"Bro, telepon Madam Helen!" seru security itu ke arah temannya yang berada di dalam pos. Berdiri dengan gemetar, berkali-kali Almira membetulkan posisi kerudungnya yang tidak salah.
"Sa-saya bu-bukan orang jahat, Pak," gumam Almira yang masih ditatap tajam security dari balik pagar.
Security yang ada di dalam pos memanggil temannya dan memberitahu sesuatu yang tidak bisa Almira dengar. Namun, tak berapa lama, pintu gerbang otomatis itu terbuka. Dan security mempersilahkannya masuk kemudian mengantarkannya sampai ke depan rumah.
*******
Saat ini Almira tengah duduk di ruang tamu rumah megah itu. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Sebuah foto besar terpajang di dinding berisi empat orang. Jika dilihat, sepertinya pasangan suami istri dan dua anaknya.
"MasyaAllah, tampan dan cantik," bisik Almira.
Almira mengagumi dekorasi ruangan yang sangat berkelas. Guci-guci besar dan terlihat mahal menghiasi beberapa sudut ruangan. Lampu gantung kristal yang besar nampak tergantung gagah di langit-langit. Sofa putih bersih besar dan tengah dia duduki berhadapan langsung dengan meja oval yang indah.
"Indahnya rumah orang kaya," gumam Almira.
Dari arah dalam, keluar seorang perempuan paruh baya berwajah garang diikuti perempuan lebih muda dengan baju pelayan. Menghampiri sofa dan duduk di hadapan Almira.
"Kenapa baru datang? Saya tidak suka keterlambatan. Untuk kali ini saja saya maafkan. Tugas kamu merawat nyonya besar. Memastikan kebersihannya dan juga obat untuk beliau. Dokter datang setiap dua hari sekali."
"Ma-maaf Nyonya, ta-tapi sa-saya …."
"Panggil saya Madam Helen. Saya kepala pelayan disini. Yang lain bisa kamu tanyakan ke Ani nanti. Jangan membuat masalah disini. Cukup lakukan tugasmu dengan baik dan kamu akan mendapatkan gaji."
"Ta-tapi!" Almira merasa ada yang salah disini. Tapi setiap kali hendak bertanya Madam Helen selalu menyelanya.
"Ani, antarkan dia ke kamar khusus perawat Nyonya Arumi. Jelaskan tugasnya dan seluk beluk rumah ini."
"Baik Madam," jawab pelayan yang tadi mengikutinya.
Tanpa mengatakan apapun lagi, Madam Helen bangkit dan berlalu ke arah dalam.
Almira masih duduk mematung. Merawat nyonya besar? gaji? ada apa ini?
"Hey, ayo lekas aku antar ke kamar kamu. Kenapa malah bengong?" seru Ani yang melihat Almira terdiam dengan mulut setengah terbuka.
Almira tergagap kaget mendengar seruan Ani.
"Ayo cepat! aku udah ngantuk nih. Bawa sendiri ya kopermu."
Seperti kerbau dicocok hidungnya, Almira mengangguk dan mengikuti Ani sambil menyeret kopernya di atas lantai marmer yang indah.
Ani menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu dan membukanya,
"Nah, ini kamar kamu. Kamu taruh dulu kopernya, terus aku tunjukkan ke kamar Nyonya Arumi."
Ragu-ragu, Almira memasuki kamar itu. Sebuah ruangan dengan luas 3x3 meter, berisi satu tempat tidur single, satu pasang meja dan kursi, dan satu lemari pakaian. Tampak sebuah pintu di dalam kamar yang Almira yakini sebagai kamar mandi.
"Ayokkkk!" Dengan tak sabar Ani menarik tangan Almira keluar dan berhenti di depan sebuah pintu kayu besar dengan ukiran yang bagus. Ani membukanya dan membawa Almira masuk.
Sesampainya di dalam, Almira tertegun. Di atas tempat tidur, seorang wanita paruh baya tergeletak dengan damai. Kantong infus nampak menggantung di sisinya. Di sebelah tempat tidur juga berdiri sebuah tabung oksigen lengkap dengan alat bantu nafas yang menempel di hidung wanita itu.
"Beliau Nyonya Arumi. Nyonya Besar di rumah ini. Nyonya Arumi sudah sebulan ini koma. Beliau kecelakaan dengan Tuan Aryawan. Tuan Aryawan meninggal. Kasihan, beliau orang baik." Ani menatap ke arah Nyonya Arumi dengan sedih.
Entah kenapa, darah Almira berdesir saat mendekat untuk melihat Nyonya Arumi. Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di usianya yang telah matang.
"Cantik sekali Nyonya Arumi," puji Almira.
Walaupun dalam keadaan tak sadar dan pucat, namun kecantikan Nyonya besar itu masih terpancar.
"Cantik banget! Aku yang masih muda aja minder. Eh, tapi kamu juga cantik. Seperti Nyonya Arumi, terlihat seperti keturunan timur tengah," celetuk Ani.
Almira tersenyum.
"Aku Almira, panggil saja Mira." Almira menyodorkan tangannya dan berjabat tangan dengan Ani.
"Sepertinya kita sebaya, bisa jadi teman," kata Ani dengan senyum ceria.
Ani kemudian menjelaskan apa saja yang menjadi tugas Almira. Almira nampak serius mendengarkan. Entah kenapa, Almira merasa dekat dengan Nyonya Arumi. Mungkin karena dirinya baru saja ditinggal pergi oleh ibunya. Sehingga perasaannya begitu sensitif.
Setelah menjelaskan detail tugas Almira dan juga seluk beluk rumah, Ani berpamitan kembali ke kamarnya yang berada di belakang, kamar khusus pembantu. Almira mengangguk.
Sebelum meninggalkan kamar itu, Almira menatap ke arah tempat tidur sekali lagi. Melihat wajah Nyonya Arumi.
"Mira akan merawat Nyonya seperti merawat Ibu," bisik Almira tulus. Lalu berlalu keluar dan menuju ke kamarnya untuk beristirahat. Biarlah, dia berpura-pura sebagai perawat sementara. Sampai dia mengetahui apa maksud ayahnya memberikan alamat rumah ini. Tapi, bagaimana jika dia ketahuan bukan perawat yang sebenarnya? tiba-tiba, kegundahan melanda hati Almira.
***
Pagi harinya, Almira mulai melakukan tugasnya sebagai perawat Nyonya Arumi. Semua sudah dijelaskan oleh Ani semalam. Mengelap badan Nyonya Arumi dengan handuk basah, menggantikan pakaian, mengganti kantong infus, memberikan obat, semua dilakukan oleh Almira dengan hati senang. Walau ada beberapa hal yang harus Almira cari tahu via internet di ponselnya.
Sepanjang melakukan tugasnya, Almira tak lupa mengajak Nyonya Arumi berbicara walaupun tanpa balasan, melantunkan ayat-ayat suci dan bershalawat. Berharap Nyonya Arumi bisa mendengarnya. Dan semakin lama bersama nyonyanya itu, Almira merasa semakin terikat dan ingin terus merawatnya. Biarlah dia jalani kebohongan ini walaupun salah.
Toh, dia juga tidak mempunyai tujuan lain. Kelak, Almira sendiri yang akan mengungkapkan yang sebenarnya. Bukan murni salahnya, dia sudah berusaha untuk menjelaskan di awal kedatangannya. Tetapi Madam Helen, wanita tua garang itu tak memberinya kesempatan untuk berbicara.
Madam Helen sangat tegas dan disiplin di rumah besar ini. Semua ada di dalam kendalinya. Memastikan rumah selalu bersih, rapi dan tidak kurang suatu apapun.
Namun, sepagian mengurus Nyonya Arumi, Almira sama sekali tidak melihat adanya anggota keluarga yang sekedar menengok. Almira hanya bertemu dengan pelayan lain. Padahal menurut cerita Ani semalam, Nyonya Arumi mempunyai dua orang anak. Nyatanya sampai menjelang siang, Nyonya Arumi hanya bertemu dengannya saja.
Amira, berinisiatif membacakan buku untuk Nyonya Arumi karena melihat rak di sudut ruangan yang penuh dengan buku. Ia menebak, wanita itu pasti sangat suka membaca. Tiba tiba, Ani datang menghampirinya. Mengajaknya makan siang.
Mereka pun keluar menuju paviliun di belakang rumah besar. Paviliun itu khusus untuk rumah tinggal para pelayan dan juga tempat mereka makan. Di dalam paviliun tersedia dapur dan juga perlengkapan lainnya. Saat melewati ruang makan, terdengar suara dua orang yang tengah bertengkar. Membuat Almira dan Ani menghentikan langkahnya dan bersembunyi di balik dinding pembatas. Ani meletakkan telunjuknya di depan bibir. Suasana rumah memang sepi, karena di jam makan, seluruh pelayan akan pergi ke paviliun belakang.
"Apa maksud kamu membatalkan kerjasama dengan perusahaan Pradipta? kamu membuatku malu dan hilang muka!"
Ani menggerakkan bibirnya menyebut sebuah nama, Tuan Alex.
"Kerjasama seperti apa? kerjasama itu akan merugikan perusahaan kita. Karena itu saya batalkan." sahut suara lain.
Sekali lagi, Ani menggerakkan bibirnya dan dibaca oleh Almira, Tuan Dion.
"Perusahaan kita? jangan lancang kamu, Dion! itu perusahaan milik keluargaku! kamu bukan siapa-siapa disini! jangan membuat keputusan semaumu!" bentak Alex.
Dion yang tengah duduk menyantap makan siangnya meletakkan sendok dan garpunya untuk menatap Alex yang berdiri dengan tangan terkepal.
"Saya memang bukan siapa-siapa di keluarga ini. Tapi, tentu anda ingat bahwa saya yang diberi kuasa untuk mengatur perusahaan sampai Nyonya sembuh," ujar Dion dengan wajah dingin.
"Bukan berarti kamu bisa semaumu! Aku! Aku pewaris dari harta Atmaja. Semua pesan ayah itu bullshit! itu semua hanya akal-akalan kamu saja!"
"Berapa kali saya harus bilang? rekaman suara dari almarhum Tuan Aryawan pun sudah anda dengar. Bukankah Anda ingat? Tuan Aryawan memerintahkan saya mengatur semua jalannya perusahaan dan rumah ini sampai Nyonya Arumi sembuh. Atau, jika Nyonya pun meninggal, seluruh harta Atmaja akan dihibahkan untuk panti asuhan. Perlu saya putar ulang?"
"Brengsek kau Dion! racun apa yang kau berikan pada pikiran ayahku sampai dia tidak memikirkan kami anak-anaknya?"
Dion menyandarkan badannya dengan gaya elegan. Menatap datar ke arah anak dari majikannya itu.
"Saya tidak melakukan semua yang anda tuduhkan. Harusnya anda berpikir sendiri, kenapa bahkan ayah anda merasa bahwa anda tidak pantas diberikan kursi pimpinan perusahaan?"
"Hentikan omong kosongmu. Cepat telepon asisten brengsekmu itu dan minta untuk kembali menjalin kerjasama dengan perusahaan Pradipta!" perintah Alex keras.
"Kenapa? apa anda belum puas menikmati tubuh Lizzy Pradipta sampai takut dengan gagalnya kerjasama ini?"
"Brengsek kau, dasar bawahan tak tahu diri!"
Alex mengangkat tinjunya untuk memberi pelajaran kepada Dion.
"Jangaaannn!"
Bbuugghhh!!!...
"MIRA!" pekik Ani sambil berlari masuk ruang makan. Nampak Mira yang tersungkur karena pukulan dari Tuan Alex. Ani dengan cemas menolong rekan kerjanya itu. Bukan hanya cemas akan nasib Almira, tetapi juga nasib pekerjaannya karena ketahuan mengintip."Mira kenapa mesti keluar sih? kan jadi kepukul, ketahuan lagi!" rutuk Ani dalam hati.Lebam tampak sudut bibir Almira yang juga mengeluarkan sedikit darah. Almira tak sadarkan diri. Dion segera bangkit dari kursi makan dan berjongkok mengecek keadaan Mira."Siapa dia? berani-beraninya kalian mengganggu?" bentak Alex."Ma-maaf, Tu-tuan. Di-dia perawat baru Nyonya Arumi. Ka-kami ta-tadi mau ke pavilliun," jawab Ani dengan gemetar dan ketakutan."Aaarrrggghhhh! brengsek kalian semua!"Bbrrraakk!Alex menendang kursi makan yang ada di dekatnya dan pergi meninggalkan ruang makan. Lalu mengibaskan tangannya ke atas meja makan yang berisi berbagai hidangan hingga berantakan. Bebera
Almira memasuki ruangan 3x4 meter yang menjadi ruangan kerja milik Madam Helen itu. Di ruangan ini Madam Helen biasanya mengurus segala pembukuan pengeluaran rumah ataupun ruangan untuk memberi peringatan jika ada pelayan yang berbuat kesalahan. Madam Helen terkenal garang di kalangan para pelayan keluarga Atmaja.Ruangan ini hanya terisi satu set sofa minimalis, satu meja kerja lengkap dengan kursinya juga rak kecil berisi map. Ani telah duduk di salah satu sofa panjang. Sementara madam Helen di sofa tunggal di hadapan Ani.“Duduk!” perintah Madam Helen dengan tegas.Almira pun meletakkan badannya di sebelah Ani.“Saya mendapatkan laporan tentang kelakuan kalian. Sungguh tidak pantas seorang pelayan mencampuri urusan majikannya. Apa kalian tidak belaja
"Siapa kamu?"Dion yang baru saja membuka mulut untuk membalas ucapan Almira harus menahan diri manakala sebuah suara baru terdengar.Seorang gadis cantik dengan tubuh tinggi dan langsing memasuki kamar. Gadis itu mengenakan dress selutut tanpa lengan dengan tali di kedua bahunya."Siapa dia, sekretaris Dion?"Dion menganggukkan kepalanya sekilas sebelum menjawab."Dia perawat baru Nyonya Arumi, Nona Alana. Namanya Almira.""Saya Almira, Nona," sambung Almira sambil membungkukkan tubuhnya sekilas.Alana menganggukkan kepalanya kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Dion.
"Kalian sudah bosan bekerja disini?"Madam Helen menghampiri Almira dan Ani dengan langkah tegap dan tatapan menyorot tajam. Rahangnya yang runcing dengan bibir tipis membentuk garis datar menambah kesan betapa garangnya kepala pelayan keluarga Atmaja itu."Kalian disini bukan untuk bergosip, tapi bekerja. Kamu!" Telunjuk kurusnya menunjuk ke arah Ani. Membuat Ani seketika menunduk dengan ekspresi bersalah."Apa dengan bergosip masakan kamu jadi lebih enak? bahkan dengan tak tahu dirinya kamu menggosipkan majikan kamu sendiri. Saya tidak suka punya anak buah seperti itu!""Ma-maaf Ma-madam! Saya janji tidak akan mengulanginya lagi," ucap Ani terbata-bata. Tentu saja Ani takut jika dipecat oleh madam Helen. Mencari pekerjaan jaman sekarang susah, apalagi dengan gaji yang
Bbbrrruugghh!"Aduh!"Almira terpekik karena jatuh terduduk setelah tanpa sengaja menabrak Alex. Bagian belakang tubuhnya terasa ngilu. Almira yang sedang terburu-buru pergi ke toilet tidak melihat Alex yang juga baru turun tangga.Ponsel Alex yang tadi di dalam genggaman pun terlempar dan membentur lantai. Layarnya pecah berantakan."Oh my God! what the hell? Aaarrrggghhhh!" Alex mengumpat dan berjongkok mengambil pecahan ponselnya. Ditatapnya ponselnya dengan kesal. Ponsel seharga puluhan juta pecah di bagian layarnya."KAMU NGGAK PUNYA MATA?" bentak Alex murka.Dadanya terlihat naik turun menahan amarah."KAMU TAHU HARGA PONSE
[Mira? kamu kemana? kok belum selesai acara wisuda pergi?][Ra? halloooo?][Ra, kamu kemana sih? belum foto-foto kita pakai tiga. Main ngilang aja.][Ra? kemana sih? kamu ke kafe nggak hari ini?][Ra? ada masalah? please balas dong. Jangan bikin khawatir.][Ra? Aku baru tahu berita orangtua kamu. Innalilahi wa Innailaihiraji'un. Ikut berduka ya Ra. Besok aku ke rumah kamu][Ra sabar, yaa][Ra? kenapa di rumah kamu ada Paman bibi kamu aja? kata mereka kamu pergi. Kamu kemana Ra?][Ra, kabarin aku. Kamu kemana? benar kamu kabur? aku nggak percaya kata-kata bibi kamu. Aku tahu kamu gimana.]
"Nyonya, bolehkah saya curhat sama Nyonya? saya bingung hendak bicara dengan siapa. Biasanya jika saya sedih ada ayah dan ibu saya. Atau Lisa sahabat saya, tapi sekarang …."Almira mulai terisak lirih. Sungguh dirinya merasa kesepian saat ini. Ingin melakukan sesuatu pun Almira bingung apa yang harus dia lakukan. Jika pun menghubungi Lisa sahabatnya itu, Almira takut malah merepotkan ya.Setelah mengetahui jati dirinya, Almira tidak ingin merepotkan siapa pun. Almira merasa tidak pantas untuk itu. Bahkan orangtuanya saja membuangnya. Bagaimana orang lain nanti? dan Almira takut akan pikirannya itu."Saya takut Nyonya, kenapa ayah dan ibu saya meninggalkan saya sendiri? kenapa Paman dan bibi begitu jahat? dan siapa saya sebenarnya … hiks …."Almira menelungkup kan kepalanya ke atas kasur bersebelahan dengan tangan Nyonya Arumi. Tangisannya begitu pilu. Andai bisa mengulang waktu, Almira pasti akan meminta orangtuanya untuk tidak
"Tuannnnn!!! …."Almira berteriak memanggil Dion saat melihat di atas ranjang, Nyonya Arumi membuka matanya. Bahkan saat Almira berteriak, Nyonya Arumi menoleh pelan ke arah Almira."Nyo-Nyonya su-sudah sadar?" seru Almira syok. Sejak kapan Nyonya Arumi sadar?Mata Nyonya Arumi mengerjap mendengar seruan Almira.Almira pun bergegas menghampiri Nyonya Arumi."Nyonya sudah sadar? apa yang Nyonya rasakan? Nyonya butuh sesuatu? Nyonya mau sesuatu? biar saya ambilkan!" cerocos Almira. Almira yang tidak mempunyai pengalaman menghadapi orang yang baru tersadar dari koma begitu berapi-api. Entah kenapa ada rasa bahagia di hati Almira melihat Nyonya Arumi membuka matanya."Nyonya ad