“Ceraikan aku!”
Wajah Mahen masih dingin, seolah kalimat yang diutarakan Rena hanya angin lalu. Andai Mahen tahu, Rena mati-matian mengumpulkan nyali demi mengucapkannya. Pandangan menghunus Mahen bak ingin menelan Rena hidup-hidup. Selama satu tahun pernikahan, sifat dingin dan cuek suaminya membuat Rena layaknya seonggok sampah tak bernilai. “Kau dan Riani sudah kembali menjalin kasih, bukan?” Degup jantung hampir meledak di dalam sana. Manik Rena menatap takut Mahen yang masih datar. “Benar.” Merosot sudah bahu Rena. Benar kata Sekar, adik iparnya, jika cinta Mahen sudah habis untuk Riani. Kenyataan itu menyadarkan Rena akan posisi sesungguhnya. Rena hanya pengantin pengganti, bukan pelabuhan terakhir. Dirinya yang tak lain hanya penjual jajanan pasar langganan keluarga Wiratama, karena kaburnya sang pengantin wanita, diminta menjadi pengantin pengganti demi nama baik keluarga atas permintaan mendiang eyang Mahen, Aminah. Hati Rena merekah. Mahen yang amat menyayangi sang eyang, mencuri hati Rena dari persembunyian setelah sekian lama. Rena memaksakan senyum, membuat hati nyeri. “Kau bisa menikahinya, tetapi setelah menceraikanku.” Kepalanya menunduk, menyembunyikan buliran air mata yang tak tertahan. Semua pengorbanan sia-sia. Rumah tangga impian berada di ujung tanduk. “Baik. Akan segera kuurus semua dokumennya.” Deg! Tenggorokan Rena tercekat menahan tangis. Kedua tangannya mencengkeram satu sama lain, hingga kuku-kuku memutih. Kesakitan ini hanya ia yang rasakan. "Aku akan menunggunya," ucap Rena dengan sayu. Mahen melihat reaksi istrinya yang pasrah tanpa protes apa pun. Sejak dulu, ia menunggu momen ini. Riani adalah cinta pertama dan terakhir. Wanita itu yang menariknya dari kubangan penuh penyesalan. Baginya, kesalahan Riani yang kabur di hari pernikahan bukanlah sesuatu yang besar. “Aku akan memberimu sejumlah uang dan rumah setelah perceraian.” “Tak perlu!” Kening Mahen mengernyit. “Aku tak keberatan.” Dengan pelan, Rena mengusap jejak air mata. Ada apa dengan dirinya? Bukankah sudah beberapa hari yang lalu ia mempersiapkan diri tuk situasi ini? “Aku ... aku ikhlas menjadi istrimu. Biarkan aku membawa kenangan kita selama satu tahun sebagai hadiahnya.” Mahen terkekeh meremehkan. Istrinya adalah tipe wanita naif. “Hidup tak ada gunanya hanya dengan kenangan. Kau akan butuh uang untuk mengganjal perut.” Dengan wajah menyedihkan, Rena memaksakan senyum. “Aku sudah kehilangan banyak orang tersayang di hidupku. Oleh karena itu, kenangan adalah harta paling berharga yang kupunya.” Rena membuang muka. “Kau tidak mengerti akan hal itu. Kau dan aku berbeda. Hal itu yang membuat kau tak bisa mencintaiku. Kita berbeda.” Rena berbalik. Berada di kamar ini lama-lama hanya akan melukainya semakin dalam. Ia butuh tempat yang sepi. Berteriak sekeras mungkin tanpa manusia lain sadari. Pria bersetelan jas hitam itu menatap punggung rapuh istrinya yang menjauh. Tak ada niat untuk menahan kepergiannya. Bukankah ini yang akan terjadi? Pada akhirnya, ia akan memilih di antara Rena atau Riani. Dan sejak dulu, hatinya hanya terpaut pada Riani, bukan orang lain. ~~~~~~ Berjam-jam terlewati begitu cepat. Di sepanjang jalan yang ia telusuri, tangisnya kian pecah. Entah kapan air mata akan mengering. Yang pasti, hari ini Rena akan menangis sepuasnya. Di bawah atap langit malam, Rena terduduk di bangku taman. Tak banyak orang lalu lalang. Hanya ada beberapa penjual gerobak dan sedikit orang di sekitar taman. “Andai bunda dan ayah masih ada, pasti aku akan tahu tempat untuk pulang.” Rena tak pernah merasakan pelukan sang ayah yang meninggal akibat kecelakaan di saat sang bunda mengandung tujuh bulan. Sedangkan bundanya meninggal akibat serangan jantung tak lama setelah ia melaksanakan kelulusan SMA. Sejak itu, bahu Rena dipaksa kuat untuk menghidupi diri sendiri. Berjualan jajanan pasar keliling, tak jarang menitipkan dagangan ke warung-warung kecil. Hingga suatu hari, seorang wanita tua kaya raya menghampirinya yang sedang meneduh di bawah pohon dengan motor butut dan kotak besar berisi jajanan pasar. Wanita yang tak lain eyangnya Mahen itu memborong dagangan Rena dan memberi uang lebih. Sejak itu, Aminah meminta Rena mengirim jajanan pasar ke rumahnya setiap hari. Mereka menjadi dekat satu sama lain bak seorang nenek dan cucu perempuannya. Lamunan Rena buyar di saat dering ponsel berbunyi nyaring. “Mbok Lastri?” gumam Rena kecewa. Bolehkah ia berharap Mahen yang meneleponnya? Hujan tiba-tiba jatuh membasahi bumi. Rintik yang pelan menjadi sangat ganas dalam hitungan detik. Semua orang tunggang-langgang melindungi diri masing-masing. Dengan pandangan yang terhalang derasnya hujan, Rena melangkah menuju halte terdekat. "Aduh! Aku pulangnya bagaimana ini?" Sepertinya akan sulit mencari pengemudi ojek di aplikasi A. Angin berembus kencang, membuat nyali ciut. Suasana malam berubah mencekam. Rena terjebak sendirian di antara hujan dan kesenduan. Harum khas tanah yang dibasahi rintik hujan membuat bibirnya melengkung. Sejuk dan menenangkan. Tangan Rena terulur, menyentuh air yang menetes dari langit. “Hujan, kau telah menghibur hatiku yang lara. Terima kasih sudah mau menemaniku malam ini.” Setengah jam terlewati. Hujan menyisakan rintik yang sangat bersahabat. Rena keluar dari tempat pelindung, membiarkan tubuhnya basah terkena butiran air. Matanya terpejam. Kepalanya mendongak ke atas sembari membentangkan tangan, seolah ingin hujan memeluknya. Dengan badannya yang mulai diguyur, ia ingin ketakutannya ikut luntur. Ia berharap bisa memudarkan rasa cinta kepada Mahendra Wiratama. “Aaaaaaaa!” Rena berteriak kencang, meluapkan kesakitan yang ia punya. “Mahen! Kau sangat jahat!” Tak ada orang yang bisa mendengar jeritnya kali ini, membuat Rena lega. “Kau selalu melukaiku. Kau ... kau adalah pria yang tak bisa aku benci,” suaranya melemah akibat tangis yang kembali pecah. Saking frustrasinya, Rena tak peduli jika ia berdiri di tengah-tengah jalan. Hujan membuat jalanan itu sepi. Tiba-tiba cahaya lampu mobil menyorot dari arah kanan. Netra Rena yang melihat itu bukannya pergi menghindar, justru ia merentangkan tangan selebar-lebarnya. “Mungkin dengan begini akan lebih baik,” ujarnya dengan senyum tak mencapai mata. Sorot lampu mobil semakin mendekat, membuat Rena memejamkan mata. Jujur, kepalanya sudah terasa pening akibat lama terguyur hujan. Detak jantung seirama dengan detik kematian. Rena menahan napas kala terangnya lampu menembus kelopak mata yang tertutup. “Selamat tinggal, Mahen,” lirihnya. Citttt! Decitan rem mobil nyaring memekakkan telinga. Merasa tubuhnya baik-baik saja, Rena langsung membuka mata. Tangannya seketika terangkat, melindungi mata dari sorot lampu menyilaukan. Dapat Rena dengar pintu mobil terbuka. Seseorang melangkah dan berjalan mendekat. Di saat tubuh itu mulai sedikit tampak, pandangannya malah berkunang-kunang. Rena hilang keseimbangan dan jatuh di atas jalan beraspal yang basah.“Egh ....”Seberkas sinar mengusik kedamaian. Tubuh kurus di bawah selimut menggeliat. Netra yang terpejam perlahan terbuka. Beberapa kali ia mengerjap untuk mengumpulkan kesadaran penuh.Pandangan pertama yang menyapa adalah kamar serba putih yang tak asing.“Kamar? Aku di kamar?”“Non Rena sudah bangun?”Rena menoleh ke sumber suara. Lastri, wanita paruh baya yang bekerja sebagai ART, menyibak beberapa gorden yang masih tertutup.Rena bangkit dari tidur dan terduduk. Sebuah handuk kecil terjatuh di pangkuan. Dapat ia rasakan di beberapa helai rambut sekitar kening tampak sedikit lembap.“Bagaimana bisa aku ada di sini, Mbok?” Tangan Rena sedikit memijit pangkal hidung. Badan terasa remuk dan lemas seolah semua tulang telah rontok satu persatu.“Semalam si bos yang bawa Non Rena pulang. Non Rena pingsan dan basah kuyup. Memangnya apa yang sebenarnya terjadi, Non?” Lastri mendekat, duduk di sisi ranjang. Hubungan mereka sudah dekat sekali. Lastri menganggap Rena seperti anak sendiri.
“Astaga, Rilla! Kenapa kau tak bilang dari semalam kalau mau bolos?” Suara kepanikan sampai di telinga Rena yang tengah duduk di depan kedai yang masih tutup.Jam menunjukkan pukul setengah delapan dan Rena sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu dari rumah karena diusir sang mertua.Si miskin yang memuakkan, begitu kata-kata umpatan Ratna untuk Rena.Adanya Rena di depan kedai ini pun karena tak tahu harus pergi ke mana. Yang pasti, ia ingin mencari pekerjaan baru.Pria berambut kribo itu masih menggerutu. Percakapan di seberang sana tak sengaja terdengar di telinga Rena.“Siapa yang tahu kalau aku bakal kena diare? Dasar brokoli!”“Pft!” Spontan Rena menutup mulut karena menahan tawa.Pria yang masih memegang ponsel itu seketika mengakhiri panggilan, menoleh ke arah Rena dan melirik sebal.“Kau pikir ini lucu?” sindirnya.Rena yang sadar akan kesalahannya buru-buru menetralkan wajah. “Ma-maaf.”Tak ada sahutan. Si pria membuka pintu kedai. Mulutnya masih saja komat-kamit dengan r
Pagi ini, Rena telah berdiri di gedung milik Wira Group. Lastri memintanya tuk mengirim map merah milik Mahen yang tertinggal.Jujur, Rena sebenarnya tak mau melihat muka Mahen. Kemarin, Mahen memakinya karena tak memberi kabar. Soal pekerjaan baru, ia merahasiakan dari siapa pun. "Lain kali kalau mau kelayapan, balas pesanku!" Mahen membentak Rena yang baru saja menginjakkan kaki di rumah. Saat hendak masuk gedung, Rena menilik penampilannya yang buluk. Para karyawati dengan rapi memakan pakaian formal yang elegan. Sedangkan ia, ia hanya mengenakan celana hitam, kemeja biru gelap, dan sepasang sepatu lusuh. “Bagaimana ini? Aku takut.” Rena mencengkeram ujung bajunya sendiri. Langkahnya berjalan pelan dengan ketakutan yang mendarah daging. “Hei! Cari siapa?” Suaranya menggelegar, hingga Rena terlonjak kaget. “Sa-saya Rena, Pak. Mau antar ini,” sembari mengangkat map merah di tangan kanan. “Oh! Kau kurir?” tebak pria berkumis tebal dengan seragam satpam. Namanya Rob. Bibir Rena
“Tolong, lepaskan aku!” teriak Rena kesakitan. Telinga Mahen seakan tuli. Tangannya masih mencengkeram kuat dan menyeret Rena masuk ke dalam rumah. Isak tangis menggema. Lastri tergopoh-gopoh menghampiri. “Astagfirullah! Tuan, jangan sakiti Non Rena.” Tanpa sadar, Lastri pun ikut menangis. Cukup sudah kesakitan yang ia saksikan selama ini. Rena adalah wanita yang baik dan berhak bahagia. Mahen makin berang saat Lastri berusaha melepaskan cengkeramannya pada Rena. “Diam, Mbok!” bentaknya, membuat raut kekecewaan tercetak di gurat wajah tua Lastri. Rena terpaku, menatap Mahen tak percaya. Selama yang ia tahu, Mahen sangat menghormati Lastri bak ibu kandungnya sendiri. Lasti juga yang membantu mengurus Mahen sejak sekolah dasar. “Mahen! Kau tak berhak membentak Mbok Lastri!” protes Rena dengan berani di sisa tenaga yang ada meski suaranya hampir hilang. Mahen tetap menyeret Rena ke lantai dua. Rena pun tak tahu mengapa Mahen begitu semarah ini. Mahen membawa Rena masuk ke
