“Hon.”“Ya?”“Nge-date yuk.”“Ke mana?”“Makan gultik di Blok M.”Keduanya bertatapan selama satu menit untuk Padma meyakinkan dirinya mengenai apa yang baru saja diucapkan Badai.“Beneran makan gultik Blok M?” tanya Padma lagi untuk memastikan.“Beneran. Aku udah lama nggak makan itu.”Padma menatap jam dinding di kamar mereka dan mendapati waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. “Sekarang? Nanti kamu masuk angin nggak pergi jam segini?”“Hon, kita naik mobil, nggak naik sepeda.” Gemas, Badai menjawil hidung istrinya hingga perempuan itu mengaduh. “Nanti AC-nya dikecilin aja, pakai jaket.”“Oke….” Akhirnya Padma benar-benar mengiakan ajakan Badai. “Aku takut kamu sakit lagi kalau keluar malam-malam.”“Nggak kok. Nanti pulangnya kita anget-angetan aja biar aku nggak masuk angin, gimana?”Ganti Padma yang mencubit kedua pipi suaminya agak lama, lalu beranjak dari ranjang untuk berganti pakaian. Badai mengikuti istrinya dan tersenyum lebar. Kencan malam-malam sambil mengit
“Aku nggak menyangka hari ini akan tiba juga.”Padma mempererat genggamannya pada tangan Badai ketika mereka berdua tiba di pemakaman yang menjadi rumah terakhir untuk Anastasya.Setelah semalam Badai tiba-tiba mengajaknya mendatangi makam Anastasya, tentu saja Padma mengiakannya dan di sinilah mereka. Padma melirik suaminya dan ekspresi Badai tak mudah dibaca.“B,” panggilnya dengan lembut.Badai menoleh, kemudian setelah bertatapan dengan Padma yang tersenyum lembut untuknya, Badai mulai lebih rileks.“Yuk,” ajak Badai.Keduanya melangkah menuju makam Anastasya yang letaknya sudah Padma hafal. Badai tak banyak bicara, ia hanya menggenggam tangan istrinya dengan erat dan beberapa kali menghela napas dengan berat.Setibanya di makam Anastasya, mereka berdoa untuk mantan istri Badai tersebut dan terdiam agak lama. Padma tak mengatakan apa pun usai berdoa, ia memilih untuk menunggu Badai yang hanya memandangi makam Anastasya.“Anas,” gumam Badai saat angin berembus agak kencang hingga m
“Aku pengen deh ngajak kamu malam-malam ke The Clouds. Tapi masa anak-anak tidur kita malah ke klub sih?”Padma menaikkan satu alisnya. “Emang kamu mau ngapain ngajak aku ke klub?”“Mengulang hari pertama kita ketemu dong.”Padma tergelak mendengar jawaban suaminya. Saat ini keduanya berada di kedai es krim yang dulu mereka sering datangi—lebih tepatnya Padma dengan Catra dan Badai dengan Asa.Mereka sudah menghubungi kedua orangtua Padma yang tentu saja tak keberatan memiliki waktu luang bersama cucunya. Arsa dan Mili pun rencananya akan datang ke rumah Badai-Padma untuk makan malam bersama, tentu saja membawa anak pertama mereka, Kama Handaru Hardjaja.“Ngulang pas yang di bar aja kan?”Badai langsung tersenyum lebar. “Nggak sekalian yang di kamar khusus punyaku, Hon?”“Tanaka!” tegur Padma yang tak segan untuk langsung mencubit lengan Badai.Bukannya takut atau menghindar, Badai malah menjawab seperti murid yang sedang diabsen. “Hadir!”Padma hanya bisa menggeleng melihat kelakuan
Badai menelan salivanya dengan susah payah saat melihat Padma selesai mengenakan gaunnya. Padahal potongan gaun itu tidak provokatif atau terlalu terbuka, tapi lekuk tubuh istrinya yang tercetak jelas membuat Badai langsung menggeleng pelan.“Nggak bisa, Hon.”Padma yang tak memperhatikan reaksi Badai karena sibuk mengenakan kalungnya, menatap suaminya dari cermin meja riasnya. “Apanya yang nggak bisa?”“Aku nggak bisa tahan liat kamu kayak gini.”“Astaga, jangan kayak ABG baru puber deh,” ledek Padma setelah berhasil mengaitkan kalungnya.Padma berbalik untuk menemukan suaminya yang tengah merengut. Rasanya kalau ia meledek Badai sebagai berondongnya yang tengah merajuk, kalimat itu masih relevan untuk suaminya.“Tahan hasratmu, Tanaka.” Padma berdiri dari duduknya dan mengambil sling bag-nya. Ia pun mengulurkan tangannya pada Badai. “Ayo, jangan sampai kamu lupa kalau hari ini bachelor party-nya Ipang.”Meskipun berat hati, Badai tetap meraih tangan istrinya dan seraya bergandengan
“Kamu pernah nyesel nggak waktu dulu kita nggak jadi nikah?”Sebenarnya Badai tak tahu apa yang merasukinya untuk bertanya hal itu kepada Padma. Tapi ketika mengingat hari ini adalah hari spesial untuk sahabatnya, ingatan Badai jadi memutar balik kenangannya dulu.“Nggak. Kalau aku nyesel, berarti aku nggak suka sama kehadiran Asa dong.”Jawaban sederhana Padma membuat Badai tersenyum. Padma berdiri dari kursinya yang ia tempati selama merias wajahnya, untuk menghadiri akad nikah dan resepsi pernikahan Ipang dan Priska.“Aku nggak suka kalau kamu lari dari tanggung jawab, B. Bukan nggak suka sama Asa. Bagaimanapun kan bukan dia yang milih gimana caranya dihadirkan ke dunia ini.”Kedua tangan Badai langsung memeluk pinggang Padma begitu perempuan itu menghampirinya. Padma tersenyum dan merapikan bow tie yang dikenakan Badai, yang hari ini akan menyaksikan salah satu sahabatnya melepas masa lajang dengan sukarela.“Aku mau cium kamu jadinya,” bisik Badai di telinga Padma. “Tapi nanti l
“Asa nggak mau keluar dari kamar sejak pagi tadi, kenapa ya?”Badai mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh sang istri. Hari ini ia baru bertemu Asa di pagi hari ketika ia pamit pada Asa yang baru bangun tidur karena terpaksa harus bekerja di hari libur ini.tAPI panggilan mendadak dari Red House karena ada barang mereka yang bermasalah di gudang, membuat Badai harus pergi bekerja di hari libur ini.“Bener-bener nggak keluar sama sekali?” Badai balik bertanya sambil melepas kemejanya dan hanya menyisakan kaos putih polos yang membalut tubuhnya.Dengan sigap, Padma meraih kemeja yang baru dilepas Badai tersebut untuk ia taruh di keranjang cucian.“Iya, aku udah bujuk buat makan bareng di ruang makan dari sarapan tadi, tapi sampai makan siang pun dia minta sama Lita buat makan di kamar.”“Coba aku tanya deh.”“Kamu mandi dulu aja,” cegah Padma ketika Badai sudah ingin beranjak keluar dari kamar mereka. “Masih ada banyak waktu sampai makan malam.”“Mau mandi sama
“Aku jadi… menyesal.”“Kenapa?”Badai tak menjawab pertanyaan Padma, tapi Padma bisa menebak apa yang ada di pikiran suaminya saat ini. Sepulangnya ia dan Asa dari taman tadi, Padma menjelaskan apa yang dialami Asa secara ringkas kepada Badai dan respons Badai sesuai dengan tebakannya.“Jangan mulai nyalahin diri kamu sendiri.” Padma mengusap pelan lengan suaminya. “Niat kamu dulu yang nggak ingin bercerai dan menganggap kalau rumah tangga kamu dengan Anastasya bisa diperbaiki itu bener kok.“Tapi kan kamu tahu, kita nggak bisa mengendalikan semua hal di dunia ini, termasuk soal perasaan orang lain. Kamu nggak bisa mengendalikan perasaan Anastasya yang akhirnya membuat kamu dan Asa sampai ke titik ini.”Badai menyugar rambutnya dengan asal. Ia tahu kalau apa yang dikatakan Padma memang benar.Namun ketika menyadari bagaimana Asa harus mengingat ibu kandungnya dengan cara paling pahit hingga akhirnya kini malah dihina orang lain karena keluarganya, membuat Badai merasa gagal menjadi se
“Nggak berasa ya, udah ulang tahun Janar aja.”“Iya. Ini ulang tahun pertama Janar tanpa ayahnya.”Padma mengusap pelan lengan Shua dan Mili menyerahkan segelas jus jeruk kepada perempuan itu.“Juan nggak dateng?” tanya Mili yang sejak tadi memang memperhatikan tamu undangan yang datang di ulang tahun Janar, anak Shua.“Nggak, lagi nemenin selingkuhannya ke dokter kandungan, sebentar lagi mereka mau punya anak, kali.”“Ewh,” desis Mili tanpa sadar. “Janar sedih nggak tahu papanya nggak dateng?”“Nggak.” Perempuan yang hari itu mengenakan gaun santai dengan kerah sabrina tersebut menggeleng seraya tersenyum miris. “Dia bahkan nggak pernah nanyain papanya lagi. Sesekali aku singgung soal papanya, kayak… kalau dia kangen kita bisa atur waktu ketemu.“Tapi Janar bilang dia nggak mau ketemu papanya.” Shua menghela napas. “Aku emang benci sama Juan, tapi aku juga nggak pengen anakku lupa atau bahkan benci sama papanya.”Padma mengerti apa yang dipikirkan Shua. Hal itu juga yang ia dan Badai