Beranda / Romansa / Cinta Terakhir / BAB 3 : Pekerjaan Baru

Share

BAB 3 : Pekerjaan Baru

Penulis: Ara Mira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-10 21:07:51

“Astaga, Rilla! Kenapa kau tak bilang dari semalam kalau mau bolos?” Suara kepanikan sampai di telinga Rena yang tengah duduk di depan kedai yang masih tutup.

Jam menunjukkan pukul setengah delapan dan Rena sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu dari rumah karena diusir sang mertua.

Si miskin yang memuakkan, begitu kata-kata umpatan Ratna untuk Rena.

Adanya Rena di depan kedai ini pun karena tak tahu harus pergi ke mana. Yang pasti, ia ingin mencari pekerjaan baru.

Pria berambut kribo itu masih menggerutu. Percakapan di seberang sana tak sengaja terdengar di telinga Rena.

“Siapa yang tahu kalau aku bakal kena diare? Dasar brokoli!”

“Pft!” Spontan Rena menutup mulut karena menahan tawa.

Pria yang masih memegang ponsel itu seketika mengakhiri panggilan, menoleh ke arah Rena dan melirik sebal.

“Kau pikir ini lucu?” sindirnya.

Rena yang sadar akan kesalahannya buru-buru menetralkan wajah. “Ma-maaf.”

Tak ada sahutan. Si pria membuka pintu kedai. Mulutnya masih saja komat-kamit dengan raut wajah masam.

“Sialan! Kalau Rilla libur, siapa yang akan membuat roti? Nely kan sedang cuti pulang kampung.”

Refleks Rena menoleh mendengar kalimat itu. Bola matanya berbinar. Ia berdiri dengan antusias. “Kau butuh orang untuk membuat roti?”

Si pria menoleh. Ia merasa wanita di hadapannya cukup mengganggu. “Iya. Kenapa? Kau mau menggantikan mereka?”

Rena mengangguk. “Aku biasa membuat dan menjual jajanan pasar. Onde-onde, nagasari, kue talam, dan masih banyak lagi.” Rena berbicara meyakinkan.

“Kedai kami tak menjual itu semua. Kami butuh orang yang bisa bikin aneka roti dan donat.”

“Aku bisa membuatnya.” Masih dapat Rena lihat keraguan pada mata pria di hadapannya. “Aku siap bekerja hari ini jika kau mau.”

“Kau hanya sebagai pengganti di hari ini. Besok, kau tak akan digunakan lagi.”

Raut cerah Rena seakan meredup. Namun, tak ada salahnya mencoba. Mungkin dengan memberikan yang terbaik, ia bisa diangkat menjadi karyawan tetap.

“Tak masalah.” Rena berbicara mantap.

Pria itu melirik wanita di hadapannya dari ujung kepala hingga kaki, tampak sedikit meremehkan. Tampilannya sangat biasa saja. Bahkan, wajahnya pun amat kusam. Merawat diri sendiri saja tak becus, apalagi jika bekerja. Namun, tak ada pilihan lain selain memberinya kesempatan.

“Baiklah. Ayo, kita masuk!” Ia mengajak Rena tuk segera masuk dan siap bekerja.

~~~~~~

Mahen berjalan memasuki rumah dengan kepala berdenyut nyeri. Hari masih siang, tetapi ia memutuskan pulang ke rumah karena tak enak badan. Padahal, makanan sehat dan vitamin tak pernah ia lewatkan karena Rena yang selalu menyiapkannya

Saat sampai di ruang tamu, yang ia lihat adalah sang mama, adik, dan kekasihnya, Riani.

“Hen, kamu kok sudah pulang?” Ratna heran menatap putranya yang tampak pucat.

Riani menoleh. Wanita berparas cantik dengan rambut panjang coklat itu tersenyum manis melihat sang pujaan hati yang tak lain calon suaminya.

Riani berdiri, menghampiri Mahen yang tampaknya tak baik-baik saja.

“Kau sakit, Mahen?” Tangan putihnya terulur, menyentuh kening Mahen dengan lembut. “Kau demam,” ucap Riani khawatir.

Mahen tersenyum tipis. “Makanya aku pulang lebih awal.”

“Buatkan bubur kacang hijau dengan sedikit ketan hitam, Kak. Nanti juga Kak Mahen sembuh.” Sekar menyahut.

Riani mengusap bahu Mahen lembut. “Kau istirahat di kamar saja. Biar aku buatkan bubur kesukaanmu dulu,” ujarnya yang ditimpali anggukan Mahen.

Langkah Riani berjalan menuju dapur diikuti oleh Ratna. Sedangkan Sekar masih sibuk menonton drama Korea dari televisi.

Mahen memutuskan pergi ke kamar dengan niat membersihkan diri supaya segar kembali. Banyaknya pekerjaan di kantor mungkin penyebab badannya drop.

Setelah setengah jam berlalu, Mahen keluar dari kamar. Entah dorongan dari mana, ia malah membuka pintu kamar sang istri yang terletak tepat di samping kamarnya.

Kosong. Tak ada tanda-tanda Rena di dalam kamar.

“Ke mana wanita itu?” Mahen celingak-celinguk. Di kamar mandi pun nihil.

Tak pikir panjang, Mahen menelepon Rena, tetapi berulang kali tak ada jawaban.

“Apa dia kabur karena masalah perceraian?” tebak Mahen. Pasalnya, Rena akan selalu meminta izin darinya walau hanya pergi ke warung membeli sesuatu.

Mahen berdecap. Untuk apa ia memikirkan Rena? Paling juga tak ada beberapa jam wanita itu akan kembali ke rumah. Tak ada gunanya mencemaskan hal-hal yang tidak berguna.

Namun, hingga sore pun Rena belum juga menunjukkan batang hidungnya. Tak ada kabar yang Mahen terima, membuat pikirannya sedikit kacau.

“Sebenarnya dia itu pergi ke mana?” Dilemparnya ponsel ke tempat tidur. Bahkan, saat mamanya, Riani, dan Sekar pulang pun sama sekali Rena tak membaca pesan yang ia kirim.

Dengan kesal, Mahen menyambar kunci mobil di nakas. Jangan sampai Rena berniat mengakhiri hidup lagi. Bagaimana pun juga, nama baiknya akan tercemar jika hal itu terjadi.

~~~~~~

“Dasar kutu kupret! Ke mana, sih, si Panji? Sudah pukul tiga sore lebih tapi belum datang juga.”

Rena yang sedang membuat adonan donat entah yang ke berapa kali menoleh ke arah Onky, si lelaki tampan berambut kribo. Untung saja lelaki itu mengumpat di dapur, sehingga para pengunjung tak bisa mendengarnya.

“Panji itu siapa? Apa dia juga barista di sini?” tanya Rena.

“Dia pemilik kedai ini.”

“Apa?!” Mulut Rena menganga. Bagaimana bisa Onky mengumpat kasar atasannya seperti itu?

“Tutup mulutmu, Ren! Nanti ada lalat yang masuk.” Rena seketika melakukan apa yang Onky suruh.

“Aku dan Panji sahabat sejak kecil. Saling mengumpat adalah ungkapan sayang di antara kami.”

Rena tersenyum kecut. Mungkin seperti itu persahabatan para lelaki. Pasalnya, ia dan Rose tak pernah saling mengumpat kata kasar satu sama lain.

Hmm ... Rena tiba-tiba merindukan Rose.

“Ren, kau pulang saja. Sudah saatnya jam kerjamu habis.”

Rena menatap Onky. “Kau akan sendirian, Kak. Aku tidak masalah di sini sampai atasan kita datang.”

“Dia sudah hampir sampai. Kau pulang saja.”

“Hmm ... baiklah.” Rena bergegas mencuci tangan dan Onky kembali ke depan melayani para pembeli yang memesan kopi.

Pengunjung tak terlalu ramai saat Rena berpamitan pulang pada Onky. Setidaknya hal itu membuat ia lega.

Rena berjalan ke arah motor bututnya sembari merogoh tas bahu tuk mencari kunci motor.

“Kuncinya di mana, ya?” gumamnya karena tak kunjung menemukan apa yang dicari.

Karena tak fokus dengan jalan di depannya, tubuh Rena menabrak sesuatu hingga menyebabkannya terhuyung ke belakang. Ia hampir saja terjatuh jika tak ada sepasang tangan menahan pinggangnya.

Mata bulat Rena membola terkejut. Sedangkan lelaki yang masih menahan pinggangnya terdiam menatap tanpa bicara.

“Kau ... baik-baik saja?” Suara baritonnya membuat Rena terkesiap.

Rena mengangguk pelan dalam diam. Sadar akan posisi mereka, dengan kasar ia menampik tangan si pria.

“Oh, maaf! Maaf jika aku lancang.” Si pria menggaruk kepala tak gatal.

Rena bertingkah kikuk. “Terima kasih sudah menolongku. Permisi!” pamitnya tanpa menatap pria yang telah menolong.

Rena mengangkat kepala dan hendak melangkahkan kaki. Namun, sepasang mata dari jarak beberapa meter menyipit ke arahnya. Pandangan mereka saling bertemu hingga Rena memutus kontak mata dan pergi menghampiri motornya.

Bab terkait

  • Cinta Terakhir   BAB 4 : Terluka

    Pagi ini, Rena telah berdiri di gedung milik Wira Group. Lastri memintanya tuk mengirim map merah milik Mahen yang tertinggal.Jujur, Rena sebenarnya tak mau melihat muka Mahen. Kemarin, Mahen memakinya karena tak memberi kabar. Soal pekerjaan baru, ia merahasiakan dari siapa pun. "Lain kali kalau mau kelayapan, balas pesanku!" Mahen membentak Rena yang baru saja menginjakkan kaki di rumah. Saat hendak masuk gedung, Rena menilik penampilannya yang buluk. Para karyawati dengan rapi memakan pakaian formal yang elegan. Sedangkan ia, ia hanya mengenakan celana hitam, kemeja biru gelap, dan sepasang sepatu lusuh. “Bagaimana ini? Aku takut.” Rena mencengkeram ujung bajunya sendiri. Langkahnya berjalan pelan dengan ketakutan yang mendarah daging. “Hei! Cari siapa?” Suaranya menggelegar, hingga Rena terlonjak kaget. “Sa-saya Rena, Pak. Mau antar ini,” sembari mengangkat map merah di tangan kanan. “Oh! Kau kurir?” tebak pria berkumis tebal dengan seragam satpam. Namanya Rob. Bibir Rena

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Cinta Terakhir   BAB 5 : Ternoda

    “Tolong, lepaskan aku!” teriak Rena kesakitan. Telinga Mahen seakan tuli. Tangannya masih mencengkeram kuat dan menyeret Rena masuk ke dalam rumah. Isak tangis menggema. Lastri tergopoh-gopoh menghampiri. “Astagfirullah! Tuan, jangan sakiti Non Rena.” Tanpa sadar, Lastri pun ikut menangis. Cukup sudah kesakitan yang ia saksikan selama ini. Rena adalah wanita yang baik dan berhak bahagia. Mahen makin berang saat Lastri berusaha melepaskan cengkeramannya pada Rena. “Diam, Mbok!” bentaknya, membuat raut kekecewaan tercetak di gurat wajah tua Lastri. Rena terpaku, menatap Mahen tak percaya. Selama yang ia tahu, Mahen sangat menghormati Lastri bak ibu kandungnya sendiri. Lastri juga yang membantu mengurus Mahen sejak sekolah dasar. “Mahen! Kau tak berhak membentak Mbok Lastri!” protes Rena dengan berani di sisa tenaga yang ada meski suaranya hampir hilang. Mahen tetap menyeret Rena ke lantai dua. Rena pun tak tahu mengapa Mahen begitu semarah ini. Mahen membawa Rena masuk ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • Cinta Terakhir   BAB 6 : Tak bisakah kau mencintaiku?

    Perlahan tapi pasti, Rena mengendarai motor biru bututnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Pikirannya sedang kacau balau. Mahen melukai harga dirinya tanpa sedikit pun rasa iba. Dua kali, dua kali ia dipaksa melayani Mahen dan pria itu berhasil menorehkan luka hati mendalam. “Aku ingin bercerai, tetapi dia malah menodaiku. Bagaimana jika aku hamil? Aku tak mau dimadu. Hiks!” Pil pencegah kehamilan yang diberikan Mahen ternyata tak mampu menenangkan kegundahan Rena. Rena tiba di kawasan taman yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Permen kapas warna-warni seolah menggodanya tuk mendekat. Meski hari kerja, pagi ini banyak muda-mudi berdatangan. Ada yang sekadar lari pagi, mencari jajanan, bahkan cuma duduk-duduk dan bersenda gurau. Rena memarkirkan motor, lalu berlari kecil ke arah lelaki penjual permen kapas. “Dek, beli permen kapasnya satu.” Rena memanggilnya seperti itu karena si penjual tampak masih remaja. “Mau beli yang warna apa, Kak? Merah muda, ungu, biru,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19
  • Cinta Terakhir   BAB 7 : Antara Mahen dan Riani

    Dua hari berlalu begitu cepat. Permintaan satu bulan menjadi suami istri sungguhan ditolak Mahen mentah-mentah. Sejujurnya, Rena memiliki harapan dari satu bulan itu. Harapan yang paling diinginkan adalah Mahen jatuh cinta padanya setelah sebulan penuh diberi ruang untuk saling melengkapi. Atau harapan yang lebih realistis, Rena kalah dan hanya bisa membawa kenangan indah di antara mereka berdua. "Rumah tanggaku memang tak ada harapan lagi sejak lama," gumamnya. Sia-sia ia manahan hati selama ini. Sekarang Rena kembali berdiri di sini. Pandangannya mengarah pada nama yang tertera di atas bangunan vintage di hadapannya. Kedai Starlight. Dari pintu kaca, maniknya menangkap Onky yang sigap menyiapkan alat-alat untuk meracik kopi dengan mulutnya yang komat-kamit. Bersenandung sembari bekerja adalah kebiasaannya. Baru saja akan melangkah masuk, tepukan di bahu membuat wanita manis itu menoleh. Matanya yang bulat begitu indah kala membola. “Noe?” “Sendirian, Ren?” Rena

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-26
  • Cinta Terakhir   BAB 8 : Jahilnya Sang Sepupu

    “Rena?” Pelukan hangat menyergap Rena tiba-tiba. Tubuhnya menggoyang ke kanan dan kiri, menandakan sebahagia apa wanita itu bertemu dengannya. Pelukan mereka terlerai. “Lama enggak ketemu, Ren. Gimana kabarmu? Oh iya, sekarang aku sudah bisa masak, lho!” pamernya. Senyum Rena kikuk. Ia merasa tak begitu dekat dengan Prisa, tetapi wanita tersebut malah sebaliknya. Memang beberapa kali pertemuan mereka terjadi di awal Rena menjadi istri Mahen karena status Prisa adalah pacar Noe. Prisa juga sering menanyakan perihal cara memasak dari Rena yang ia tanggapi ala kadarnya. “Kabarku baik. Jadi, Kakak sudah bisa membedakan garam dan gula halus?” Prisa malah tertawa mengingat kebodohannya di masa lalu. “Sa, kau sudah coba gaun dan kebayanya?” Noe yang baru masuk butik menyela. “Belum, Noe. Aku baru sampai karena habis rapat. Kita enggak punya waktu banyak. Setelah ini, kita harus segera coba tester makanan untuk resepsi.” “Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo, kita coba pakaian pe