Perlahan tapi pasti, Rena mengendarai motor biru bututnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Pikirannya sedang kacau balau. Mahen melukai harga dirinya tanpa sedikit pun rasa iba. Dua kali, dua kali ia dipaksa melayani Mahen dan pria itu berhasil menorehkan luka hati mendalam.“Aku ingin bercerai, tetapi dia malah menodaiku. Bagaimana jika aku hamil? Aku tak mau dimadu. Hiks!” Pil pencegah kehamilan yang diberikan Mahen ternyata tak mampu menenangkan kegundahan Rena.Rena tiba di kawasan taman yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Permen kapas warna-warni seolah menggodanya tuk mendekat.Meski hari kerja, pagi ini banyak muda-mudi berdatangan. Ada yang sekadar lari pagi, mencari jajanan, bahkan cuma duduk-duduk dan bersenda gurau.Rena memarkirkan motor, lalu berlari kecil ke arah lelaki penjual permen kapas.“Dek, beli permen kapasnya satu.” Rena memanggilnya seperti itu karena si penjual tampak masih remaja.“Mau beli yang warna apa, Kak? Merah muda, ungu, biru, atau yang pelang
Perlahan tapi pasti, Rena mengendarai motor biru bututnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Pikirannya sedang kacau balau. Mahen melukai harga dirinya tanpa sedikit pun rasa iba. Dua kali, dua kali ia dipaksa melayani Mahen dan pria itu berhasil menorehkan luka hati mendalam.“Aku ingin bercerai, tetapi dia malah menodaiku. Bagaimana jika aku hamil? Aku tak mau dimadu. Hiks!” Pil pencegah kehamilan yang diberikan Mahen ternyata tak mampu menenangkan kegundahan Rena.Rena tiba di kawasan taman yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Permen kapas warna-warni seolah menggodanya tuk mendekat.Meski hari kerja, pagi ini banyak muda-mudi berdatangan. Ada yang sekadar lari pagi, mencari jajanan, bahkan cuma duduk-duduk dan bersenda gurau.Rena memarkirkan motor, lalu berlari kecil ke arah lelaki penjual permen kapas.“Dek, beli permen kapasnya satu.” Rena memanggilnya seperti itu karena si penjual tampak masih remaja.“Mau beli yang warna apa, Kak? Merah muda, ungu, biru, atau yang pelang
“Tolong, lepaskan aku!” teriak Rena kesakitan. Telinga Mahen seakan tuli. Tangannya masih mencengkeram kuat dan menyeret Rena masuk ke dalam rumah. Isak tangis menggema. Lastri tergopoh-gopoh menghampiri. “Astagfirullah! Tuan, jangan sakiti Non Rena.” Tanpa sadar, Lastri pun ikut menangis. Cukup sudah kesakitan yang ia saksikan selama ini. Rena adalah wanita yang baik dan berhak bahagia. Mahen makin berang saat Lastri berusaha melepaskan cengkeramannya pada Rena. “Diam, Mbok!” bentaknya, membuat raut kekecewaan tercetak di gurat wajah tua Lastri. Rena terpaku, menatap Mahen tak percaya. Selama yang ia tahu, Mahen sangat menghormati Lastri bak ibu kandungnya sendiri. Lasti juga yang membantu mengurus Mahen sejak sekolah dasar. “Mahen! Kau tak berhak membentak Mbok Lastri!” protes Rena dengan berani di sisa tenaga yang ada meski suaranya hampir hilang. Mahen tetap menyeret Rena ke lantai dua. Rena pun tak tahu mengapa Mahen begitu semarah ini. Mahen membawa Rena masuk ke
Pagi ini, Rena telah berdiri di gedung milik Wira Group. Lastri memintanya tuk mengirim map merah milik Mahen yang tertinggal.Jujur, Rena sebenarnya tak mau melihat muka Mahen. Kemarin, Mahen memakinya karena tak memberi kabar. Soal pekerjaan baru, ia merahasiakan dari siapa pun. "Lain kali kalau mau kelayapan, balas pesanku!" Mahen membentak Rena yang baru saja menginjakkan kaki di rumah. Saat hendak masuk gedung, Rena menilik penampilannya yang buluk. Para karyawati dengan rapi memakan pakaian formal yang elegan. Sedangkan ia, ia hanya mengenakan celana hitam, kemeja biru gelap, dan sepasang sepatu lusuh. “Bagaimana ini? Aku takut.” Rena mencengkeram ujung bajunya sendiri. Langkahnya berjalan pelan dengan ketakutan yang mendarah daging. “Hei! Cari siapa?” Suaranya menggelegar, hingga Rena terlonjak kaget. “Sa-saya Rena, Pak. Mau antar ini,” sembari mengangkat map merah di tangan kanan. “Oh! Kau kurir?” tebak pria berkumis tebal dengan seragam satpam. Namanya Rob. Bibir Rena
