Beranda / Romansa / Cinta Terakhir / BAB 5 : Ternoda

Share

BAB 5 : Ternoda

Penulis: Ara Mira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-11 08:34:36

“Tolong, lepaskan aku!” teriak Rena kesakitan.

Telinga Mahen seakan tuli. Tangannya masih mencengkeram kuat dan menyeret Rena masuk ke dalam rumah.

Isak tangis menggema. Lastri tergopoh-gopoh menghampiri.

“Astagfirullah! Tuan, jangan sakiti Non Rena.” Tanpa sadar, Lastri pun ikut menangis. Cukup sudah kesakitan yang ia saksikan selama ini. Rena adalah wanita yang baik dan berhak bahagia.

Mahen makin berang saat Lastri berusaha melepaskan cengkeramannya pada Rena. “Diam, Mbok!” bentaknya, membuat raut kekecewaan tercetak di gurat wajah tua Lastri.

Rena terpaku, menatap Mahen tak percaya. Selama yang ia tahu, Mahen sangat menghormati Lastri bak ibu kandungnya sendiri. Lastri juga yang membantu mengurus Mahen sejak sekolah dasar.

“Mahen! Kau tak berhak membentak Mbok Lastri!” protes Rena dengan berani di sisa tenaga yang ada meski suaranya hampir hilang.

Mahen tetap menyeret Rena ke lantai dua. Rena pun tak tahu mengapa Mahen begitu semarah ini.

Mahen membawa Rena masuk ke kamarnya, lalu menutup pintu dengan kasar. Kamar bernuansa abu-abu itu seketika mencekam.

Dapat Rena lihat Mahen melepas jas dan melemparnya sembarangan. Lengan kemeja ia gulung, menampilkan tangan berotot yang kencang. Mahen melepaskan dasi, membuka tiga kancing teratas dari kemejanya.

Kemeja itu sama dengan kemeja kusut saat Mahen dan Riani bercumbu.

“Kau mau apa?” Rena terjatuh di atas ranjang dengan posisi terduduk. Mahen semakin mendekat ke arahnya.

Seringai pria itu tampak mengerikan. Matanya tak lepas dari Rena yang berubah pias.

Tangan besar Mahen mencengkeram wajah Rena kuat-kuat. “Dasar murahan! Beraninya kau berselingkuh di belakangku!” Semakin kuat pula cengkeramannya. Rena hanya bisa terisak.

Air muka Rena yang tak karuan membuat Mahen muak. Dilepasnya cengkeraman itu dengan kasar. Rena semakin menangis pilu.

“Apa kau sudah gatal? Aku peringatkan kau, Rena. Jangan mendekati pria lain sebelum kita bercerai!”

"Aku tidak ada hubungan dengan Panji."

"Namanya Panji?" Mahen meremehkan.

Dengan sedikit keberanian, Rena menjawab, “Ke-kenapa jika aku mendekatinya? Bukankah aku boleh melakukannya?” Rena berbohong.

Mahen semakin berang. “Aku tak mau semua orang tahu jika kau adalah menantu keluarga Wiratama. Apa kau yakin pria tadi baik?”

“Setelah bercerai, aku akan menikah lagi. Calon suamiku pasti akan tahu jika aku mantan istrimu.”

“Kau harus bisa membuat dia tutup mulut. Bagaimana pun caranya.”

"Mustahil!"

"Aku tak ingin setelah menikah dengan Riani, kau membawa-bawa status sebagai mantan istriku demi kepentinganmu. Kau harus tutup mulut. Jika tidak, kau akan menyesal berurusan denganku," ancam Mahen.

“Kau egois, Mahen! Manusia egois sepertimu tak akan bisa menemukan cinta yang tulus!” Kalimat nyalang Rena membuat Mahen murka.

