Perlahan tapi pasti, Rena mengendarai motor biru bututnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Pikirannya sedang kacau balau. Mahen melukai harga dirinya tanpa sedikit pun rasa iba. Dua kali, dua kali ia dipaksa melayani Mahen dan pria itu berhasil menorehkan luka hati mendalam.
“Aku ingin bercerai, tetapi dia malah menodaiku. Bagaimana jika aku hamil? Aku tak mau dimadu. Hiks!” Pil pencegah kehamilan yang diberikan Mahen ternyata tak mampu menenangkan kegundahan Rena. Rena tiba di kawasan taman yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Permen kapas warna-warni seolah menggodanya tuk mendekat. Meski hari kerja, pagi ini banyak muda-mudi berdatangan. Ada yang sekadar lari pagi, mencari jajanan, bahkan cuma duduk-duduk dan bersenda gurau. Rena memarkirkan motor, lalu berlari kecil ke arah lelaki penjual permen kapas. “Dek, beli permen kapasnya satu.” Rena memanggilnya seperti itu karena si penjual tampak masih remaja. “Mau beli yang warna apa, Kak? Merah muda, ungu, biru, atau yang pelangi?” Sangat antusias menawarkan dagangannya. Senyum manis Rena mengembang. Semangat juang ini yang dulu ia miliki. “Yang pelangi kayaknya enak. Boleh, deh!” Si penjual langsung membuatkan pesanan Rena dengan sigap. Tangannya begitu cekatan saat memutar-mutar gagang hingga permen yang berbentuk bak kapas mulai tergulung besar. “Ini permen kapas pelanginya, Kak. Dijamin enak pakai banget,” sembari menyodorkan pada Rena. Senyum Rena semringah. Dulu, ia selalu merengek minta dibelikan permen kapas ketika ada pasar malam. Namun, sang ibu selalu tak punya uang tuk membelinya. Tangan Rena merogoh saku celananya. “Lho, kok enggak ada?” Saat masih merogoh, ia terenyak. “Oh, iya! Dompetku tadi ada di nakas. Aku juga enggak bawa ponsel.” Rena tersenyum kikuk dan malu. “Kenapa, Kak? Kakak enggak bawa uang?” Permen kapas yang masih di genggaman kini Rena berikan kembali pada si penjual. “Uangku ketinggalan. Maaf.” Di saat bersamaan, sebuah tangan menyodorkan selembar uang merah. “Aku yang bayar.” Suara itu? Kepala Rena langsung menoleh. “Panji?” Panji tersenyum lebar. Wajahnya tampak menggemaskan. “Hai!” sapanya pada Rena yang melongo. “Kembaliannya belum ada, Mas. Mas punya uang kecil?” “Ambil saja kembaliannya,” ujar Panji, membuat si penjual semringah dan tak hentinya mengucapkan terima kasih. Kini justru Rena yang merasa tak enak. “Ehm ... aku akan mengganti uangmu.” “Benarkah? Kapan?” Satu alis Panji terangkat, menuntut jawaban. “Aku akan mentransfernya. Kau bisa kirim nomor rekening padaku.” Panji bersedekap, mangut-mangut paham. “Berikan nomor ponselmu padaku.” “Hah?” “Nomor ponsel. Kau punya ponsel, kan? Akan kukirimkan nomor rekeningnya lewat pesan singkat.” Ah, dasar Rena! Jantungnya hampir copot mengira Panji sedang modus. Tanpa diminta, Panji menyodorkan ponselnya pada Rena. Meski ragu, Rena menuruti apa permintaan Panji. “Ini.” Rena mengembalikan ponsel Panji setelah mengetik nomor ponselnya. “Terima kasih, ya! Kalau begitu aku pergi dulu.” Senyum tipis Rena tercetak sebelum akhirnya beranjak. Langkah Rena berjalan menuju bangku taman. Ia ingin menikmati permen kapas sembari melihat suasana taman di pagi hari. Bibir ranum itu tersenyum indah. Satu gigitan dari permen kapas mampu membuat hati Rena sedikit terobati. Saat menuju pada gigitan kedua, di situlah pandangannya menangkap sosok menjulang Panji yang tersenyum lebar dan berjalan ke arahnya. Kedua tangannya masing-masing membawa cup es krim yang tampak menggoda. “Fira, boleh aku duduk di sebelahmu? Semua tempat duduknya sudah penuh.” Kepala Rena menoleh ke beberapa titik di mana bangku-bangku taman memang tak ada yang kosong. Ia langsung