“Astaga, Rilla! Kenapa kau tak bilang dari semalam kalau mau bolos?” Suara kepanikan sampai di telinga Rena yang tengah duduk di depan kedai yang masih tutup.Jam menunjukkan pukul setengah delapan dan Rena sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu dari rumah karena diusir sang mertua.Si miskin yang memuakkan, begitu kata-kata umpatan Ratna untuk Rena.Adanya Rena di depan kedai ini pun karena tak tahu harus pergi ke mana. Yang pasti, ia ingin mencari pekerjaan baru.Pria berambut kribo itu masih menggerutu. Percakapan di seberang sana tak sengaja terdengar di telinga Rena.“Siapa yang tahu kalau aku bakal kena diare? Dasar brokoli!”“Pft!” Spontan Rena menutup mulut karena menahan tawa.Pria yang masih memegang ponsel itu seketika mengakhiri panggilan, menoleh ke arah Rena dan melirik sebal.“Kau pikir ini lucu?” sindirnya.Rena yang sadar akan kesalahannya buru-buru menetralkan wajah. “Ma-maaf.”Tak ada sahutan. Si pria membuka pintu kedai. Mulutnya masih saja komat-kamit dengan r
“Egh ....”Seberkas sinar mengusik kedamaian. Tubuh kurus di bawah selimut menggeliat. Netra yang terpejam perlahan terbuka. Beberapa kali ia mengerjap untuk mengumpulkan kesadaran penuh.Pandangan pertama yang menyapa adalah kamar serba putih yang tak asing.“Kamar? Aku di kamar?”“Non Rena sudah bangun?”Rena menoleh ke sumber suara. Lastri, wanita paruh baya yang bekerja sebagai ART, menyibak beberapa gorden yang masih tertutup.Rena bangkit dari tidur dan terduduk. Sebuah handuk kecil terjatuh di pangkuan. Dapat ia rasakan di beberapa helai rambut sekitar kening tampak sedikit lembap.“Bagaimana bisa aku ada di sini, Mbok?” Tangan Rena sedikit memijit pangkal hidung. Badan terasa remuk dan lemas seolah semua tulang telah rontok satu persatu.“Semalam si bos yang bawa Non Rena pulang. Non Rena pingsan dan basah kuyup. Memangnya apa yang sebenarnya terjadi, Non?” Lastri mendekat, duduk di sisi ranjang. Hubungan mereka sudah dekat sekali. Lastri menganggap Rena seperti anak sendiri.
“Ceraikan aku!”Wajah Mahen masih dingin, seolah kalimat yang diutarakan Rena hanya angin lalu. Andai Mahen tahu, Rena mati-matian mengumpulkan nyali demi mengucapkannya.Pandangan menghunus Mahen bak ingin menelan Rena hidup-hidup. Selama satu tahun pernikahan, sifat dingin dan cuek suaminya membuat Rena layaknya seonggok sampah tak bernilai.“Kau dan Riani sudah kembali menjalin kasih, bukan?” Degup jantung hampir meledak di dalam sana. Manik Rena menatap takut Mahen yang masih datar.“Benar.”Merosot sudah bahu Rena. Benar kata Sekar, adik iparnya, jika cinta Mahen sudah habis untuk Riani. Kenyataan itu menyadarkan Rena akan posisi sesungguhnya.Rena hanya pengantin pengganti, bukan pelabuhan terakhir.Dirinya yang tak lain hanya penjual jajanan pasar langganan keluarga Wiratama, karena kaburnya sang pengantin wanita, diminta menjadi pengantin pengganti demi nama baik keluarga atas permintaan mendiang eyang Mahen, Aminah. Hati Rena merekah. Mahen yang amat menyayangi sang eyang, me