“Emangnya kamu nggak kepikiran nikah sama Badai?”Padma sampai mengerjapkan matanya, tak percaya dengan pertanyaan ayahnya—Refaldy Hardjaja, yang begitu mendadak dan sangat jauh dari pembicaraan mereka sebelumnya.“Papa kenapa tiba-tiba ngomongin itu?”“Nggak apa-apa, kepo aja,” jawab Refaldy dengan kosa kata kekinian yang diajarkan oleh Arsa—anak bungsunya. “Kayaknya udah lebih dari setahun kan kamu pacaran sama Badai? Mau pacaran terus emangnya, Sayang?”“Ya…. Nggak juga sih, Pa.”Refaldy menatap putrinya selama beberapa saat dengan intens. Hari ini putri sulungnya itu berkunjung ke rumahnya berdua dengan Ilana. Terbiasa melihat Padma bersama Badai dan Asa, rasanya ada kesan tersendiri ketika ia melihat Padma hanya berdua dengan Ilana hari ini.“Terus?”Ditanya begitu, Padma pun balik bertanya, “Papa nyuruh aku nikah sama Badai sekarang?”“Nggaklah.” Refaldy tertawa. Ia menyilangkan kedua tangannya di balik kepala dan beralih menatap langit sore yang tidak terlalu terik. Saat ini, m
“Kalau ngelamar perempuan tuh gimana caranya ya?”Ksatria langsung menoyor Badai dengan senang hati. “Maaf, Anda salah tempat bertanya.”Badai memandangi temannya satu per satu dan mengembuskan napasnya dengan lelah. “Iya juga. Apa udah terlambat buat ganti temen?”“Bedebah,” maki Yogas sepenuh hati.Hari ini adalah hari ulang tahun Badai dan semua kejutan berjalan dengan sempurna. Mereka bahkan perlu menutup mata Asa dan Ilana ketika Badai selesai meniup lilin dan langsung mencium Padma.“Jadi beneran nggak ada yang punya ide?”Kalu menunjuk Ipang yang tengah memakan kue black forest buatan Padma—kue ulang tahun Badai kali ini. “Tanya Ipang aja, kan dia yang bentar lagi nikah.”Tidak hanya Badai, tapi Ksatria, Nara, Kalu, dan Yogas pun menoleh pada Ipang. Gerakan menyuap Ipang langsung terhenti ketika lima pasang mata menatapnya dengan intens.“Ck, makanya banyak nonton biar ngerti,” ucap Ipang dengan jemawa.Tobatnya Ipang dari gelar buaya daratnya memang cukup menggemparkan, apalag
“Terus kamu jawab apa?”“Nggak kujawab apa-apa.”“Astaga, Padma Hardjaja!” Suara Shua naik dua oktaf. Perempuan itu ganti menatap Mili dengan frustasi. “Katanya temenmu ini pinter!”“Lho, dia emang secara akademis pinter.” Mili tentu memberi penjelasan tambahan setelah dituding begitu oleh Shua. “Tapi soal relationship dia tuh oon, makanya gagal terus kan dia dari dulu.”Padma memutar kedua bola matanya karena dibicarakan oleh dua sahabatnya di hadapannya langsung. Sejak mereka bertiga jadi akrab, Padma sudah membiasakan diri jadi bahan pembicaraan utama antara Mili dan Shua.Siapa sangka dua orang itu akan begitu cocok?“Tapi serius.” Mili memegang lengan Padma dan membuat Padma tak bisa menatap ke arah lain kecuali ke mata Mili. “Itu kan dia ngelamar secara nggak langsung lho, Padma. Kenapa nggak kamu jawab apa kek gitu buat mancing pembicaraan ke arah yang lebih serius?”Padma berdecak kesal. Kejadian kemarin masih begitu membekas di ingatannya hingga akhirnya siang ini ia mengumpu
“Nggak usah ngeliatin aku kayak aku mau maling uang negara deh. Kerjain kerjaan kamu yang bener sana.”“Iya, Bu Bos.”Sebisa mungkin, Badai menuruti kata-kata Padma yang memintanya agar fokus pada pekerjaannya, dibanding memperhatikan Padma yang asyik duduk di sofa sambil menggulir layar iPad-nya.Salahkan mataku aja, pikir Badai ketika entah untuk kesekian kalinya, lagi-lagi ia memilih untuk mengalihkan tatapannya dari dokumennya ke arah Padma.Padma sendiri sudah kehabisan akal bagaimana caranya untuk meminta Badai tidak menatapnya dengan terlalu intens. Pada akhirnya, ia memilih untuk mengabaikan Badai sejenak dan kembali membaca laporan keuangan katering ibunya.Rupanya jurus itu berhasil. Kali ini karena Padma tidak menegurnya, Badai menatap sang kekasih sampai matanya lelah dan akhirnya ia kembali mengerjakan sisa pekerjaannya.Waktu berjalan begitu cepat, tapi keheningan yang ada di antara mereka membuat keduanya nyaman meskipun tidak ada hal yang dibicarakan bersama.“Yuk.”Aj
