Share

Peringatan Madam Helen

Almira memasuki ruangan 3x4 meter yang menjadi ruangan kerja milik Madam Helen itu. Di ruangan ini Madam Helen biasanya mengurus segala pembukuan pengeluaran rumah ataupun ruangan untuk memberi peringatan jika ada pelayan yang berbuat kesalahan. Madam Helen terkenal garang di kalangan para pelayan keluarga Atmaja.

Ruangan ini hanya terisi satu set sofa minimalis, satu meja kerja lengkap dengan kursinya juga rak kecil berisi map. Ani telah duduk di salah satu sofa panjang. Sementara madam Helen di sofa tunggal di hadapan Ani.

“Duduk!” perintah Madam Helen dengan tegas.

Almira pun meletakkan badannya di sebelah Ani.

“Saya mendapatkan laporan tentang kelakuan kalian. Sungguh tidak pantas seorang pelayan mencampuri urusan majikannya. Apa kalian tidak belajar cara menempatkan diri? siapa kalian sampai berani mencampuri masalah majikan?” Mata tajam Madam Helen bergantian menatap Almira dan Ani yang menundukkan kepala mereka.

“Dan kamu, Mira! kamu pelayan baru yang belum dua puluh empat jam berada disini dan sudah berulah!” 

“Maafkan saya, Madam. Saya tidak berniat ikut campur. Saya hanya tidak tega melihat orang berkelahi. Dan tadi ….”

“Bukan urusan kamu! Bukankah sudah saya bilang, siapa kalian sampai mau mencampuri urusan majikan? ingat, kalian cuma pelayan. Yang hanya bekerja dan digaji disini. Tidak ada hak bagi kalian turut campur apa yang terjadi di rumah ini selain tugas kalian.”

Madam Heen mengambil nafas sejenak.

“Beruntung Tuan Dion tadi melarang saya untuk langsung memecat kalian. Ini kesalahan terakhir kalian. Saya tidak suka memberikan kesempatan kedua. Kembali ke tugas kalian masing-masing,” perintah Madam Helen.

“Baik, Madam.” Serentak, Almira dan juga Ani menjawabnya. Mereka kemudian berpamitan dan keluar dari ruangan di sebelah paviliun itu.

“Dasar nenek tua sok!” dumel Ani setelah sampai di luar.

“Ssssttt! takut ada yang dengar,” kata Almira memeringatkan.

“Kamu juga sih, ngapain coba pakai sok jadi pahlawan? bonyok kan itu muka,” ujar Ani dengan tampang kesal.

“Ya, maaf. Abis mereka mau adu jotos, kan seram,” sahut Almira.

“Eh, jadi gimana rasanya berduaan dengan patung es?” tanya Ani dengan wajah penasaran.

“Patung es?” Almira bertanya balik dengan raut kebingungan.

“Tuan Dion!” ucap Ani gemas.

Almira tergelak. Merasa lucu dengan sebutan untuk Tuan Dion itu.

“ Dia kan patung es. Ganteng-gantung tapi dingin. Kalau dengar-dengar sih, banyak yang naksir beliau. Bahkan Nona Alana pun gosipnya beberapa kali mengungkapkan perasaan cinta, Tapi ya gitu, dicuekin,” cerita Ani.

Tidak tertarik dengan cerita yang Ani katakan, Almira hanya mengedikkan bahu.

“Ghibah! udah ah, makan yuk, aku lapar,” ucap Almira sambil memegang perutnya.

Ani mencebik. Gadis yang tingginya hanya sebahu Almira itu kesal karena ceritanya tidak direspon oleh Almira.

“Ayolah, aku juga lapar. Gara-gara nenek lampir, makan siangku tertunda,” gerutu Ani. Almira hanya menggeleng melihat rekan sesama pelayannya itu. 

***

“Eh, Tuan! ke-kenapa ada di sini?” Almira yang baru saja kembali setelah makan siang dan sholat dzuhur terkejut manakala melihat Alex duduk di tepi pembaringan Nyonya Arumi. Pria muda dengan alis tebal dan mata sipit itu duduk sambil memegang sebelah tangan Nyonya Arumi.

“Apa salah aku melihat keadaan orangtuaku sendiri?” tanya Alex dengan nada menyindir.

“Emh, eh, ma-maaf Tuan. Bukan maksud saya seperti itu. Saya hanya terkejut,” ucap Almira sopan. Bagaimanapun Alex adalah majikannya juga.

“Masuklah!” perintah Alex dingin dengan mata yang terus menatap ke arah Nyonya Arumi.

Almira pun masuk mengikuti perintah Alex.

“Kamu membacakan buku untuk mama?” tanya Alex. Karena di meja kecil di sebelah pembaringn, Alex melihat sebuah buku tergeletak di sana.

“Iya Tuan. Maaf jika saya lancang mengambil buku di rak,” jawab Almira.

“Mama dari dulu suka sekali membaca. Bahkan sering menghabiskan waktu seharian hanya untuk membaca buku,” ujar Alex dengan raut sendu.

“Nyonya Arumi pasti sembuh, Tuan,” ucap Almira mencoba menghibur laki-laki yang tadi meninju wajahnya itu.

“Apa mama akan kembali seperti dulu?” gumam Alex.

“Yang saya tahu, walaupun dalam kondisi koma, seseorang bisa mendengar dan merasakan stimulasi yang kita berikan. Salah satunya dengan mengajak mengobrol dan juga membacakan buku,” sahut Almira yang sebelumnya sudah mencari tahu kondisi Nyonya Arumi.

“Jika mama kembali seperti dulu, apakah aku akan kembali diabaikan?” Ucapan yang dilontarkan Alex terasa sarat kesedihan. Almira yang mendengarnya merasa iba. Namun, dia bingung hendak menanggapinya dengan kalimat penghiburan apa. Karena Almira sendiri tidak mengetahui bagaimana perlakuan Nyonya Arumi terhadap anaknya.

“Apa Mama akan kembali membenciku jika sembuh?” Sekali lagi, Alex mengeluarkan kalimat kesedihan lain.

Almira mengambil selembar tisu dan menyodorkannya ke arah Alex.

“Apa?” tanya Alex heran.

“Barangkali Tuan mau menangis” ucap Almira dengan polos

Meledaklah tawa Axel. Jika di luar gadis-gadis akan menatapnya dengan wajah penuh kekaguman, perawat baru ibunya ini malah menatapnya dengan kasihan.

“Kamu pikir saya selemah itu?”

Almira menyunggingkan senyum salah tingkah.

“Saya lihat Tuan seperti ingin menangis,” sahut Almira yang menarik uluran tangannya kembali.

“Dua puluh tahun lebih tak dianggap membuatku lebih kebal,” kata Alex sambil menarik nafas panjang. Almira menatap sosok yang ada di depannya itu.

Alex sangat tampan, seperti Dion. Hanya saja, Alex cenderung berwajah manis. Dengan alis tebal hampir menyatu, mata yang agak sipit, hidung mancung dan dua lesung di kedua pipinya, membuat banyak gadis tertarik kepadanya. Ditambah penampilannya sebagai pria metroseksual. Sementara Dion, lebih terkesan garang dan maskulin, dengan rahang yang tajam menonjolkan tulang pipinya yang tinggi dan berjambang. 

“Tuan mau saya buatkan coklat panas?” tanya Almira.

“Coklat panas?” lagi-lagi Alex bertanya dengan heran.

“Saya lihat mood tuan sedang tidak bagus. Saya biasanya dibuatkan coklat panas oleh ibu saya jika sedang begitu,” jawab Almira.

Alex tertegun menatap Almira yang berdiri tak jauh darinya itu. Entah kenapa, Alex merasa Almira berbeda dengan perempuan-perempuan yang dikenalnya selama ini. Selama ini, jika Alex merasa moodnya buruk, maka perempuan di luar sana akan berlomba mengajaknya kencan dan memberikan tubuhnya untuk memperbaiki mood Axel. Tapi Almira, coklat panas?

Alex tersenyum lucu. Namun perasaan bersalah menderanya saat melihat lebam biru di pipi Almira.

“Maaf ya. Kamu kena pukulanku tadi. Apa sakit?”

Almira tersenyum sekilas.

“InsyaAllah tidak apa-apa, Tuan. Maaf jika saya tadi lancang. Saya pikir, ada cara lain menyelesaikan masalah selain dengan perkelahian.”

Alex mendengus mendengar jawabab dari Almira.

“Kami para laki ….”

Ucapan Alex terpotong saat pintu kamar terbuka dari luar. nampak sosok Dion di sana. Membuat Alex memasang tatapan penuh permusuhan.

“Mau apa kamu kesini?” 

Dion melenggang masuk dengan santai.

“Hanya memastikan keadaan Nyonya Arumi,” jawabnya datar.

Tanpa membalas ucapan Dion, Alex berdiri dan berjalan keluar kamar. Almira menatap Dion kesal.

“Tuan Alex baru bersedih, kenapa anda tidak peka sekali!’ ujar Almira kesal.

Dion menaikkan sebelah alisnya.

“Apa pedulimu?”

“Ck, apa Tuan tidak mempunyai simpati?”

“Apa kau memang selalu ikut campur urusan orang lain?”

Almira tertegun mendengar perkataan dari Dion. Apa salahnya menghibur orang yang bersedih? bukankah berpahala? dan Alex sedang bersedih karena Nyonya Arumi yang koma.

“Tuan yang minim simpati!”

Dion melotot kelancangan Almira.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status