Mahen mengunci pergerakan Rena yang kini terlentang. “Rencana perceraian ternyata membuatmu semakin berani. Di mana mata penuh cinta yang selalu kau tunjukkan padaku?" Mahen tertawa melihat Rena yang sudah kewalahan menghalaunya. “Kau sudah gatal, bukan? Aku akan memberi apa yang kau inginkan dariku.”

Rena menggelepar saat Mahen mulai membuka kancing kemejanya. Teriak kesakitan Rena tak mampu membuat Mahen sadar.

"Hentikan! Tolong!"

"Percuma! Tak ada yang bisa mendengarmu."

Mahen menjelma bak iblis. Rena sama sekali tak mengenalnya.

Mata Rena terpejam pasrah. Ia hanya bisa terisak saat Mahen meminta haknya sebagai suami tuk kedua kalinya. Penuh paksaan dan kesakitan.

Entah sudah berapa jam, Mahen akhirnya menghentikan permainan dengan senyum puas. Tak peduli dengan Rena yang meringis kesakitan.

“Minum ini. Cepat!” Mahen menyodorkan pil pencegah kehamilan, memaksa Rena tuk meminumnya.

Saat pil itu sudah Rena telan, Mahen tersenyum meremehkan.

"Apa dia kaya?"

Rena tak paham. "Maksudmu?"

"Dia, si Panji. Apa dia kaya raya? Bukankah kau selalu ingin menikahi pria kaya untuk menaikkan status sosial dan memanfaatkan uangnya?" Mahen terkekeh, lalu memejamkan mata. Keringat membuat kulit sawonya tampak mengkilap

Tangan Rena mencengkeram selimut yang membalut tubuh. "Apa kau memandangku serendah itu?" ujarnya pelan.

Dengan tertatih, Rena yang sudah berpakaian lengkap mulai berjalan keluar kamar Mahen. Ia masuk ke kamarnya sendiri, tak lupa mengunci pintu. Tubuhnya merosot di lantai. Rena menangis tergugu.

“Aaaaaaa!” Rena memukul-mukul tubuhnya sendiri. Ia merasa kotor. Mahen melakukannya seolah-olah Rena adalah wanita bayaran.

Tubuh lemah itu merangkak menuju kasur. Di bawah selimut tebal, ia memeluk diri sendiri. Mata yang biasa berbinar indah kini menyorotkan kekosongan. Lama Rena termenung, hingga akhirnya kantuk mengalahkannya.

~~~~~~

"Ke mana si upik abu? Sudah jam segini masih saja tidur." Sekar memutar bola mata malas.

Lastri yang baru saja menuangkan susu di gelas milik Mahen hanya terdiam, tak berani mengungkapkan yang sebenarnya.

"Ma, ini ayam bakarnya enak. Aku buat sendiri, lho!" Riani mengambil ayam bakar dan meletakkan di piring Ratna.

Wanita bersanggul itu menerima dengan senang hati. "Kau memang menantu idamanku, Riani. Mama berharap kau cepat menikah dengan Mahen supaya bisa memasakkan makanan enak-enak buat Mama."

Riani menimpali dengan tawa renyah. "Tentu, dong, Ma!"

Mahen masih terdiam sembari mengunyah makanan dengan tenang. Pikirannya kembali ke kejadian kemarin. Ia merasa terlalu berlebihan dan kelewat batas. Untung saja kesadarannya kembali, sehingga ia memberi pil pencegah kehamilan kepada Rena. Jika Rena sampai hamil, hancur sudah rencana yang ia bangun selama ini.

"Wah, si upik abu mau ke mana, nih?"

Mahen melirik Rena yang sudah rapi. Wanita itu memakai baju turtle neck abu-abu di musim kemarau yang pastinya membuat badan gerah. Namun, Mahen tentu tahu alasan Rena rela menggunakan baju itu.

"Non Rena sakit?" tanya Lastri yang mendapat tatapan sinis Ratna.

Rena mengangguk lemah. "Aku cuma sedikit demam saja, Mbok. Sudah minum obat, kok." Kalimat penenang tampaknya tak membuat Lastri lega. Gurat kecemasan masih sangat kentara.

Mahen hanya menyimak, sesekali mencuri pandang ke arah Rena.

"Selain mandul, dia itu penyakitan," sindir Ratna menohok.

Rena berusaha menahan tangis. Tenggorokannya sudah tercekat. Tenggelam ke dalam muka bumi mungkin akan menjadi pilihan terbaik.

"Aku pergi dulu." Tanpa menoleh lagi, Rena bergegas meninggalkan kediaman Mahendra Wiratama.

Entah mengapa Mahen merasa suasana hatinya memburuk. Tanpa sadar, ia menaruh sendok dan garpu dengan kasar, membuat suara gaduh yang memekikkan telinga.

"Mahen! Ada apa?" Ratna memekik kaget.

"Aku berangkat ke kantor dulu." Mahen mengambil tasnya buru-buru.

"Lho, kenapa buru-buru, sih? Ini masih pagi, Mahen. Riani sudah masak banyak makanan untuk kita sarapan," protes Ratna tak terima.

"Maaf, Ma. Ada berkas yang harus cepat aku urus. Aku pergi dulu." Mahen berlalu tanpa mendengar panggilan Ratna yang menggelegar. Bahkan, ia sama sekali tak memandang Riani sebelum pergi.

Bab terkait

  • Cinta Terakhir   BAB 6 : Tak bisakah kau mencintaiku?

    Perlahan tapi pasti, Rena mengendarai motor biru bututnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Pikirannya sedang kacau balau. Mahen melukai harga dirinya tanpa sedikit pun rasa iba. Dua kali, dua kali ia dipaksa melayani Mahen dan pria itu berhasil menorehkan luka hati mendalam. “Aku ingin bercerai, tetapi dia malah menodaiku. Bagaimana jika aku hamil? Aku tak mau dimadu. Hiks!” Pil pencegah kehamilan yang diberikan Mahen ternyata tak mampu menenangkan kegundahan Rena. Rena tiba di kawasan taman yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Permen kapas warna-warni seolah menggodanya tuk mendekat. Meski hari kerja, pagi ini banyak muda-mudi berdatangan. Ada yang sekadar lari pagi, mencari jajanan, bahkan cuma duduk-duduk dan bersenda gurau. Rena memarkirkan motor, lalu berlari kecil ke arah lelaki penjual permen kapas. “Dek, beli permen kapasnya satu.” Rena memanggilnya seperti itu karena si penjual tampak masih remaja. “Mau beli yang warna apa, Kak? Merah muda, ungu, biru,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19
