“Astaga, Rilla! Kenapa kau tak bilang dari semalam kalau mau bolos?” Suara kepanikan sampai di telinga Rena yang tengah duduk di depan kedai yang masih tutup.
Jam menunjukkan pukul setengah delapan dan Rena sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu dari rumah karena diusir sang mertua. Si miskin yang memuakkan, begitu kata-kata umpatan Ratna untuk Rena. Adanya Rena di depan kedai ini pun karena tak tahu harus pergi ke mana. Yang pasti, ia ingin mencari pekerjaan baru. Pria berambut kribo itu masih menggerutu. Percakapan di seberang sana tak sengaja terdengar di telinga Rena. “Siapa yang tahu kalau aku bakal kena diare? Dasar brokoli!” “Pft!” Spontan Rena menutup mulut karena menahan tawa. Pria yang masih memegang ponsel itu seketika mengakhiri panggilan, menoleh ke arah Rena dan melirik sebal. “Kau pikir ini lucu?” sindirnya. Rena yang sadar akan kesalahannya buru-buru menetralkan wajah. “Ma-maaf.” Tak ada sahutan. Si pria membuka pintu kedai. Mulutnya masih saja komat-kamit dengan raut wajah masam. “Sialan! Kalau Rilla libur, siapa yang akan membuat roti? Nely kan sedang cuti pulang kampung.” Refleks Rena menoleh mendengar kalimat itu. Bola matanya berbinar. Ia berdiri dengan antusias. “Kau butuh orang untuk membuat roti?” Si pria menoleh. Ia merasa wanita di hadapannya cukup mengganggu. “Iya. Kenapa? Kau mau menggantikan mereka?” Rena mengangguk. “Aku biasa membuat dan menjual jajanan pasar. Onde-onde, nagasari, kue talam, dan masih banyak lagi.” Rena berbicara meyakinkan. “Kedai kami tak menjual itu semua. Kami butuh orang yang bisa bikin aneka roti dan donat.” “Aku bisa membuatnya.” Masih dapat Rena lihat keraguan pada mata pria di hadapannya. “Aku siap bekerja hari ini jika kau mau.” “Kau hanya sebagai pengganti di hari ini. Besok, kau tak akan digunakan lagi.” Raut cerah Rena seakan meredup. Namun, tak ada salahnya mencoba. Mungkin dengan memberikan yang terbaik, ia bisa diangkat menjadi karyawan tetap. “Tak masalah.” Rena berbicara mantap. Pria itu melirik wanita di hadapannya dari ujung kepala hingga kaki, tampak sedikit meremehkan. Tampilannya sangat biasa saja. Bahkan, wajahnya pun amat kusam. Merawat diri sendiri saja tak becus, apalagi jika bekerja. Namun, tak ada pilihan lain selain memberinya kesempatan. “Baiklah. Ayo, kita masuk!” Ia mengajak Rena tuk segera masuk dan siap bekerja. ~~~~~~ Mahen berjalan memasuki rumah dengan kepala berdenyut nyeri. Hari masih siang, tetapi ia memutuskan pulang ke rumah karena tak enak badan. Padahal, makanan sehat dan vitamin tak pernah ia lewatkan karena Rena yang selalu menyiapkannya Saat sampai di ruang tamu, yang ia lihat adalah sang mama, adik, dan kekasihnya, Riani. “Hen, kamu kok sudah pulang?” Ratna heran menatap putranya yang tampak pucat. Riani menoleh. Wanita berparas cantik dengan rambut panjang coklat itu tersenyum manis melihat sang pujaan hati yang tak lain calon suaminya. Riani berdiri, menghampiri Mahen yang tampaknya tak baik-baik saja. “Kau sakit, Mahen?” Tangan putihnya terulur, menyentuh kening Mahen dengan lembut. “Kau demam,” ucap Riani khawatir. Mahen tersenyum tipis. “Makanya aku pulang lebih awal.” “Buatkan bubur kacang hijau dengan sedikit ketan hitam, Kak. Nanti juga Kak Mahen sembuh.” Sekar menyahut. Riani mengusap bahu Mahen lembut. “Kau istirahat di kamar saja. Biar aku buatkan bubur kesukaanmu dulu,” ujarnya yang ditimpali anggukan Mahen. Langkah Riani berjalan menuju dapur diikuti oleh Ratna. Sedangkan Sekar masih sibuk menonton drama Korea dari televisi. Mahen memutuskan pergi ke kamar dengan niat membersihkan diri supaya segar kembali. Banyaknya pekerjaan di