“Egh ....”
Seberkas sinar mengusik kedamaian. Tubuh kurus di bawah selimut menggeliat. Netra yang terpejam perlahan terbuka. Beberapa kali ia mengerjap untuk mengumpulkan kesadaran penuh. Pandangan pertama yang menyapa adalah kamar serba putih yang tak asing. “Kamar? Aku di kamar?” “Non Rena sudah bangun?” Rena menoleh ke sumber suara. Lastri, wanita paruh baya yang bekerja sebagai ART, menyibak beberapa gorden yang masih tertutup. Rena bangkit dari tidur dan terduduk. Sebuah handuk kecil terjatuh di pangkuan. Dapat ia rasakan di beberapa helai rambut sekitar kening tampak sedikit lembap. “Bagaimana bisa aku ada di sini, Mbok?” Tangan Rena sedikit memijit pangkal hidung. Badan terasa remuk dan lemas seolah semua tulang telah rontok satu persatu. “Semalam si bos yang bawa Non Rena pulang. Non Rena pingsan dan basah kuyup. Memangnya apa yang sebenarnya terjadi, Non?” Lastri mendekat, duduk di sisi ranjang. Hubungan mereka sudah dekat sekali. Lastri menganggap Rena seperti anak sendiri. Rena mengernyit. Berarti mobil yang hampir menabraknya adalah mobil Mahen. Karena terhalang deras hujan serta sorot lampu, Rena tak bisa mengenali mobil suaminya sendiri. “Non? Kok malah melamun? Masih pusing? Mbok pijit, ya?” tawar Lastri penuh kekhawatiran. Rena menggeleng. “E-enggak usah, Mbok. Aku sudah mendingan.” Tak sengaja arah pandang Rena melirik baskom berisi air di nakas. “Mbok semalam mengompres kepalaku, ya?” tebak Rena. Hanya Lastri yang peduli padanya. “Eh? I-iya ....” Lastri kikuk sendiri. “Ada apa, Mbok?” “Eh, enggak apa-apa, Non. Iya, Mbok Lastri yang kompres. Demam Non semalam tinggi sekali. Mbok khawatir,” jelas Lastri. Sebelum keluar dari kamar majikannya, Lastri memberikan nampan berisi sepiring nasi goreng dan jus alpukat kesukaan Rena. Nafsu makan Rena seakan sirna. Ia justru pergi ke kamar mandi tuk membersihkan diri. Rena memilih berendam di bak mandi air hangat untuk merelaksasikan tubuh dan pikiran. Ia merutuki kebodohannya semalam. “Aku sudah berjuang susah payah sejak kecil hingga sekarang. Bagaimana bisa aku ingin mengakhiri hidupku sendiri?” Andai waktu bisa diputar, Rena tak akan gegabah lagi. Kepala Rena menyandar di pinggiran bak mandi. Sejenak dipejamkannya mata. Kilasan masa lalu tentang perjuangan sang bunda yang bekerja keras demi dirinya berhasil menyentil relung hati terdalam. “Ren, hidupmu mungkin akan sedikit berat dibanding temanmu yang lain. Di saat Bunda sudah tiada dan kau kehilangan arah, ingatlah perjuangan Bunda, perjuangan dirimu sendiri. Ingat bagaimana kita bisa hidup di titik ini.” Mata Rena memanas. Dalam keadaan terpejam, air mata menetes deras. Mulai sekarang, Rena harus lebih kuat. “Bun, mencintai seseorang ternyata sesakit ini,” lirihnya lemah. “Lebih baik pergi meninggalkan orang yang kita cintai, daripada bertahan dengan orang yang enggak mau mencintai kita, Ren.” Nasihat Rose, sahabatnya, beberapa hari yang lalu tiba-tiba melintas. Rena terisak. Tubuhnya perlahan turun, membiarkan air bak mandi menenggelamkannya. Di dalam air, kilasan Mahen yang giliran berputar. Momen pertemuan mereka, pernikahan yang dipaksakan, dinginnya perilaku Mahen, dan malam pertama keduanya. Ya, Mahen telah meminta haknya sebagai suami. Itu pun saat dirinya mabuk dan membayangkan Riani yang ia cumbu. Itu adalah penyatuan satu-satunya yang pernah mereka lakukan. “Hmmmp ....” Tak adanya oksigen yang dihirup membuat Rena menggelepar. Dadanya seperti dihantam batu besar. Matanya mendelik, menahan sakit. Sesak, semakin sesak. Kematian seolah di depan mata. Saat merasa sudah tak tahan, sepasang tangan menariknya dengan cepat. Rena terkesiap. Bibirnya terengah-engah, menghirup rakus oksigen yang ada. “Dasar bodoh! Di mana otakmu? Hah?!” hardik Mahen yang masih memegang lengan Rena. Bibir Rena tak mampu menjawab. Ia hanya memandang Mahen yang melotot dengan rahang mengetat. Tangannya semakin mencengkeram lengan Rena, membuat urat-urat tangannya menonjol. "Setidaknya kalau ingin mati, tunggu kita bercerai dulu." Mahen menghunus tatapan tajam, menembus pertahanan istrinya. Rena terisak, membuat pandangan tajam Mahen melunak seketika. Pegangan pria itu terlepas. Ia langsung berdiri, menggeser pintu kamar mandi, lalu menutupnya dengan kasar hingga suara dentuman membuat Rena terlonjak. ~~~~~~ Pantulan di cermin membuat Rena meringis prihatin. Wajahnya pucat dan lesu. Lingkaran hitam di bawah mata amat mengerikan. Ia mirip zombi yang lepas dari pengawasan. "Menyedihkan," lirihnya mengasihani diri sendiri. Rena memoles wajah putihnya dengan sedikit bedak dan lipstik. Hari ini, ia memutuskan tuk menelusuri beberapa tempat di mana sekiranya ia akan mengirim lamaran kerja. Bahkan, Mahen tak pernah memberinya uang nafkah selama pernikahan mereka. Rena bertahan hidup dari orang-orang yang memesan aneka makanan darinya untuk berbagai acara. Berbalut celana kulot hitam, kemeja putih serta rambut diikat satu, Rena menuruni tangga dengan langkah mantap. “Ri, Mama ingin cucu. Lebih baik kau segera menikah dengan Mahen,” ujar Ratna, mama kandung Mahen. Tangannya menggenggam tangan putih Riani. “Aku setuju. Tapi, lebih baik biarkan kakak menceraikan si upik abu dulu,” usul gadis bersurai sebahu yang tak lain adik perempuan Mahen, Sekar. Riani tersenyum manis. “Kalau Mama ingin cucu, bukankah Rena bisa memberinya?” Raut wajah Ratna bak seseorang yang ingin muntah. “Dia itu mandul. Nyatanya, sampai sekarang belum bisa hamil juga.” Ketiganya tertawa, seolah nasib Rena lelucon yang mengocok perut. Bukan hal baru jika mama mertua dan sang adik ipar membencinya. Rena memaklumi dan sadar diri akan latar belakangnya yang tak setara dengan Mahen. “Hei! Kau mau pergi ke mana?” pekik Ratna saat Rena sudah menuruni anak tangga. Rena menundukkan kepala. “Mau cari udara segar, Ma,” jawabnya pelan. “Enggak sekalian angkat kaki saja dari sini?” ujar enteng Sekar. Rena hanya diam. Melawan pun percuma. Ia pernah dikunci di dalam gudang berisi banyak tikus oleh mama mertuanya karena dianggap lancang pernah menasihati Sekar. “Tenang saja, Kar. Sebentar lagi dia akan angkat kaki dari sini. Mahen sudah mengurus berkas perceraiannya.” Ratna tersenyum sinis yang ditimpali tawa renyah Sekar. Rena mengangkat sedikit kepalanya dengan mata berembun. Di saat itu pandangannya bertubrukan dengan mata cokelat muda milik Riani. Pandangan Riani yang aneh dan sulit diartikan, membuat Rena mengerutkan alis dan tertunduk lemah kembali.“Astaga, Rilla! Kenapa kau tak bilang dari semalam kalau mau bolos?” Suara kepanikan sampai di telinga Rena yang tengah duduk di depan kedai yang masih tutup.Jam menunjukkan pukul setengah delapan dan Rena sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu dari rumah karena diusir sang mertua.Si miskin yang memuakkan, begitu kata-kata umpatan Ratna untuk Rena.Adanya Rena di depan kedai ini pun karena tak tahu harus pergi ke mana. Yang pasti, ia ingin mencari pekerjaan baru.Pria berambut kribo itu masih menggerutu. Percakapan di seberang sana tak sengaja terdengar di telinga Rena.“Siapa yang tahu kalau aku bakal kena diare? Dasar brokoli!”“Pft!” Spontan Rena menutup mulut karena menahan tawa.Pria yang masih memegang ponsel itu seketika mengakhiri panggilan, menoleh ke arah Rena dan melirik sebal.“Kau pikir ini lucu?” sindirnya.Rena yang sadar akan kesalahannya buru-buru menetralkan wajah. “Ma-maaf.”Tak ada sahutan. Si pria membuka pintu kedai. Mulutnya masih saja komat-kamit dengan r
Pagi ini, Rena telah berdiri di gedung milik Wira Group. Lastri memintanya tuk mengirim map merah milik Mahen yang tertinggal.Jujur, Rena sebenarnya tak mau melihat muka Mahen. Kemarin, Mahen memakinya karena tak memberi kabar. Soal pekerjaan baru, ia merahasiakan dari siapa pun. "Lain kali kalau mau kelayapan, balas pesanku!" Mahen membentak Rena yang baru saja menginjakkan kaki di rumah. Saat hendak masuk gedung, Rena menilik penampilannya yang buluk. Para karyawati dengan rapi memakan pakaian formal yang elegan. Sedangkan ia, ia hanya mengenakan celana hitam, kemeja biru gelap, dan sepasang sepatu lusuh. “Bagaimana ini? Aku takut.” Rena mencengkeram ujung bajunya sendiri. Langkahnya berjalan pelan dengan ketakutan yang mendarah daging. “Hei! Cari siapa?” Suaranya menggelegar, hingga Rena terlonjak kaget. “Sa-saya Rena, Pak. Mau antar ini,” sembari mengangkat map merah di tangan kanan. “Oh! Kau kurir?” tebak pria berkumis tebal dengan seragam satpam. Namanya Rob. Bibir Rena
“Tolong, lepaskan aku!” teriak Rena kesakitan. Telinga Mahen seakan tuli. Tangannya masih mencengkeram kuat dan menyeret Rena masuk ke dalam rumah. Isak tangis menggema. Lastri tergopoh-gopoh menghampiri. “Astagfirullah! Tuan, jangan sakiti Non Rena.” Tanpa sadar, Lastri pun ikut menangis. Cukup sudah kesakitan yang ia saksikan selama ini. Rena adalah wanita yang baik dan berhak bahagia. Mahen makin berang saat Lastri berusaha melepaskan cengkeramannya pada Rena. “Diam, Mbok!” bentaknya, membuat raut kekecewaan tercetak di gurat wajah tua Lastri. Rena terpaku, menatap Mahen tak percaya. Selama yang ia tahu, Mahen sangat menghormati Lastri bak ibu kandungnya sendiri. Lasti juga yang membantu mengurus Mahen sejak sekolah dasar. “Mahen! Kau tak berhak membentak Mbok Lastri!” protes Rena dengan berani di sisa tenaga yang ada meski suaranya hampir hilang. Mahen tetap menyeret Rena ke lantai dua. Rena pun tak tahu mengapa Mahen begitu semarah ini. Mahen membawa Rena masuk ke
Perlahan tapi pasti, Rena mengendarai motor biru bututnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Pikirannya sedang kacau balau. Mahen melukai harga dirinya tanpa sedikit pun rasa iba. Dua kali, dua kali ia dipaksa melayani Mahen dan pria itu berhasil menorehkan luka hati mendalam.“Aku ingin bercerai, tetapi dia malah menodaiku. Bagaimana jika aku hamil? Aku tak mau dimadu. Hiks!” Pil pencegah kehamilan yang diberikan Mahen ternyata tak mampu menenangkan kegundahan Rena.Rena tiba di kawasan taman yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Permen kapas warna-warni seolah menggodanya tuk mendekat.Meski hari kerja, pagi ini banyak muda-mudi berdatangan. Ada yang sekadar lari pagi, mencari jajanan, bahkan cuma duduk-duduk dan bersenda gurau.Rena memarkirkan motor, lalu berlari kecil ke arah lelaki penjual permen kapas.“Dek, beli permen kapasnya satu.” Rena memanggilnya seperti itu karena si penjual tampak masih remaja.“Mau beli yang warna apa, Kak? Merah muda, ungu, biru, atau yang pelang
“Ceraikan aku!”Wajah Mahen masih dingin, seolah kalimat yang diutarakan Rena hanya angin lalu. Andai Mahen tahu, Rena mati-matian mengumpulkan nyali demi mengucapkannya.Pandangan menghunus Mahen bak ingin menelan Rena hidup-hidup. Selama satu tahun pernikahan, sifat dingin dan cuek suaminya membuat Rena layaknya seonggok sampah tak bernilai.“Kau dan Riani sudah kembali menjalin kasih, bukan?” Degup jantung hampir meledak di dalam sana. Manik Rena menatap takut Mahen yang masih datar.“Benar.”Merosot sudah bahu Rena. Benar kata Sekar, adik iparnya, jika cinta Mahen sudah habis untuk Riani. Kenyataan itu menyadarkan Rena akan posisi sesungguhnya.Rena hanya pengantin pengganti, bukan pelabuhan terakhir.Dirinya yang tak lain hanya penjual jajanan pasar langganan keluarga Wiratama, karena kaburnya sang pengantin wanita, diminta menjadi pengantin pengganti demi nama baik keluarga atas permintaan mendiang eyang Mahen, Aminah. Hati Rena merekah. Mahen yang amat menyayangi sang eyang, me
Perlahan tapi pasti, Rena mengendarai motor biru bututnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Pikirannya sedang kacau balau. Mahen melukai harga dirinya tanpa sedikit pun rasa iba. Dua kali, dua kali ia dipaksa melayani Mahen dan pria itu berhasil menorehkan luka hati mendalam.“Aku ingin bercerai, tetapi dia malah menodaiku. Bagaimana jika aku hamil? Aku tak mau dimadu. Hiks!” Pil pencegah kehamilan yang diberikan Mahen ternyata tak mampu menenangkan kegundahan Rena.Rena tiba di kawasan taman yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Permen kapas warna-warni seolah menggodanya tuk mendekat.Meski hari kerja, pagi ini banyak muda-mudi berdatangan. Ada yang sekadar lari pagi, mencari jajanan, bahkan cuma duduk-duduk dan bersenda gurau.Rena memarkirkan motor, lalu berlari kecil ke arah lelaki penjual permen kapas.“Dek, beli permen kapasnya satu.” Rena memanggilnya seperti itu karena si penjual tampak masih remaja.“Mau beli yang warna apa, Kak? Merah muda, ungu, biru, atau yang pelang
“Tolong, lepaskan aku!” teriak Rena kesakitan. Telinga Mahen seakan tuli. Tangannya masih mencengkeram kuat dan menyeret Rena masuk ke dalam rumah. Isak tangis menggema. Lastri tergopoh-gopoh menghampiri. “Astagfirullah! Tuan, jangan sakiti Non Rena.” Tanpa sadar, Lastri pun ikut menangis. Cukup sudah kesakitan yang ia saksikan selama ini. Rena adalah wanita yang baik dan berhak bahagia. Mahen makin berang saat Lastri berusaha melepaskan cengkeramannya pada Rena. “Diam, Mbok!” bentaknya, membuat raut kekecewaan tercetak di gurat wajah tua Lastri. Rena terpaku, menatap Mahen tak percaya. Selama yang ia tahu, Mahen sangat menghormati Lastri bak ibu kandungnya sendiri. Lasti juga yang membantu mengurus Mahen sejak sekolah dasar. “Mahen! Kau tak berhak membentak Mbok Lastri!” protes Rena dengan berani di sisa tenaga yang ada meski suaranya hampir hilang. Mahen tetap menyeret Rena ke lantai dua. Rena pun tak tahu mengapa Mahen begitu semarah ini. Mahen membawa Rena masuk ke
Pagi ini, Rena telah berdiri di gedung milik Wira Group. Lastri memintanya tuk mengirim map merah milik Mahen yang tertinggal.Jujur, Rena sebenarnya tak mau melihat muka Mahen. Kemarin, Mahen memakinya karena tak memberi kabar. Soal pekerjaan baru, ia merahasiakan dari siapa pun. "Lain kali kalau mau kelayapan, balas pesanku!" Mahen membentak Rena yang baru saja menginjakkan kaki di rumah. Saat hendak masuk gedung, Rena menilik penampilannya yang buluk. Para karyawati dengan rapi memakan pakaian formal yang elegan. Sedangkan ia, ia hanya mengenakan celana hitam, kemeja biru gelap, dan sepasang sepatu lusuh. “Bagaimana ini? Aku takut.” Rena mencengkeram ujung bajunya sendiri. Langkahnya berjalan pelan dengan ketakutan yang mendarah daging. “Hei! Cari siapa?” Suaranya menggelegar, hingga Rena terlonjak kaget. “Sa-saya Rena, Pak. Mau antar ini,” sembari mengangkat map merah di tangan kanan. “Oh! Kau kurir?” tebak pria berkumis tebal dengan seragam satpam. Namanya Rob. Bibir Rena
“Astaga, Rilla! Kenapa kau tak bilang dari semalam kalau mau bolos?” Suara kepanikan sampai di telinga Rena yang tengah duduk di depan kedai yang masih tutup.Jam menunjukkan pukul setengah delapan dan Rena sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu dari rumah karena diusir sang mertua.Si miskin yang memuakkan, begitu kata-kata umpatan Ratna untuk Rena.Adanya Rena di depan kedai ini pun karena tak tahu harus pergi ke mana. Yang pasti, ia ingin mencari pekerjaan baru.Pria berambut kribo itu masih menggerutu. Percakapan di seberang sana tak sengaja terdengar di telinga Rena.“Siapa yang tahu kalau aku bakal kena diare? Dasar brokoli!”“Pft!” Spontan Rena menutup mulut karena menahan tawa.Pria yang masih memegang ponsel itu seketika mengakhiri panggilan, menoleh ke arah Rena dan melirik sebal.“Kau pikir ini lucu?” sindirnya.Rena yang sadar akan kesalahannya buru-buru menetralkan wajah. “Ma-maaf.”Tak ada sahutan. Si pria membuka pintu kedai. Mulutnya masih saja komat-kamit dengan r
“Egh ....”Seberkas sinar mengusik kedamaian. Tubuh kurus di bawah selimut menggeliat. Netra yang terpejam perlahan terbuka. Beberapa kali ia mengerjap untuk mengumpulkan kesadaran penuh.Pandangan pertama yang menyapa adalah kamar serba putih yang tak asing.“Kamar? Aku di kamar?”“Non Rena sudah bangun?”Rena menoleh ke sumber suara. Lastri, wanita paruh baya yang bekerja sebagai ART, menyibak beberapa gorden yang masih tertutup.Rena bangkit dari tidur dan terduduk. Sebuah handuk kecil terjatuh di pangkuan. Dapat ia rasakan di beberapa helai rambut sekitar kening tampak sedikit lembap.“Bagaimana bisa aku ada di sini, Mbok?” Tangan Rena sedikit memijit pangkal hidung. Badan terasa remuk dan lemas seolah semua tulang telah rontok satu persatu.“Semalam si bos yang bawa Non Rena pulang. Non Rena pingsan dan basah kuyup. Memangnya apa yang sebenarnya terjadi, Non?” Lastri mendekat, duduk di sisi ranjang. Hubungan mereka sudah dekat sekali. Lastri menganggap Rena seperti anak sendiri.
“Ceraikan aku!”Wajah Mahen masih dingin, seolah kalimat yang diutarakan Rena hanya angin lalu. Andai Mahen tahu, Rena mati-matian mengumpulkan nyali demi mengucapkannya.Pandangan menghunus Mahen bak ingin menelan Rena hidup-hidup. Selama satu tahun pernikahan, sifat dingin dan cuek suaminya membuat Rena layaknya seonggok sampah tak bernilai.“Kau dan Riani sudah kembali menjalin kasih, bukan?” Degup jantung hampir meledak di dalam sana. Manik Rena menatap takut Mahen yang masih datar.“Benar.”Merosot sudah bahu Rena. Benar kata Sekar, adik iparnya, jika cinta Mahen sudah habis untuk Riani. Kenyataan itu menyadarkan Rena akan posisi sesungguhnya.Rena hanya pengantin pengganti, bukan pelabuhan terakhir.Dirinya yang tak lain hanya penjual jajanan pasar langganan keluarga Wiratama, karena kaburnya sang pengantin wanita, diminta menjadi pengantin pengganti demi nama baik keluarga atas permintaan mendiang eyang Mahen, Aminah. Hati Rena merekah. Mahen yang amat menyayangi sang eyang, me