  • Cinta Terakhir   BAB 7 : Antara Mahen dan Riani

    Dua hari berlalu begitu cepat. Permintaan satu bulan menjadi suami istri sungguhan ditolak Mahen mentah-mentah. Sejujurnya, Rena memiliki harapan dari satu bulan itu. Harapan yang paling diinginkan adalah Mahen jatuh cinta padanya setelah sebulan penuh diberi ruang untuk saling melengkapi. Atau harapan yang lebih realistis, Rena kalah dan hanya bisa membawa kenangan indah di antara mereka berdua. "Rumah tanggaku memang tak ada harapan lagi sejak lama," gumamnya. Sia-sia ia manahan hati selama ini. Sekarang Rena kembali berdiri di sini. Pandangannya mengarah pada nama yang tertera di atas bangunan vintage di hadapannya. Kedai Starlight. Dari pintu kaca, maniknya menangkap Onky yang sigap menyiapkan alat-alat untuk meracik kopi dengan mulutnya yang komat-kamit. Bersenandung sembari bekerja adalah kebiasaannya. Baru saja akan melangkah masuk, tepukan di bahu membuat wanita manis itu menoleh. Matanya yang bulat begitu indah kala membola. “Noe?” “Sendirian, Ren?” Rena

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-26
  • Cinta Terakhir   BAB 8 : Jahilnya Sang Sepupu

    “Rena?” Pelukan hangat menyergap Rena tiba-tiba. Tubuhnya menggoyang ke kanan dan kiri, menandakan sebahagia apa wanita itu bertemu dengannya. Pelukan mereka terlerai. “Lama enggak ketemu, Ren. Gimana kabarmu? Oh iya, sekarang aku sudah bisa masak, lho!” pamernya. Senyum Rena kikuk. Ia merasa tak begitu dekat dengan Prisa, tetapi wanita tersebut malah sebaliknya. Memang beberapa kali pertemuan mereka terjadi di awal Rena menjadi istri Mahen karena status Prisa adalah pacar Noe. Prisa juga sering menanyakan perihal cara memasak dari Rena yang ia tanggapi ala kadarnya. “Kabarku baik. Jadi, Kakak sudah bisa membedakan garam dan gula halus?” Prisa malah tertawa mengingat kebodohannya di masa lalu. “Sa, kau sudah coba gaun dan kebayanya?” Noe yang baru masuk butik menyela. “Belum, Noe. Aku baru sampai karena habis rapat. Kita enggak punya waktu banyak. Setelah ini, kita harus segera coba tester makanan untuk resepsi.” “Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo, kita coba pakaian pe

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Cinta Terakhir   BAB 9 : Cemburu

    “Uhuk!” “Astaga, Mahen!” Riani menyodorkan segelas air putih pada kekasihnya. Seperti kesetanan, Mahen menenggak air hingga tandas. Rasa pedas masih tertinggal di sana. “Ada apa, sih? Masalah di kantor?” Riani menatap curiga ke arah ponsel yang tergeletak di meja makan. Mahen tersedak setelah menerima pesan dari ponselnya. “Ekhm! Hmm ... enggak apa-apa. Makanan ini sedikit pedas. Kau tahu bukan jika aku tak bisa memakannya?” Tangan pria itu mendorong pelan piring berisi ayam pedas daun jeruk di depannya. “Padahal, aku sudah meminta mereka tuk membuatnya tak terlalu pedas. Ini salah satu menu andalan di sini. Kalau begitu, pesan yang lain saja, ya?” Riani mengangkat tangan kanannya dengan anggun hingga seorang karyawan restoran menghampiri. Pilihan jatuh pada makanan favorit Mahen, nasi dan ayam bakar. Setelah menunggu beberapa waktu, pesanan pun tiba. Mahen mulai makan perlahan. Namun, pikirannya tak henti-hentinya memaki Noe. “Lihatlah pria ini! Ia siap menggantikanm

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • Cinta Terakhir   BAB 10 : Mahen Berbeda

    “Tapi, aku tak bisa melakukannya.” Rena menggigit kuku ibu jari kanannya. Ragu menuruti rencana dua sejoli di seberang sana. “Lakukan saja apa yang kami rencanakan. Dijamin tokcer!” Tawa keduanya justru membuat Rena menggaruk rambut tak gatal. “Baik, Kak. Akan kucoba. Sampai jumpa lagi, Kak!” Rena melempar ponselnya di atas kasur hingga memantul. Tubuhnya lengket dan bau asam. Berendam pilihan yang menyenangkan. Surai yang tergerai dicepol asal-asalan. Segera tangan putihnya melepas kancing kemeja satu persatu. Setelah terlepas semua, ia mulai menurunkannya. BRUG! “Hah?!” Spontan kemeja yang sudah menggantung di lengan tertarik kembali. Mahen berdiri di ambang pintu. Tas kerja yang biasa ditentengnya terjatuh di lantai. Keduanya sejenak melempar pandangan satu sama lain. “A-ada apa?” Rena merasa tak nyaman. “Ekhm!” Dengan susah payah Mahen menelan saliva. Tangan Rena kian mengeratkan kemeja yang membalut tubuh. Bayangan Mahen memaksanya malam itu kembali berputar,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Cinta Terakhir   BAB 11 : Cincin Pernikahan

    “Bukankah suamimu seorang CEO? Kenapa memilih bekerja di tempat kecil ini?” Panji meletakkan secangkir cokelat hangat untuk Rena. Aroma pekat cokelat menggelitik indra penciuman. Harumnya menenangkan, membuat Rena tak tahan tuk menyeruputnya. “Bagaimana? Enak?” Rena mengangguk, meletakkan cangkirnya di atas meja. Keduanya duduk di bangku Kedai Starlight. Posisi mereka yang bersebelahan dengan jendela membuat lalu lalang kendaraan dan manusia sebagai hiburan. “Kau belum menjawabku, Fira. Kenapa ingin bekerja di sini?” Panji menatap intens wanita yang ia suka. Rena menelan ludah. Tak mungkin ia menjelaskan semuanya pada Panji. “Aku hanya bosan di rumah. Ijazahku cuma SMA. Dapat bekerja di sini sudah membuatku bahagia.” “Tapi, gaji di kedaiku kecil. Kau pasti mendapat uang jutaan dari suamimu setiap bulan, bukan? Kurasa gaji di sini tak ada apa-apanya.” Pria itu bersedekap, mencari sesuatu yang janggal dalam sorot mata Rena. “Eh ... aku bosan di rumah. Dari kecil sudah terb

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Cinta Terakhir   BAB 12 : Mati Lampu

    Mahen menatap istri lugunya yang berjalan dengan kebisuan saat memasuki rumah. Sejujurnya, ia tahu jika manik bulat yang biasa tersorot binar cinta untuknya kini berembun. Hidung mungil yang kembang-kempis tentu menandakan jika Rena menahan tangis. Siapa yang tak sedih jika ada di posisi Rena? Ia dipaksa mencarikan cincin pernikahan suami yang dicintainya dengan wanita lain. “Selamat malam Tuan Mahen, Non Rena! Lho, Non Rena kenapa? Hidungnya kok memerah? Matanya juga berair.” Lastri begitu khawatir. Tangan Rena mengusap hidungnya perlahan. “Aku sedikit flu, Mbok," bohongnya. "Hmm ... aku ke kamar dulu, ya, Mbok.” “Iya, Non. Jangan mandi dulu, Non! Ini sudah malam soalnya.” Nasihat Lastri dibalas anggukkan oleh Rena. Sesampainya di kamar, Rena tak tahan dan menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya terduduk di ranjang sembari menangkup wajah dengan kedua telapak tangan. “Ke-kenapa dia jahat sekali?” Rena makin sesenggukan. “Kalau ... kalau memang dia membenciku, ke-kenapa haru

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Cinta Terakhir   BAB 13 : Keputusanku Melepasmu

    “Sayang, aku pasti akan merindukanmu.” Riani menyentuh wajah Mahen dengan lembut. Pria ini, pria yang membawa hidupnya menjadi lebih terarah. Andai tak mengenal Mahen, ia mungkin tetap menjadi cleaning service di hotel dan serba kekurangan. Sebagai anak yang besar di panti asuhan, hidup keras adalah sahabatnya. Ia tak mau mengulangi masa-masa kelam yang sangat dibencinya. “Kenapa kau sangat berambisi dalam karier, Riani? Saat menjadi istriku, kau akan mendapat semuanya.” Mahen menatap lekat-lekat wanita yang mendiami hatinya sejak lama. Entah mengapa mereka dekat, tetapi seolah jauh tuk saling menggapai. “Kau memang akan memenuhi semua yang aku mau. Namun, aku juga ingin berdiri di atas kakiku sendiri. Aku tak mau saat menjadi istrimu, orang-orang akan menghinaku, mencela latar belakangku yang berasal dari panti asuhan. Bagaimana pun juga, status kita berasal dari kasta berbeda.” Bukan tanpa alasan Riani tinggal di panti asuhan. Kedua orang tuanya wafat karena kecelakaan saat pul

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10

Bab terbaru

  • Cinta Terakhir   BAB 16 : Posesif

    Aini yang terduduk di kursi roda mengobati wajah sang putra semata wayang dengan kekhawatiran. Rilla merasa bersalah karena idenya mengubah penampilan Rena menjadi spektakuler, justru merusak momen bahagia pernikahan orang lain. Onky sedari tadi memarahinya, membuat rasa bersalah kian mengakar. “Kak Noe, Kak Prisa, maafkan aku. Akulah yang mendandani Rena. Aku tak tahu akan begini jadinya. Rencanaku hanya ingin membuat suaminya menyesal telah menyia-nyiakan wanita semanis dia.” Rilla menunduk dengan rasa bersalah. Bukannya marah, Noe malah terkekeh bersama Prisa, tentu membuat Rilla keheranan. “Justru itu yang kami harapkan, Rill. Dengan kejadian tadi, semua yang hadir jadi semakin tahu istri CEO Wiratama Group. Rena tak akan dipandang sebelah mata lagi.” Ucapan Noe ditimpali anggukan antusias Prisa. Rilla meringis canggung. Padahal, ia sudah menyiapkan diri jika hendak dimaki. “Apa yang kau lakukan, Panji? Ada hubungan apa antara kau dan istrinya Mahendra?” Prabu sebisa mun

  • Cinta Terakhir   BAB 15 : Kericuhan

    Hiruk piruk manusia memenuhi sebuah pasar yang terkenal menjajakan pakaian modis dengan harga terjangkau. Riuh para pembeli dan pedagang saling beradu, tetapi ketiga manusia itu masih saja betah di sana selama tiga jam. “Para wanita memang menjengkelkan!” geram Onky yang sudah kewalahan. “Idih! Baru begini saja sudah mengeluh,” sindir Rilla. Rena masih sibuk mencari apa yang akan ia gunakan besok pagi tuk menghadiri pernikahan Noe dan Prisa. Rilla sebenarnya sudah mendapatkan apa yang ia mau, tetapi jiwa wanitanya meronta-ronta tuk membeli banyak baju gaul. Lihatlah si Onky! Wajahnya cemberut dengan tangannya membawa banyak belanjaan baju milik Rilla. Padahal, miliknya hanya satu papper bag saja. Hari ini, Panji membiarkan kedainya buka hanya sampai siang hari dan libur keesokan harinya. Ia meminta para pegawainya besok pagi menghadiri pernikahan sang kakak. “Ren, kau mau pilih yang mana?” Rena menggeleng, tersenyum kecut. Perihal fashion, ia memang payah. “Ish! Padaha

  • Cinta Terakhir   BAB 14 : Bukan Rena Yang Dulu

    “Kak, browniesnya enak banget. Dari dulu memang enak, tapi yang ini enaknya berkali lipat. Aku jadi beli lagi buat orang di rumah.” “Wah, syukurlah kalau Kakak suka! Kami senang sekali,” ujar Rilla amat riang. Gadis berseragam putih abu-abu itu tersenyum manis. Pipinya yang gembul semakin menggemaskan. “Kalau begitu, aku permisi dulu, Kak. Terima kasih!” “Sama-sama, Kak. Terima kasih sudah menikmati hari di Kedai Starlight! Kami tunggu kedatangannya kembali!” Gadis SMA tersebut akhirnya pergi meninggalkan kedai langganannya dengan semangat. Terlihat ia tak sabar membawa brownies miliknya tuk di bawa pulang. “Kau dengar, Ren? Sejak tadi pagi, banyak pelanggan yang memuji kue dan donat buatanmu. Tanganmu ini sungguh ajaib.” Rilla mengangkat kedua tangan Rena dengan tawa. Gelak tawa lucu Rilla yang renyah menular pada Rena. “Syukurlah kalau banyak yang suka.” Keduanya saat ini menjaga kedai dan merangkap sebagai kasir karena Onky dan Panji sedang melaksanakan salat Ju

  • Cinta Terakhir   BAB 13 : Keputusanku Melepasmu

    “Sayang, aku pasti akan merindukanmu.” Riani menyentuh wajah Mahen dengan lembut. Pria ini, pria yang membawa hidupnya menjadi lebih terarah. Andai tak mengenal Mahen, ia mungkin tetap menjadi cleaning service di hotel dan serba kekurangan. Sebagai anak yang besar di panti asuhan, hidup keras adalah sahabatnya. Ia tak mau mengulangi masa-masa kelam yang sangat dibencinya. “Kenapa kau sangat berambisi dalam karier, Riani? Saat menjadi istriku, kau akan mendapat semuanya.” Mahen menatap lekat-lekat wanita yang mendiami hatinya sejak lama. Entah mengapa mereka dekat, tetapi seolah jauh tuk saling menggapai. “Kau memang akan memenuhi semua yang aku mau. Namun, aku juga ingin berdiri di atas kakiku sendiri. Aku tak mau saat menjadi istrimu, orang-orang akan menghinaku, mencela latar belakangku yang berasal dari panti asuhan. Bagaimana pun juga, status kita berasal dari kasta berbeda.” Bukan tanpa alasan Riani tinggal di panti asuhan. Kedua orang tuanya wafat karena kecelakaan saat pul

  • Cinta Terakhir   BAB 12 : Mati Lampu

    Mahen menatap istri lugunya yang berjalan dengan kebisuan saat memasuki rumah. Sejujurnya, ia tahu jika manik bulat yang biasa tersorot binar cinta untuknya kini berembun. Hidung mungil yang kembang-kempis tentu menandakan jika Rena menahan tangis. Siapa yang tak sedih jika ada di posisi Rena? Ia dipaksa mencarikan cincin pernikahan suami yang dicintainya dengan wanita lain. “Selamat malam Tuan Mahen, Non Rena! Lho, Non Rena kenapa? Hidungnya kok memerah? Matanya juga berair.” Lastri begitu khawatir. Tangan Rena mengusap hidungnya perlahan. “Aku sedikit flu, Mbok," bohongnya. "Hmm ... aku ke kamar dulu, ya, Mbok.” “Iya, Non. Jangan mandi dulu, Non! Ini sudah malam soalnya.” Nasihat Lastri dibalas anggukkan oleh Rena. Sesampainya di kamar, Rena tak tahan dan menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya terduduk di ranjang sembari menangkup wajah dengan kedua telapak tangan. “Ke-kenapa dia jahat sekali?” Rena makin sesenggukan. “Kalau ... kalau memang dia membenciku, ke-kenapa haru

  • Cinta Terakhir   BAB 11 : Cincin Pernikahan

    “Bukankah suamimu seorang CEO? Kenapa memilih bekerja di tempat kecil ini?” Panji meletakkan secangkir cokelat hangat untuk Rena. Aroma pekat cokelat menggelitik indra penciuman. Harumnya menenangkan, membuat Rena tak tahan tuk menyeruputnya. “Bagaimana? Enak?” Rena mengangguk, meletakkan cangkirnya di atas meja. Keduanya duduk di bangku Kedai Starlight. Posisi mereka yang bersebelahan dengan jendela membuat lalu lalang kendaraan dan manusia sebagai hiburan. “Kau belum menjawabku, Fira. Kenapa ingin bekerja di sini?” Panji menatap intens wanita yang ia suka. Rena menelan ludah. Tak mungkin ia menjelaskan semuanya pada Panji. “Aku hanya bosan di rumah. Ijazahku cuma SMA. Dapat bekerja di sini sudah membuatku bahagia.” “Tapi, gaji di kedaiku kecil. Kau pasti mendapat uang jutaan dari suamimu setiap bulan, bukan? Kurasa gaji di sini tak ada apa-apanya.” Pria itu bersedekap, mencari sesuatu yang janggal dalam sorot mata Rena. “Eh ... aku bosan di rumah. Dari kecil sudah terb

  • Cinta Terakhir   BAB 10 : Mahen Berbeda

    “Tapi, aku tak bisa melakukannya.” Rena menggigit kuku ibu jari kanannya. Ragu menuruti rencana dua sejoli di seberang sana. “Lakukan saja apa yang kami rencanakan. Dijamin tokcer!” Tawa keduanya justru membuat Rena menggaruk rambut tak gatal. “Baik, Kak. Akan kucoba. Sampai jumpa lagi, Kak!” Rena melempar ponselnya di atas kasur hingga memantul. Tubuhnya lengket dan bau asam. Berendam pilihan yang menyenangkan. Surai yang tergerai dicepol asal-asalan. Segera tangan putihnya melepas kancing kemeja satu persatu. Setelah terlepas semua, ia mulai menurunkannya. BRUG! “Hah?!” Spontan kemeja yang sudah menggantung di lengan tertarik kembali. Mahen berdiri di ambang pintu. Tas kerja yang biasa ditentengnya terjatuh di lantai. Keduanya sejenak melempar pandangan satu sama lain. “A-ada apa?” Rena merasa tak nyaman. “Ekhm!” Dengan susah payah Mahen menelan saliva. Tangan Rena kian mengeratkan kemeja yang membalut tubuh. Bayangan Mahen memaksanya malam itu kembali berputar,

  • Cinta Terakhir   BAB 9 : Cemburu

    “Uhuk!” “Astaga, Mahen!” Riani menyodorkan segelas air putih pada kekasihnya. Seperti kesetanan, Mahen menenggak air hingga tandas. Rasa pedas masih tertinggal di sana. “Ada apa, sih? Masalah di kantor?” Riani menatap curiga ke arah ponsel yang tergeletak di meja makan. Mahen tersedak setelah menerima pesan dari ponselnya. “Ekhm! Hmm ... enggak apa-apa. Makanan ini sedikit pedas. Kau tahu bukan jika aku tak bisa memakannya?” Tangan pria itu mendorong pelan piring berisi ayam pedas daun jeruk di depannya. “Padahal, aku sudah meminta mereka tuk membuatnya tak terlalu pedas. Ini salah satu menu andalan di sini. Kalau begitu, pesan yang lain saja, ya?” Riani mengangkat tangan kanannya dengan anggun hingga seorang karyawan restoran menghampiri. Pilihan jatuh pada makanan favorit Mahen, nasi dan ayam bakar. Setelah menunggu beberapa waktu, pesanan pun tiba. Mahen mulai makan perlahan. Namun, pikirannya tak henti-hentinya memaki Noe. “Lihatlah pria ini! Ia siap menggantikanm

  • Cinta Terakhir   BAB 8 : Jahilnya Sang Sepupu

    “Rena?” Pelukan hangat menyergap Rena tiba-tiba. Tubuhnya menggoyang ke kanan dan kiri, menandakan sebahagia apa wanita itu bertemu dengannya. Pelukan mereka terlerai. “Lama enggak ketemu, Ren. Gimana kabarmu? Oh iya, sekarang aku sudah bisa masak, lho!” pamernya. Senyum Rena kikuk. Ia merasa tak begitu dekat dengan Prisa, tetapi wanita tersebut malah sebaliknya. Memang beberapa kali pertemuan mereka terjadi di awal Rena menjadi istri Mahen karena status Prisa adalah pacar Noe. Prisa juga sering menanyakan perihal cara memasak dari Rena yang ia tanggapi ala kadarnya. “Kabarku baik. Jadi, Kakak sudah bisa membedakan garam dan gula halus?” Prisa malah tertawa mengingat kebodohannya di masa lalu. “Sa, kau sudah coba gaun dan kebayanya?” Noe yang baru masuk butik menyela. “Belum, Noe. Aku baru sampai karena habis rapat. Kita enggak punya waktu banyak. Setelah ini, kita harus segera coba tester makanan untuk resepsi.” “Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo, kita coba pakaian pe

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status