“Hon, kamu maunya kita kapan nikahnya?”“Bulan depan, gimana?”“Oke. Bulan depan.”Dari percakapan iseng di suatu sore pada hari Jumat, pernikahan itu akhirnya benar-benar terealisasi satu bulan setelah obrolan tersebut.“Kamu belum tidur?”Padma menoleh dan menggeleng sebagai jawaban untuk pertanyaan ibunya. Hari ini sampai seminggu ke depan, orangtuanya menginap di rumah yang ia tempati ini.“Duduk, Ma,” kata Padma dengan tangan yang menepuk pelan pinggir ranjangnya.Dua perempuan beda generasi itu duduk berdampingan. Padma menyandarkan kepalanya di bahu sang ibu seraya mengamati walk in closet-nya yang mulai lengang.“Udah beres semua yang mau dibawa?”“Sebagian besar sih udah di sana semua. Palingan tinggal baju-baju yang beberapa hari ini aku sama Ilana pakai aja.”Perempuan paruh baya itu menepuk pelan tangan Padma. “Padahal ini bukan kali pertama Mama ngelepas kamu untuk menikah, tapi kenapa rasanya tetep berat ya, Sayang?”Padma terkekeh mendengar ucapan sang ibu. “Mama nih, a
Rasanya hari ini ia seperti melanjutkan bagian dari masa lalunya yang dulu harus dibatalkan.Atau mungkin lebih tepat disebut dengan tertunda.Seruan, “Sah!”, yang menandakan kalau kini Badai Tanaka dan Padma Hardjaja telah resmi sebagai suami-istri membuat Padma menoleh ke sampingnya, untuk melihat Badai yang juga tengah menatapnya dengan emosi yang bercampur aduk.“Hai, Nyonya Tanaka.”Padma tak bisa menahan senyuman lebarnya begitu mendengar sapaan pertama dari lelaki yang resmi menjadi suaminya. Tanpa terasa, hari berjalan dengan sangat cepat dan di sinilah ia berada.Resmi menyandang status sebagai istri dari seorang Badai Tanaka.Lelaki yang dulu Padma tak pernah berpikir akan benar-benar menikah dengannya setelah semua yang terjadi. Lelaki yang di awal pertemuan mereka, sempat ia pandang rendah karena bagaimana antinya Padma dulu terhadap lelaki buaya darat seperti Badai.“Hai, suamiku.”Badai bersumpah hari itu adalah hari terbaiknya, ketika ia mendengar Padma menyebut dirinya
Badai dan Padma tak berhenti tertawa melihat bagaimana Ksatria, Yogas, Ipang, Nara, dan Kalu masih sibuk menyanyi seperti grup vokal sebagai kado mereka untuk Badai dan Padma.“Udah deh, mending udahan! Udahan!” seru Badai pada teman-temannya yang baru akan menyanyikan lagu kelima.“Enak aja!” tukas Yogas. “Ini belum satu album!”“Astaga….” Padma hanya bisa berdecak pelan ketika mereka mulai menyanyikan lagu kelima tersebut.Resepsi pernikahan berkonsep garden party berjalan dengan lancar dan benar-benar ramai. Sejak tadi kelima lelaki yang Badai sudah tak sudi anggap sebagai teman, menyumbang beberapa lagu untuk Badai dan Padma.Belum lagi video buatan Yogas yang menggambarkan bagaimana Badai dan Padma selama ini. Ia merekam diam-diam selama beberapa bulan terakhir dan membuat Padma malu karena beberapa kali ia dan Badai berduaan di kala mereka semua berkumpul, keduanya selalu tertangkap kamera Yogas.“Temen-temen kamu nggak minat jadi vocal group beneran?” Padma bertanya sembari men
Badai mengusap tengkuknya beberapa kali, lalu menatap pantulan dirinya di hadapan cermin yang ada di kamar hotel tersebut.Samar-samar Badai bisa mendengar suara shower dari dalam kamar mandi di mana Padma sedang membersihkan dirinya sekarang.Pandangan lelaki itu menelusuri kamar yang malam ini mereka tempati sampai besok sebelum kemudian pergi ke Lombok untuk bulan madu.Daripada bingung harus apa selagi menunggu Padma mandi, Badai memilih untuk mengambil ponselnya. Namun, hal itu jadi keputusan yang salah ketika ia mendapati ratusan notifikasi dari grup berisikan dirinya dan kelima sahabatnya.Pangeran B. Ailendra: Obat kuat udah ditaro di kamar hotelnya Badai belum? Dia kelamaan puasa, takutnya performa menurun drastis.Kalu R. Parvaiz: Tenang aja, udah ditaruh semua di nakas deket TV. Dibungkus jadi kayak parsel buah.Ksatria A. Abimayu: Mantep, besok buka usaha jual sex toys, kondom, sama sejenisnya aja, Kal. Terus terima jasa hias dan bungkus sesuai kemauan klien. Dijamin bakal
Biasanya, Padma terbangun dengan sisi ranjang yang kosong, hanya berteman bantal yang dingin dan area seprai yang lebih rapi daripada area yang ia tiduri.Tapi kali ini ketika ia membuka matanya, ada sosok Badai Tanaka yang tertidur lelap dengan posisi berbaring miring menghadapnya.Senyum terkembang di wajah Padma. Mulai hari ini, ia tidak akan tertidur sendiri lagi. Tangannya tergerak untuk merapikan rambut Badai, tapi ia segera berjengit saat merasakan suhu tubuh Badai yang lebih tinggi daripada biasanya.“Jangan-jangan kamu sakit,” gumam Padma seraya duduk tegak dan menempelkan punggung tangannya ke kening Badai. Benar saja, Padma langsung menarik tangannya lagi ketika merasakan panasnya tubuh Badai yang tak biasa.Ia segera bangkit dan memakai kimono yang tergeletak di kursi tak jauh dari ranjang. Setelahnya, Padma sibuk menelepon dokter keluarga Tanaka yang sudah ia miliki nomornya dan meminta lelaki paruh baya itu datang ke rumah Badai siang nanti.Padma melakukan semuanya deng
“Serius kalian nggak jadi honeymoon?”“Serius.” Padma membuka pintu kamar dan memastikan Badai sudah tertidur. Tadi dokter sudah datang memeriksa kondisi Badai dan mengatakan Badai harus istirahat total setidaknya sampai tiga hari ke depan.Keputusan yang tepat untuk membatalkan honeymoon mereka.Usai memastikan Badai masih tertidur karena efek obat yang ia minum, Padma kembali menutup pintu kamar dan melangkah menuju kamar sebelah yang dialihfungsikan menjadi perpustakaan dan ruang main untuk anak-anak mereka.Kamar itu adalah kamar yang dulunya ditempati Anastasya. Karena sekarang Badai dan Padma akan menempati kamar Badai, maka kamar itu dialihfungsikan untuk anak-anak.“Kamu udah cancel resort-nya?”Shua kembali bertanya saat Padma memutuskan untuk mengaktifkan mode loudspeaker. Sembari menunggu Badai bangun, Padma ingin melanjutkan kegiatannya yang belum selesai sejak seminggu sebelum pernikahannya dengan Badai—merapikan ruang perpustakaan tersebut.Masih ada beberapa kotak yang
“Abang tanen Mama!”“Abang kangen Mama,” koreksi Padma yang tersenyum lebar melihat Asa kini tengah memeluk lengannya dengan erat. “Abang nggak kangen Papa?”Asa yang tadinya tengah menyembunyikan wajahnya, langsung mencari keberadaan sang ayah. Begitu tadi tiba di rumah setelah diantar oleh opa dan omanya (orangtua Padma), Asa langsung berlari masuk ke rumah untuk mencari Badai dan Padma.Orang pertama yang ia temui adalah Padma, yang langsung ia ajak duduk di ruang tengah dan ia peluk lengannya dengan erat.“Papa?” Asa mencari-cari keberadaan sang ayah.Padma menoleh ke belakang dan mendapati Badai baru turun dari lantai dua. Mereka memang baru selesai merapikan ruang perpustakaan di lantai dua ketika diberi tahu kalau orangtua Padma datang.Begitu melihat kehadiran mertua dan anaknya, Badai tersenyum lebar seraya merentangkan tangannya. “Abang nggak kangen Papa?”Asa langsung melompat dari sofa dan berlari ke arah Badai. Lelaki itu menerima kedatangan anaknya dan dengan mudah, ia m
“Shua kapan pulang, Hon?”“Belum tahu.” Padma menyerahkan piring bersih kepada Badai untuk lelaki itu tata di meja makan. “Katanya sih dia extend lagi di sana.”“Kerjaannya aman emangnya?”“So far sih aman, dia kayaknya kerja remote dari sana deh.”“Hmm….”Padma mematikan kompor dan dengan hati-hati, memindahkan masakannya ke piring saji. Siang ini sahabat-sahabat Badai akan datang ke rumah, jadilah sejak pagi tadi Padma sudah sibuk di dapur.Kelima om kesayangan Asa dan Ilana tengah mengasuh kedua anak mereka selagi Badai diusir ke dapur untuk membantu Padma. Badai senang-senang saja diminta berduaan dengan Padma, tapi kadang-kadang ia khawatir juga dengan kegilaan sahabat-sahabatnya kala mengasuh kedua anaknya.“Kamu khawatir sama Shua?” tebak Padma yang selesai dengan pekerjaannya, kini menyandarkan pinggulnya di tepian countertops dan berdiri di sebelah Badai.“Iya. Ini udah dua minggu dia pergi dan cuma berdua sama Janar,” aku Badai dengan jujur. “Aku yakin orangtuanya juga udah
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec