"Siapa kamu?"
Dion yang baru saja membuka mulut untuk membalas ucapan Almira harus menahan diri manakala sebuah suara baru terdengar.
Seorang gadis cantik dengan tubuh tinggi dan langsing memasuki kamar. Gadis itu mengenakan dress selutut tanpa lengan dengan tali di kedua bahunya.
"Siapa dia, sekretaris Dion?"
Dion menganggukkan kepalanya sekilas sebelum menjawab.
"Dia perawat baru Nyonya Arumi, Nona Alana. Namanya Almira."
"Saya Almira, Nona," sambung Almira sambil membungkukkan tubuhnya sekilas.
Alana menganggukkan kepalanya kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Dion.
"Bisakah kau mengantar aku untuk pemotretan, sekretaris Dion?" pinta Alana dengan penuh harap.
"Maaf Nona, ada supir yang bisa mengantarkan Nona. Bukan tugas saya mengantar Nona pergi," tolak Dion.
Alana menatap Dion dengan pandangan kecewa. Terlalu sering Dion menolaknya. Apa kurangnya Alana? cantik? Alana bahkan amat sangat cantik. Kaya? sebagai keturunan Atmaja dan juga model tentu saja Alana berlimpah harta. Baik? bahkan biarpun hidup di gemerlapnya dunia entertainment, Alana tetap menjaga tubuhnya. Lalu kenapa Dion tetap menolaknya?
"Sekretaris Dion, please!"
"Maaf Nona, saya harus pergi. Nona bisa meminta Pak Karyo ataupun supir yang lain untuk mengantarkan Nona." Setelah mengatakan itu, Dion berlalu bahkan tanpa menatap ke arah Alana.
"Dion! Sekretaris Diooonnn!" panggil Alana. Namun panggilannya itu tak memperoleh sahutan dari Dion.
Alana menatap kepergian Dion dengan hati pilu. Netranya berkaca-kaca saat pria yang menjadi dambaan hati sedari dia kecil mengabaikannya.
Dua belas tahun yang lalu, Dion dibawa ke rumah ini oleh mama dan papanya. Saat itu usia Alana baru delapan tahun, sementara Dion berumur lima belas tahun. Dion datang dengan tubuh yang masih penuh bekas luka. Kata mamanya, Dion terluka oleh orang jahat. Alana dengan telaten pun selalu menemani Dion yang saat itu nyaris seperti patung. Hanya diam saja tanpa mau berbicara dan baru bergerak ketika disuruh.
Kesabaran mamanya lah yang membuat Dion bisa bersikap layaknya manusia normal, walaupun masih tetap dingin tak tersentuh. Tapi Dion mulai mau berinteraksi dengan orang lain. Mamanya entah kenapa sangat menyayangi Dion, seperti anak sendiri. Dion disekolahkan sama dengan kakaknya, Alex.
Kepintaran dan kecerdasan Dion membuat papa dan mamanya bangga dan menjadikan Dion sebagai tangan kanan saat Dion telah lulus bangku pendidikan.
Setelah beranjak dewasa, mamanya baru menceritakan apa yang terjadi pada Dion. Dimana mama dan papanya menemukan Dion yang hampir mati di tangan ayah kandungnya sendiri. Beruntung, orangtuanya tiba di waktu yang tepat. Mereka menyelamatkan Dion dan memenjarakan ayah Dion karena melakukan penganiayaan.
Hanya Alex, kakaknya yang tidak mau menerima kehadiran Dion. Alex lima tahun di bawah Dion. Sejak kedatangan Dion, Alex selalu diperlakukan dengan tidak adil oleh mama dan papanya. Alex selalu dibanding-bandingkan dengan Dion yang nyaris tanpa cela baik di dalam prestasi akademis maupun di luar itu.
Merasakan kasih yang timpang itu membuat Alex menyimpan kebencian terhadap Dion. Bahkan sekuat apapun usahanya agar mendapat pujian dari mama dan papanya, Alex tidak pernah bisa mengalahkan Dion. Alana sangat mengetahuinya.
Ada rasa kasihan yang terselip di hati Alana pada kakaknya itu. Tapi rasa cintanya pada Dion, pria bermata elang itu membuatnya hanya bisa diam tanpa bisa membela Alex disaat mama dan papanya mencelanya. Karena Alex memang nakal sedari kecil dan juga liar saat dewasa. Alana bisa memaklumi kenapa papanya menitipkan kendali perusahaan pada Dion yang jelas mampu diandalkan.
"Nona?"
Alana tersentak saat merasakan sentuhan lembut di lengannya. Lamunannya buyar. Seketika menatap Almira dengan sinis. Ada rasa aneh di hati Alana saat menatap wajah Almira. Entah kenapa, tapi menurut Alana, Almira terlalu cantik jika hanya menjadi seorang perawat. Bahkan bisa saja Almira menjadi model seperti dirinya dengan wajah cantik dan postur tubuh yang hampir sama dengannya.
"Apa?" jawabnya ketus.
"Ma-maaf Nona. Tadi Nona melamun, tidak baik melamun Nona. Hanya membuang waktu," ucap Almira.
Alana berdecih sebal sambil menatap sinis perawat mamanya itu.
"Nggak usah sok nasehatin deh! sok alim banget. Bukan berarti kamu berjilbab terus lebih pintar daripada saya!"
"Maafkan saya Nona, bukannya saya mau sok pintar. Maaf jika Nona tidak berkenan dengan ucapan saya," ucap Almira sopan.
"Nah, itu tahu. Ingat posisi kamu siapa di rumah ini. Saya nggak butuh nasehat dari pelayan rendahan seperti kamu. Udah sana pergi, saya mau berdua sama mama!" usir Alana dengan tangan mengibas ke arah luar.
"Baik Nona, saya permisi," jawab Almira.
Almira pun meninggalkan kamar dan menuju paviliun belakang. Namun saat melewati dapur, Almira melihat Ani yang sedang memasak.
"Hey!" sapa Almira dengan menepuk pundak Ani.
"Astaga!" Ani terkesiap kaget membuat Almira tertawa.
"Kamu ini! kalau jantungku copot gimana? jantungku belum nemu pasangannya kalau copot duluan apa nggak berabe?" gerutu Ani.
"Tinggal dipasang lagi," ujar Almira sambil terkikik geli
"Masak apa? aku bantuin ya? Nona Alana lagi di kamar jadi aku keluar dulu," terang Almira.
"Kamu bantu kupas-kupas bawang sama potong sayur aja. Tuh di meja," sahut Ani sambil mengedikkan kepalanya ke arah meja dapur yang telah tersedia beberapa macam sayuran.
"Kamu tadi ketemu Nona Alana, menurut kamu gimana?" tanya Ani dengan tangan yang tetap sibuk mengaduk masakan di panci.
"Cantik," jawab Almira singkat.
"Memang cantik sih, kan model. Model terkenal lho beliau, cuma sayang, cintanya ditolak terus sama Tuan Dion," timpal Ani.
"Hush, kalau ada yang dengar dilaporin kamu mau?" Almira mengingatkan.
Ani hanya cengengesan mendengar teguran dari Almira.
"Kan emang benar. Tuan Dion tuh normal nggak ya? secantik Non Alana aja ditolak. Nyari yang seperti apa coba? apa Tuan Dion nggak normal ya?"
"Orang kan nggak ngeliat dari fisik doang, bisa jadi Tuan Dion punya kriteria lain yang tidak dimiliki oleh non Alana," ucap Almira bijak. Tangannya dengan cekatan memotong-motong sayuran.
"Tapi Tuan Dion memang ganteng banget sih, siapa yang nggak terpesona coba. Sayang aja sikapnya cuek sama dingin. Kayak kulkas berjalan, hihihi." Ani menertawakan ucapannya sendiri. Sementara Almira menggelengkan kepala sembari tersenyum.
Tapi ucapan Ani memang ada benarnya. Tuan Dion memang dingin dan kaku. Jika dibandingkan dengan Tuan Alex, terasa jauh lebih manusiawi Tuan Alex. Mengingat nama Tuan Alex membuat Almira kembali membayangkan percakapan mereka sebelumnya.
Tuan Alex seperti menyimpan sebuah luka di balik wajah manisnya. Apalagi saat menatap wajah Nyonya Arumi. Membuat Almira bertanya-tanya, apa sebenarnya yang menimpa Tuan Alex dulu.
"Kenapa Tuan Alex seperti membenci Tuan Dion?" tanya Almira penasaran.
"Oh, itu sudah jadi rahasia umum. Di antara mereka memang terjadi semacam persaingan. Kata pelayan lain yang sudah lama di rumah ini, Tuan Alex dan Tuan Dion selalu dibanding-bandingkan oleh Tuan besar dan Nyonya. Malah waktu Tuan besar meninggal, beliau memberikan wasiat agar Tuan Dion yang mengelola seluruh harta keluarga Atmaja."
Ani mengambil nafas sebelum melanjutkan ceritanya.
"Padahal seharusnya Tuan Alex yang memegang kekuasaan. Tapi malah diberikan kepada Tuan Dion. Ribetlah urusan orang kaya mah. Mendingan kita, cuma mikir kerja bener, digaji, cukup buat makan sama senang-senang, hahaha."
"Apa kalian digaji untuk bergosip disini?" tegur sebuah suara.
Almira dan Ani pun terkejut melihat siapa yang datang dan menegur mereka.
"Kalian sudah bosan bekerja disini?"Madam Helen menghampiri Almira dan Ani dengan langkah tegap dan tatapan menyorot tajam. Rahangnya yang runcing dengan bibir tipis membentuk garis datar menambah kesan betapa garangnya kepala pelayan keluarga Atmaja itu."Kalian disini bukan untuk bergosip, tapi bekerja. Kamu!" Telunjuk kurusnya menunjuk ke arah Ani. Membuat Ani seketika menunduk dengan ekspresi bersalah."Apa dengan bergosip masakan kamu jadi lebih enak? bahkan dengan tak tahu dirinya kamu menggosipkan majikan kamu sendiri. Saya tidak suka punya anak buah seperti itu!""Ma-maaf Ma-madam! Saya janji tidak akan mengulanginya lagi," ucap Ani terbata-bata. Tentu saja Ani takut jika dipecat oleh madam Helen. Mencari pekerjaan jaman sekarang susah, apalagi dengan gaji yang
Bbbrrruugghh!"Aduh!"Almira terpekik karena jatuh terduduk setelah tanpa sengaja menabrak Alex. Bagian belakang tubuhnya terasa ngilu. Almira yang sedang terburu-buru pergi ke toilet tidak melihat Alex yang juga baru turun tangga.Ponsel Alex yang tadi di dalam genggaman pun terlempar dan membentur lantai. Layarnya pecah berantakan."Oh my God! what the hell? Aaarrrggghhhh!" Alex mengumpat dan berjongkok mengambil pecahan ponselnya. Ditatapnya ponselnya dengan kesal. Ponsel seharga puluhan juta pecah di bagian layarnya."KAMU NGGAK PUNYA MATA?" bentak Alex murka.Dadanya terlihat naik turun menahan amarah."KAMU TAHU HARGA PONSE
[Mira? kamu kemana? kok belum selesai acara wisuda pergi?][Ra? halloooo?][Ra, kamu kemana sih? belum foto-foto kita pakai tiga. Main ngilang aja.][Ra? kemana sih? kamu ke kafe nggak hari ini?][Ra? ada masalah? please balas dong. Jangan bikin khawatir.][Ra? Aku baru tahu berita orangtua kamu. Innalilahi wa Innailaihiraji'un. Ikut berduka ya Ra. Besok aku ke rumah kamu][Ra sabar, yaa][Ra? kenapa di rumah kamu ada Paman bibi kamu aja? kata mereka kamu pergi. Kamu kemana Ra?][Ra, kabarin aku. Kamu kemana? benar kamu kabur? aku nggak percaya kata-kata bibi kamu. Aku tahu kamu gimana.]
"Nyonya, bolehkah saya curhat sama Nyonya? saya bingung hendak bicara dengan siapa. Biasanya jika saya sedih ada ayah dan ibu saya. Atau Lisa sahabat saya, tapi sekarang …."Almira mulai terisak lirih. Sungguh dirinya merasa kesepian saat ini. Ingin melakukan sesuatu pun Almira bingung apa yang harus dia lakukan. Jika pun menghubungi Lisa sahabatnya itu, Almira takut malah merepotkan ya.Setelah mengetahui jati dirinya, Almira tidak ingin merepotkan siapa pun. Almira merasa tidak pantas untuk itu. Bahkan orangtuanya saja membuangnya. Bagaimana orang lain nanti? dan Almira takut akan pikirannya itu."Saya takut Nyonya, kenapa ayah dan ibu saya meninggalkan saya sendiri? kenapa Paman dan bibi begitu jahat? dan siapa saya sebenarnya … hiks …."Almira menelungkup kan kepalanya ke atas kasur bersebelahan dengan tangan Nyonya Arumi. Tangisannya begitu pilu. Andai bisa mengulang waktu, Almira pasti akan meminta orangtuanya untuk tidak
"Tuannnnn!!! …."Almira berteriak memanggil Dion saat melihat di atas ranjang, Nyonya Arumi membuka matanya. Bahkan saat Almira berteriak, Nyonya Arumi menoleh pelan ke arah Almira."Nyo-Nyonya su-sudah sadar?" seru Almira syok. Sejak kapan Nyonya Arumi sadar?Mata Nyonya Arumi mengerjap mendengar seruan Almira.Almira pun bergegas menghampiri Nyonya Arumi."Nyonya sudah sadar? apa yang Nyonya rasakan? Nyonya butuh sesuatu? Nyonya mau sesuatu? biar saya ambilkan!" cerocos Almira. Almira yang tidak mempunyai pengalaman menghadapi orang yang baru tersadar dari koma begitu berapi-api. Entah kenapa ada rasa bahagia di hati Almira melihat Nyonya Arumi membuka matanya."Nyonya ad
Alex terduduk di bangku taman. Tubuhnya seakan lunglai. Seakan kehilangan tenaganya. Alex terhenyak dengan tatapan kosong. Tidak! ini tidak mungkin! Seperti orang gila, Alex tiba-tiba tertawa keras. Tawanya akan terasa menyakitkan jika saja yang mendengar peka. Tawanya bukan ekspresi kegembiraan. Tawa itu bentuk lain dari ratapan. Alex masih bertahan dengan tawanya. Sampai tetesan demi tetesan air meluncur dari sudut matanya. Alex tetap tertawa, sampai tawanya berubah jadi isakan. Alex menangis tergugu. Kedua tangannya mencengkram sisi-sisi kepalanya. Tadinya,Alex ingin mengetahui keadaan mamanya. Tapi saat di balik pintu, Alex tak sengaja mendengar percakapan mamanya dengan Dion. Memang tidak keras, tetapi masih cukup mampu ditangkap pendengaran Alex saat itu. "Tuan Aryawan meminta saya memegang kendali sementar
"Kamu cantik!" puji Arumi pagi itu saat sedang berjemur di taman rumahnya.Almira tersenyum kecil. Merasa senang dengan pujian yang dilontarkan Nyonyanya itu. Almira merasakan kelembutan Arumi, pun dengan Arumi yang melihat ketulusan di setiap waktu Almira merawatnya."Terimakasih, Nyonya. Nyonya pun sangat cantik. Saya malah minder lho Nyonya, saya yang mudah merasa tersaingi," seloroh Almira sambil memotong kuku tangan Arumi.Kesehatan Arumi berangsur membaik. Walaupun saat ini Arumi belum bisa berjalan karena kakinya masih lemah, sehingga Arumi harus memakai kursi roda untuk berpindah tempat. Seperti saat ini, Arumi berjemur di bawah matahari pagi dengan duduk di kursi roda ditemani Almira."Kamu ada-ada saja. Saya sudah tua, yang entah kenapa Allah memberi kesempatan
"Masuk!" jawab Arumi.Almira mendesah pelan, lega. Kali ini dia terselamatkan dari kebohongannya. Namun entah sampai kapan, dia harus mempertahankan kebohongan ini. Yumna ingin mengatakan yang sebenarnya, tapi bagaimana tanggapan Arumi nantinya? Jujur, Almira merasa nyaman dengan Arumi. Terlepas dari sikap Arumi terhadap anak-anaknya, Alex dan Alana, Almira merasakan kelembutan wanita paruh baya itu. Dan Almira merasa nyaman di dekatnya. Mungkin dirinya merindukan sosok ibunya.Dion memasuki kamar dengan langkah penuh wibawa. Terlihat aura kepemimpinan dalam setiap gesture tubuhnya. Pantas saja Tuan Atmaja mempercayakan perusahaan padanya, batin Almira. Untuk sesaat Almira terpesona. Namun segera tersadar dengan muka tersipu. Merutuk dalam hatinya tentang pikirannya yang melantur."Ada apa, Dion?" tanya Arumi lembut