Share

Terusir

Almira yang memang dalam posisi tidak siap, dan lagi tubuhnya lapar dan kelelahan efek menangis semenjak pagi, sontak terhuyung dan jatuh terjerembab.

"Bibi?" Almira terkesiap sambil menatap tak percaya ke arah Bi Lusi. Biasanya Bi Lusi selalu memperlakukannya dengan hangat dan lembut. Bahkan menyayanginya layaknya anak. Karena memang Paman Hadi dan Bi Lusi belum dikaruniai momongan di usia pernikahan mereka yang menginjak tahun ke lima belas.

Bi Lusi menyunggingkan senyum sinis sambil berkacak pinggang.

"APA? mau protes?"

Sebulir embun menetes dari sudut mata Almira.

"Bi, kenapa Bibi kasar sama Mira? apa Mira ada salah sama Bibi? dan … dan kenapa Bibi juga Paman tidak datang dari tadi? ayah dan ibu …." Belum sempat Almira menyelesaikan perkataannya, Bi Lusi memotong,

"Kenapa? memang apa peduli Bibi? yang mati kan ayah ibumu? nggak ada urusannya sama kami! malah untung cepat mati!"

"Astaghfirullahaladzim, Bibi!" seru Almira tak menyangka bibinya akan mengeluarkan kata-kata sekejam itu. Bibirnya bergetar dan isakan pun lolos dari bibirnya. Masih terduduk di lantai teras, Almira menatap pilu ke arah Bi Lusi.

"Apa? berani kamu ya bentak Bibi?"

"Bi, tolong, ada apa ini sebenarnya? kenapa Bibi bersikap kasar sama Mira?"

Bbrruukkkk!

Sebuah koper dijatuhkan di sebelah Almira oleh Paman Hadi yang baru saja keluar.

"Ambil dan pergilah! Semua pakaian dan barang kamu sudah Paman masukkan ke koper ini! dan jangan injakkan kakimu ke rumah ini lagi!" 

"A-apa?"

"Tuli kamu? suamiku bilang pergi dari sini! jangan kembali lagi kesini! dan ingat, kamu bukan siapa-siapa kami. Rumah dan semua peninggalan Bang Santo menjadi hak kami. Pergi sana!" usir Bi Lusi.

"Pa-paman?" Almira mengalihkan pandangan ke arah Paman Hadi dengan memelas. Sementara yang ditatap oleh Almira hanya membalasnya datar. Tiada kehangatan seperti sebelum-sebelumnya. Kenapa Paman dan bibinya berubah?

"Ta-tapi ini rumah milik ayah dan ibu, Paman. Kenapa Mira harus pergi? dan lagi, kemana Mira harus pergi?"

"Saya tidak peduli! kamu bukan lagi keponakan saya. Pergi dari rumah ini! Saya lebih berhak atas rumah ini daripada kamu!" bentak Paman Hadi

Almira menangis tergugu. Entah kenapa kesedihan datang bertubi-tubi padanya.

"Paman, apa salah Mira? kalau Mira ada salah, Mira mohon maaf. Tapi jangan usir Mira. Mira tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Mira cuma punya Paman dan Bibi. Jangan perlakukan Mira seperti ini."

"Heh! kamu itu cuma …." Perkataan Bi Lusi disela oleh Paman Hadi yang mengangkat tangannya. Isyarat agar istrinya diam dulu.

"Salah kamu? salah kamu adalah hadir ke rumah ini! Sudah jangan banyak tanya lagi. Pergi dan jangan pernah kembali lagi kemari. Tidak ada harta Bang Santo yang menjadi hak kamu. Semua peninggalan Bang Santo milik kami sekarang!"

Selesai mengucapkan itu, Paman Hadi berbalik masuk rumah diikuti Bi Lusi. Almira berusaha bangun dan mengejar Pamannya. Namun semua tangis dan permohonannya tidak digubris. Paman Hadi menutup pintu dengan keras tanpa mempedulikannya yang terisak pilu sambil mengetuk pintu berharap ada setitik iba di hati pamannya itu.

Hampir setengah jam mengetuk pintu dan memanggil Paman Bibinya untuk dibukakan pintu tetapi tanpa hasil, Almira berbalik gontai sambil meraih handle koper. Beberapa tetangga nampak mengintip dari jendela, namun tak ada yang menghampirinya. Mungkin tetangganya takut dan segan dengan Paman Hadi, yang memang cukup terpandang sebagai seorang pegawai negeri. Berbeda dengan kakaknya, ayah Almira, yang seorang juragan beras. Semasa hidup ayah dan pamannya terlihat rukun dan akrab.

Walaupun Paman Hadi sering meminjam uang dengan alasan gajinya sebagai pegawai negeri tidak terlalu besar, dan juga entah berapa kali meminta uang kepada ayah Almira dengan dalih untuk program mendapatkan momongan. Ayah Almira yang memang menyayangi adik satu-satunya dan berhati baik itu tak segan memberikan uang secara cuma-cuma. Namun entah kenapa, sepertinya kematian kedua orangtuanya itu membuat Paman Hadi dan Bi Lusi menunjukkan watak yang sebenarnya. 

Almira menyeret kopernya menyusuri jalanan. Mau tak mau dia harus pergi. Tidak mungkin bertahan di rumah itu sementara Paman dan bibinya menolak kehadirannya. Akan tetapi Almira bertanya-tanya, apa maksud perkataan Paman Hadi bahwa Almira tidak berhak atas harta peninggalan orangtuanya?

Berjalan gontai, Almira terus berpikir tujuan langkah kakinya. Hendak kemana dia? sementara kerabat yang dia tahu hanya Paman Hadi dan Bi Lusi. Ibunya tidak memiliki saudara di daerah sini. Karena ibunya hanya perantau dari kampung. Ke kampung ibunya pun Almira belum pernah, karena menurut ibunya, dia yatim piatu sejak kecil. Dan saudaranya pun banyak yang telah merantau ke luar pulau tanpa ada komunikasi lagi.

Bingung dengan tujuannya, sebuah keputusan pun Almira buat. Dia akan pergi ke alamat yang ayahnya berikan sebelum meninggal. Entah alamat siapa, tapi pasti almarhum ayahnya punya tujuan sampai saat terakhir sempat menitipkan kertas alamat itu untuknya.

Memeriksa isi dompet, Almira mengucapkan syukur saat melihat isi dompetnya masih utuh. Bahkan masih bersyuku saat map berisi dokumen-dokumen miliknya ikut serta dalam isi koper yang dikemas Paman Hadi. Paling tidak, Pamannya tidak terlalu jahat sampai membiarkannya pergi tanpa bekal apapun.

Berbekal uang yang ada di dompetnya dan juga secarik kertas berisikan alamat peninggalan ayahnya, Almira berangkat. 

***

Setelah menempuh perjalanan panjang dengan sebuah taksi, hampir lima jam. Almira sampai di sebuah kawasan perumahan elit. Bangunan-bangunan yang nampak seperti kumpulan istana-istana itu memenuhi setiap sisi jalan masuk perumahan. Almira menatap takjub rumah-rumah itu dari balik jendela mobil. Alamat siapa sebenarnya yang tengah dia tuju? bagaimana bisa ayahnya tahu alamat rumah di kawasan elit ini? apakah saudara? atau sahabat? Almira masih menerka-nerka.

Taksi online itu berhenti di depan sebuah rumah yang menjulang tinggi dan besar, megah bak istana dengan lampu gemerlap dan pilar-pilar yang besar. Setelah yakin alamatnya sesuai dengan yang tertulis di kertas, Almira memberikan ongkos taksinya.

Dengan ragu, Almira berjalan menuju pintu gerbang yang berdiri kokoh. Seorang security nampak menghampiri dengan tatapan curiga. Bagaimana tidak? saat ini hampir tengah malam dan Almira datang membawa koper besar.

"Maaf, ada yang bisa saya bantu Nona?"

Almira tergagap saat hendak menjawab.

"Eh, saya, sa-saya … emh …."

Tatapan security itu semakin menyelidik dengan kening berkerut dan mata menatap waspada.

"Ada apa, Nona? Anda siapa dan ada perlu apa datang ke rumah ini?" Sekali lagi security itu menanyai Almira.

"Eh, sa-saya, sa-saya diberikan alamat rumah ini," cicit Almira. Tatapan mata security berbadan besar itu membuatnya sedikit seram.

"Bro, telpon Madam Helen!"

Entah kenapa, Almira merasakan bulu kuduknya meremang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status