Zia dilarikan ke rumah sakit oleh Desta, setelah merintih memegang perutnya. Wajah Zia pucat bak mayit hidup dengan keringat dingin mengucur deras. Gusti pun ikut merasakan kedua kakinya lemas. Pria itu merosot duduk di lantai tanah halaman rumah Desta. "Ingat, Mas, jika sesuatu terjadi pada Zia, maka kamu harus bertanggung jawab!"Kalimat itu terus saja terngiang di kepala Gusti. Ia berusaha bangun diantara kedua kaki yang lemas. Pria itu keluar dari rumah Desta untuk pulang ke rumahnya. Satu hal yang ia sesali dan semoga belum terlambat, bahwa ia bersikap terlalu kekanakan. Apa haknya marah dengan Zia, sedangkan Zia sudah tidak ada lagi urusan dengannya? Jikalau Zia memanfaatkan Desta, pasti adiknya juga lebih paham. Kring! KringGusti terburu-buru masuk ke dalam rumah untuk mengangkat telepon. "Halo, Ma, assalamu'alaikum.""Gusti, Mama dan Papa sudah mau sampai. Bilang sama Desta dan Zia, suruh bersiap-siap. Khususnya Zia, karena ia yang akan mengurus Hilmi. Mama besok langsung
A"Gina, Gading, main sepedanya jangan jauh-jauh!""Iya, Bunda," jawab dua anak kembar berusia empat tahun itu. Zia tersenyum sembari mengintip buah hatinya dari atas etalase jualan yang tengah bermain sepeda bersama teman-teman seusianya. Empat tahun lebih sudah berlalu sejak ia pergi meninggalkan Jakarta. Hidup mandiri dengan segala kedukaan hingga bertemu dengan banyak orang baik yang membantunya. Kabur dalam keadaan hamil dan tidak memiliki suami, tentu saja bukan perkara mudah dan bisa diterima setiap orang. Namun, Tuhan memudahkan segalanya, walau tetap ada saja ujian hidup yang harus ia lewati dengan dua anak kembarnya. Sang Kakak, Gading lahir lebih dulu sekian detik daripada Gina. Tidak ada yang tahu bahwa ia hamil kembar, hanya dirinya dan dokter yang merawatnya waktu itu. Jika saja ia tidak nekat kabur dari rumah sakit, bisa saja janinnya benar-benar tidak bisa diselamatkan karena terus saja bertengkar dengan Gusti. "Bu Zia, beli pulsa listrik." Zia yang tengah tertegu
"Papa kenapa belum tidur?" tanya Hilmi yang sedari tadi merasa terganggu dengan gerakan tubuh Gusti di kasur. Ini sudah pukul sebelas malam, biasanya sang Papa sudah pulas tepat pukul sepuluh. Namun, hingga pukul sebelas lebih lima belas menit, papanya belum juga tidur. Sibuk berbalik ke kanan dan juga ke kiri. "Belum, gak tahu nih kenapa?" jawab Gusti seadanya. Padahal ia cemas menanti pagi karena ia akan bertemu dengan Zia. "Papa tahu gak, anak Teh Zia namanya siapa?" Gusti menatap Hilmi dengan penuh penasaran. Kenapa tiba-tiba anak lelakinya mengatakan hal yang bakalan membuatnya semakin tidak bisa tidur? "Siapa?" tanya Gusti seperti tidak begitu berminat. Padahal saat ini jantungnya berdetak begitu cepat. "Gina yang perempuan dan Gading yang laki-laki. Namanya huruf G semua, he he... mirip nama Papa Gusti." Lelaki itu kembali terdiam. Hatinya semakin yakin, bahwa anak Zia adalah anaknya, darah daging yang ia buat saat dirinya berada dalam ketidakwarasan. "Papa minum air hanga
