“Aku pengen deh ngajak kamu malam-malam ke The Clouds. Tapi masa anak-anak tidur kita malah ke klub sih?”Padma menaikkan satu alisnya. “Emang kamu mau ngapain ngajak aku ke klub?”“Mengulang hari pertama kita ketemu dong.”Padma tergelak mendengar jawaban suaminya. Saat ini keduanya berada di kedai es krim yang dulu mereka sering datangi—lebih tepatnya Padma dengan Catra dan Badai dengan Asa.Mereka sudah menghubungi kedua orangtua Padma yang tentu saja tak keberatan memiliki waktu luang bersama cucunya. Arsa dan Mili pun rencananya akan datang ke rumah Badai-Padma untuk makan malam bersama, tentu saja membawa anak pertama mereka, Kama Handaru Hardjaja.“Ngulang pas yang di bar aja kan?”Badai langsung tersenyum lebar. “Nggak sekalian yang di kamar khusus punyaku, Hon?”“Tanaka!” tegur Padma yang tak segan untuk langsung mencubit lengan Badai.Bukannya takut atau menghindar, Badai malah menjawab seperti murid yang sedang diabsen. “Hadir!”Padma hanya bisa menggeleng melihat kelakuan
Badai menelan salivanya dengan susah payah saat melihat Padma selesai mengenakan gaunnya. Padahal potongan gaun itu tidak provokatif atau terlalu terbuka, tapi lekuk tubuh istrinya yang tercetak jelas membuat Badai langsung menggeleng pelan.“Nggak bisa, Hon.”Padma yang tak memperhatikan reaksi Badai karena sibuk mengenakan kalungnya, menatap suaminya dari cermin meja riasnya. “Apanya yang nggak bisa?”“Aku nggak bisa tahan liat kamu kayak gini.”“Astaga, jangan kayak ABG baru puber deh,” ledek Padma setelah berhasil mengaitkan kalungnya.Padma berbalik untuk menemukan suaminya yang tengah merengut. Rasanya kalau ia meledek Badai sebagai berondongnya yang tengah merajuk, kalimat itu masih relevan untuk suaminya.“Tahan hasratmu, Tanaka.” Padma berdiri dari duduknya dan mengambil sling bag-nya. Ia pun mengulurkan tangannya pada Badai. “Ayo, jangan sampai kamu lupa kalau hari ini bachelor party-nya Ipang.”Meskipun berat hati, Badai tetap meraih tangan istrinya dan seraya bergandengan
“Kamu pernah nyesel nggak waktu dulu kita nggak jadi nikah?”Sebenarnya Badai tak tahu apa yang merasukinya untuk bertanya hal itu kepada Padma. Tapi ketika mengingat hari ini adalah hari spesial untuk sahabatnya, ingatan Badai jadi memutar balik kenangannya dulu.“Nggak. Kalau aku nyesel, berarti aku nggak suka sama kehadiran Asa dong.”Jawaban sederhana Padma membuat Badai tersenyum. Padma berdiri dari kursinya yang ia tempati selama merias wajahnya, untuk menghadiri akad nikah dan resepsi pernikahan Ipang dan Priska.“Aku nggak suka kalau kamu lari dari tanggung jawab, B. Bukan nggak suka sama Asa. Bagaimanapun kan bukan dia yang milih gimana caranya dihadirkan ke dunia ini.”Kedua tangan Badai langsung memeluk pinggang Padma begitu perempuan itu menghampirinya. Padma tersenyum dan merapikan bow tie yang dikenakan Badai, yang hari ini akan menyaksikan salah satu sahabatnya melepas masa lajang dengan sukarela.“Aku mau cium kamu jadinya,” bisik Badai di telinga Padma. “Tapi nanti l
“Asa nggak mau keluar dari kamar sejak pagi tadi, kenapa ya?”Badai mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh sang istri. Hari ini ia baru bertemu Asa di pagi hari ketika ia pamit pada Asa yang baru bangun tidur karena terpaksa harus bekerja di hari libur ini.tAPI panggilan mendadak dari Red House karena ada barang mereka yang bermasalah di gudang, membuat Badai harus pergi bekerja di hari libur ini.“Bener-bener nggak keluar sama sekali?” Badai balik bertanya sambil melepas kemejanya dan hanya menyisakan kaos putih polos yang membalut tubuhnya.Dengan sigap, Padma meraih kemeja yang baru dilepas Badai tersebut untuk ia taruh di keranjang cucian.“Iya, aku udah bujuk buat makan bareng di ruang makan dari sarapan tadi, tapi sampai makan siang pun dia minta sama Lita buat makan di kamar.”“Coba aku tanya deh.”“Kamu mandi dulu aja,” cegah Padma ketika Badai sudah ingin beranjak keluar dari kamar mereka. “Masih ada banyak waktu sampai makan malam.”“Mau mandi sama
“Aku jadi… menyesal.”“Kenapa?”Badai tak menjawab pertanyaan Padma, tapi Padma bisa menebak apa yang ada di pikiran suaminya saat ini. Sepulangnya ia dan Asa dari taman tadi, Padma menjelaskan apa yang dialami Asa secara ringkas kepada Badai dan respons Badai sesuai dengan tebakannya.“Jangan mulai nyalahin diri kamu sendiri.” Padma mengusap pelan lengan suaminya. “Niat kamu dulu yang nggak ingin bercerai dan menganggap kalau rumah tangga kamu dengan Anastasya bisa diperbaiki itu bener kok.“Tapi kan kamu tahu, kita nggak bisa mengendalikan semua hal di dunia ini, termasuk soal perasaan orang lain. Kamu nggak bisa mengendalikan perasaan Anastasya yang akhirnya membuat kamu dan Asa sampai ke titik ini.”Badai menyugar rambutnya dengan asal. Ia tahu kalau apa yang dikatakan Padma memang benar.Namun ketika menyadari bagaimana Asa harus mengingat ibu kandungnya dengan cara paling pahit hingga akhirnya kini malah dihina orang lain karena keluarganya, membuat Badai merasa gagal menjadi se
“Nggak berasa ya, udah ulang tahun Janar aja.”“Iya. Ini ulang tahun pertama Janar tanpa ayahnya.”Padma mengusap pelan lengan Shua dan Mili menyerahkan segelas jus jeruk kepada perempuan itu.“Juan nggak dateng?” tanya Mili yang sejak tadi memang memperhatikan tamu undangan yang datang di ulang tahun Janar, anak Shua.“Nggak, lagi nemenin selingkuhannya ke dokter kandungan, sebentar lagi mereka mau punya anak, kali.”“Ewh,” desis Mili tanpa sadar. “Janar sedih nggak tahu papanya nggak dateng?”“Nggak.” Perempuan yang hari itu mengenakan gaun santai dengan kerah sabrina tersebut menggeleng seraya tersenyum miris. “Dia bahkan nggak pernah nanyain papanya lagi. Sesekali aku singgung soal papanya, kayak… kalau dia kangen kita bisa atur waktu ketemu.“Tapi Janar bilang dia nggak mau ketemu papanya.” Shua menghela napas. “Aku emang benci sama Juan, tapi aku juga nggak pengen anakku lupa atau bahkan benci sama papanya.”Padma mengerti apa yang dipikirkan Shua. Hal itu juga yang ia dan Badai
Badai membuka matanya dan merasa ada hal yang aneh. Ia mengerjapkan mata, lalu beranjak duduk dan mencari kaosnya yang ia lempar dengan sembarangan entah ke mana semalam.“Hon,” panggil Badai sambil memakai kaosnya yang ternyata tergeletak di kursi meja rias. “Kamu di kamar mandi?”Ia mendekat ke kamar mandi, tapi pintunya terbuka sedikit dan tidak ada siapa-siapa di dalamnya.Satu tangannya mengucek matanya yang masih ingin terpejam seraya masuk ke kamar mandi. Ia memutuskan untuk sekalian mandi sebelum turun ke lantai satu, menyusul istrinya yang kemungkinan sudah bangun lebih dulu daripada dirinya.“Hon, kamu di mana?” panggil Badai ketika selesai mandi dan beranjak menuruni undakan tangga.Samar-samar Badai bisa mendengar seruan Padma yang menjawab pertanyaannya. “Di dapur, B.”Mendengar hal itu, tentu saja Badai langsung bergegas ke dapur. Istrinya tengah menghadap kompor dan sibuk sendiri dengan masakannya. Iseng, ia memeluk Padma dari belakang dan mencium pipi istrinya dengan l
“Papa, mau duduk.”“Oh, oke, oke.”Dengan cepat Badai mencari restoran yang tak terlalu ramai untuk mereka bertiga duduk dan beristirahat sejenak. Ia menunjuk ke arah Fish & Co. “Ke sana mau nggak, Bang?”“Mau, mau!”Badai tersenyum melihat bagaimana antusiasnya Asa. Seraya mendorong stroller yang ditempati Ilana, mereka berjalan masuk ke gerai Fish & Co. yang ada di lantai 3A Grand Indonesia tersebut.Hari ini ia, Padma, dan anak-anaknya memang berkunjung ke Grand Indonesia untuk banyak agenda, mulai dari belanja bulanan, beli baju baru untuk Asa dan Badai, hingga Padma yang ingin potong rambut.Badai sengaja memberi waktu pada
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec