Almira berjalan di lorong rumah sakit dengan tergesa. Sepanjang perjalanan, deraian air mata tak berhenti menuruni pipinya. Sebuah kabar yang membuat hatinya terasa hancur. Kejadian naas yang tak pernah dia pikirkan sebelumnya terjadi tepat di hari wisudanya.
Sampai di depan sebuah ruangan gawat darurat, Mira menghentikan langkahnya.
Nampak di balik kaca kesibukan para tenaga kesehatan.
Seorang suster menghampirinya dan bertanya, "Nona anak dari Bapak Santo dan Ibu Imah?"
Almira hanya bisa menganggukkan kepalanya. Suaranya tercekat, tidak mampu mengeluarkan jawaban.
"Mari silahkan masuk, sebelum melihat kondisi Bapak dan Ibu, silahkan bertemu dengan dokter terlebih dahulu."
Suster itu membawa Almira ke sebuah ruangan yang berbatasan dengan ruang gawat darurat. Seorang dokter pria paruh baya telah menunggunya disana.
"Bagaimana kondisi Bapak dan Ibu saya, Dok?" akhirnya, suara Almira berhasil keluar di tengah isaknya. Dokter itu menatap Almira prihatin sebelum menjawab
"Maaf, Nona, kami turut berbelasungkawa. Nyawa Bu Imah tidak bisa kami selamatkan. Bu Imah meninggal dunia."
Seakan langit telah runtuh, kabar yang disampaikan dokter itu membuat Almira menangis keras.
"NGGAKKK!!! Dokter bohong! Ibu saya masih hidup kan Dok? Ibu saya berjanji tadi pagi mau menghadiri wisuda saya. Tolong katakan ini bohong Dokkkk!!!"
Almira menangis histeris. Tubuhnya luruh ke lantai yang dingin di tengah kesedihan yang menderanya itu.
Bagaimana mungkin Ibunya meninggalkannya tepat di hari bahagianya ini? bahkan semalam mereka berencana menghabiskan hari esok untuk berlibur merayakan kelulusannya. Kenapa ibunya ingkar dan malah meninggalkannya?
Ibunya bahkan belum melihatnya sukses. Gamis yang dibuatnya sebulan lalu bahkan belum sempat dia persembahkan untuk ibunya. Kenapa ibunya pergi?
"Dok, bilang ini semua bohong! tolong katakan ini semua tidak benar. Ibu saya tidak mungkin ingkar janji, Dok! Ibu tidak pernah berbohong!" ratap Almira. Gadis cantik berkerudung itu menangis lara. Sementara itu, Dokter hanya bisa menatapnya dengan iba.
"Nona, maafkan kami. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi luka yang dialami Bu Imah terlalu parah. Saat ini hanya Pak Santo yang masih bertahan. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Pak Santo. Kondisi beliau saat ini kritis."
Almira segera berdiri dan menatap penuh harap ke dokter itu.
"Dok, saya mohon selamatkan Ayah saya. Hanya beliau yang saya punya saat ini."
Almira menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
"Nona, kami akan berusaha. Lebih baik, saat ini anda mengurus pemakaman Ibu Imah. Kasihan jika jenazahnya terlalu lama menunggu."
Seperti tersadar, Almira membenarkan ucapan dokter itu.
"Innalillahi w* Innailaihiraji'un," bisiknya lirih lalu kembali menangis. Mencoba kuat atas cobaan yang Allah berikan saat ini.
Setelah dirasa cukup tegar, Almira berjalan ke arah pintu untuk mengurus pemakaman ibunya. Namun belum sempat dia keluar, seorang suster berjalan ke arah dokter dan membisikkan sesuatu.
"Nona Almira?"
Perlahan, Almira kembali menolehkan kepalanya ke arah dokter itu. Tatapan dokter itu membuat Almira menggelengkan kepala sambil menangis.
"Jangan Dok!" rintih Almira seolah begitu merasakan sakit.
"Maaf, Nona. Kami kehilangan Pak Santo. Kami tidak bisa menyelamatkannya. Sekali lagi kami turut berbelasungkawa."
Hancurlah hati Almira. Runtuhlah ketegaran yang berusaha dibangunnya.
"Ayaaaahhh! Ibuuuuuuu!"
Hingga tubuhnya lunglai bersatu dengan gelap yang terasa menyakitkan.
***
Dua gundukan tanah merah bertabur bunga masih terus dipandangi oleh Almira. Matanya yang sembab terus saja mengalirkan tetesan demi tetesan airmata. Sungguh, ujian yang diberikan oleh Allah terasa tak mampu dijalaninya. Hidupnya kini sendiri.
Tidak lagi ada sosok yang akan mencurahkan kasih sayang padanya. Tidak ada lagi sosok yang akan melindunginya. Kedua malaikatnya telah pergi, meninggalkan duka yang mendalam. Lubang hitam kesedihan dan kesepian bercokol di hatinya.
"Ayah, Ibu, kenapa ninggalin Mira secepat ini? apa Ayah sama Ibu tidak ingin melihat Mira berhasil menjadi seorang desainer ternama? apa Ayah dan Ibu tidak ingin melihat Mira menggapai cita-cita? Mira harus bagaimana sekarang, Yah, Bu? hiks.." Mira kembali terisak pilu. Ditekannya kepalan tangannya kuat-kuat ke dada. Terasa sangat sakit di dalam sana.
"Mira sendiri, Yah, Bu. Kepada siapa Mira harus berbagi cerita nanti? siapa yang akan menyemangati Mira nanti? Mira bingung Yah, Mira bingung Buuu … huhuhu…!" Tergugu Mira menangis di antara dua pusara.
Diciumnya kedua nisan orang tuanya. Menengadahkan kedua tangannya dan berdoa.
"Ya Allah, ampunilah dosa kedua orang tua hamba. Tempatkan mereka di tempat terbaik di sisimu. Lapangkan kubur mereka. Dan berikan hambamu ini kekuatan untuk melanjutkan hidup ini, aamiin."
Airmata Almira terus saja bercucuran. Wajahnya sembab memerah dengan mata bengkak terlalu banyak menangis. Sungguh, tak ada seorang anakpun yang siap dengan kematian orangtuanya. Apalagi kedua orangtuanya sekaligus. Seakan langit runtuh di atasnya, dan bumi tempat berpijaknya hancur.
Setelah agak mereda, Mira mengambil sesuatu dari kantong gamis hitamnya. Secarik kertas yang sudah sedikit usang dengan bercak darah. Membuka lipatan kertas itu hingga sebaris tulisan terpampang di didepan matanya.
"Apa yang harus Mira lakukan, Yah? kenapa ayah memberikan kertas ini? apa tujuan ayah sebenarnya?"
Secarik kertas usang yang saat ini dibawa Mira adalah peninggalan ayahnya sebelum meninggal. Sempat sadar beberapa saat di tengah menurunnya kondisi, Pak Seno menitipkan kertas ini kepada suster untuk diberikan kepada anaknya.
Almira sendiri bingung karena tidak tahu artinya. Yang dia tahu kalimat yang tertera di kertas itu adalah sebuah alamat di tengah pusat kota, daerah kalangan papan atas. Apa ini ada hubungannya dengan mimpinya menjadi seorang desainer?
Sore menjelang. Almira serasa enggan meninggalkan area pemakaman. Matahari sudah mulai condong ke barat.
Dengan berat hati Almira bangun dan berjalan gontai keluar dari area pemakaman. Menghampiri sebuah motor matic berwarna biru yang menjadi temannya mengarungi jalanan. Dilakukannya motor itu menuju rumah yang tak jauh dari pemakaman.
Di depan rumahnya yang sekaligus menyatu dengan ruko tempat jualan beras almarhum Pak Seno, nampak terparkir mobil sedan hitam. Almira menyandarkan motor dan melihat adanya Paman Hadi dan istrinya Bi Lusi. Paman Hadi adalah adik dari Almarhum Pak Seno.
"Paman, Bibi!" seru Almira. Setengah berlari, Almira menuju ke arah Paman dan bibinya yang duduk di teras rumah. Namun sebuah kejadian membuat Almira terkejut. Saat ingin memeluk bibinya, Bi Lusi menghalau lengannya keras. Almira memekik kaget karena penolakan dari bibinya itu membuatnya tersentak ke belakang. Padahal, Almira sangat membutuhkan pelukan dari bibinya.
"Ap-apa Bi-Bibi ke-kenapa?" Almira tergagap karena bingung dengan reaksi bibinya.
"Nggak usah peluk-peluk!" bentak Bi Lusi ketus.
Paman Hadi dan Bi Lusi tinggal di kecamatan yang berbeda dengan Almira dan kedua orangtuanya. Namun entah kenapa, setelah Almira memberi kabar tentang kecelakaan kedua orangtuanya, Paman dan bibinya itu tak kunjung datang bahkan sampai Pak Seno dan Bu Imah selesai dimakamkan. Dan sekarang setelah datang, sikap mereka sungguh berbeda
"Mana kunci rumah?" tanya Paman Hadi datar dengan tangan terulur.
Masih dalam keterkejutan, Almira merogoh saku gamisnya dan mengambil kunci kemudian menyerahkannya pada Paman Hadi.
Pamannya segera membuka pintu dan menyelonong masuk ke dalam rumah.
"Paman …." Saat Almira hendak menyusul pamannya masuk, tangan Bi Lusi mencekal lengannya.
"Diam disini!" bentak Bi Lusi.
"Ta-tapi Bi, kenapa?" Almira masih belum mengerti kenapa sikap bibinya berubah seratus delapan puluh derajat.
Bi Lusi melotot lalu mendorong tubuh Almira.
Bbbrrrruuugghhhh …!!!
Almira yang memang dalam posisi tidak siap, dan lagi tubuhnya lapar dan kelelahan efek menangis semenjak pagi, sontak terhuyung dan jatuh terjerembab."Bibi?" Almira terkesiap sambil menatap tak percaya ke arah Bi Lusi. Biasanya Bi Lusi selalu memperlakukannya dengan hangat dan lembut. Bahkan menyayanginya layaknya anak. Karena memang Paman Hadi dan Bi Lusi belum dikaruniai momongan di usia pernikahan mereka yang menginjak tahun ke lima belas.Bi Lusi menyunggingkan senyum sinis sambil berkacak pinggang."APA? mau protes?"Sebulir embun menetes dari sudut mata Almira."Bi, kenapa Bibi kasar sama Mira? apa Mira ada salah sama Bibi? dan … dan kenapa Bibi juga Paman tidak datang dari tadi? ayah dan ibu …." Belum sempat Almira menyelesaikan perkataannya, Bi Lusi memotong,"Kenapa? memang apa peduli Bibi? yang mati kan ayah ibumu? nggak ada urusannya sama kami! malah untung cep
"Bro, telepon Madam Helen!" seru security itu ke arah temannya yang berada di dalam pos. Berdiri dengan gemetar, berkali-kali Almira membetulkan posisi kerudungnya yang tidak salah."Sa-saya bu-bukan orang jahat, Pak," gumam Almira yang masih ditatap tajam security dari balik pagar.Security yang ada di dalam pos memanggil temannya dan memberitahu sesuatu yang tidak bisa Almira dengar. Namun, tak berapa lama, pintu gerbang otomatis itu terbuka. Dan security mempersilahkannya masuk kemudian mengantarkannya sampai ke depan rumah.*******Saat ini Almira tengah duduk di ruang tamu rumah megah itu. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Sebuah foto besar terpajang di dinding berisi empat orang. Jika dilihat, sepertinya pasangan suami istri dan dua anaknya."MasyaAllah, tampan dan cantik," bisik Almira.Almira mengagumi dekorasi ruangan yang sangat berkelas. Guci-g
"MIRA!" pekik Ani sambil berlari masuk ruang makan. Nampak Mira yang tersungkur karena pukulan dari Tuan Alex. Ani dengan cemas menolong rekan kerjanya itu. Bukan hanya cemas akan nasib Almira, tetapi juga nasib pekerjaannya karena ketahuan mengintip."Mira kenapa mesti keluar sih? kan jadi kepukul, ketahuan lagi!" rutuk Ani dalam hati.Lebam tampak sudut bibir Almira yang juga mengeluarkan sedikit darah. Almira tak sadarkan diri. Dion segera bangkit dari kursi makan dan berjongkok mengecek keadaan Mira."Siapa dia? berani-beraninya kalian mengganggu?" bentak Alex."Ma-maaf, Tu-tuan. Di-dia perawat baru Nyonya Arumi. Ka-kami ta-tadi mau ke pavilliun," jawab Ani dengan gemetar dan ketakutan."Aaarrrggghhhh! brengsek kalian semua!"Bbrrraakk!Alex menendang kursi makan yang ada di dekatnya dan pergi meninggalkan ruang makan. Lalu mengibaskan tangannya ke atas meja makan yang berisi berbagai hidangan hingga berantakan. Bebera
Almira memasuki ruangan 3x4 meter yang menjadi ruangan kerja milik Madam Helen itu. Di ruangan ini Madam Helen biasanya mengurus segala pembukuan pengeluaran rumah ataupun ruangan untuk memberi peringatan jika ada pelayan yang berbuat kesalahan. Madam Helen terkenal garang di kalangan para pelayan keluarga Atmaja.Ruangan ini hanya terisi satu set sofa minimalis, satu meja kerja lengkap dengan kursinya juga rak kecil berisi map. Ani telah duduk di salah satu sofa panjang. Sementara madam Helen di sofa tunggal di hadapan Ani.“Duduk!” perintah Madam Helen dengan tegas.Almira pun meletakkan badannya di sebelah Ani.“Saya mendapatkan laporan tentang kelakuan kalian. Sungguh tidak pantas seorang pelayan mencampuri urusan majikannya. Apa kalian tidak belaja
"Siapa kamu?"Dion yang baru saja membuka mulut untuk membalas ucapan Almira harus menahan diri manakala sebuah suara baru terdengar.Seorang gadis cantik dengan tubuh tinggi dan langsing memasuki kamar. Gadis itu mengenakan dress selutut tanpa lengan dengan tali di kedua bahunya."Siapa dia, sekretaris Dion?"Dion menganggukkan kepalanya sekilas sebelum menjawab."Dia perawat baru Nyonya Arumi, Nona Alana. Namanya Almira.""Saya Almira, Nona," sambung Almira sambil membungkukkan tubuhnya sekilas.Alana menganggukkan kepalanya kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Dion.
"Kalian sudah bosan bekerja disini?"Madam Helen menghampiri Almira dan Ani dengan langkah tegap dan tatapan menyorot tajam. Rahangnya yang runcing dengan bibir tipis membentuk garis datar menambah kesan betapa garangnya kepala pelayan keluarga Atmaja itu."Kalian disini bukan untuk bergosip, tapi bekerja. Kamu!" Telunjuk kurusnya menunjuk ke arah Ani. Membuat Ani seketika menunduk dengan ekspresi bersalah."Apa dengan bergosip masakan kamu jadi lebih enak? bahkan dengan tak tahu dirinya kamu menggosipkan majikan kamu sendiri. Saya tidak suka punya anak buah seperti itu!""Ma-maaf Ma-madam! Saya janji tidak akan mengulanginya lagi," ucap Ani terbata-bata. Tentu saja Ani takut jika dipecat oleh madam Helen. Mencari pekerjaan jaman sekarang susah, apalagi dengan gaji yang
Bbbrrruugghh!"Aduh!"Almira terpekik karena jatuh terduduk setelah tanpa sengaja menabrak Alex. Bagian belakang tubuhnya terasa ngilu. Almira yang sedang terburu-buru pergi ke toilet tidak melihat Alex yang juga baru turun tangga.Ponsel Alex yang tadi di dalam genggaman pun terlempar dan membentur lantai. Layarnya pecah berantakan."Oh my God! what the hell? Aaarrrggghhhh!" Alex mengumpat dan berjongkok mengambil pecahan ponselnya. Ditatapnya ponselnya dengan kesal. Ponsel seharga puluhan juta pecah di bagian layarnya."KAMU NGGAK PUNYA MATA?" bentak Alex murka.Dadanya terlihat naik turun menahan amarah."KAMU TAHU HARGA PONSE
[Mira? kamu kemana? kok belum selesai acara wisuda pergi?][Ra? halloooo?][Ra, kamu kemana sih? belum foto-foto kita pakai tiga. Main ngilang aja.][Ra? kemana sih? kamu ke kafe nggak hari ini?][Ra? ada masalah? please balas dong. Jangan bikin khawatir.][Ra? Aku baru tahu berita orangtua kamu. Innalilahi wa Innailaihiraji'un. Ikut berduka ya Ra. Besok aku ke rumah kamu][Ra sabar, yaa][Ra? kenapa di rumah kamu ada Paman bibi kamu aja? kata mereka kamu pergi. Kamu kemana Ra?][Ra, kabarin aku. Kamu kemana? benar kamu kabur? aku nggak percaya kata-kata bibi kamu. Aku tahu kamu gimana.]