“Tunggu, Zia, saya mau bicara!” Gusti berhasil mengejar Zia, kemudian menahan lengan wanita itu. Wajah Zia sudah pucat sekaligus berkeringat karena gugup dan takut dengan Gusti. Diantara banyak kota yang ia tuju untuk kabur dari Gusti dan keluarganya, kenapa tetap saja bisa bertemu setelah sekian tahun terlewati dengan aman. “Maaf, Bapak salah orang, saya bukan Zia.” Wanita itu mencoba melepas cengkeraman tangan Gusti, tetapi tidak bisa. “Kamu, Zia. Jangan bohong! Aku tahu kamu Zia.” Gusti masih bersikeras menahan lengan Zia. Pria dewasa itu tidak menyadari bahwa apa yang ia lakukan saat ini bisa membuat Zia semakin takut dan mungkin saja akan kembali melarikan diri dari Gusti. “Bapak mau bicara apa? Saya sudah tidak pernah mengganggu Bapak dan keluarga Bapak lagi. Jadi tolong tinggalkan saya dan jangan muncul di depan saya lagi. Saya mohon, Pak.” Zia menangis takut penuh permohonan. “Saya juga gak mau ganggu kamu, Zia. Saya Cuma ingin tahu, apakah anak kembar tadi
"Papa mau nasi kuning juga? Ini, punya Gading ambil saja." Gusti tersenyum kaku di depan kedua anak kembarnya. Jika Gading banyak berbicara, beda dengan Gina yang diam saja dan bersandar di tubuh bundanya. Zia pun tidak banyak bicara. Ia hanya diam saja sambil menatap jengah Gusti yang sok akrab dengan Gading. "Buat Gading saja, Papa sudah makan," jawab Gusti lagi sambil tersenyum. Lidahnya begitu kelu saat melontarkan kata papa dalam membahasakan dirinya. "Oh, Papa sarapan apa? Papa sudah selesai kerjanya ya?""Gading, makan dulu baru bicara, nanti kalau makan sambil bicara, Gading bisa tersedak," ujar Zia mengingatkan. "Papa, suapin Gading ya?" anak kecil itu memberikan piring plastiknya pada Gusti. Pria dewasa itu mengangguk sambil tersenyum samar. Ia mulai menyuapi Gading tanpa bicara. Gading nampak gembira karena ia kini sudah duduk di paha papanya. Gina yang melihat sosok pria dewasa yang begitu dekat dengan kembarannya, ikut bangun dari duduknya untuk menghampiri Gusti dan G
Gusti membuktikan ucapannya. Pria itu sama sekali tidak beranjak dari parkiran sekolah; menunggu kedua buah hatinya pulang sekolah, sedangkan Zia sudah pulang ke rumah karena ia harus membuka warung dan juga sambil memasak. Di satu sisi ia terganggu dengan hadirnya Gusti kembali di hidupnya, tetapi di sisi lain ia tidak mau ambil pusing karena ia tahu sikap Gusti yang susah ditebak. Bisa saja lelaki itu menjadi lebih sabar saat ini hanya karena anak-anak. Tentu saja, tidak mungkin karena dirinya. Pukul sebelas, Zia sudah selesai memasak dan bersiap untuk pergi ke sekolah untuk menjemput si Kembar. Zia tidak tahu, kalau Gusti masih di sana menunggu kedua anak mereka. Tahu sendiri angkutan umum bila sudah mengetem, maka bisa setengah jam tidak juga jalan. Zia sudah khawatir karena ini sudah lewat lima menit dari jam pulang anaknya. "Kiri, Bang." Zia turun dengan serampangan karena angkot belum juga mau jalan lagi. Ia membayar ongkos tiga ribu rupiah, kemudian berjalan sedikit jauh un
Anak-anak diturunkan satu per satu dari mobil Gusti secara bergantian. Tentu saja pria itu tidak bisa menggendong sekaligus dua anak dalam keadaan tidur pulas. Gina dan Gading sangat puas bermain di mal hingga malam hari. Mulai dari nonton, makan, main di playground, makan lagi, belanja, makan es krim, ke toko buku, hingga akhirnya mereka adalah pengunjung terakhir yang pulang karena mal akan tutup. Zia membukakan pintu kontrakan dengan terburu-buru agar Gusti tidak keberatan menggendong Gina. Setelah itu, ia berlari ke depan gang untuk mengecek mobil Gusti karena masih ada Gading yang tertinggal di mobil. Setelah meletakkan Gina di tempat tidur busa yang mulai mengempis itu, Gusti kembali ke depan gang untuk menggendong Gading. Si Abang yang badannya lebih besar dan lebih padat berisi daripada adiknya. "Aku butuh jawaban kamu secepatnya, Zia. Biar anak-anak segera pindah kerumahku. Kasihan anak-anak tidur di kasur busa tipis seperti ini. Langsung kena lantai pula." Gusti menunjuk
Zia mencuci pipinya dengan sabun berkali-kali agar ciuman bekas bibir Gusti benar-benar hilang. Jika saja tidak sedang berada di depan si Kembar, sudah pasti ia menggeplak kepala lelaki itu karena kesal dan marah. Ketiganya sudah berangkat ke sekolah, sehingga ia bisa menata hati dan detak jantungnya yang tidak baik-baik saja. Bisa dikatakan saat ini dia tengah syok. Gusti yang dahulu begitu jijik dengannya, tiba-tiba menjadi sok bertanggung jawab sekaligus sok manis dengannya, apalagi di depan anak-anaknya. Zia pun memutuskan untuk memasak saja sambil menunggu pembeli datang ke warungnya. Ia harus masak sedikit lebih, karena bisa saja Gusti nanti makan bersama anak-anaknya. Tidak, bukan karena ia memikirkan lelaki itu yang kelaparan, tetapi karena ia mau menjaga perasaan anak-anaknya. "Beli!" Seruan di depan sana membuat Zia meletakkan tahu yang sedang di potongnya menjadi bentuk dadu. "Sebentar!" Jawab Zia dengan langkah tergesa. "Eh, Bang Anwar, beli apa, Bang?" rupanya Bang A
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali," bisik Galih; menghentikan gerakan tangannya. Melepas keintiman ciuman itu sesaat untuk menatap lekat sangat Istri yang wajahnya sudah bersemu merah. Ditambah riasan bibir yang sudah amat berantakan karena ulahnya. Mata Dia pun berkaca-kaca. Berada dalam kamar pengantin sangat bagus bersama dengan lelaki yang selalu ia cintai sepanjang hidupnya, tentu saja tidak berani ia mimpikan, tetapi kali ini, kenyataan manis sedang ia hadapan bersama sang pujaan hati. "Terima kasih sudah berusaha sejauh ini untuk kebahagiaan saya dan anak-anak," balas Zia sambil menunduk. Tetes air matanya jatuh tepat di punggung tanganku Gusti. Pria ia mengangkat dagu Zia dengan lembut. Menghapus air mata di pipi istrinya dengan bibirnya. Bergantian, kanan dan kiri. Suasana baru itu hanya sesaat, karena kemudian Gusti sudah menghujani Zia dengan ciuman. Ciuman kali ini berbeda dari ciuman yang pernah mereka lakukan sebelumnya, bahkan dalam gairah yang meluap-luap. C
Pov Desta"Mbak kapan sampai? Mana Mas Gusti? Hilmi gak ikut?" tanyaku pada wanita yang sedang duduk di ruang tengah rumahku.Hari ini memang Mas Gusti berencana datang ke Jogja untuk urusan pekerjaan. Ada proyek yang harus ia pantau untuk beberapa hari di sekitar Jogya. Tentu saja aku tidak keberatan jika Mas Gusti menginap di rumahku, apalagi aku sudah lama tidak berbincang dengannya. Namun aku tidak tahu kalau Mas Gusti ke rumah bersama Mbak Hanin. Pria itu sama sekali tidak memberitahu perihal Mbak Hanin yang turut serta."Satu jam yang lalu. Aku bawa makanan tuh! Kata Mas Gusti, kamu jarang masak, makanya dari rumah udah aku masakin, tinggal dipanaskan saja," jawab Mbak Hanin sambil tersenyum manis. Senyuman yang selalu membuat hati ini berdebar. Aku tahu tidak boleh ada debar di jantung ini terhadap Mbak Hanin, tetapi aku tidak bisa menahannya. Dari pada jantungku tidak berdebar, malah lebih repot lagi."Terima kasih, Mbak, saya mau mandi dulu baru makan ya." Tanpa menunggu bala
