"MIRA!" pekik Ani sambil berlari masuk ruang makan. Nampak Mira yang tersungkur karena pukulan dari Tuan Alex. Ani dengan cemas menolong rekan kerjanya itu. Bukan hanya cemas akan nasib Almira, tetapi juga nasib pekerjaannya karena ketahuan mengintip.
"Mira kenapa mesti keluar sih? kan jadi kepukul, ketahuan lagi!" rutuk Ani dalam hati.
Lebam tampak sudut bibir Almira yang juga mengeluarkan sedikit darah. Almira tak sadarkan diri. Dion segera bangkit dari kursi makan dan berjongkok mengecek keadaan Mira.
"Siapa dia? berani-beraninya kalian mengganggu?" bentak Alex.
"Ma-maaf, Tu-tuan. Di-dia perawat baru Nyonya Arumi. Ka-kami ta-tadi mau ke pavilliun," jawab Ani dengan gemetar dan ketakutan.
"Aaarrrggghhhh! brengsek kalian semua!"
Bbrrraakk!
Alex menendang kursi makan yang ada di dekatnya dan pergi meninggalkan ruang makan. Lalu mengibaskan tangannya ke atas meja makan yang berisi berbagai hidangan hingga berantakan. Beberapa piring nampak terjatuh dan pecah.
Setelah puas melampiaskan amarahnya, Dion keluar dari ruang makan dengan meninggalkan aura mencekam.
Ani nampak seperti akan menangis melihat amukan anak majikannya itu. Wajahnya memerah dengan raut takut dan genangan air di matanya.
"Bereskan semua! jangan sampai kejadian ini terulang lagi," perintah Dion dengan dingin.
Ani menunduk penuh penyesalan.
"Ba-baik Tuan," jawab Ani.
Dion meraih belakang leher Almira dengan tangan kirinya dan belakang lutut dengan tangan kanannya lalu mengangkat tubuh gadis itu.
"Siapa dia?" tanya Dion dingin.
"Pe-perawat Nyonya Arumi yang baru Tuan. Baru datang tadi malam. Namanya Almira," cicit Ani.
Dion mengerutkan keningnya sambil menatap wajah Almira.
"Biar saya urus. Kamu bersihkan ruangan ini."
"Baik Tuan."
Dion kemudian membawa Almira ke kamarnya. Sesampainya di kamar, diletakkannya tubuh Almira dengan hati-hati. Mengamati dengan detail wajah di hadapannya itu beberapa saat. Lalu berdiri lagi dan mengambil kotak P3K.
Dibasahinya kain kasa dengan tetesan minyak aromaterapi yang kuat dan di dekatkan ke hidung Almira. Tak berapa lama, gadis itu mengernyitkan keningnya dan membuka mata. Mengerjap beberapa kali sampai akhirnya syok melihat Dion duduk di sisi tempat tidur menghadap ke arahnya.
"A-apa ya-yang anda lakukan? aduhhh …." Almira mengasuh saat sudut bibirnya yang luka terasa nyeri.
"Saya yang harusnya bertanya, apa yang kamu lakukan? seorang pelayan mencampuri urusan majikannya?" tanya Dion dengan nada dingin. Wajahnya pun datar tanpa ekspresi.
Almira terdiam mengingat kejadian yang baru saja dia alami.
"Sudah ingat?" sindir Dion.
Dengan tatapan bersalah, Almira menganggukkan kepalanya pelan.
"Maafkan saya Tuan. Tadi saya tidak sengaja mendengar. Tapi sungguh, yang saya lakukan tadi refleks saja karena saya tidak … saya tidak … saya tidak tahan melihat orang bertengkar."
"Bertengkar atau tidak, jika bukan urusan kamu, kenapa harus ikut campur? Dan juga tidak sopan menguping pembicaraan orang. Terkadang, keingintahuan yang besar dan tidak pada tempatnya bisa menghilangkan hidupmu!" ujar Dion dingin.
Seketika Almira bergidik. Entah kenapa, melihat Dion serasa suhu ruangan turun drastis.
"Ma-maaf Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi. Saya hanya tidak menyukai kekerasan," kata Almira lirih.
"Bangun! saya obati luka kamu," perintah Dion mengabaikan permintaan maaf dari Almira.
Takut-takut, Almira melakukan perintah Dion, lalu duduk dengan kepala tertunduk.
"Bagaimana saya bisa mengobati luka kamu jika kamu menunduk, bodoh?" bentak Dion.
Almira tersentak kemudian menegakkan kepalanya menghadap ke arah Dion namun mengalihkan pandangan matanya. Tak tahan menantang netra hitam kelam dan tajam milik Dion.
Dion mengambil kain kasa dan ditetesi sedikit obat merah lalu mengulurkan tangannya ke arah bibir Almira. Sebelum sampai ke sudut bibir Almira, gadis itu memalingkan wajahnya. Ada rasa risih di hati Almira. Selama hidupnya, belum pernah dekat dengan laki-laki selain ayahnya.
