"Papa mau nasi kuning juga? Ini, punya Gading ambil saja." Gusti tersenyum kaku di depan kedua anak kembarnya. Jika Gading banyak berbicara, beda dengan Gina yang diam saja dan bersandar di tubuh bundanya. Zia pun tidak banyak bicara. Ia hanya diam saja sambil menatap jengah Gusti yang sok akrab dengan Gading. "Buat Gading saja, Papa sudah makan," jawab Gusti lagi sambil tersenyum. Lidahnya begitu kelu saat melontarkan kata papa dalam membahasakan dirinya. "Oh, Papa sarapan apa? Papa sudah selesai kerjanya ya?""Gading, makan dulu baru bicara, nanti kalau makan sambil bicara, Gading bisa tersedak," ujar Zia mengingatkan. "Papa, suapin Gading ya?" anak kecil itu memberikan piring plastiknya pada Gusti. Pria dewasa itu mengangguk sambil tersenyum samar. Ia mulai menyuapi Gading tanpa bicara. Gading nampak gembira karena ia kini sudah duduk di paha papanya. Gina yang melihat sosok pria dewasa yang begitu dekat dengan kembarannya, ikut bangun dari duduknya untuk menghampiri Gusti dan G
Gusti membuktikan ucapannya. Pria itu sama sekali tidak beranjak dari parkiran sekolah; menunggu kedua buah hatinya pulang sekolah, sedangkan Zia sudah pulang ke rumah karena ia harus membuka warung dan juga sambil memasak. Di satu sisi ia terganggu dengan hadirnya Gusti kembali di hidupnya, tetapi di sisi lain ia tidak mau ambil pusing karena ia tahu sikap Gusti yang susah ditebak. Bisa saja lelaki itu menjadi lebih sabar saat ini hanya karena anak-anak. Tentu saja, tidak mungkin karena dirinya. Pukul sebelas, Zia sudah selesai memasak dan bersiap untuk pergi ke sekolah untuk menjemput si Kembar. Zia tidak tahu, kalau Gusti masih di sana menunggu kedua anak mereka. Tahu sendiri angkutan umum bila sudah mengetem, maka bisa setengah jam tidak juga jalan. Zia sudah khawatir karena ini sudah lewat lima menit dari jam pulang anaknya. "Kiri, Bang." Zia turun dengan serampangan karena angkot belum juga mau jalan lagi. Ia membayar ongkos tiga ribu rupiah, kemudian berjalan sedikit jauh un
Anak-anak diturunkan satu per satu dari mobil Gusti secara bergantian. Tentu saja pria itu tidak bisa menggendong sekaligus dua anak dalam keadaan tidur pulas. Gina dan Gading sangat puas bermain di mal hingga malam hari. Mulai dari nonton, makan, main di playground, makan lagi, belanja, makan es krim, ke toko buku, hingga akhirnya mereka adalah pengunjung terakhir yang pulang karena mal akan tutup. Zia membukakan pintu kontrakan dengan terburu-buru agar Gusti tidak keberatan menggendong Gina. Setelah itu, ia berlari ke depan gang untuk mengecek mobil Gusti karena masih ada Gading yang tertinggal di mobil. Setelah meletakkan Gina di tempat tidur busa yang mulai mengempis itu, Gusti kembali ke depan gang untuk menggendong Gading. Si Abang yang badannya lebih besar dan lebih padat berisi daripada adiknya. "Aku butuh jawaban kamu secepatnya, Zia. Biar anak-anak segera pindah kerumahku. Kasihan anak-anak tidur di kasur busa tipis seperti ini. Langsung kena lantai pula." Gusti menunjuk
Zia mencuci pipinya dengan sabun berkali-kali agar ciuman bekas bibir Gusti benar-benar hilang. Jika saja tidak sedang berada di depan si Kembar, sudah pasti ia menggeplak kepala lelaki itu karena kesal dan marah. Ketiganya sudah berangkat ke sekolah, sehingga ia bisa menata hati dan detak jantungnya yang tidak baik-baik saja. Bisa dikatakan saat ini dia tengah syok. Gusti yang dahulu begitu jijik dengannya, tiba-tiba menjadi sok bertanggung jawab sekaligus sok manis dengannya, apalagi di depan anak-anaknya. Zia pun memutuskan untuk memasak saja sambil menunggu pembeli datang ke warungnya. Ia harus masak sedikit lebih, karena bisa saja Gusti nanti makan bersama anak-anaknya. Tidak, bukan karena ia memikirkan lelaki itu yang kelaparan, tetapi karena ia mau menjaga perasaan anak-anaknya. "Beli!" Seruan di depan sana membuat Zia meletakkan tahu yang sedang di potongnya menjadi bentuk dadu. "Sebentar!" Jawab Zia dengan langkah tergesa. "Eh, Bang Anwar, beli apa, Bang?" rupanya Bang A