kantor mungkin penyebab badannya drop. Setelah setengah jam berlalu, Mahen keluar dari kamar. Entah dorongan dari mana, ia malah membuka pintu kamar sang istri yang terletak tepat di samping kamarnya. Kosong. Tak ada tanda-tanda Rena di dalam kamar. “Ke mana wanita itu?” Mahen celingak-celinguk. Di kamar mandi pun nihil. Tak pikir panjang, Mahen menelepon Rena, tetapi berulang kali tak ada jawaban. “Apa dia kabur karena masalah perceraian?” tebak Mahen. Pasalnya, Rena akan selalu meminta izin darinya walau hanya pergi ke warung membeli sesuatu. Mahen berdecap. Untuk apa ia memikirkan Rena? Paling juga tak ada beberapa jam wanita itu akan kembali ke rumah. Tak ada gunanya mencemaskan hal-hal yang tidak berguna. Namun, hingga sore pun Rena belum juga menunjukkan batang hidungnya. Tak ada kabar yang Mahen terima, membuat pikirannya sedikit kacau. “Sebenarnya dia itu pergi ke mana?” Dilemparnya ponsel ke tempat tidur. Bahkan, saat mamanya, Riani, dan Sekar pulang pun sama sekali Rena tak membaca pesan yang ia kirim. Dengan kesal, Mahen menyambar kunci mobil di nakas. Jangan sampai Rena berniat mengakhiri hidup lagi. Bagaimana pun juga, nama baiknya akan tercemar jika hal itu terjadi. ~~~~~~ “Dasar kutu kupret! Ke mana, sih, si Panji? Sudah pukul tiga sore lebih tapi belum datang juga.” Rena yang sedang membuat adonan donat entah yang ke berapa kali menoleh ke arah Onky, si lelaki tampan berambut kribo. Untung saja lelaki itu mengumpat di dapur, sehingga para pengunjung tak bisa mendengarnya. “Panji itu siapa? Apa dia juga barista di sini?” tanya Rena. “Dia pemilik kedai ini.” “Apa?!” Mulut Rena menganga. Bagaimana bisa Onky mengumpat kasar atasannya seperti itu? “Tutup mulutmu, Ren! Nanti ada lalat yang masuk.” Rena seketika melakukan apa yang Onky suruh. “Aku dan Panji sahabat sejak kecil. Saling mengumpat adalah ungkapan sayang di antara kami.” Rena tersenyum kecut. Mungkin seperti itu persahabatan para lelaki. Pasalnya, ia dan Rose tak pernah saling mengumpat kata kasar satu sama lain. Hmm ... Rena tiba-tiba merindukan Rose. “Ren, kau pulang saja. Sudah saatnya jam kerjamu habis.” Rena menatap Onky. “Kau akan sendirian, Kak. Aku tidak masalah di sini sampai atasan kita datang.” “Dia sudah hampir sampai. Kau pulang saja.” “Hmm ... baiklah.” Rena bergegas mencuci tangan dan Onky kembali ke depan melayani para pembeli yang memesan kopi. Pengunjung tak terlalu ramai saat Rena berpamitan pulang pada Onky. Setidaknya hal itu membuat ia lega. Rena berjalan ke arah motor bututnya sembari merogoh tas bahu tuk mencari kunci motor. “Kuncinya di mana, ya?” gumamnya karena tak kunjung menemukan apa yang dicari. Karena tak fokus dengan jalan di depannya, tubuh Rena menabrak sesuatu hingga menyebabkannya terhuyung ke belakang. Ia hampir saja terjatuh jika tak ada sepasang tangan menahan pinggangnya. Mata bulat Rena membola terkejut. Sedangkan lelaki yang masih menahan pinggangnya terdiam menatap tanpa bicara. “Kau ... baik-baik saja?” Suara baritonnya membuat Rena terkesiap. Rena mengangguk pelan dalam diam. Sadar akan posisi mereka, dengan kasar ia menampik tangan si pria. “Oh, maaf! Maaf jika aku lancang.” Si pria menggaruk kepala tak gatal. Rena bertingkah kikuk. “Terima kasih sudah menolongku. Permisi!” pamitnya tanpa menatap pria yang telah menolong. Rena mengangkat kepala dan hendak melangkahkan kaki. Namun, sepasang mata dari jarak beberapa meter menyipit ke arahnya. Pandangan mereka saling bertemu hingga Rena memutus kontak mata dan pergi menghampiri motornya.Pagi ini, Rena telah berdiri di gedung milik Wira Group. Lastri memintanya tuk mengirim map merah milik Mahen yang tertinggal.Jujur, Rena sebenarnya tak mau melihat muka Mahen. Kemarin, Mahen memakinya karena tak memberi kabar. Soal pekerjaan baru, ia merahasiakan dari siapa pun. "Lain kali kalau mau kelayapan, balas pesanku!" Mahen membentak Rena yang baru saja menginjakkan kaki di rumah. Saat hendak masuk gedung, Rena menilik penampilannya yang buluk. Para karyawati dengan rapi memakan pakaian formal yang elegan. Sedangkan ia, ia hanya mengenakan celana hitam, kemeja biru gelap, dan sepasang sepatu lusuh. “Bagaimana ini? Aku takut.” Rena mencengkeram ujung bajunya sendiri. Langkahnya berjalan pelan dengan ketakutan yang mendarah daging. “Hei! Cari siapa?” Suaranya menggelegar, hingga Rena terlonjak kaget. “Sa-saya Rena, Pak. Mau antar ini,” sembari mengangkat map merah di tangan kanan. “Oh! Kau kurir?” tebak pria berkumis tebal dengan seragam satpam. Namanya Rob. Bibir Rena
“Tolong, lepaskan aku!” teriak Rena kesakitan. Telinga Mahen seakan tuli. Tangannya masih mencengkeram kuat dan menyeret Rena masuk ke dalam rumah. Isak tangis menggema. Lastri tergopoh-gopoh menghampiri. “Astagfirullah! Tuan, jangan sakiti Non Rena.” Tanpa sadar, Lastri pun ikut menangis. Cukup sudah kesakitan yang ia saksikan selama ini. Rena adalah wanita yang baik dan berhak bahagia. Mahen makin berang saat Lastri berusaha melepaskan cengkeramannya pada Rena. “Diam, Mbok!” bentaknya, membuat raut kekecewaan tercetak di gurat wajah tua Lastri. Rena terpaku, menatap Mahen tak percaya. Selama yang ia tahu, Mahen sangat menghormati Lastri bak ibu kandungnya sendiri. Lasti juga yang membantu mengurus Mahen sejak sekolah dasar. “Mahen! Kau tak berhak membentak Mbok Lastri!” protes Rena dengan berani di sisa tenaga yang ada meski suaranya hampir hilang. Mahen tetap menyeret Rena ke lantai dua. Rena pun tak tahu mengapa Mahen begitu semarah ini. Mahen membawa Rena masuk ke
Perlahan tapi pasti, Rena mengendarai motor biru bututnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Pikirannya sedang kacau balau. Mahen melukai harga dirinya tanpa sedikit pun rasa iba. Dua kali, dua kali ia dipaksa melayani Mahen dan pria itu berhasil menorehkan luka hati mendalam.“Aku ingin bercerai, tetapi dia malah menodaiku. Bagaimana jika aku hamil? Aku tak mau dimadu. Hiks!” Pil pencegah kehamilan yang diberikan Mahen ternyata tak mampu menenangkan kegundahan Rena.Rena tiba di kawasan taman yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Permen kapas warna-warni seolah menggodanya tuk mendekat.Meski hari kerja, pagi ini banyak muda-mudi berdatangan. Ada yang sekadar lari pagi, mencari jajanan, bahkan cuma duduk-duduk dan bersenda gurau.Rena memarkirkan motor, lalu berlari kecil ke arah lelaki penjual permen kapas.“Dek, beli permen kapasnya satu.” Rena memanggilnya seperti itu karena si penjual tampak masih remaja.“Mau beli yang warna apa, Kak? Merah muda, ungu, biru, atau yang pelang
“Ceraikan aku!”Wajah Mahen masih dingin, seolah kalimat yang diutarakan Rena hanya angin lalu. Andai Mahen tahu, Rena mati-matian mengumpulkan nyali demi mengucapkannya.Pandangan menghunus Mahen bak ingin menelan Rena hidup-hidup. Selama satu tahun pernikahan, sifat dingin dan cuek suaminya membuat Rena layaknya seonggok sampah tak bernilai.“Kau dan Riani sudah kembali menjalin kasih, bukan?” Degup jantung hampir meledak di dalam sana. Manik Rena menatap takut Mahen yang masih datar.“Benar.”Merosot sudah bahu Rena. Benar kata Sekar, adik iparnya, jika cinta Mahen sudah habis untuk Riani. Kenyataan itu menyadarkan Rena akan posisi sesungguhnya.Rena hanya pengantin pengganti, bukan pelabuhan terakhir.Dirinya yang tak lain hanya penjual jajanan pasar langganan keluarga Wiratama, karena kaburnya sang pengantin wanita, diminta menjadi pengantin pengganti demi nama baik keluarga atas permintaan mendiang eyang Mahen, Aminah. Hati Rena merekah. Mahen yang amat menyayangi sang eyang, me
“Egh ....”Seberkas sinar mengusik kedamaian. Tubuh kurus di bawah selimut menggeliat. Netra yang terpejam perlahan terbuka. Beberapa kali ia mengerjap untuk mengumpulkan kesadaran penuh.Pandangan pertama yang menyapa adalah kamar serba putih yang tak asing.“Kamar? Aku di kamar?”“Non Rena sudah bangun?”Rena menoleh ke sumber suara. Lastri, wanita paruh baya yang bekerja sebagai ART, menyibak beberapa gorden yang masih tertutup.Rena bangkit dari tidur dan terduduk. Sebuah handuk kecil terjatuh di pangkuan. Dapat ia rasakan di beberapa helai rambut sekitar kening tampak sedikit lembap.“Bagaimana bisa aku ada di sini, Mbok?” Tangan Rena sedikit memijit pangkal hidung. Badan terasa remuk dan lemas seolah semua tulang telah rontok satu persatu.“Semalam si bos yang bawa Non Rena pulang. Non Rena pingsan dan basah kuyup. Memangnya apa yang sebenarnya terjadi, Non?” Lastri mendekat, duduk di sisi ranjang. Hubungan mereka sudah dekat sekali. Lastri menganggap Rena seperti anak sendiri.
Perlahan tapi pasti, Rena mengendarai motor biru bututnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Pikirannya sedang kacau balau. Mahen melukai harga dirinya tanpa sedikit pun rasa iba. Dua kali, dua kali ia dipaksa melayani Mahen dan pria itu berhasil menorehkan luka hati mendalam.“Aku ingin bercerai, tetapi dia malah menodaiku. Bagaimana jika aku hamil? Aku tak mau dimadu. Hiks!” Pil pencegah kehamilan yang diberikan Mahen ternyata tak mampu menenangkan kegundahan Rena.Rena tiba di kawasan taman yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Permen kapas warna-warni seolah menggodanya tuk mendekat.Meski hari kerja, pagi ini banyak muda-mudi berdatangan. Ada yang sekadar lari pagi, mencari jajanan, bahkan cuma duduk-duduk dan bersenda gurau.Rena memarkirkan motor, lalu berlari kecil ke arah lelaki penjual permen kapas.“Dek, beli permen kapasnya satu.” Rena memanggilnya seperti itu karena si penjual tampak masih remaja.“Mau beli yang warna apa, Kak? Merah muda, ungu, biru, atau yang pelang
“Tolong, lepaskan aku!” teriak Rena kesakitan. Telinga Mahen seakan tuli. Tangannya masih mencengkeram kuat dan menyeret Rena masuk ke dalam rumah. Isak tangis menggema. Lastri tergopoh-gopoh menghampiri. “Astagfirullah! Tuan, jangan sakiti Non Rena.” Tanpa sadar, Lastri pun ikut menangis. Cukup sudah kesakitan yang ia saksikan selama ini. Rena adalah wanita yang baik dan berhak bahagia. Mahen makin berang saat Lastri berusaha melepaskan cengkeramannya pada Rena. “Diam, Mbok!” bentaknya, membuat raut kekecewaan tercetak di gurat wajah tua Lastri. Rena terpaku, menatap Mahen tak percaya. Selama yang ia tahu, Mahen sangat menghormati Lastri bak ibu kandungnya sendiri. Lasti juga yang membantu mengurus Mahen sejak sekolah dasar. “Mahen! Kau tak berhak membentak Mbok Lastri!” protes Rena dengan berani di sisa tenaga yang ada meski suaranya hampir hilang. Mahen tetap menyeret Rena ke lantai dua. Rena pun tak tahu mengapa Mahen begitu semarah ini. Mahen membawa Rena masuk ke
Pagi ini, Rena telah berdiri di gedung milik Wira Group. Lastri memintanya tuk mengirim map merah milik Mahen yang tertinggal.Jujur, Rena sebenarnya tak mau melihat muka Mahen. Kemarin, Mahen memakinya karena tak memberi kabar. Soal pekerjaan baru, ia merahasiakan dari siapa pun. "Lain kali kalau mau kelayapan, balas pesanku!" Mahen membentak Rena yang baru saja menginjakkan kaki di rumah. Saat hendak masuk gedung, Rena menilik penampilannya yang buluk. Para karyawati dengan rapi memakan pakaian formal yang elegan. Sedangkan ia, ia hanya mengenakan celana hitam, kemeja biru gelap, dan sepasang sepatu lusuh. “Bagaimana ini? Aku takut.” Rena mencengkeram ujung bajunya sendiri. Langkahnya berjalan pelan dengan ketakutan yang mendarah daging. “Hei! Cari siapa?” Suaranya menggelegar, hingga Rena terlonjak kaget. “Sa-saya Rena, Pak. Mau antar ini,” sembari mengangkat map merah di tangan kanan. “Oh! Kau kurir?” tebak pria berkumis tebal dengan seragam satpam. Namanya Rob. Bibir Rena
“Astaga, Rilla! Kenapa kau tak bilang dari semalam kalau mau bolos?” Suara kepanikan sampai di telinga Rena yang tengah duduk di depan kedai yang masih tutup.Jam menunjukkan pukul setengah delapan dan Rena sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu dari rumah karena diusir sang mertua.Si miskin yang memuakkan, begitu kata-kata umpatan Ratna untuk Rena.Adanya Rena di depan kedai ini pun karena tak tahu harus pergi ke mana. Yang pasti, ia ingin mencari pekerjaan baru.Pria berambut kribo itu masih menggerutu. Percakapan di seberang sana tak sengaja terdengar di telinga Rena.“Siapa yang tahu kalau aku bakal kena diare? Dasar brokoli!”“Pft!” Spontan Rena menutup mulut karena menahan tawa.Pria yang masih memegang ponsel itu seketika mengakhiri panggilan, menoleh ke arah Rena dan melirik sebal.“Kau pikir ini lucu?” sindirnya.Rena yang sadar akan kesalahannya buru-buru menetralkan wajah. “Ma-maaf.”Tak ada sahutan. Si pria membuka pintu kedai. Mulutnya masih saja komat-kamit dengan r
“Egh ....”Seberkas sinar mengusik kedamaian. Tubuh kurus di bawah selimut menggeliat. Netra yang terpejam perlahan terbuka. Beberapa kali ia mengerjap untuk mengumpulkan kesadaran penuh.Pandangan pertama yang menyapa adalah kamar serba putih yang tak asing.“Kamar? Aku di kamar?”“Non Rena sudah bangun?”Rena menoleh ke sumber suara. Lastri, wanita paruh baya yang bekerja sebagai ART, menyibak beberapa gorden yang masih tertutup.Rena bangkit dari tidur dan terduduk. Sebuah handuk kecil terjatuh di pangkuan. Dapat ia rasakan di beberapa helai rambut sekitar kening tampak sedikit lembap.“Bagaimana bisa aku ada di sini, Mbok?” Tangan Rena sedikit memijit pangkal hidung. Badan terasa remuk dan lemas seolah semua tulang telah rontok satu persatu.“Semalam si bos yang bawa Non Rena pulang. Non Rena pingsan dan basah kuyup. Memangnya apa yang sebenarnya terjadi, Non?” Lastri mendekat, duduk di sisi ranjang. Hubungan mereka sudah dekat sekali. Lastri menganggap Rena seperti anak sendiri.
“Ceraikan aku!”Wajah Mahen masih dingin, seolah kalimat yang diutarakan Rena hanya angin lalu. Andai Mahen tahu, Rena mati-matian mengumpulkan nyali demi mengucapkannya.Pandangan menghunus Mahen bak ingin menelan Rena hidup-hidup. Selama satu tahun pernikahan, sifat dingin dan cuek suaminya membuat Rena layaknya seonggok sampah tak bernilai.“Kau dan Riani sudah kembali menjalin kasih, bukan?” Degup jantung hampir meledak di dalam sana. Manik Rena menatap takut Mahen yang masih datar.“Benar.”Merosot sudah bahu Rena. Benar kata Sekar, adik iparnya, jika cinta Mahen sudah habis untuk Riani. Kenyataan itu menyadarkan Rena akan posisi sesungguhnya.Rena hanya pengantin pengganti, bukan pelabuhan terakhir.Dirinya yang tak lain hanya penjual jajanan pasar langganan keluarga Wiratama, karena kaburnya sang pengantin wanita, diminta menjadi pengantin pengganti demi nama baik keluarga atas permintaan mendiang eyang Mahen, Aminah. Hati Rena merekah. Mahen yang amat menyayangi sang eyang, me