Semua berkas sudah diurus oleh keduanya. Tanggal pun sudah didapatkan untuk melaksanakan hari bahagia antara Zia dan Gusti. Persiapan pun mulai dikerjakan dengan benar-benar mengerahkan bantuan dari sanak-saudara. Wedding organizer ter-the best juga sudah dipesan Gusti. Ia memang sudah berjanji akan memberikan pernikahan terbaik untuk Zia. Sebagai penebus dosa masa lalu yang sangat berat.Zia yang awalnya menolak karena menurutnya semua terlalu mewah, sedangkan kehidupan pernikahan itu panjang. Ia ingin Gusti sedikit berhemat, tetapi Gusti menolak. Undangan sedang di design dan akan dicetak sebanyak lima ratus lembar. Belum lagi undangan virtual bagi saudara yang jauh dan kiranya tidak bisa dikunjungi untuk diberikan undangan.Mungkin akan ada sekitar seribu undangan yang akan hadir nanti."Zia, sini sebentar!" Panggil Gusti saat Zia tengah berada di ruang makan. Menata makan sore untuk keluarganya. Bik Desi pulang lebih awal karena tidak enak badan, sehingga tidak bisa membantunya s
Zia yang tidak diperbolehkan keluar dari kamar, akhirnya memutuskan mandi untuk menyegarkan tubuh dan kepalanya. Baju daster lama favorit ia pakai walau sudah sobek bagian ketiak. Ia merasa tidak perlu khawatir akan pakaian itu karena tidak mungkin juga ia mau mengangkat tangan sampai kelihatan ketiaknya. Suara riuh-ramai di luar kamar menandakan anak-anak sudah pulang dari sekolah. Mungkin mereka sudah langsung bercengkerama dengan Desta, sedangkan ia masih dipingit di kamar.Menurutnya Gusti terlalu lebay dengan melarangnya bertemu Desta tanpa ditemani dirinya. Padahal jika ingin jujur, ia pun rindu pada Desta. Bukan rindu layaknya pasangan lawan jenis, tetapi rindu sebagai saudara. Zia pun akhirnya tertidur setelah lama menunggu di atas kasur. Wanita itu tidak tahu bahwa suaminya sudah pulang dan langsung masuk ke dalam kamar. Ia berbaring terlentang dengan kedua tangan berada di atas kepala, hingga terlihatlah lubang pada baju dasternya, tepat di bagian ketiak. Gusti terkekeh.
"Alhamdulillah, Mama senang lihat kamu dan Gusti sudah akur," kata Bu Nadia sambil mengusap rambut Zia. "Maafkan Gusti atas kesalahannya yang dulu. Mama saat mengetahui Hanin dan Desta... " Bu Nadia tak sanggup meneruskan ucapannya. "Sudah, Ma, jangan diingat lagi ya. Mbak Hanin juga sudah tiada. Kasihan jika kita terus saja mengingat hal buruk tentang Mbak Hanin, padahal almarhumah melakukan itu karena rasa cintanya yang luar biasa pada Pak Gusti. Saya mengerti sekali posisi Mbak Hanin yang merasa serba salah." Tanpa terasa, air bening sudah menggenang di pelupuk matanya. Bagi seorang Zia, Hanin adalah layaknya kakak, ibu, yang tidak akan pernah tergantikan posisinya. Ia menyayangi Mbak Hanin seperti saudara sendiri. Jadi apapun yang dikatakan orang tentang wanita itu, Zia sudah tutup mata. Hanin adalah pribadi yang baik, hanya saja ia menghalalkan segala cara untuk menyenangkan hati suaminya. "Mungkin ini takdir. Mama berkali-kali bilang begitu sama Gusti. Dua belas tahun merek
"Saya belum mengantuk. Bagaimana kalau kita diskusi tentang pernikahan saja?" tanya Gusti saat mereka sudah berbaring di ranjang. Zia menoleh dengan tatapan bingung. Pernikahan apa lagi? Kenapa ia tidak pernah bisa memahami apa maksudnya Gusti? "Pernikahan siapa, Pak?" tanya Zia. Wanita itu menoleh ke samping dengan datar. "Pernikahan kita.""Maksudnya?" Zia semakin tidak paham. "Saya ingin kita menikah kembali secara resmi. Biar punya buku nikah dan anak-anak juga memiliki akte lahir." Zia terdiam. Perasaanya campur aduk antara senang dan juga bimbang. Ia belum yakin sepenuhnya bahwa Gusti sudah berubah. Bisa saja lelaki di sampingnya ini sedang merencanakan sesuatu. "Kenapa, gak mau ya?" tanya Gusti yang kini sudah berbaring miring menatap Zia. "Lurus aja tidurannya bisa gak, Pak?" Zia mendorong Gusti hingga lelaki itu tidur kembali dengan posisi lurus menatap langit-langit kamar. Pria itu tertawa, tetapi ia menurut. Posisinya kembali seperti semula. "Zia, saya serius. Saya ma
Pukul setengah tujuh pagi, anak-anak berangkat sekolah dengan diantar oleh Gusti. Semuanya sarapan dengan penuh suka cita karena pagi ini, pagi pertama bagi Zia menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Ada roti bakar, sosis, dan juga baso bakar. Ada juga nasi goreng ikan teri, jus buah, dan juga susu untuk Gina. Gina lebih suka susu jika pagi hari, dibandingkan dengan segelas jus. Tentu saja ia tidak mengerjakannya sendirian, ada Bik Desi yang membantunya memasak. Wanita setengah baya itu sangat baik dan juga lemah lembut saat bertutur kata. Pantas saja Gusti mempercayakan kunci rumah pada wanita itu."Biar saya yang cuci piring, Bu. Kata bapak, Ibu hanya boleh di dapur saat bikin sarapan saja. Untuk makan siang dan pekerjaan rumah lainnya biar saya yang kerjakan. Ibu tenang saja, saya gak merasa kerepotan karena sudah terbiasa sejak muda." Bik Desi menahan tangan Zia, saat wanita itu sudah memegang sponge cuci piring. "Gak papa, Bik, saya bingung kalau gak ngapa-ngapain ma
"Ada rahasia apa, Pak? dan kenapa harus diceritakan pada saya?" Zia masih menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. "Sebelumnya saya mau minta maaf sama kamu, karena sudah menuduh kamu penyebab Hanin terpeleset dan akhirnya menjnggal." Gusti kembali menarik napas. Ia berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata jika sudah berhubungan dengan Hanin. "Padahal, bukan salah kamu. Hilmi yang bermain kain pel sehingga Hanin terpeleset. Hilmi juga saat itu tidak sengaja karena ia berniat membantu kamu katanya. Saya dapat ceritanya dari Hilmi dua tahun setelah kamu pergi, saat kami berziarah ke makam Hanin. Maafkan saya, Zia. Kamu terlalu sayang dengan Hilmi sehingga menutupi kejadian yang sebenarnya padahal kamu juga dibuat susah oleh saya." Air mata Gusti akhirnya tumpah. Pria dewasa itu meraih tangan Zia untuk ia genggam erat. Zia menarik tangannya dengan kuat, tetapi tidak bisa. Gusti menggenggamnya benar-benar erat. Zia pun ikut berkaca-kaca. Akhirnya, Tuhan membuka sendiri tabir kenyat
Bertahun-tahun sejak Hanin meninggal, baru kali ini lagi ranjangnya ada orang lain selain dirinya. Suara napas Zia yang turun naik dengan teratur membuat Gusti tersenyum. Bisa-bisanya Zia pulas padahal di sampingnya ada buaya. Gusti yang awalnya berbaring miring memunggungi Zia, kini sudah berbalik menatap istrinya tanpa berkedip. Dengan bertumpu pada siku, Gusti meletakkan kepalanya di telapak tangan. Menatap Zia dengan berjuta perasaan di hatinya. Kembali Gusti menghela napas sambil memperhatikan wajah Zia yang sebenarnya manis, tetapi kulitnya saja yang gelap. Bukan karena dasar kulitnya gelap, tetapi karena terbakar sinar matahari. Puas melihat Zia, Gusti merapikan selimut istrinya yang sempat melorot hingga perut. Setelah dirasa nyaman dan pas, Gusti pun ikut berbaring telentang; bersiap untuk menikmati malam bersama dengan istrinya. Pukul setengah lima pagi, Zia terbangun. Suara senandung sholawat dari pegeras suara di masjid, membuat Zia membuka matanya perlahan. Rasanya ini