"Saya cuma mau obatin luka kamu. Cepat! jangan buang waktu saya," gertak Dion tak sabar. Almira kembali menghadapkan wajahnya ke arah Dion.
Dengan pelan, Dion mengobati sudut bibir Almira. Sesekali gadis cantik berwajah timur tengah itu meringis. Namun tak dipedulikan oleh Dion.
"Pelan-pelan, Tuan," bisik Almira lirih.
Gerakan tangan Dion terhenti, entah kenapa ada desir halus di dadanya. Melihat bibir penuh milik Almira yang berwarna kemerahan setengah terbuka. Dan sekelebatan pikiran melintas di kepalanya, wajah Almira mengingatkannya pada seseorang. Jika diperhatikan lebih detail, ya, Almira mirip sekali dengan sosok yang dikenalnya.
"Obati sendiri!"
Dion meletakkan peralatan P3K di atas kasur kemudian berlalu, membalikkan badannya sebelum membuka pintu dan berucap,
"Rawat Nyonya Arumi sebaik mungkin dan jangan berbuat ulah!" perintahnya tegas kemudian keluar dari kamar Almira.
"Aneh! dia yang mau ngobatin sendiri, dia juga yang tiba-tiba pergi," dengus Almira. Meraih kotak P3K dan turun dari tempat tidur untuk mencari cermin.
"Astagfirullah, kok seram begini mukaku?" Almira menatap wajahnya yang mulai bengkak di bagian rahang kanan. Pun sudut bibirnya terdapat luka robek.
"Mana ngilu lagi, sssshhhh …." Almira meringis kesakitan
"Heran sama laki-laki. Memang berantem bisa menyelesaikan masalah apa? bikin sakit badan iya!" gerutu Almira.
Selesai mengobati bibirnya, Almira keluar kamar untuk menuju paviliun belakang. Perutnya sudah terlalu lapar.
"Almira? kamu disuruh menghadap Madam Helen!" ujar salah satu dari pelayan disana yang Almira ketahui bernama Ratna.
"Ada apa Rat?"
"Udah, datang aja ke ruangannya. Daripada dapet Omelan dari nenek lampir itu," tukas Ratna.
"Yah, aku lapar," keluh Almira.
"Udah nanti aja. Kamu menghadap dulu sana. Ani juga disana. Pipi kamu pasti sakit ya? duh, ada-ada saja kalian. Nyari penyakit aja," dumel Ratna. Almira menyeringai merasa bersalah kemudian berlalu menuju ruangan Madam Helen.
Tok tok tok.
"Masuk!"
Hawa dingin menyergap Almira saat membuka pintu.
"Duduk!"
Jantung Almira pun berdegup kencang.
Almira memasuki ruangan 3x4 meter yang menjadi ruangan kerja milik Madam Helen itu. Di ruangan ini Madam Helen biasanya mengurus segala pembukuan pengeluaran rumah ataupun ruangan untuk memberi peringatan jika ada pelayan yang berbuat kesalahan. Madam Helen terkenal garang di kalangan para pelayan keluarga Atmaja.Ruangan ini hanya terisi satu set sofa minimalis, satu meja kerja lengkap dengan kursinya juga rak kecil berisi map. Ani telah duduk di salah satu sofa panjang. Sementara madam Helen di sofa tunggal di hadapan Ani.“Duduk!” perintah Madam Helen dengan tegas.Almira pun meletakkan badannya di sebelah Ani.“Saya mendapatkan laporan tentang kelakuan kalian. Sungguh tidak pantas seorang pelayan mencampuri urusan majikannya. Apa kalian tidak belaja
"Siapa kamu?"Dion yang baru saja membuka mulut untuk membalas ucapan Almira harus menahan diri manakala sebuah suara baru terdengar.Seorang gadis cantik dengan tubuh tinggi dan langsing memasuki kamar. Gadis itu mengenakan dress selutut tanpa lengan dengan tali di kedua bahunya."Siapa dia, sekretaris Dion?"Dion menganggukkan kepalanya sekilas sebelum menjawab."Dia perawat baru Nyonya Arumi, Nona Alana. Namanya Almira.""Saya Almira, Nona," sambung Almira sambil membungkukkan tubuhnya sekilas.Alana menganggukkan kepalanya kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Dion.
"Kalian sudah bosan bekerja disini?"Madam Helen menghampiri Almira dan Ani dengan langkah tegap dan tatapan menyorot tajam. Rahangnya yang runcing dengan bibir tipis membentuk garis datar menambah kesan betapa garangnya kepala pelayan keluarga Atmaja itu."Kalian disini bukan untuk bergosip, tapi bekerja. Kamu!" Telunjuk kurusnya menunjuk ke arah Ani. Membuat Ani seketika menunduk dengan ekspresi bersalah."Apa dengan bergosip masakan kamu jadi lebih enak? bahkan dengan tak tahu dirinya kamu menggosipkan majikan kamu sendiri. Saya tidak suka punya anak buah seperti itu!""Ma-maaf Ma-madam! Saya janji tidak akan mengulanginya lagi," ucap Ani terbata-bata. Tentu saja Ani takut jika dipecat oleh madam Helen. Mencari pekerjaan jaman sekarang susah, apalagi dengan gaji yang
Bbbrrruugghh!"Aduh!"Almira terpekik karena jatuh terduduk setelah tanpa sengaja menabrak Alex. Bagian belakang tubuhnya terasa ngilu. Almira yang sedang terburu-buru pergi ke toilet tidak melihat Alex yang juga baru turun tangga.Ponsel Alex yang tadi di dalam genggaman pun terlempar dan membentur lantai. Layarnya pecah berantakan."Oh my God! what the hell? Aaarrrggghhhh!" Alex mengumpat dan berjongkok mengambil pecahan ponselnya. Ditatapnya ponselnya dengan kesal. Ponsel seharga puluhan juta pecah di bagian layarnya."KAMU NGGAK PUNYA MATA?" bentak Alex murka.Dadanya terlihat naik turun menahan amarah."KAMU TAHU HARGA PONSE
[Mira? kamu kemana? kok belum selesai acara wisuda pergi?][Ra? halloooo?][Ra, kamu kemana sih? belum foto-foto kita pakai tiga. Main ngilang aja.][Ra? kemana sih? kamu ke kafe nggak hari ini?][Ra? ada masalah? please balas dong. Jangan bikin khawatir.][Ra? Aku baru tahu berita orangtua kamu. Innalilahi wa Innailaihiraji'un. Ikut berduka ya Ra. Besok aku ke rumah kamu][Ra sabar, yaa][Ra? kenapa di rumah kamu ada Paman bibi kamu aja? kata mereka kamu pergi. Kamu kemana Ra?][Ra, kabarin aku. Kamu kemana? benar kamu kabur? aku nggak percaya kata-kata bibi kamu. Aku tahu kamu gimana.]
"Nyonya, bolehkah saya curhat sama Nyonya? saya bingung hendak bicara dengan siapa. Biasanya jika saya sedih ada ayah dan ibu saya. Atau Lisa sahabat saya, tapi sekarang …."Almira mulai terisak lirih. Sungguh dirinya merasa kesepian saat ini. Ingin melakukan sesuatu pun Almira bingung apa yang harus dia lakukan. Jika pun menghubungi Lisa sahabatnya itu, Almira takut malah merepotkan ya.Setelah mengetahui jati dirinya, Almira tidak ingin merepotkan siapa pun. Almira merasa tidak pantas untuk itu. Bahkan orangtuanya saja membuangnya. Bagaimana orang lain nanti? dan Almira takut akan pikirannya itu."Saya takut Nyonya, kenapa ayah dan ibu saya meninggalkan saya sendiri? kenapa Paman dan bibi begitu jahat? dan siapa saya sebenarnya … hiks …."Almira menelungkup kan kepalanya ke atas kasur bersebelahan dengan tangan Nyonya Arumi. Tangisannya begitu pilu. Andai bisa mengulang waktu, Almira pasti akan meminta orangtuanya untuk tidak
"Tuannnnn!!! …."Almira berteriak memanggil Dion saat melihat di atas ranjang, Nyonya Arumi membuka matanya. Bahkan saat Almira berteriak, Nyonya Arumi menoleh pelan ke arah Almira."Nyo-Nyonya su-sudah sadar?" seru Almira syok. Sejak kapan Nyonya Arumi sadar?Mata Nyonya Arumi mengerjap mendengar seruan Almira.Almira pun bergegas menghampiri Nyonya Arumi."Nyonya sudah sadar? apa yang Nyonya rasakan? Nyonya butuh sesuatu? Nyonya mau sesuatu? biar saya ambilkan!" cerocos Almira. Almira yang tidak mempunyai pengalaman menghadapi orang yang baru tersadar dari koma begitu berapi-api. Entah kenapa ada rasa bahagia di hati Almira melihat Nyonya Arumi membuka matanya."Nyonya ad
Alex terduduk di bangku taman. Tubuhnya seakan lunglai. Seakan kehilangan tenaganya. Alex terhenyak dengan tatapan kosong. Tidak! ini tidak mungkin! Seperti orang gila, Alex tiba-tiba tertawa keras. Tawanya akan terasa menyakitkan jika saja yang mendengar peka. Tawanya bukan ekspresi kegembiraan. Tawa itu bentuk lain dari ratapan. Alex masih bertahan dengan tawanya. Sampai tetesan demi tetesan air meluncur dari sudut matanya. Alex tetap tertawa, sampai tawanya berubah jadi isakan. Alex menangis tergugu. Kedua tangannya mencengkram sisi-sisi kepalanya. Tadinya,Alex ingin mengetahui keadaan mamanya. Tapi saat di balik pintu, Alex tak sengaja mendengar percakapan mamanya dengan Dion. Memang tidak keras, tetapi masih cukup mampu ditangkap pendengaran Alex saat itu. "Tuan Aryawan meminta saya memegang kendali sementar