Zia sudah berdiri di depan rumah bergaya minimalis berlantai satu yang nampak luas. Pemilik rumah tengah memutar anak kunci untuk membuka pintu. Sebelah tangan kanannya masih memegang tas jinjing berukuran sedang, lalu tas jinjing berukuran besar masih ada di lantai teras. Zia menyusul Gusti ke depan pintu. "Apa Bapak yakin mengajak saya tinggal di sini?" tanya Zia tidak yakin bercampur cemas. "Yakinlah, kamu tuh masih istri saya. Udah, jangan bingung. Ayo, masuk!" Gusti mempersilakan Zia masuk ke dalam rumahnya yang ternyata cukup besar. Jika dilihat dari luar, nampak biasa saja, tetapi saat sudah menginjak lantai ruang tamu rumah itu, barulah terasa bedanya. Gusti berjalan ke arah kanan, lalu menghampiri sebuah pintu. "Ini kamar Gina. Ingat, Gina anak perempuan, tidak akan mungkin ia tidur terus dengan Gading. Lalu Gading akan tidur dengan Hilmi, setuju'kan?" Zia mengangguk. Ucapan Gusti memang sangat benar. Ia sampai lupa bahwa Gina dan Gading adalah kembar yang berlainan jenis
Zia sedang duduk di ruang tengah saat seru mesin mobil berhenti di depan rumahnya. Cepat Zia menekan off pada tombol remote, lalu berjalan tergesa untuk melihat siapa yang datang. Namun, bukan mobil Gusti. Zia terus memandangi pintu mobil yang baru saja terbuka. Gina turun paling pertama, lalu disusul Gading. "Eh, anak-anak Bunda sudah pulang. Kenapa tidak naik mobil.... ""Bunda Zia." Wanita itu mengenali suara anak kecil lelaki yang turun paling akhir dari mobil. Anak itu tersenyum dengan mata berkaca-kaca. "Hilmi." Zia menghampiri ketiganya untuk membukakan pintu. "Bu, saya jemputan sekolah ya. Anak-anak semuanya pulang dengan saya mulai hari ini. Untuk Gina dan Gading, seminggu tiga kali pulangnya bisa bareng Hilmi karena mereka ekskul, tapi untuk hari lain, pulang sekolah seperti biasa." Sopir setengah baya tersenyum pada Zia untuk menyapa sekaligus memberitahu informasi pada wanita itu. Kepala Zia mengangguk pelan. "Terima kasih, Pak," kata Zia sambil tersenyum. Si Kembar su
Bertahun-tahun sejak Hanin meninggal, baru kali ini lagi ranjangnya ada orang lain selain dirinya. Suara napas Zia yang turun naik dengan teratur membuat Gusti tersenyum. Bisa-bisanya Zia pulas padahal di sampingnya ada buaya. Gusti yang awalnya berbaring miring memunggungi Zia, kini sudah berbalik menatap istrinya tanpa berkedip. Dengan bertumpu pada siku, Gusti meletakkan kepalanya di telapak tangan. Menatap Zia dengan berjuta perasaan di hatinya. Kembali Gusti menghela napas sambil memperhatikan wajah Zia yang sebenarnya manis, tetapi kulitnya saja yang gelap. Bukan karena dasar kulitnya gelap, tetapi karena terbakar sinar matahari. Puas melihat Zia, Gusti merapikan selimut istrinya yang sempat melorot hingga perut. Setelah dirasa nyaman dan pas, Gusti pun ikut berbaring telentang; bersiap untuk menikmati malam bersama dengan istrinya. Pukul setengah lima pagi, Zia terbangun. Suara senandung sholawat dari pegeras suara di masjid, membuat Zia membuka matanya perlahan. Rasanya ini
"Ada rahasia apa, Pak? dan kenapa harus diceritakan pada saya?" Zia masih menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. "Sebelumnya saya mau minta maaf sama kamu, karena sudah menuduh kamu penyebab Hanin terpeleset dan akhirnya menjnggal." Gusti kembali menarik napas. Ia berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata jika sudah berhubungan dengan Hanin. "Padahal, bukan salah kamu. Hilmi yang bermain kain pel sehingga Hanin terpeleset. Hilmi juga saat itu tidak sengaja karena ia berniat membantu kamu katanya. Saya dapat ceritanya dari Hilmi dua tahun setelah kamu pergi, saat kami berziarah ke makam Hanin. Maafkan saya, Zia. Kamu terlalu sayang dengan Hilmi sehingga menutupi kejadian yang sebenarnya padahal kamu juga dibuat susah oleh saya." Air mata Gusti akhirnya tumpah. Pria dewasa itu meraih tangan Zia untuk ia genggam erat. Zia menarik tangannya dengan kuat, tetapi tidak bisa. Gusti menggenggamnya benar-benar erat. Zia pun ikut berkaca-kaca. Akhirnya, Tuhan membuka sendiri tabir kenyat