“Bagaimana rasanya kehilangan suami, Padma?”
Dari sekian banyak hal yang Padma pikir akan ditanyakan oleh omanya Badai, Padma tidak menyangka perempuan itu akan menanyakan soal kehilangan yang ia alami.
“Nggak bisa dideskripsikan dengan kata-kata, Oma,” jawab Padma dengan jujur. Padma tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya ketika kehilangan Catra.
“Apa kamu tersinggung dengan pertanyaan Oma?”
Padma tersenyum seraya menggeleng. Keriuhan acara yang semakin memanas usai sambutan oleh para petinggi Sadira Group (termasuk Badai yang baru diangkat beberapa bulan lalu), tidak mengusik mereka sama sekali.
“Nggak, Oma. Aku tahu, suatu hari nanti akan ada orang yang me
“Hai, Mantan.” Padma tersenyum santai sembari mengamati penampilan Galih dari atas hingga bawah dengan terang-terangan.Siapa pun yang dipandangi seperti itu pasti akan risih—termasuk Galih. Lelaki itu berdeham, berusaha menyadarkan Padma kalau apa yang ia lakukan adalah sesuatu yang tidak sopan.Padma hanya menaikkan satu alisnya dan kembali mengambil sepiring puding custard kesukaan Yuanita yang sedari tadi menarik perhatiannya."Mana istrimu?” tanya Badai dengan malas pada Galih. Kalau bukan karena hubungan pekerjaan, ia malas sekali melihat batang hidung Galih saat ini.“Di rumah, lagi sakit.”“Oh, langgeng juga kamu sama Mbak Irina,” komentar Padma dengan enteng. &ldqu
Padma bangun dengan menghirup aroma Badai yang seperti tengah memeluknya dengan erat. Ia sempat tertidur selama satu jam setelah dini hari tadi Ilana terbangun dan kini jam dinding di kamar Badai masih menunjukkan pukul lima pagi.Ketukan di pintu yang sangat pelan tersebut membuat Padma mengerjapkan matanya. Perlahan, ia bangkit dari ranjang dan membuka pintu untuk kemudian berhadapan dengan Badai.“Hai,” sapa Badai dengan santai. Satu tangan Badai menyugar rambutnya dengan asal-asalan. “Sorry, kamu kebangun karena aku ya? Aku lupa ambil baju buat pagi ini.”“Nggak kok, aku emang udah bangun barusan.” Padma membuka pintu itu lebih lebar dan mempersilakan Badai untuk masuk.Setelah Badai melewatinya, Padma buru-buru mengusap wajahnya dan merapikan rambutnya.
“Kita mau ngapain lagi?”“Tidur.”“Dasar pemalas.” Gemas, Padma mencubit pipi Badai yang duduk di sebelahnya. Asa yang duduk di pangkuan Badai pun tertawa melihat bagaimana ayahnya dicubit main-main oleh Padma.“Main, Ma.” Asa menarik pelan ujung lengan baju yang dikenakan Padma.“Ke mana? Asa mau ke luar?”“Ndak, mau di beyakang, Ma.”“Di belakang?” Badai mengerutkan keningnya. “Di halaman belakang kita?”“Huum!” Asa mengangguk. “Kayak Om Asa.”“Om Arsa.” Padma tertawa mendengar bagaimana Asa malah memanggil Arsa dengan namanya sendiri. “Hm…piknik yang kayak waktu itu ya?”Padma menoleh pada Badai yang juga tengah menatapnya. Sepertinya akhir-akhir ini Asa sedang suka aktivitas di luar rumah dan piknik di halaman belakang bukan ide yang buruk.“Boleh, sore aja gimana? Biar nggak terlalu terik mataharinya,” usul Badai.Asa melonjak-lonjak kegirangan di pangkuan Badai hingga ayahnya itu meringis diam-diam tanpa sepengetahuan Asa.“Ya udah, sekarang Asa tidur siang dulu yuk sama Adek. M
“Jadi tema ulang tahun Badai tahun ini apa?”Padma tertawa mendengar pertanyaan Yogas barusan. “Kalian biasanya juga nggak pakai tema kan? Yang penting aneh aja buat orang seusia Badai, iyakan?”“Iya, kamu bener sih.” Yogas tertawa terbahak-bahak dan Asa mengikutinya. Tahun ini, yang jadi seksi repot atau sebutan halusnya ‘ketua panitia’ ulang tahun Badai adalah Yogas.Tahun lalu ketua panitianya adalah Ksatria yang menodong bantuan Padma. Tahun ini, tidak seperti Ksatria, Yogas langsung menobatkan Padma sebagai wakil ketua alias teman berpikirnya.Karena keempat orang lainnya tidak bisa diandalkan kalau diajak berpikir bersama.“Aku kepikiran sesuatu,” celetuk Yogas dengan jentikan jari yang mengagetkan Padma.“Apa?”“Rayain ulang tahun Badai di halaman belakang rumahnya aja, terus nanti halamannya kita atur kayak taman bermain anak-anak.”“Terus Badai kamu suruh main mobil-mobilan Asa sekalian?”“Aku sih nggak kepikiran itu, tapi idemu boleh juga,” kekeh Yogas dengan sukacita. “Kamu
“Emangnya kamu nggak kepikiran nikah sama Badai?”Padma sampai mengerjapkan matanya, tak percaya dengan pertanyaan ayahnya—Refaldy Hardjaja, yang begitu mendadak dan sangat jauh dari pembicaraan mereka sebelumnya.“Papa kenapa tiba-tiba ngomongin itu?”“Nggak apa-apa, kepo aja,” jawab Refaldy dengan kosa kata kekinian yang diajarkan oleh Arsa—anak bungsunya. “Kayaknya udah lebih dari setahun kan kamu pacaran sama Badai? Mau pacaran terus emangnya, Sayang?”“Ya…. Nggak juga sih, Pa.”Refaldy menatap putrinya selama beberapa saat dengan intens. Hari ini putri sulungnya itu berkunjung ke rumahnya berdua dengan Ilana. Terbiasa melihat Padma bersama Badai dan Asa, rasanya ada kesan tersendiri ketika ia melihat Padma hanya berdua dengan Ilana hari ini.“Terus?”Ditanya begitu, Padma pun balik bertanya, “Papa nyuruh aku nikah sama Badai sekarang?”“Nggaklah.” Refaldy tertawa. Ia menyilangkan kedua tangannya di balik kepala dan beralih menatap langit sore yang tidak terlalu terik. Saat ini, m
“Kalau ngelamar perempuan tuh gimana caranya ya?”Ksatria langsung menoyor Badai dengan senang hati. “Maaf, Anda salah tempat bertanya.”Badai memandangi temannya satu per satu dan mengembuskan napasnya dengan lelah. “Iya juga. Apa udah terlambat buat ganti temen?”“Bedebah,” maki Yogas sepenuh hati.Hari ini adalah hari ulang tahun Badai dan semua kejutan berjalan dengan sempurna. Mereka bahkan perlu menutup mata Asa dan Ilana ketika Badai selesai meniup lilin dan langsung mencium Padma.“Jadi beneran nggak ada yang punya ide?”Kalu menunjuk Ipang yang tengah memakan kue black forest buatan Padma—kue ulang tahun Badai kali ini. “Tanya Ipang aja, kan dia yang bentar lagi nikah.”Tidak hanya Badai, tapi Ksatria, Nara, Kalu, dan Yogas pun menoleh pada Ipang. Gerakan menyuap Ipang langsung terhenti ketika lima pasang mata menatapnya dengan intens.“Ck, makanya banyak nonton biar ngerti,” ucap Ipang dengan jemawa.Tobatnya Ipang dari gelar buaya daratnya memang cukup menggemparkan, apalag
“Terus kamu jawab apa?”“Nggak kujawab apa-apa.”“Astaga, Padma Hardjaja!” Suara Shua naik dua oktaf. Perempuan itu ganti menatap Mili dengan frustasi. “Katanya temenmu ini pinter!”“Lho, dia emang secara akademis pinter.” Mili tentu memberi penjelasan tambahan setelah dituding begitu oleh Shua. “Tapi soal relationship dia tuh oon, makanya gagal terus kan dia dari dulu.”Padma memutar kedua bola matanya karena dibicarakan oleh dua sahabatnya di hadapannya langsung. Sejak mereka bertiga jadi akrab, Padma sudah membiasakan diri jadi bahan pembicaraan utama antara Mili dan Shua.Siapa sangka dua orang itu akan begitu cocok?“Tapi serius.” Mili memegang lengan Padma dan membuat Padma tak bisa menatap ke arah lain kecuali ke mata Mili. “Itu kan dia ngelamar secara nggak langsung lho, Padma. Kenapa nggak kamu jawab apa kek gitu buat mancing pembicaraan ke arah yang lebih serius?”Padma berdecak kesal. Kejadian kemarin masih begitu membekas di ingatannya hingga akhirnya siang ini ia mengumpu
“Nggak usah ngeliatin aku kayak aku mau maling uang negara deh. Kerjain kerjaan kamu yang bener sana.”“Iya, Bu Bos.”Sebisa mungkin, Badai menuruti kata-kata Padma yang memintanya agar fokus pada pekerjaannya, dibanding memperhatikan Padma yang asyik duduk di sofa sambil menggulir layar iPad-nya.Salahkan mataku aja, pikir Badai ketika entah untuk kesekian kalinya, lagi-lagi ia memilih untuk mengalihkan tatapannya dari dokumennya ke arah Padma.Padma sendiri sudah kehabisan akal bagaimana caranya untuk meminta Badai tidak menatapnya dengan terlalu intens. Pada akhirnya, ia memilih untuk mengabaikan Badai sejenak dan kembali membaca laporan keuangan katering ibunya.Rupanya jurus itu berhasil. Kali ini karena Padma tidak menegurnya, Badai menatap sang kekasih sampai matanya lelah dan akhirnya ia kembali mengerjakan sisa pekerjaannya.Waktu berjalan begitu cepat, tapi keheningan yang ada di antara mereka membuat keduanya nyaman meskipun tidak ada hal yang dibicarakan bersama.“Yuk.”Aj