bergeser ke sisi paling ujung. Panji duduk di ujung kursi yang tersisa. “Ini untukmu.” Sebuah cup es krim rasa coklat disodorkan Panji. “Untukku?” Tunjuk Rena pada diri sendiri. “Tentu. Kau kira aku habis makan dua cup es krim?” Panji tertawa ringan. Selain senyum manis, tawa Panji memiliki daya magnet bagi Rena tuk ikut tersenyum juga. Saat Rena hendak menerima cup es krim yang disodorkan padanya, sebuah tangan lain dengan cepat menampik tangan Panji, membuat es krim di tangannya jatuh tak berbentuk. “Mahen?” Rena terkejut. Dengan wajah dingin, Mahen menarik Rena kasar dari duduknya. “Lepaskan Fira!” Panji hendak meraih tangan Rena, tetapi tubuhnya didorong kasar oleh pria bersetelan jas abu-abu itu hingga terjatuh ke tanah. “Mahen! Hentikan!” “Kau membelanya?” Suaranya rendah, terbesit emosi tertahan. Pancaran amarah dikibarkan oleh Mahen. Belum sempat menjelaskan, Rena ditarik pergi menuju mobil putih milik suaminya. Panji hendak berlari menghampiri, tetapi Rena menggeleng pelan. Ia tak mau kekacauan akan pecah hanya karena dirinya. “Masuk!” Mahen semakin mengetatkan rahang kala Rena menatapnya ragu-ragu. “Masuk atau aku habisi selingkuhanmu itu. Cepat!” Bentakan menggelegarnya mampu membuat sang istri menurut bak kelinci kecil. Pintu mobil ditutup dengan kasar. Sebelum masuk ke dalam mobil, Mahen melemparkan tatapan mengancam pada Panji yang menyorotkan keheranan. Selama di mobil, tak ada pembicaraan sama sekali. Suasana sangat mencekam, bak acara uji nyali. Dari yang Rena tahu, Mahen mengendarai mobil ke arah jalan menuju kantor. Jujur, Rena masih trauma. Kebejatan Mahen semalam memberi bekas yang mendalam. Sakitnya masih terasa, baik di hati maupun fisik. “Turunkan aku di sini,” cicit Rena. Tangannya memeluk erat tas bahu hitam lusuh yang dibelinya sejak SMA. Bukannya menjawab, Mahen malah tancap gas, mengendarai mobil dengan kecepatan penuh. Spontan Rena berteriak kencang. Cittttttt! Tubuh keduanya terhuyung ke depan. Rena menelan ludah susah payah. Tanpa bisa dibendung, air matanya luruh. Tangisnya yang diam berubah kepiluan. “Kenapa menangis? Menyesal menikah denganku?” Tangis Rena semakin kencang, membuat Mahen berdecih. “A-apa salahku?” Pertanyaan lirih yang mampu membuat Mahen menoleh pada istrinya. “Kau jahat padaku selama ini. Apa salahku, Mahen?” Wajah penuh jejak air mata kepedihan Rena mampu membuat Mahen membeku. “Aku mencintaimu, Mahen.” Manik Rena melirik suaminya yang menatap lurus ke depan. “Karena cintaku ini, aku menerima tawaran eyang untuk jadi istrimu. Meski kau membenciku, aku tetap mencintaimu. Kau cinta pertamaku.” Rena tak menyadari, Mahen kini tengah mencengkeram stir mobil kuat-kuat. “Kau maki aku setiap hari, kau sakiti aku dengan tuduhanmu, kau tak mengakuiku istri, aku masih tetap bertahan.” Dicengkeramnya dada yang amat sesak. Nyerinya kian mengakar, menjalar tanpa bisa ditahan. “Namun, jika kau ingin menikah lagi, a-aku mundur.” Mahen melirik Rena sekilas. Wanita itu terpejam, membuat buliran air mata semakin luruh berjatuhan. “Riani adalah cinta pertamaku. Kau tahu sendiri jika cinta pertama adalah yang paling membekas.” “Kalau begitu jadikan aku cinta terakhirmu. Kau tahu cinta terakhir adalah yang paling tulus menerimamu apa adanya.” “Aku mencintai Riani.” “Tak bisakah kau belajar mencintaiku?” “Andai bisa, kau tak akan mendapatkan cinta yang utuh. Karena sebagian cintaku menjadi milik Riani. Kau mau hidup dengan suami yang masih mencintai orang lain?” Tak ada jawaban dari bibir merah muda Rena yang membengkak. Mahen mengembuskan napas berat, lalu menghidupkan mobilnya kembali, menerobos hiruk-piruk jalanan kota yang ramai. “Dokumen perceraian sudah siap. Kau harus menandatanganinya.”“Ceraikan aku!”Wajah Mahen masih dingin, seolah kalimat yang diutarakan Rena hanya angin lalu. Andai Mahen tahu, Rena mati-matian mengumpulkan nyali demi mengucapkannya.Pandangan menghunus Mahen bak ingin menelan Rena hidup-hidup. Selama satu tahun pernikahan, sifat dingin dan cuek suaminya membuat Rena layaknya seonggok sampah tak bernilai.“Kau dan Riani sudah kembali menjalin kasih, bukan?” Degup jantung hampir meledak di dalam sana. Manik Rena menatap takut Mahen yang masih datar.“Benar.”Merosot sudah bahu Rena. Benar kata Sekar, adik iparnya, jika cinta Mahen sudah habis untuk Riani. Kenyataan itu menyadarkan Rena akan posisi sesungguhnya.Rena hanya pengantin pengganti, bukan pelabuhan terakhir.Dirinya yang tak lain hanya penjual jajanan pasar langganan keluarga Wiratama, karena kaburnya sang pengantin wanita, diminta menjadi pengantin pengganti demi nama baik keluarga atas permintaan mendiang eyang Mahen, Aminah. Hati Rena merekah. Mahen yang amat menyayangi sang eyang, me
“Egh ....”Seberkas sinar mengusik kedamaian. Tubuh kurus di bawah selimut menggeliat. Netra yang terpejam perlahan terbuka. Beberapa kali ia mengerjap untuk mengumpulkan kesadaran penuh.Pandangan pertama yang menyapa adalah kamar serba putih yang tak asing.“Kamar? Aku di kamar?”“Non Rena sudah bangun?”Rena menoleh ke sumber suara. Lastri, wanita paruh baya yang bekerja sebagai ART, menyibak beberapa gorden yang masih tertutup.Rena bangkit dari tidur dan terduduk. Sebuah handuk kecil terjatuh di pangkuan. Dapat ia rasakan di beberapa helai rambut sekitar kening tampak sedikit lembap.“Bagaimana bisa aku ada di sini, Mbok?” Tangan Rena sedikit memijit pangkal hidung. Badan terasa remuk dan lemas seolah semua tulang telah rontok satu persatu.“Semalam si bos yang bawa Non Rena pulang. Non Rena pingsan dan basah kuyup. Memangnya apa yang sebenarnya terjadi, Non?” Lastri mendekat, duduk di sisi ranjang. Hubungan mereka sudah dekat sekali. Lastri menganggap Rena seperti anak sendiri.
“Astaga, Rilla! Kenapa kau tak bilang dari semalam kalau mau bolos?” Suara kepanikan sampai di telinga Rena yang tengah duduk di depan kedai yang masih tutup.Jam menunjukkan pukul setengah delapan dan Rena sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu dari rumah karena diusir sang mertua.Si miskin yang memuakkan, begitu kata-kata umpatan Ratna untuk Rena.Adanya Rena di depan kedai ini pun karena tak tahu harus pergi ke mana. Yang pasti, ia ingin mencari pekerjaan baru.Pria berambut kribo itu masih menggerutu. Percakapan di seberang sana tak sengaja terdengar di telinga Rena.“Siapa yang tahu kalau aku bakal kena diare? Dasar brokoli!”“Pft!” Spontan Rena menutup mulut karena menahan tawa.Pria yang masih memegang ponsel itu seketika mengakhiri panggilan, menoleh ke arah Rena dan melirik sebal.“Kau pikir ini lucu?” sindirnya.Rena yang sadar akan kesalahannya buru-buru menetralkan wajah. “Ma-maaf.”Tak ada sahutan. Si pria membuka pintu kedai. Mulutnya masih saja komat-kamit dengan r
Pagi ini, Rena telah berdiri di gedung milik Wira Group. Lastri memintanya tuk mengirim map merah milik Mahen yang tertinggal.Jujur, Rena sebenarnya tak mau melihat muka Mahen. Kemarin, Mahen memakinya karena tak memberi kabar. Soal pekerjaan baru, ia merahasiakan dari siapa pun. "Lain kali kalau mau kelayapan, balas pesanku!" Mahen membentak Rena yang baru saja menginjakkan kaki di rumah. Saat hendak masuk gedung, Rena menilik penampilannya yang buluk. Para karyawati dengan rapi memakan pakaian formal yang elegan. Sedangkan ia, ia hanya mengenakan celana hitam, kemeja biru gelap, dan sepasang sepatu lusuh. “Bagaimana ini? Aku takut.” Rena mencengkeram ujung bajunya sendiri. Langkahnya berjalan pelan dengan ketakutan yang mendarah daging. “Hei! Cari siapa?” Suaranya menggelegar, hingga Rena terlonjak kaget. “Sa-saya Rena, Pak. Mau antar ini,” sembari mengangkat map merah di tangan kanan. “Oh! Kau kurir?” tebak pria berkumis tebal dengan seragam satpam. Namanya Rob. Bibir Rena
“Tolong, lepaskan aku!” teriak Rena kesakitan. Telinga Mahen seakan tuli. Tangannya masih mencengkeram kuat dan menyeret Rena masuk ke dalam rumah. Isak tangis menggema. Lastri tergopoh-gopoh menghampiri. “Astagfirullah! Tuan, jangan sakiti Non Rena.” Tanpa sadar, Lastri pun ikut menangis. Cukup sudah kesakitan yang ia saksikan selama ini. Rena adalah wanita yang baik dan berhak bahagia. Mahen makin berang saat Lastri berusaha melepaskan cengkeramannya pada Rena. “Diam, Mbok!” bentaknya, membuat raut kekecewaan tercetak di gurat wajah tua Lastri. Rena terpaku, menatap Mahen tak percaya. Selama yang ia tahu, Mahen sangat menghormati Lastri bak ibu kandungnya sendiri. Lasti juga yang membantu mengurus Mahen sejak sekolah dasar. “Mahen! Kau tak berhak membentak Mbok Lastri!” protes Rena dengan berani di sisa tenaga yang ada meski suaranya hampir hilang. Mahen tetap menyeret Rena ke lantai dua. Rena pun tak tahu mengapa Mahen begitu semarah ini. Mahen membawa Rena masuk ke
Perlahan tapi pasti, Rena mengendarai motor biru bututnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Pikirannya sedang kacau balau. Mahen melukai harga dirinya tanpa sedikit pun rasa iba. Dua kali, dua kali ia dipaksa melayani Mahen dan pria itu berhasil menorehkan luka hati mendalam.“Aku ingin bercerai, tetapi dia malah menodaiku. Bagaimana jika aku hamil? Aku tak mau dimadu. Hiks!” Pil pencegah kehamilan yang diberikan Mahen ternyata tak mampu menenangkan kegundahan Rena.Rena tiba di kawasan taman yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Permen kapas warna-warni seolah menggodanya tuk mendekat.Meski hari kerja, pagi ini banyak muda-mudi berdatangan. Ada yang sekadar lari pagi, mencari jajanan, bahkan cuma duduk-duduk dan bersenda gurau.Rena memarkirkan motor, lalu berlari kecil ke arah lelaki penjual permen kapas.“Dek, beli permen kapasnya satu.” Rena memanggilnya seperti itu karena si penjual tampak masih remaja.“Mau beli yang warna apa, Kak? Merah muda, ungu, biru, atau yang pelang
“Tolong, lepaskan aku!” teriak Rena kesakitan. Telinga Mahen seakan tuli. Tangannya masih mencengkeram kuat dan menyeret Rena masuk ke dalam rumah. Isak tangis menggema. Lastri tergopoh-gopoh menghampiri. “Astagfirullah! Tuan, jangan sakiti Non Rena.” Tanpa sadar, Lastri pun ikut menangis. Cukup sudah kesakitan yang ia saksikan selama ini. Rena adalah wanita yang baik dan berhak bahagia. Mahen makin berang saat Lastri berusaha melepaskan cengkeramannya pada Rena. “Diam, Mbok!” bentaknya, membuat raut kekecewaan tercetak di gurat wajah tua Lastri. Rena terpaku, menatap Mahen tak percaya. Selama yang ia tahu, Mahen sangat menghormati Lastri bak ibu kandungnya sendiri. Lasti juga yang membantu mengurus Mahen sejak sekolah dasar. “Mahen! Kau tak berhak membentak Mbok Lastri!” protes Rena dengan berani di sisa tenaga yang ada meski suaranya hampir hilang. Mahen tetap menyeret Rena ke lantai dua. Rena pun tak tahu mengapa Mahen begitu semarah ini. Mahen membawa Rena masuk ke
Pagi ini, Rena telah berdiri di gedung milik Wira Group. Lastri memintanya tuk mengirim map merah milik Mahen yang tertinggal.Jujur, Rena sebenarnya tak mau melihat muka Mahen. Kemarin, Mahen memakinya karena tak memberi kabar. Soal pekerjaan baru, ia merahasiakan dari siapa pun. "Lain kali kalau mau kelayapan, balas pesanku!" Mahen membentak Rena yang baru saja menginjakkan kaki di rumah. Saat hendak masuk gedung, Rena menilik penampilannya yang buluk. Para karyawati dengan rapi memakan pakaian formal yang elegan. Sedangkan ia, ia hanya mengenakan celana hitam, kemeja biru gelap, dan sepasang sepatu lusuh. “Bagaimana ini? Aku takut.” Rena mencengkeram ujung bajunya sendiri. Langkahnya berjalan pelan dengan ketakutan yang mendarah daging. “Hei! Cari siapa?” Suaranya menggelegar, hingga Rena terlonjak kaget. “Sa-saya Rena, Pak. Mau antar ini,” sembari mengangkat map merah di tangan kanan. “Oh! Kau kurir?” tebak pria berkumis tebal dengan seragam satpam. Namanya Rob. Bibir Rena
“Astaga, Rilla! Kenapa kau tak bilang dari semalam kalau mau bolos?” Suara kepanikan sampai di telinga Rena yang tengah duduk di depan kedai yang masih tutup.Jam menunjukkan pukul setengah delapan dan Rena sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu dari rumah karena diusir sang mertua.Si miskin yang memuakkan, begitu kata-kata umpatan Ratna untuk Rena.Adanya Rena di depan kedai ini pun karena tak tahu harus pergi ke mana. Yang pasti, ia ingin mencari pekerjaan baru.Pria berambut kribo itu masih menggerutu. Percakapan di seberang sana tak sengaja terdengar di telinga Rena.“Siapa yang tahu kalau aku bakal kena diare? Dasar brokoli!”“Pft!” Spontan Rena menutup mulut karena menahan tawa.Pria yang masih memegang ponsel itu seketika mengakhiri panggilan, menoleh ke arah Rena dan melirik sebal.“Kau pikir ini lucu?” sindirnya.Rena yang sadar akan kesalahannya buru-buru menetralkan wajah. “Ma-maaf.”Tak ada sahutan. Si pria membuka pintu kedai. Mulutnya masih saja komat-kamit dengan r
“Egh ....”Seberkas sinar mengusik kedamaian. Tubuh kurus di bawah selimut menggeliat. Netra yang terpejam perlahan terbuka. Beberapa kali ia mengerjap untuk mengumpulkan kesadaran penuh.Pandangan pertama yang menyapa adalah kamar serba putih yang tak asing.“Kamar? Aku di kamar?”“Non Rena sudah bangun?”Rena menoleh ke sumber suara. Lastri, wanita paruh baya yang bekerja sebagai ART, menyibak beberapa gorden yang masih tertutup.Rena bangkit dari tidur dan terduduk. Sebuah handuk kecil terjatuh di pangkuan. Dapat ia rasakan di beberapa helai rambut sekitar kening tampak sedikit lembap.“Bagaimana bisa aku ada di sini, Mbok?” Tangan Rena sedikit memijit pangkal hidung. Badan terasa remuk dan lemas seolah semua tulang telah rontok satu persatu.“Semalam si bos yang bawa Non Rena pulang. Non Rena pingsan dan basah kuyup. Memangnya apa yang sebenarnya terjadi, Non?” Lastri mendekat, duduk di sisi ranjang. Hubungan mereka sudah dekat sekali. Lastri menganggap Rena seperti anak sendiri.
“Ceraikan aku!”Wajah Mahen masih dingin, seolah kalimat yang diutarakan Rena hanya angin lalu. Andai Mahen tahu, Rena mati-matian mengumpulkan nyali demi mengucapkannya.Pandangan menghunus Mahen bak ingin menelan Rena hidup-hidup. Selama satu tahun pernikahan, sifat dingin dan cuek suaminya membuat Rena layaknya seonggok sampah tak bernilai.“Kau dan Riani sudah kembali menjalin kasih, bukan?” Degup jantung hampir meledak di dalam sana. Manik Rena menatap takut Mahen yang masih datar.“Benar.”Merosot sudah bahu Rena. Benar kata Sekar, adik iparnya, jika cinta Mahen sudah habis untuk Riani. Kenyataan itu menyadarkan Rena akan posisi sesungguhnya.Rena hanya pengantin pengganti, bukan pelabuhan terakhir.Dirinya yang tak lain hanya penjual jajanan pasar langganan keluarga Wiratama, karena kaburnya sang pengantin wanita, diminta menjadi pengantin pengganti demi nama baik keluarga atas permintaan mendiang eyang Mahen, Aminah. Hati Rena merekah. Mahen yang amat menyayangi sang eyang, me