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Cinta Terakhir   BAB 9 : Cemburu

    “Uhuk!” “Astaga, Mahen!” Riani menyodorkan segelas air putih pada kekasihnya. Seperti kesetanan, Mahen menenggak air hingga tandas. Rasa pedas masih tertinggal di sana. “Ada apa, sih? Masalah di kantor?” Riani menatap curiga ke arah ponsel yang tergeletak di meja makan. Mahen tersedak setelah menerima pesan dari ponselnya. “Ekhm! Hmm ... enggak apa-apa. Makanan ini sedikit pedas. Kau tahu bukan jika aku tak bisa memakannya?” Tangan pria itu mendorong pelan piring berisi ayam pedas daun jeruk di depannya. “Padahal, aku sudah meminta mereka tuk membuatnya tak terlalu pedas. Ini salah satu menu andalan di sini. Kalau begitu, pesan yang lain saja, ya?” Riani mengangkat tangan kanannya dengan anggun hingga seorang karyawan restoran menghampiri. Pilihan jatuh pada makanan favorit Mahen, nasi dan ayam bakar. Setelah menunggu beberapa waktu, pesanan pun tiba. Mahen mulai makan perlahan. Namun, pikirannya tak henti-hentinya memaki Noe. “Lihatlah pria ini! Ia siap menggantikanm

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • Cinta Terakhir   BAB 10 : Mahen Berbeda

    “Tapi, aku tak bisa melakukannya.” Rena menggigit kuku ibu jari kanannya. Ragu menuruti rencana dua sejoli di seberang sana. “Lakukan saja apa yang kami rencanakan. Dijamin tokcer!” Tawa keduanya justru membuat Rena menggaruk rambut tak gatal. “Baik, Kak. Akan kucoba. Sampai jumpa lagi, Kak!” Rena melempar ponselnya di atas kasur hingga memantul. Tubuhnya lengket dan bau asam. Berendam pilihan yang menyenangkan. Surai yang tergerai dicepol asal-asalan. Segera tangan putihnya melepas kancing kemeja satu persatu. Setelah terlepas semua, ia mulai menurunkannya. BRUG! “Hah?!” Spontan kemeja yang sudah menggantung di lengan tertarik kembali. Mahen berdiri di ambang pintu. Tas kerja yang biasa ditentengnya terjatuh di lantai. Keduanya sejenak melempar pandangan satu sama lain. “A-ada apa?” Rena merasa tak nyaman. “Ekhm!” Dengan susah payah Mahen menelan saliva. Tangan Rena kian mengeratkan kemeja yang membalut tubuh. Bayangan Mahen memaksanya malam itu kembali berputar,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Cinta Terakhir   BAB 11 : Cincin Pernikahan

    “Bukankah suamimu seorang CEO? Kenapa memilih bekerja di tempat kecil ini?” Panji meletakkan secangkir cokelat hangat untuk Rena. Aroma pekat cokelat menggelitik indra penciuman. Harumnya menenangkan, membuat Rena tak tahan tuk menyeruputnya. “Bagaimana? Enak?” Rena mengangguk, meletakkan cangkirnya di atas meja. Keduanya duduk di bangku Kedai Starlight. Posisi mereka yang bersebelahan dengan jendela membuat lalu lalang kendaraan dan manusia sebagai hiburan. “Kau belum menjawabku, Fira. Kenapa ingin bekerja di sini?” Panji menatap intens wanita yang ia suka. Rena menelan ludah. Tak mungkin ia menjelaskan semuanya pada Panji. “Aku hanya bosan di rumah. Ijazahku cuma SMA. Dapat bekerja di sini sudah membuatku bahagia.” “Tapi, gaji di kedaiku kecil. Kau pasti mendapat uang jutaan dari suamimu setiap bulan, bukan? Kurasa gaji di sini tak ada apa-apanya.” Pria itu bersedekap, mencari sesuatu yang janggal dalam sorot mata Rena. “Eh ... aku bosan di rumah. Dari kecil sudah terb

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06

Bab terbaru

  • Cinta Terakhir   BAB 28 : Cubit Gemas

    Dewi meneguk ludah teramat sulit. “Dulu, Ibu kerja sebagai sekretaris papamu. Mas Hendra setiap hari mengeluhkan pernikahannya dengan Mbak Ratna. Mbak Ratna terlalu sibuk dengan kehidupannya yang glamor. Bahkan setelah pulang kerja, Mas Hendra tak dilayani dengan baik, sering juga mendapati istrinya tak berada di rumah hanya karena perkumpulan sosialitanya.” Sekar termenung, merasa benar dengan sifat sang mama yang demikian. Sibuk arisan, menongkrong bersama teman-teman yang rata-rata istri pengusaha dan pejabat. “Ibu awalnya hanya iba. Namun, Mas Hendra salah mengartikannya. Dia melamar Ibu sehari setelah peluncuran produk susu kotak terbaru saat itu. Tentu Ibu menolaknya, tak mau jadi duri dalam pernikahan orang lain. Walau pun saat itu status Ibu adalah janda, tetapi Ibu tak berniat menikah lagi.” Tak bisa dipungkiri, ini pertama kali Sekar duduk bersebelahan dengan Dewi, wanita jahat yang amat dibencinya. Namun, entah mengapa ia tak merasa Dewi wanita yang buruk, justru seba

  • Cinta Terakhir   BAB 27 : Sayang

    “Ibu tadi beli soto ayam kesukaan Nak Sekar.” Tangan Dewi dengan telaten membuka rantang putih tiga susun miliknya yang ketinggalan zaman. Luka di bibir dan tangan Sekar kian berangsur membaik. “Ayo, buka mulutnya!” Dewi menyodorkan suapan tepat di depan mulut Sekar. Gadis bersurai sebahu itu melipat bibir ke dalam. “A-aku bisa makan sendiri.” Kedekatan ini membuat hatinya tak nyaman. Bagaimana pun juga Dewi telah merebut sang papa. Keduanya menikah diam-diam, membuat keharmonisan yang dulu ada sirna sudah. Lagi pula, kebenciannya pada wanita berhijab itu masih terasa nyata. Dewi memang menolongnya dari anak buah Sal yang hendak menodainya. Bahkan, pukulan kayu balok sempat mengenai punggung ringkih itu. Namun, satu kebaikan tak cukup menghapus keburukan di masa lalu yang begitu mendalam, mengakar dalam hati dan pikiran. “Bukankah kau suka disuapi? Papamu selalu cerita kalau ....” Sadar akan perkataannya, Dewi langsung terdiam. Kecanggungan semakin terasa, atmosfer pa

  • Cinta Terakhir   BAB 26 : Istriku

    Noe berjalan perlahan, menatap iba sang sepupu yang memandang lurus, sorotnya sendu. Sudah dua hari Rena terbaring koma. Selama itu pula Mahen merenung, menyalahkan diri sendiri yang tak becus menjaganya. “Hen, minum dulu.” Noe menyodorkan air mineral botol yang diterima Mahen dengan lemas. Ia terduduk, mengembuskan napas berat. “Ada kemajuan?” Kepala Mahen menggeleng pelan, bahunya menurun. Noe yakin, sangat yakin. Saat ini, Mahen sedang dilanda kekhawatiran yang besar. “Aku mengenal Rena, sangat mengenalnya. Dia pasti bisa sembuh. Dia wanita yang kuat dengan mata sendunya.” Noe memberi afirmasi positif agar pikiran Mahen tak kacau. Tangan pria berjaket kulit hitam itu menyugar rambut dengan kalut. “Noe, aku takut. Entah mengapa di sini,” tangannya menepuk-nepuk dada sendiri, “sakit sekali melihatnya terbaring tak berdaya. Aku takut jika dia tak membuka mata lagi.” Maniknya memerah, rahang berkedut. Bibir Noe melengkung tipis. Dugaan yang lama ia simpan seolah mendap

  • Cinta Terakhir   BAB 25 : Panas Hati

    “Sepuluh menit lagi syuting dimulai. Cepat bersiap!" Riani mendengkus, mematikan sambungan ponsel yang tak ada jawaban dari seberang sana. “Kekasihmu lagi?” Sebagai asisten pribadi, wanita gembul cantik itu memberi botol minum pada Riani. Riani menerima, menenggak terburu-buru hingga suara tegukan dapat terdengar jelas. “Hah!” Usapan tangan di bibir yang basah begitu anggun. “Mahen ... akhir-akhir ini sulit sekali dihubungi." “Mungkin dia sibuk.” “Sesibuk apa pun, dia pasti lebih mengutamakanku.” Gigi mengatupkan bibir, menduga-duga. Empat tahun bekerja bersama Riani membuatnya begitu paham. "Kenapa tidak cari pria single saja, sih? Dia sudah beristri.” Tatapan Riani menghunus tajam. Tak suka dengan sebutan “sudah beristri” yang didengarnya. “Tak ada yang lebih baik dari Mahen. Dia selalu memprioritaskan aku sejak dulu. Lagi pula, mereka akan bercerai.” Gigi mendesah pelan sembari membenarkan kacamatanya. “Kudengar hubungan itu saling timbal balik. Saat dia me

  • Cinta Terakhir   BAB 24 : Jangan Tinggalkan Aku!

    BUGH! BUGH! Untuk pertama kalinya, Rena menyaksikan puncak kemarahan seorang Mahen. Tinju pria itu tepat sasaran, membuat Sal mengerang, memekikkan telinga. Wajah, perut, kaki, semua tak luput dari keberingasannya yang liar. Tak lama, derap kaki serentak terdengar mendekat. Beberapa pria berseragam polisi datang. Tubuh Mahen yang tengah menduduki Sal bangkit, tangannya terkepal, cairan merah menempel. Sal diringkus dengan wajah bonyok dan napas tersengal. “Kurang ajar! Lepaskan aku!” Sal mencak-mencak, tak terima diseret dan diborgol. Rena masih terduduk di kasur, memeluk diri sendiri penuh gemetar. Gigi Mahen bergemeletuk menyaksikan kondisi sang istri yang acak-acakan. “Rena, apa ada yang terluka?” Kedua tangan besarnya yang hangat menangkup pipi sang istri, membuat wanita itu membalas tatapannya. Tak ada suara. Hanya air mata yang deras seperti sungai mengalir. Sudut bibir merah mudanya melengkung ke bawah. Mahen merengkuh tubuh Rena ke dalam pelukan, berharap

  • Cinta Terakhir   BAB 23 : Menyelamatkan Adik Ipar

    “Enak banget makanannya, Bu. Kapan-kapan kita harus ke sini lagi.” Rena tersenyum senang. Tangannya mengelus perut yang kenyang. Dewi terkekeh melihat ekspresi wanita di sampingnya. “Iya, Nak.” Saat hendak menyalakan motor, tak disengaja mata Rena menangkap sesuatu yang ia kenali. “Lho, bukannya dia Sekar?” Spontan Dewi menoleh ke arah yang sama. “Astagfirullah! Siapa pria itu?” Tampak pria bersetelan jas abu-abu menarik paksa Sekar tuk masuk mobil hitamnya. Yang lebih membuat Rena melongo, tampilan Sekar sangat terbuka. Gaun merah dengan pundak terbuka dan panjang selutut. Rena cukup mengetahui jika adik iparnya tak suka pakaian terlalu terbuka. “E-eh, mau ke mana mereka?” “Nak, ayo kita ikuti Sekar! Ibu merasa dia dalam bahaya.” Rena pun mengangguk setuju. Motor biru bututnya menyala, menerobos jalanan yang lumayan ramai dengan gesit. “Bu, tolong hubungi Mahen. Ponselku ada di saku jaket.” Dewi merogoh saku jaket hitam Rena tuk mengambil ponsel. Tangan kirinya be