“Om Refaldy.”“Ya?” Refaldy menyahut tanpa menoleh ke arah Badai yang memanggilnya. Lelaki itu masih menyusun buku di rak barunya yang ia letakkan di ruang tengah, hanya beberapa langkah dari televisi.“Saya udah melamar Padma.”“Oh….” Refaldy mengangguk beberapa kali, tidak terlihat kaget dengan ucapan Badai.Sementara itu, Badai sendiri mengernyitkan keningnya begitu mendengar respons Refaldy yang terdengar biasa-biasa saja. Ia memang tidak berharap Refaldy akan heboh dan bertingkah norak, tapi respons ‘Oh’ juga bukan sesuatu yang ia duga.“Kenapa kamu?” Kali ini Refaldy baru benar-benar berbalik menghadap Badai, sepertinya ia sudah selesai menata rak buku barunya.“Nggak apa-apa, Om.” Buru-buru, Badai menggeleng. “Saya direstuin kan, Om?”“Saya restuin asal semua aset kamu dibalik nama jadi nama Padma, Asa, sama Ilana.”Jawaban asal itu tentu saja memancing tawa kedua lelaki beda generasi tersebut. Badai mengikuti pergerakan Refaldy yang pindah ke sofa, sepertinya lelaki paruh baya
Kalau ditanya tempat manakah yang tidak ingin Badai datangi, maka rumah inilah jawabannya.Rasanya seperti dipaksa kembali mengulang memorinya semasa Anastasya masih hidup dan menjadi istrinya. Rumah ini adalah saksi bisu kedua selain rumahnya sendiri, di mana ia dan Anastasya sering kali bertengkar dan perang dingin.“B.” Sentuhan lembut di tangannya menyadarkan Badai kalau kini ia kembali ke rumah orangtua Anastasya tidak sendirian. Ia menoleh dan Padma tengah tersenyum lembut kepadanya. “Mau masuk sekarang?”Hal ini memang tidak mudah untuk Badai, tapi selagi Padma ada bersamanya, Badai percaya kalau semua akan baik-baik saja.“Boleh.” Badai meraih tangan Padma untuk ia genggam dan bersama-sama, mereka beranjak menjauhi mobilnya yang sudah terparkir rapi di halaman rumah orangtua Anastasya.Hari ini mereka memutuskan untuk datang ke rumah orangtua Anastasya, setelah sebelumnya bicara dengan Kresna mengenai keinginan mereka untuk datang ke sana beberapa hari sebelumnya.Kresna tentu
“Hon, kamu maunya kita kapan nikahnya?”“Bulan depan, gimana?”“Oke. Bulan depan.”Dari percakapan iseng di suatu sore pada hari Jumat, pernikahan itu akhirnya benar-benar terealisasi satu bulan setelah obrolan tersebut.“Kamu belum tidur?”Padma menoleh dan menggeleng sebagai jawaban untuk pertanyaan ibunya. Hari ini sampai seminggu ke depan, orangtuanya menginap di rumah yang ia tempati ini.“Duduk, Ma,” kata Padma dengan tangan yang menepuk pelan pinggir ranjangnya.Dua perempuan beda generasi itu duduk berdampingan. Padma menyandarkan kepalanya di bahu sang ibu seraya mengamati walk in closet-nya yang mulai lengang.“Udah beres semua yang mau dibawa?”“Sebagian besar sih udah di sana semua. Palingan tinggal baju-baju yang beberapa hari ini aku sama Ilana pakai aja.”Perempuan paruh baya itu menepuk pelan tangan Padma. “Padahal ini bukan kali pertama Mama ngelepas kamu untuk menikah, tapi kenapa rasanya tetep berat ya, Sayang?”Padma terkekeh mendengar ucapan sang ibu. “Mama nih, a
Rasanya hari ini ia seperti melanjutkan bagian dari masa lalunya yang dulu harus dibatalkan.Atau mungkin lebih tepat disebut dengan tertunda.Seruan, “Sah!”, yang menandakan kalau kini Badai Tanaka dan Padma Hardjaja telah resmi sebagai suami-istri membuat Padma menoleh ke sampingnya, untuk melihat Badai yang juga tengah menatapnya dengan emosi yang bercampur aduk.“Hai, Nyonya Tanaka.”Padma tak bisa menahan senyuman lebarnya begitu mendengar sapaan pertama dari lelaki yang resmi menjadi suaminya. Tanpa terasa, hari berjalan dengan sangat cepat dan di sinilah ia berada.Resmi menyandang status sebagai istri dari seorang Badai Tanaka.Lelaki yang dulu Padma tak pernah berpikir akan benar-benar menikah dengannya setelah semua yang terjadi. Lelaki yang di awal pertemuan mereka, sempat ia pandang rendah karena bagaimana antinya Padma dulu terhadap lelaki buaya darat seperti Badai.“Hai, suamiku.”Badai bersumpah hari itu adalah hari terbaiknya, ketika ia mendengar Padma menyebut dirinya
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec