"Pak, bisa tidak hal itu pending dulu saja. Saya pun masih dalam masa iddah sampai tiga bulan ke depan." Zia terpaksa mengeluarkan alasan demikian untuk menggagalkan niatan Desta yang akan menelepon orang tuanya malam ini. "Kenapa? Saya cuma mau menyampaikan niat saya saja, biar orang tua saya juga bersiap-siap. Kamu gak perlu khawatir, mama dan papa pasti setuju. Sejak awal saya besar dan mulai bisa membuat keputusan sendiri, mama dan papa percaya saya.""Tapi saya keberatan. Setelah tiga bulan, barulah Pak Desta boleh bicara dengan Pak Mus dan Bu Nadia." Desta akhirnya menyerah. Ia pun mengangguk paham. Ia lupa bahwa sekasar apapun Gusti memperlakukan Zia, gadis itu masih begitu mencintai mantan suaminya. Bagaimana ia bisa tahu? Tentu saja dari sorot mata Zia. Zia tidak bisa tidur malam ini. Gusti ternyata sakit beneran, bukan sekedar iseng belaka. Mantan suaminya itu termasuk lelaki yang jarang sakit, karena Gusti rajin berolah raga, seperti lari pagi dan juga berenang. Namun, sa
"Terima kasih, sup pangsit ini enak sekali. Rasanya sama persis dengan buatan Hanin. Ternyata kamu murid yang belajar dengan baik," puji Gusti setelah pangsit terakhir baru saja melewati tenggorokannya. "Sama-sama, Pak? Ada yang bisa saya bantu lagi? Kalau tidak ada, saya pamit pulang." Zia membereskan mangkuk yang sudah kosong, tetapi ia masih menyisakan sup pangsit di dalam box makanan yang tahan panas. Sehingga saat Gusti ingin menikmati sup pangsit lagi, maka makanan itu tetap dalam keadaan hangat. "Tidak ada, Zia, terima kasih." "Baik, Pak, karena sudah makan dan berganti pakaian, maka tugas saya sudah beres ya. Saya pamit. Mungkin besok Pak Desta yang akan kemari." Zia pun sedikit membungkuk untuk berpamitan. "Zia, kamu kan pernah menjadi istri saya, kenapa bersikap seperti orang baru kenal saja?" ucapan Gusti membuat Zia menoleh ke belakang lagi. Ia tersenyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya keluar dari kamar perawatan Gusti. Sejak kapan ia dianggap istri? Bukankah ia di
"Celana dalam? Ah, itu, i-iya, Zia, waktu itu ada sodara pernah numpang nginap di sini dan dia mencuci pakaian dalam, jadinya ketinggalan." Zia yang merasa alasan Desta masuk akal, tentu saja mengangguk paham. "Oh, saya kira Pak Desta pernah kencan satu malam sama wanita gitu. Yah, namanya juga lelaki jomlo. Saya sih gak masalah, cuma maaf nih, Pak, celana dalam saya kareta nya udah melar semua, apa saya boleh pakai celana dalam itu? Soalnya kalau saya pakai punya saya, terus melorot sampai mata kaki bagaimana, Pak?" pertanyaan polos Zia tentu saja membuat Desta tertawa terbahak-bahak. Pria itu menggelengkan kepala karena kelakuan Zia yang sangat bout of the box. "Zia, nanti siang, kamu pergi ke pasar boleh, mau ke mall juga boleh. Saya kasih uang untuk beli pakaian dalam. Tunggu, berarti sekarang kamu gak pake.... ""Nggak, Pak, soalnya melorot.""Zia... kamu ini, cepat sana pakai yang ada di kamar!" Zia melesat pergi. Desta mengusap keringat yang mengucur deras di keningnya. Ia pr
Zia dilarikan ke rumah sakit oleh Desta, setelah merintih memegang perutnya. Wajah Zia pucat bak mayit hidup dengan keringat dingin mengucur deras. Gusti pun ikut merasakan kedua kakinya lemas. Pria itu merosot duduk di lantai tanah halaman rumah Desta. "Ingat, Mas, jika sesuatu terjadi pada Zia, maka kamu harus bertanggung jawab!"Kalimat itu terus saja terngiang di kepala Gusti. Ia berusaha bangun diantara kedua kaki yang lemas. Pria itu keluar dari rumah Desta untuk pulang ke rumahnya. Satu hal yang ia sesali dan semoga belum terlambat, bahwa ia bersikap terlalu kekanakan. Apa haknya marah dengan Zia, sedangkan Zia sudah tidak ada lagi urusan dengannya? Jikalau Zia memanfaatkan Desta, pasti adiknya juga lebih paham. Kring! KringGusti terburu-buru masuk ke dalam rumah untuk mengangkat telepon. "Halo, Ma, assalamu'alaikum.""Gusti, Mama dan Papa sudah mau sampai. Bilang sama Desta dan Zia, suruh bersiap-siap. Khususnya Zia, karena ia yang akan mengurus Hilmi. Mama besok langsung
A"Gina, Gading, main sepedanya jangan jauh-jauh!""Iya, Bunda," jawab dua anak kembar berusia empat tahun itu. Zia tersenyum sembari mengintip buah hatinya dari atas etalase jualan yang tengah bermain sepeda bersama teman-teman seusianya. Empat tahun lebih sudah berlalu sejak ia pergi meninggalkan Jakarta. Hidup mandiri dengan segala kedukaan hingga bertemu dengan banyak orang baik yang membantunya. Kabur dalam keadaan hamil dan tidak memiliki suami, tentu saja bukan perkara mudah dan bisa diterima setiap orang. Namun, Tuhan memudahkan segalanya, walau tetap ada saja ujian hidup yang harus ia lewati dengan dua anak kembarnya. Sang Kakak, Gading lahir lebih dulu sekian detik daripada Gina. Tidak ada yang tahu bahwa ia hamil kembar, hanya dirinya dan dokter yang merawatnya waktu itu. Jika saja ia tidak nekat kabur dari rumah sakit, bisa saja janinnya benar-benar tidak bisa diselamatkan karena terus saja bertengkar dengan Gusti. "Bu Zia, beli pulsa listrik." Zia yang tengah tertegu
"Papa kenapa belum tidur?" tanya Hilmi yang sedari tadi merasa terganggu dengan gerakan tubuh Gusti di kasur. Ini sudah pukul sebelas malam, biasanya sang Papa sudah pulas tepat pukul sepuluh. Namun, hingga pukul sebelas lebih lima belas menit, papanya belum juga tidur. Sibuk berbalik ke kanan dan juga ke kiri. "Belum, gak tahu nih kenapa?" jawab Gusti seadanya. Padahal ia cemas menanti pagi karena ia akan bertemu dengan Zia. "Papa tahu gak, anak Teh Zia namanya siapa?" Gusti menatap Hilmi dengan penuh penasaran. Kenapa tiba-tiba anak lelakinya mengatakan hal yang bakalan membuatnya semakin tidak bisa tidur? "Siapa?" tanya Gusti seperti tidak begitu berminat. Padahal saat ini jantungnya berdetak begitu cepat. "Gina yang perempuan dan Gading yang laki-laki. Namanya huruf G semua, he he... mirip nama Papa Gusti." Lelaki itu kembali terdiam. Hatinya semakin yakin, bahwa anak Zia adalah anaknya, darah daging yang ia buat saat dirinya berada dalam ketidakwarasan. "Papa minum air hanga
“Tunggu, Zia, saya mau bicara!” Gusti berhasil mengejar Zia, kemudian menahan lengan wanita itu. Wajah Zia sudah pucat sekaligus berkeringat karena gugup dan takut dengan Gusti. Diantara banyak kota yang ia tuju untuk kabur dari Gusti dan keluarganya, kenapa tetap saja bisa bertemu setelah sekian tahun terlewati dengan aman. “Maaf, Bapak salah orang, saya bukan Zia.” Wanita itu mencoba melepas cengkeraman tangan Gusti, tetapi tidak bisa. “Kamu, Zia. Jangan bohong! Aku tahu kamu Zia.” Gusti masih bersikeras menahan lengan Zia. Pria dewasa itu tidak menyadari bahwa apa yang ia lakukan saat ini bisa membuat Zia semakin takut dan mungkin saja akan kembali melarikan diri dari Gusti. “Bapak mau bicara apa? Saya sudah tidak pernah mengganggu Bapak dan keluarga Bapak lagi. Jadi tolong tinggalkan saya dan jangan muncul di depan saya lagi. Saya mohon, Pak.” Zia menangis takut penuh permohonan. “Saya juga gak mau ganggu kamu, Zia. Saya Cuma ingin tahu, apakah anak kembar tadi
"Papa mau nasi kuning juga? Ini, punya Gading ambil saja." Gusti tersenyum kaku di depan kedua anak kembarnya. Jika Gading banyak berbicara, beda dengan Gina yang diam saja dan bersandar di tubuh bundanya. Zia pun tidak banyak bicara. Ia hanya diam saja sambil menatap jengah Gusti yang sok akrab dengan Gading. "Buat Gading saja, Papa sudah makan," jawab Gusti lagi sambil tersenyum. Lidahnya begitu kelu saat melontarkan kata papa dalam membahasakan dirinya. "Oh, Papa sarapan apa? Papa sudah selesai kerjanya ya?""Gading, makan dulu baru bicara, nanti kalau makan sambil bicara, Gading bisa tersedak," ujar Zia mengingatkan. "Papa, suapin Gading ya?" anak kecil itu memberikan piring plastiknya pada Gusti. Pria dewasa itu mengangguk sambil tersenyum samar. Ia mulai menyuapi Gading tanpa bicara. Gading nampak gembira karena ia kini sudah duduk di paha papanya. Gina yang melihat sosok pria dewasa yang begitu dekat dengan kembarannya, ikut bangun dari duduknya untuk menghampiri Gusti dan G