Gadis SMA tersebut akhirnya pergi meninggalkan kedai langganannya dengan semangat. Terlihat ia tak sabar membawa brownies miliknya tuk di bawa pulang. “Kau dengar, Ren? Sejak tadi pagi, banyak pelanggan yang memuji kue dan donat buatanmu. Tanganmu ini sungguh ajaib.” Rilla mengangkat kedua tangan Rena dengan tawa. Gelak tawa lucu Rilla yang renyah menular pada Rena. “Syukurlah kalau banyak yang suka.” Keduanya saat ini menjaga kedai dan merangkap sebagai kasir karena Onky dan Panji sedang melaksanakan salat Ju

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11

Bab terbaru

  • Cinta Terakhir   BAB 16 : Posesif

    Aini yang terduduk di kursi roda mengobati wajah sang putra semata wayang dengan kekhawatiran. Rilla merasa bersalah karena idenya mengubah penampilan Rena menjadi spektakuler, justru merusak momen bahagia pernikahan orang lain. Onky sedari tadi memarahinya, membuat rasa bersalah kian mengakar. “Kak Noe, Kak Prisa, maafkan aku. Akulah yang mendandani Rena. Aku tak tahu akan begini jadinya. Rencanaku hanya ingin membuat suaminya menyesal telah menyia-nyiakan wanita semanis dia.” Rilla menunduk dengan rasa bersalah. Bukannya marah, Noe malah terkekeh bersama Prisa, tentu membuat Rilla keheranan. “Justru itu yang kami harapkan, Rill. Dengan kejadian tadi, semua yang hadir jadi semakin tahu istri CEO Wiratama Group. Rena tak akan dipandang sebelah mata lagi.” Ucapan Noe ditimpali anggukan antusias Prisa. Rilla meringis canggung. Padahal, ia sudah menyiapkan diri jika hendak dimaki. “Apa yang kau lakukan, Panji? Ada hubungan apa antara kau dan istrinya Mahendra?” Prabu sebisa mun

  • Cinta Terakhir   BAB 15 : Kericuhan

    Hiruk piruk manusia memenuhi sebuah pasar yang terkenal menjajakan pakaian modis dengan harga terjangkau. Riuh para pembeli dan pedagang saling beradu, tetapi ketiga manusia itu masih saja betah di sana selama tiga jam. “Para wanita memang menjengkelkan!” geram Onky yang sudah kewalahan. “Idih! Baru begini saja sudah mengeluh,” sindir Rilla. Rena masih sibuk mencari apa yang akan ia gunakan besok pagi tuk menghadiri pernikahan Noe dan Prisa. Rilla sebenarnya sudah mendapatkan apa yang ia mau, tetapi jiwa wanitanya meronta-ronta tuk membeli banyak baju gaul. Lihatlah si Onky! Wajahnya cemberut dengan tangannya membawa banyak belanjaan baju milik Rilla. Padahal, miliknya hanya satu papper bag saja. Hari ini, Panji membiarkan kedainya buka hanya sampai siang hari dan libur keesokan harinya. Ia meminta para pegawainya besok pagi menghadiri pernikahan sang kakak. “Ren, kau mau pilih yang mana?” Rena menggeleng, tersenyum kecut. Perihal fashion, ia memang payah. “Ish! Padaha

  • Cinta Terakhir   BAB 14 : Bukan Rena Yang Dulu

    “Kak, browniesnya enak banget. Dari dulu memang enak, tapi yang ini enaknya berkali lipat. Aku jadi beli lagi buat orang di rumah.” “Wah, syukurlah kalau Kakak suka! Kami senang sekali,” ujar Rilla amat riang. Gadis berseragam putih abu-abu itu tersenyum manis. Pipinya yang gembul semakin menggemaskan. “Kalau begitu, aku permisi dulu, Kak. Terima kasih!” “Sama-sama, Kak. Terima kasih sudah menikmati hari di Kedai Starlight! Kami tunggu kedatangannya kembali!” Gadis SMA tersebut akhirnya pergi meninggalkan kedai langganannya dengan semangat. Terlihat ia tak sabar membawa brownies miliknya tuk di bawa pulang. “Kau dengar, Ren? Sejak tadi pagi, banyak pelanggan yang memuji kue dan donat buatanmu. Tanganmu ini sungguh ajaib.” Rilla mengangkat kedua tangan Rena dengan tawa. Gelak tawa lucu Rilla yang renyah menular pada Rena. “Syukurlah kalau banyak yang suka.” Keduanya saat ini menjaga kedai dan merangkap sebagai kasir karena Onky dan Panji sedang melaksanakan salat Ju

  • Cinta Terakhir   BAB 13 : Keputusanku Melepasmu

    “Sayang, aku pasti akan merindukanmu.” Riani menyentuh wajah Mahen dengan lembut. Pria ini, pria yang membawa hidupnya menjadi lebih terarah. Andai tak mengenal Mahen, ia mungkin tetap menjadi cleaning service di hotel dan serba kekurangan. Sebagai anak yang besar di panti asuhan, hidup keras adalah sahabatnya. Ia tak mau mengulangi masa-masa kelam yang sangat dibencinya. “Kenapa kau sangat berambisi dalam karier, Riani? Saat menjadi istriku, kau akan mendapat semuanya.” Mahen menatap lekat-lekat wanita yang mendiami hatinya sejak lama. Entah mengapa mereka dekat, tetapi seolah jauh tuk saling menggapai. “Kau memang akan memenuhi semua yang aku mau. Namun, aku juga ingin berdiri di atas kakiku sendiri. Aku tak mau saat menjadi istrimu, orang-orang akan menghinaku, mencela latar belakangku yang berasal dari panti asuhan. Bagaimana pun juga, status kita berasal dari kasta berbeda.” Bukan tanpa alasan Riani tinggal di panti asuhan. Kedua orang tuanya wafat karena kecelakaan saat pul

  • Cinta Terakhir   BAB 12 : Mati Lampu

    Mahen menatap istri lugunya yang berjalan dengan kebisuan saat memasuki rumah. Sejujurnya, ia tahu jika manik bulat yang biasa tersorot binar cinta untuknya kini berembun. Hidung mungil yang kembang-kempis tentu menandakan jika Rena menahan tangis. Siapa yang tak sedih jika ada di posisi Rena? Ia dipaksa mencarikan cincin pernikahan suami yang dicintainya dengan wanita lain. “Selamat malam Tuan Mahen, Non Rena! Lho, Non Rena kenapa? Hidungnya kok memerah? Matanya juga berair.” Lastri begitu khawatir. Tangan Rena mengusap hidungnya perlahan. “Aku sedikit flu, Mbok," bohongnya. "Hmm ... aku ke kamar dulu, ya, Mbok.” “Iya, Non. Jangan mandi dulu, Non! Ini sudah malam soalnya.” Nasihat Lastri dibalas anggukkan oleh Rena. Sesampainya di kamar, Rena tak tahan dan menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya terduduk di ranjang sembari menangkup wajah dengan kedua telapak tangan. “Ke-kenapa dia jahat sekali?” Rena makin sesenggukan. “Kalau ... kalau memang dia membenciku, ke-kenapa haru

  • Cinta Terakhir   BAB 11 : Cincin Pernikahan

    “Bukankah suamimu seorang CEO? Kenapa memilih bekerja di tempat kecil ini?” Panji meletakkan secangkir cokelat hangat untuk Rena. Aroma pekat cokelat menggelitik indra penciuman. Harumnya menenangkan, membuat Rena tak tahan tuk menyeruputnya. “Bagaimana? Enak?” Rena mengangguk, meletakkan cangkirnya di atas meja. Keduanya duduk di bangku Kedai Starlight. Posisi mereka yang bersebelahan dengan jendela membuat lalu lalang kendaraan dan manusia sebagai hiburan. “Kau belum menjawabku, Fira. Kenapa ingin bekerja di sini?” Panji menatap intens wanita yang ia suka. Rena menelan ludah. Tak mungkin ia menjelaskan semuanya pada Panji. “Aku hanya bosan di rumah. Ijazahku cuma SMA. Dapat bekerja di sini sudah membuatku bahagia.” “Tapi, gaji di kedaiku kecil. Kau pasti mendapat uang jutaan dari suamimu setiap bulan, bukan? Kurasa gaji di sini tak ada apa-apanya.” Pria itu bersedekap, mencari sesuatu yang janggal dalam sorot mata Rena. “Eh ... aku bosan di rumah. Dari kecil sudah terb

  • Cinta Terakhir   BAB 10 : Mahen Berbeda

    “Tapi, aku tak bisa melakukannya.” Rena menggigit kuku ibu jari kanannya. Ragu menuruti rencana dua sejoli di seberang sana. “Lakukan saja apa yang kami rencanakan. Dijamin tokcer!” Tawa keduanya justru membuat Rena menggaruk rambut tak gatal. “Baik, Kak. Akan kucoba. Sampai jumpa lagi, Kak!” Rena melempar ponselnya di atas kasur hingga memantul. Tubuhnya lengket dan bau asam. Berendam pilihan yang menyenangkan. Surai yang tergerai dicepol asal-asalan. Segera tangan putihnya melepas kancing kemeja satu persatu. Setelah terlepas semua, ia mulai menurunkannya. BRUG! “Hah?!” Spontan kemeja yang sudah menggantung di lengan tertarik kembali. Mahen berdiri di ambang pintu. Tas kerja yang biasa ditentengnya terjatuh di lantai. Keduanya sejenak melempar pandangan satu sama lain. “A-ada apa?” Rena merasa tak nyaman. “Ekhm!” Dengan susah payah Mahen menelan saliva. Tangan Rena kian mengeratkan kemeja yang membalut tubuh. Bayangan Mahen memaksanya malam itu kembali berputar,

  • Cinta Terakhir   BAB 9 : Cemburu

    “Uhuk!” “Astaga, Mahen!” Riani menyodorkan segelas air putih pada kekasihnya. Seperti kesetanan, Mahen menenggak air hingga tandas. Rasa pedas masih tertinggal di sana. “Ada apa, sih? Masalah di kantor?” Riani menatap curiga ke arah ponsel yang tergeletak di meja makan. Mahen tersedak setelah menerima pesan dari ponselnya. “Ekhm! Hmm ... enggak apa-apa. Makanan ini sedikit pedas. Kau tahu bukan jika aku tak bisa memakannya?” Tangan pria itu mendorong pelan piring berisi ayam pedas daun jeruk di depannya. “Padahal, aku sudah meminta mereka tuk membuatnya tak terlalu pedas. Ini salah satu menu andalan di sini. Kalau begitu, pesan yang lain saja, ya?” Riani mengangkat tangan kanannya dengan anggun hingga seorang karyawan restoran menghampiri. Pilihan jatuh pada makanan favorit Mahen, nasi dan ayam bakar. Setelah menunggu beberapa waktu, pesanan pun tiba. Mahen mulai makan perlahan. Namun, pikirannya tak henti-hentinya memaki Noe. “Lihatlah pria ini! Ia siap menggantikanm

  • Cinta Terakhir   BAB 8 : Jahilnya Sang Sepupu

    “Rena?” Pelukan hangat menyergap Rena tiba-tiba. Tubuhnya menggoyang ke kanan dan kiri, menandakan sebahagia apa wanita itu bertemu dengannya. Pelukan mereka terlerai. “Lama enggak ketemu, Ren. Gimana kabarmu? Oh iya, sekarang aku sudah bisa masak, lho!” pamernya. Senyum Rena kikuk. Ia merasa tak begitu dekat dengan Prisa, tetapi wanita tersebut malah sebaliknya. Memang beberapa kali pertemuan mereka terjadi di awal Rena menjadi istri Mahen karena status Prisa adalah pacar Noe. Prisa juga sering menanyakan perihal cara memasak dari Rena yang ia tanggapi ala kadarnya. “Kabarku baik. Jadi, Kakak sudah bisa membedakan garam dan gula halus?” Prisa malah tertawa mengingat kebodohannya di masa lalu. “Sa, kau sudah coba gaun dan kebayanya?” Noe yang baru masuk butik menyela. “Belum, Noe. Aku baru sampai karena habis rapat. Kita enggak punya waktu banyak. Setelah ini, kita harus segera coba tester makanan untuk resepsi.” “Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo, kita coba pakaian pe

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status