A"Gina, Gading, main sepedanya jangan jauh-jauh!""Iya, Bunda," jawab dua anak kembar berusia empat tahun itu. Zia tersenyum sembari mengintip buah hatinya dari atas etalase jualan yang tengah bermain sepeda bersama teman-teman seusianya. Empat tahun lebih sudah berlalu sejak ia pergi meninggalkan Jakarta. Hidup mandiri dengan segala kedukaan hingga bertemu dengan banyak orang baik yang membantunya. Kabur dalam keadaan hamil dan tidak memiliki suami, tentu saja bukan perkara mudah dan bisa diterima setiap orang. Namun, Tuhan memudahkan segalanya, walau tetap ada saja ujian hidup yang harus ia lewati dengan dua anak kembarnya. Sang Kakak, Gading lahir lebih dulu sekian detik daripada Gina. Tidak ada yang tahu bahwa ia hamil kembar, hanya dirinya dan dokter yang merawatnya waktu itu. Jika saja ia tidak nekat kabur dari rumah sakit, bisa saja janinnya benar-benar tidak bisa diselamatkan karena terus saja bertengkar dengan Gusti. "Bu Zia, beli pulsa listrik." Zia yang tengah tertegu
"Papa kenapa belum tidur?" tanya Hilmi yang sedari tadi merasa terganggu dengan gerakan tubuh Gusti di kasur. Ini sudah pukul sebelas malam, biasanya sang Papa sudah pulas tepat pukul sepuluh. Namun, hingga pukul sebelas lebih lima belas menit, papanya belum juga tidur. Sibuk berbalik ke kanan dan juga ke kiri. "Belum, gak tahu nih kenapa?" jawab Gusti seadanya. Padahal ia cemas menanti pagi karena ia akan bertemu dengan Zia. "Papa tahu gak, anak Teh Zia namanya siapa?" Gusti menatap Hilmi dengan penuh penasaran. Kenapa tiba-tiba anak lelakinya mengatakan hal yang bakalan membuatnya semakin tidak bisa tidur? "Siapa?" tanya Gusti seperti tidak begitu berminat. Padahal saat ini jantungnya berdetak begitu cepat. "Gina yang perempuan dan Gading yang laki-laki. Namanya huruf G semua, he he... mirip nama Papa Gusti." Lelaki itu kembali terdiam. Hatinya semakin yakin, bahwa anak Zia adalah anaknya, darah daging yang ia buat saat dirinya berada dalam ketidakwarasan. "Papa minum air hanga
“Tunggu, Zia, saya mau bicara!” Gusti berhasil mengejar Zia, kemudian menahan lengan wanita itu. Wajah Zia sudah pucat sekaligus berkeringat karena gugup dan takut dengan Gusti. Diantara banyak kota yang ia tuju untuk kabur dari Gusti dan keluarganya, kenapa tetap saja bisa bertemu setelah sekian tahun terlewati dengan aman. “Maaf, Bapak salah orang, saya bukan Zia.” Wanita itu mencoba melepas cengkeraman tangan Gusti, tetapi tidak bisa. “Kamu, Zia. Jangan bohong! Aku tahu kamu Zia.” Gusti masih bersikeras menahan lengan Zia. Pria dewasa itu tidak menyadari bahwa apa yang ia lakukan saat ini bisa membuat Zia semakin takut dan mungkin saja akan kembali melarikan diri dari Gusti. “Bapak mau bicara apa? Saya sudah tidak pernah mengganggu Bapak dan keluarga Bapak lagi. Jadi tolong tinggalkan saya dan jangan muncul di depan saya lagi. Saya mohon, Pak.” Zia menangis takut penuh permohonan. “Saya juga gak mau ganggu kamu, Zia. Saya Cuma ingin tahu, apakah anak kembar tadi
"Papa mau nasi kuning juga? Ini, punya Gading ambil saja." Gusti tersenyum kaku di depan kedua anak kembarnya. Jika Gading banyak berbicara, beda dengan Gina yang diam saja dan bersandar di tubuh bundanya. Zia pun tidak banyak bicara. Ia hanya diam saja sambil menatap jengah Gusti yang sok akrab dengan Gading. "Buat Gading saja, Papa sudah makan," jawab Gusti lagi sambil tersenyum. Lidahnya begitu kelu saat melontarkan kata papa dalam membahasakan dirinya. "Oh, Papa sarapan apa? Papa sudah selesai kerjanya ya?""Gading, makan dulu baru bicara, nanti kalau makan sambil bicara, Gading bisa tersedak," ujar Zia mengingatkan. "Papa, suapin Gading ya?" anak kecil itu memberikan piring plastiknya pada Gusti. Pria dewasa itu mengangguk sambil tersenyum samar. Ia mulai menyuapi Gading tanpa bicara. Gading nampak gembira karena ia kini sudah duduk di paha papanya. Gina yang melihat sosok pria dewasa yang begitu dekat dengan kembarannya, ikut bangun dari duduknya untuk menghampiri Gusti dan G
Gusti membuktikan ucapannya. Pria itu sama sekali tidak beranjak dari parkiran sekolah; menunggu kedua buah hatinya pulang sekolah, sedangkan Zia sudah pulang ke rumah karena ia harus membuka warung dan juga sambil memasak. Di satu sisi ia terganggu dengan hadirnya Gusti kembali di hidupnya, tetapi di sisi lain ia tidak mau ambil pusing karena ia tahu sikap Gusti yang susah ditebak. Bisa saja lelaki itu menjadi lebih sabar saat ini hanya karena anak-anak. Tentu saja, tidak mungkin karena dirinya. Pukul sebelas, Zia sudah selesai memasak dan bersiap untuk pergi ke sekolah untuk menjemput si Kembar. Zia tidak tahu, kalau Gusti masih di sana menunggu kedua anak mereka. Tahu sendiri angkutan umum bila sudah mengetem, maka bisa setengah jam tidak juga jalan. Zia sudah khawatir karena ini sudah lewat lima menit dari jam pulang anaknya. "Kiri, Bang." Zia turun dengan serampangan karena angkot belum juga mau jalan lagi. Ia membayar ongkos tiga ribu rupiah, kemudian berjalan sedikit jauh un
Anak-anak diturunkan satu per satu dari mobil Gusti secara bergantian. Tentu saja pria itu tidak bisa menggendong sekaligus dua anak dalam keadaan tidur pulas. Gina dan Gading sangat puas bermain di mal hingga malam hari. Mulai dari nonton, makan, main di playground, makan lagi, belanja, makan es krim, ke toko buku, hingga akhirnya mereka adalah pengunjung terakhir yang pulang karena mal akan tutup. Zia membukakan pintu kontrakan dengan terburu-buru agar Gusti tidak keberatan menggendong Gina. Setelah itu, ia berlari ke depan gang untuk mengecek mobil Gusti karena masih ada Gading yang tertinggal di mobil. Setelah meletakkan Gina di tempat tidur busa yang mulai mengempis itu, Gusti kembali ke depan gang untuk menggendong Gading. Si Abang yang badannya lebih besar dan lebih padat berisi daripada adiknya. "Aku butuh jawaban kamu secepatnya, Zia. Biar anak-anak segera pindah kerumahku. Kasihan anak-anak tidur di kasur busa tipis seperti ini. Langsung kena lantai pula." Gusti menunjuk
Zia mencuci pipinya dengan sabun berkali-kali agar ciuman bekas bibir Gusti benar-benar hilang. Jika saja tidak sedang berada di depan si Kembar, sudah pasti ia menggeplak kepala lelaki itu karena kesal dan marah. Ketiganya sudah berangkat ke sekolah, sehingga ia bisa menata hati dan detak jantungnya yang tidak baik-baik saja. Bisa dikatakan saat ini dia tengah syok. Gusti yang dahulu begitu jijik dengannya, tiba-tiba menjadi sok bertanggung jawab sekaligus sok manis dengannya, apalagi di depan anak-anaknya. Zia pun memutuskan untuk memasak saja sambil menunggu pembeli datang ke warungnya. Ia harus masak sedikit lebih, karena bisa saja Gusti nanti makan bersama anak-anaknya. Tidak, bukan karena ia memikirkan lelaki itu yang kelaparan, tetapi karena ia mau menjaga perasaan anak-anaknya. "Beli!" Seruan di depan sana membuat Zia meletakkan tahu yang sedang di potongnya menjadi bentuk dadu. "Sebentar!" Jawab Zia dengan langkah tergesa. "Eh, Bang Anwar, beli apa, Bang?" rupanya Bang A
Zia sudah berdiri di depan rumah bergaya minimalis berlantai satu yang nampak luas. Pemilik rumah tengah memutar anak kunci untuk membuka pintu. Sebelah tangan kanannya masih memegang tas jinjing berukuran sedang, lalu tas jinjing berukuran besar masih ada di lantai teras. Zia menyusul Gusti ke depan pintu. "Apa Bapak yakin mengajak saya tinggal di sini?" tanya Zia tidak yakin bercampur cemas. "Yakinlah, kamu tuh masih istri saya. Udah, jangan bingung. Ayo, masuk!" Gusti mempersilakan Zia masuk ke dalam rumahnya yang ternyata cukup besar. Jika dilihat dari luar, nampak biasa saja, tetapi saat sudah menginjak lantai ruang tamu rumah itu, barulah terasa bedanya. Gusti berjalan ke arah kanan, lalu menghampiri sebuah pintu. "Ini kamar Gina. Ingat, Gina anak perempuan, tidak akan mungkin ia tidur terus dengan Gading. Lalu Gading akan tidur dengan Hilmi, setuju'kan?" Zia mengangguk. Ucapan Gusti memang sangat benar. Ia sampai lupa bahwa Gina dan Gading adalah kembar yang berlainan jenis