  • Cinta Terakhir   BAB 22 : Perginya Rena

    Keinginan tuk pergi meninggalkan rumah Mahen nyatanya baru terwujud sekarang. Ya, dua minggu sejak ia keluar dari rumah sakit. Rasa nyeri di sekujur tubuh membuatnya mengurungkan niat tuk sementara waktu. Dan di sinilah ia sekarang, berada di kost kecil satu petak dengan kamar mandi dalam. Jaraknya tak terlalu jauh dari Kedai Starlight. Hanya cukup keluar gang kecil beberapa ratus meter. Tak ada kata pamit secara langsung. Di dalam secarik kertas yang diletakkannya di nakas pinggir ranjang Mahen, Rena menumpahkan semua kegundahan, alasan mengapa memilih berpisah rumah. Perceraian. Rena mantap untuk itu. Walau ia rasakan akhir-akhir ini Mahen sedikit lunak. Ciuman mereka di pasar malam sempat menggoyahkannya sesaat. Apa pun itu, Rena tetap sadar diri. Di hati Mahen hanya ada Riani, dan tak ada yang bisa menyingkirkannya. Baru saja langkah Rena keluar dari kost, seorang wanita yang dikenalinya juga keluar, membawa tas kain merah merek salah satu minimarket ternama. “Bu Dewi?”

  • Cinta Terakhir   BAB 21 : Amarah Mahen

    “Jawab!” “Mahen! Apa yang kau lakukan?” Rena terbelalak saat dengan kasar Mahen mencengkeram kedua sisi bahu wanita tua itu. Tubuhnya spontan bangkit hendak duduk, tetapi kepalanya yang luka begitu berat dan nyeri. “Aw!” “Rena!” Tangan Mahen melepas cengkeramannya, beralih pada sang istri yang meringis sembari memegangi kepala yang diperban. Bagaimana tak sakit? Tiga jahitan diterima kepala Rena setelah terkena batu saat tawuran. Dewi, wanita paruh baya berjilbab itu menangis dalam diam. Sesekali diusapnya air mata yang hampir menetes. Dalam ketakutan, ekor matanya melirik Mahen. Mahen terduduk di kursi, menggenggam tangan Rena penuh kelembutan. Tangan lainnya terangkat, menyentuh pipi tembam sang istri. Tindakan yang tak biasa semakin membuat Rena mengernyit. Noe hanya bisa diam, tak tahu harus bagaimana. Wanita yang membuat Mahen naik pitam tentu ia mengenalnya. “Rena, bagaimana bisa ini terjadi?” Wajah yang biasa dingin dan tak peduli, kini menyorotkan kekhawati

  • Cinta Terakhir   BAB 20 : Wanita Berkerudung Hitam

    Langkahnya perlahan menyusuri trotoar, menghirup segar udara selepas hujan. Ia suka dengan suasana seperti ini, ketika para manusia mulai keluar dari tempat berteduh, berjalan tuk melanjutkan keinginan yang sempat tertunda. Satu minggu, sikap Rena dan Mahen menjadi canggung satu sama lain. Setelah apa yang Mahen lakukan di bawah rinai hujan malam itu, tak ada sepatah kata sebagai klarifikasi. Selama itu pula, keduanya hanya bicara jika perlu, tak berniat mengungkit. “Ya, ampun! Ini sudah hampir pukul delapan. Aku harus sampai ke kedai. Kalau telat, Kak Onky akan menjelma jadi ibu-ibu cerewet.” Rena berlari kecil. Sial sekali karena motor bututnya mogok saat dinyalakan tadi sebelum berangkat. Suara riuh terdengar dari belakang, mendekat seperti mengikuti langkah Rena. Saat menoleh, dilihatnya banyak para pemuda berseragam sekolah awut-awutan tunggang-langgang. “Lari! Ada tawuran!” Beberapa manusia di sekitar Rena ikut menjauh. Jumlah pemuda onar ada banyak. Rena tak luput

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status