“Gadis itu jelas-jelas datang dari keluarga yang miskin dan tidak jelas asal usulnya, Harlan!” bentak Wanita Tua itu pada seorang Pria yang berdiri mematung menatapnya. Kedua matanya melotot sembari menunjukkan secarik undangan di tangannya. “Kau malah berani-beraninya mau menikahi Perempuan itu!” murka Sang Wanita Tua.
“Ibu, Rigel wanita yang cerdas dan luar biasa, Ibu percayalah padaku jika dia wanita yang tepat untuk kunikahi,” ucap Pria itu memelas. “Siapa yang tak kenal dia? Rigel Seras Meil, dua kali menjadi ketua tim regu penyelamat ekspedisi dan aku salah satu orang yang ditolong olehnya.” Pria itu berucap kemudian menghela napas cukup panjang.
“Percuma kami menyekolahkanmu sampai jadi petinggi militer tapi jika kau masih bersikap bodoh dengan menikahi orang karena balas budi,” celetuk Sang Ibu. “Tinggalkan wanita itu dan jangan buat malu, kami sudah dari dulu menjodohkanmu dengan Julia, anak pewaris Violens Corporation.” Sang Ibu berucap sambil beranjak pergi.
Sebuah pintu tidak tertutup rapat. Pintu menyisakan sedikit celah untuk seseorang yang sedari tadi menguping pembicaraan itu. Seorang gadis muda berambut hitam panjang bergelombang hanya bisa tertunduk lemah. Setelah tahu kenyataan pahit itu. Dia segera beranjak pergi dengan isak tangisan.
Gadis itu terus berlari melintasi koridor hingga ia keluar dari sebuah gedung yang terletak di pusat kota. Gedung megah milik lembaga pemerintah yang bergerak di bidang hubungan antariksa. Gadis itu dengan tak sengaja menabrak seorang wanita. “Maaf, maaf, aku tidak melihatmu,” ucap Gadis itu.
“Apa kau tahu baru menabrak siapa?” tanya Wanita itu dengan angkuh.
Sang Gadis beralih menatap Wanita itu. Kedua matanya memandangi Wanita itu dengan pedih. “Tentu aku tahu Anda, Nona Violens,” ucap Gadis itu sambil mengangguk. Perasaannya masih sakit saat tahu kebenaran jika pernikahannya bisa saja kandas, kini Wanita lain yang akan menggantikan posisinya malah muncul di hadapan dirinya.
“Kau Gadis Meil itu bukan?” tanya Si Wanita sembari memandangi Gadis berambut hitam panjang bergelombang ini. Tatapannya berubah jadi remeh. “Jelek, udik, dan miskin, jika bukan modal otak Tikus Got seperti kau pasti modal beruntung saja karena pakai oleh orang pemerintahan,” cibir Si Wanita.
Sang Gadis mengepalkan kedua tangannya. Selalu saja seperti ini, orang-orang sejak dulu selalu merudungku, batinnya. Dia jadi murka namun segera meredam amarahnya sendiri dengan cara memilih untuk pergi. “Kalau begitu aku permisi,” ucap Si Gadis hendak beranjak pergi tapi dia langsung dihadang oleh Wanita itu.
“Kau merebut tunanganku dasar wanita murahan!” bentak Julia Violens. Tangannya segera melayang pada pipi Si Gadis untuk memberinya tamparan yang pedas. Semua orang yang sedang berlalu lalang memandangi keributan itu tapi Julia semakin tersenyum senang karena berhasil mempermalukan Sang Gadis.
"Kau bebas mengataiku, semua orang selalu seperti itu padaku tapi aku punya nama." Gadis itu menyahut. Kedua matanya menyalang marah. Sudah dipermalukan didepan umum sekaligus dihina oleh Wanita itu. “Namaku Rigel Seras Meil, aku punya nama, bukan julukan seperti itu,” ucap Sang Gadis sambil menyentuh pipinya yang memerah itu. Dia sadar jika mencintai Pria seperti Harlan maka cintanya hanya akan memiliki penghadang sebesar ini.
“Rigel!” teriak Harlan yang baru saja tiba. Pria itu segera menegahi kedua Wanita itu. “Rigel, kau tidak apa-apa?” tanya Harlan sambil memandangi pipi merah Rigel. Ketika mau menyentuh Sang Gadis, tangan Harlan langsung ditepis oleh Rigel.
Rigel segera menghindar meski tatapannya tak sanggup jika memandangi Pria itu. Dia tak bisa berbohong jika perasaannya masih sama. “Aku baik-baik saja Kapten Zidane, sebaiknya aku juga akan pergi,” ucap Rigel sembari beranjak pergi. Beranjak pergi dari kehidupan sekarang dan cinta lamanya.
“Rigel tunggu!” teriak Harlan.
Rigel menghentikan langkahnya. Dia menoleh untuk menatap mantan kekasihnya itu dengan kedua mata berbinar akibat ulah dari air mata yang hendak mengalir derasnya itu. "Aku sudah tahu semuanya, tentang dirimu, dan tembok tinggi diantara kita berdua," ucap Rigel.
Harlan membelalakkan kedua matanya. Dia menggeleng sambil hendak menggapai Sang Kekasih namun langkah Pria itu terhenti akibat tangan dari Julia Violens yang meraih lengannya itu. "Julia, hentikan semua sikapmu ini," ucap Harlan dengan tegas.
"Oh benarkah? coba saja hentikan aku jika kau berani." Julia berbisik pada Harlan sambil menyeringai tipis. "Satu langkahmu sama dengan ancaman pada keluarga Zidane, ingatlah Harlan ... kedua orang tuamu berhutang banyak pada keluargaku," ancam Julia. Ia memandang sinis Harlan yang masih memandangi Rigel yang mau beranjak itu. Kecemburuan dan kedengkiannya menjadi-jadi. Wanita itu diam-diam juga sudah mengepalkan kedua tangannya.
Rigel tersenyum nanar. Pada akhirnya dia harus melepaskan Harlan meski sebenarnya berat bagi Rigel untuk melakukannya. “Selamat tinggal, Kak Harlan,” ucap Rigel yang beranjak pergi usai menatap Harlan yang mematung itu.
Memang benar adanya jika pernikahan tidak hanya mempersatukan dua insan tapi juga kedua keluarga. Rigel menyadari tembok penghadang itu. Ia pun bergegas pulang kala langit sepia mulai menemani rasa sesak didadanya saat ini. “Hanya penduduk biasa, aku ini hanya rakyat jelata biasa yang tak punya kuasa dan uang pada zaman ini,” ucap Rigel berbincang sendiri.
Tit ... Tit ...
Bunyi klakson mobil yang saling bersahut-sahutan di jalan raya. Jalan jadi macet karena Demonstran yang memaksa masuk ke dalam gedung Tyre. Gedung yang jadi saksi bisu hubungan asmaranya selama ini dengan Harlan. Padahal nyaris menikah tapi ternyata jadi kandas.
“Tyre lembaga pengkhianat rakyat!” teriak Para Demonstran saling bersahutan. Sayangnya aksi seperti ini sudah bertahun-tahun terjadi karena bumi tempat kita tinggal tak lagi damai dan tua.
Rigel Seras Meil memandangi dalam diam aksi Para Demonstran yang mulai dihadang oleh pasukan keamanan. “Lebih baik aku bergegas pulang,” ucap Rigel sembari berlari menjauh dari Gedung itu.
Ketika Rigel sampai di rumah saat senja nyaris tenggelam oleh malam. Ia membuka pintu kemudian berjalan memasuki kamarnya tapi Rigel malah berpas-pasan dengan Sang Ibu yang memandanginya dengan sedih.
“Ibu tahu berita dari TV soal pernikahanmu dan Harlan yang gagal, dia sudah dijodohkan dengan Nona Violens,” beritahu Ibu. “Maafkan Ibu, Nak,” ucap Ibu bernada lesu.
“Cukup!” bentak Rigel. “Aku tidak menyesal hidup miskin seperti ini, aku berusaha Bu, aku berusaha!” teriak Rigel diiringi oleh isak tangisnya. “Memangnya apa alasanku sampai berani ambil resiko untuk ikut dalam misi sukarela penyelamatan itu?” tanya Rigel. Ia terbayang akan resiko pekerjaannya selama ini.
“Ibu bangga padamu, Kamu jadi pahlawan karena hal itu.” Sang Ibu menjawab.
“Tapi itu semua tak cukup Bu, Rigel tetap dianggap sebelah mata,” sahut Rigel sambil membalikkan tubuhnya. “Semuanya telah usai, Rigel tak akan bisa menikah dengan Kak Harlan,” ucap Rigel sembari beranjak pergi.
Rigel masuk ke dalam kamarnya. Ia duduk di pinggir ranjang kasurnya sembari memeluk perutnya sendiri. “Tidak ada alasan lagi, maafkan aku,” ucap Rigel terisak sendiri. Inilah alasan mereka hendak melangsungkan pernikahan karena Rigel telah hamil tapi tampaknya ia tak bisa mendambakan dongeng seperti itu.
“Rigel, Rigel," ucap Harlan mencoba menghentikan langkah Gadis itu. Harlan langsung menarik pergelangan tangannya. "Kumohon cobalah untuk memikirkannya lebih dulu karena ini bukanlah hal yang baik untuk diputuskan begitu saja." Harlan memandangi Gadis itu. Tangan besarnya bahkan mencoba memengang permukaan wajah Rigel. Semula Harlan takut jika Rigel akan bereaksi keras menolaknya tapi Rigel hanya terdiam saat dia membelai wajahnya.“Aku tak bisa meninggalkan kalian ,” bujuk Harlan. "Oh, Kak Harlan ...," ucap Rigel penuh kelembutan terutama kala Dia merasakan hangat dari tangan Harlan membelainya. Aku rindu dengan semua yang ada padanya tapi semua ini sudah usai, batin Rigel. Harlan Zidane, pria sempurna yang ia cintai. Dada Rigel seketika sakit menderu kala menatap Harlan yang memelas padanya. "Aku tidak tahu apakah kau masih mencintaiku?" tanya Rigel. Dia menatap langsung kedua mata hijau zambrud milik Harlan. Harlan tak langsung menjawab tapi kini beralih untuk menyentuh pelan tan
“Rigel biarkan aku mengantarmu pulang untuk terakhir kalinya,” ucap Harlan yang telah berdiri di hadapan Rigel.Rigel hendak menolak ajakan dari Harlan namun Pria itu menatap Rigel dengan kedua mata hijau terangnya. “Terserah kau saja,” sahut Rigel sambil berjalan lebih dulu. Rigel akan terus menolak Harlan. Padahal dua tahun lalu, Harlan jadi Pria yang paling ia cintai.Saat Rigel terdiam menatap Harlan yang membukakan pintu mobil untuknya. Rigel langsung membelalakkan kedua matanya saat melihat mobil lain berhenti. “Ini buruk,” ucap Rigel sembari menatap kedatangan Nyonya Zidane yang keluar dari mobil bersama pengawalnya.“Kau membawa pengaruh buruk untuk keluarga terhormat kami,” cibir Nyonya Zidane. “Harlan sudah berapa kali Ibu bilang untuk jauhi Wanita ini.” Nyonya Zidane menatap Rigel dengan jijik.“Ibu aku tidak bisa meninggalkan Rigel,” sahut Harlan. “Dia hamil anakku, sudah seharusnya aku bertanggung jawab.” Harlan berucap dengan tegas. Ia menghadang Sang Ibu yang tengah mel
“Yang Mulia Adriel, kita sudah sampai di titik koordinat setelah menempuh 149,6 juta km, protokol pendaratan akan dilakukan.” Suara dari sistem yang berbunyi. Menampaki seorang pria muda yang duduk didalam sebuah kokpit pesawat luar angkasa yang berkilau. Kedua kelopak matanya tertutup namun perlahan-lahan terbuka, menampaki sepasang mata biru permata samudera. Kedua mata biru cerah menatap ke arah kaca yang menampaki planet biru secerah kedua matanya. “Bumi ... kau pasti ada di sana, pengantin bulanku,” ucap Pria Rupawan itu.“Memasuki lapisan eksosfer.” Sistem kembali berucap kala pesawat ini akan menembus lapisan eksosfer.“Tunggu, ada sesuatu yang aneh,” ucap Pria itu menatap monitornya sendiri. Dia sudah menyadari sesuatu. Kapal pesawat super canggihnya ini sudah mendeteksi adanya pergerakan asing dari luar bumi. “Aku harus bergegas, Vetle!” perintah Pria Bermata Biru itu.“Baik Yang Mulia, pendaratan pintas akan dilakukan,” ucap Sistem artifisial canggih bernama Vetle itu.Lan
“Benda itu datang,” ucap Adriel yang telah berada dalam kokpitnya. “Vetle beri aku visir agar bisa mulai membidik,” perintah Adriel yang telah bersiap akan membidik.Adriel kala itu tidak memerdulikan apa pun selain keamanan Rigel. Padahal ia baru bertemu dengan Rigel tapi dirinya yakin jika Rigel merupakan orang yang selama ini dia cari.“Mendeteksi akan adanya ledakan, koordinat mendekati Pengantin Bulan.” Vetle memberikan pemberitahuan dari panel yang muncul pada monitor. Berkat pemberitahuan itu membuat Adriel membelalakkan kedua matanya. Pria itu segera melompat keluar dari kokpit setelah berhasil menembak hancur objek yang nyari mengenai kota itu.Kaelar menatap Adriel yang kembali bergegas. “Yang Mulia, Anda hendak kemana?” tanya Kaelar heran. Meski begitu dia tetap mengekori Sang Pangeran. Kecemasannya karena mereka berada di tempat yang asing dan baru pertama kali memijak dunia ini.“Yang Mulia Anda harus ingat jika bumi bukanlah New Neoma, Anda harus hati-hati,” ucap Kaelar
“Kira-kira bagaimana ya reaksinya?”Adriel memasuki kamar perawatan. Adriel menatap tajam Rigel yang masih berbaring tidur itu. “Kau ... orangnya,” ucap Adriel. Dia berjalan pelan kemudian mengarahkan jarinya untuk membelai ujung kelopak mata Rigel yang tampak sembab. Kedua mata birunya menyalang dalam kegelapan malam. Biru cerah yang bersinar memandangi Rigel yang terlelap dalam tidurnya itu. Detik selanjutnya dia sudah menghilang ditelan oleh malam. Kedua mata Rigel terbuka dengan membelalak. Rigel langsung terduduk bangun. Ia mendapati dirinya berada dalam ruang perawatan. “Tidak ada seorang pun di sini, padahal tadi aku merasa ada orang yang sedang memerhatikanku.” Rigel berucap seorang diri sembari melihat kiri dan kanannya.“Omong-omong, aku ada di mana?” Rigel memandangi ruangan putih ini. Ia juga melihat tangan kanannya yang terpasang sebuah infus set. Usai mengingat-ingat lagi, Rigel sadar jika ia sedang ada di Rumah Sakit. Terakhir kalinya ia sadar karena ledakan di Gedung
"Baiklah, saat kejadian ledakan itu terjadi dimana apakah kau ingat sedang ada dimana?" tanya Harlan."Di depan Gedung Tyre, kau juga ada di sana jika kau lupa," jawab Rigel."Apakah kau ingat siapa yang menolongmu saat ledakan itu terjadi?" tanya Harlan lagi.Rigel terdiam sejenak. Dia tak tahu siapa yang sudah menolongnya tapi Rigel masih ingat lengan yang langsung meraih tubuhnya itu. "Tidak, aku tidak tahu karena kesadaranku langsung hilang," jawab Rigel sembari menunduk. Brakkk Rigel terkejut kala menatap Harlan yang tampak membanting tumpukan berkas diatas meja. "Persetanan dengan interogasi ini!" bentak Harlan yang langsung beranjak pergi dan keluar dari ruang interogasi tanpa berkata apa pun lagi."Kenapa dia? aneh sekali," ucap Rigel yang berbincang sendiri. Interogasi berjalan tidak lancar karena Petugas yang bertanggung jawab telah keluar dari ruangan lebih dulu, maka dari itu Rigel menyusul untuk keluar dari ruangan. Saat berjalan keluar dari gedung. Rigel sempat menyan
"Ada remahan cokelat disini," ucap Adriel sembari mengusap ujung bibir Rigel. Pria itu menatapnya dengan dalam. Rigel jadi tertegun saat kedua mata biru Adriel yang cerah itu beradu tatap dengannya. "Cantiknya," ucap Rigel tanpa sadar memuji Adriel. Tidak mengherankan jika Adriel bagaikan seorang pangeran berkuda putih. Tampang dan kedua matanya sangat cerah nan indah. "Apakah begitu?" Adriel semula tak mau menapaki keterkejutannya karena pada nyatanya Rigel yang lebih dulu mendekati dirinya. Adriel bahkan merasakan dadanya yang berdenyut cepat kala Rigel memujinya. Ketika hendak berbincang dengan Rigel lagi, Adriel justru menatap Rigel yang telah berjalan keluar.Rigel hanya berdiri di hamparan padang rumput seorang diri. Rigel memejamkan kedua matanya karena sedang menikmati angin sore yang bertiup sepoi-sepoi. Ketika senja nyaris berpisah, langit magenta petang dan Adriel yang ikut terdiam memandangi mahluk ciptaan Tuhan yang indah itu. Tatapan sepasang mata biru itu memuja Rige
"Semudah itu kau berpaling," ucap Harlan yang ternyata sedari tadi memerhatikan Rigel. Semua itu karena dia baru saja hendak meninggalkan gedung Tyre namun berpas-pasan dengan Rigel yang sedang bersama pria lain."Aku tidak menyangkanya." Harlan kini menatap kehampaan dari jauh tempatnya berpijak. Ia hanya bisa menatap motor hitam yang mengangkut Sang Kekasih bersama pria lain semakin menjauhinya. Dia hanya termangun dalam hampaan tapi ingin memperjuangkan Rigel masih jadi gelora hatinya sampai saat ini.Derapan langkah kaki seseorang mendekat. Sepasang sepatu hak tinggi yang mengkilap milik seorang wanita berwajah angkuh. "Sudah kukatakan, dia wanita gampangan yang cepat berpaling," celetuk Wanita itu sambil mengibaskan rambut pirangnya. "Sebagai anak pewaris Violens, kau ini cukup kurang kerjaan ya?" cibir Harlan. Setelah itu Harlan beranjak lebih dulu sembari membuang tatapannya. Dia cukup malas meladeni pertengkaran yang akan terjadi bersama Julia ini. "Maksudmu apa?" tanya Juli
Kedua kelopak mata Rigel perlahan-lahan terbuka. Rigel mendapati dirinya dalam ruang perawatan Rumah Sakit. Disebelah dirinya juga terdapat box bayi saat Rigel menoleh ternyata box bayi itu kosong. Rigel buru-buru hendak beranjak bangun."Perlahan ... kau baru siuman, Rig," ucap Adriel lembut. Pria itu ternyata sedang menggendong bayinya sembari memberi susu dari sebuah botol susu. Rigel menghela napas cukup panjang. "Kukira dia hilang lagi," celetuk Rigel sembari menduduki dirinya lagi. Kini Rigel melihat tangannya yang sedang dipasang set infus. Meski tubuhnya tidak terlalu terasa kelelahan tapi Rigel bisa merasakan pengalaman luka yang sudah ia lakukan."Cassiel, cukup anteng saat kau tertidur," ucap Adriel. Rigel kini menolehkan tatapannya untuk melihat sosok Adriel. Rigel menyadari jika Adriel lebih dewasa saat menggedong Cassiel. Rambut pirangnya diikat kebelakang, tubuh kekar dan tegapnya hanya memakai kaos putih dan celana jeans hitam. "Berapa lama aku tertidur?" tanya Rigel
"Adriel ingatlah, kau tidak boleh melepaskan kain ini darinya sampai tiba ditempat yang benar-benar aman." Rigel berucap sembari melingkarkan kain pada tubuh anaknya ke tubuh Adriel untuk membentuk kain gendongan. "Dan kau harus berjanji akan kembali bersamaku," sahut Adriel sembari memandangi kedua mata Ruby dari Rigel. "Aku ...," ucap Rigel terjeda karena Adriel lebih dulu menyela."Berjanjilah!" tegas Adriel dengan tatapan yang sulit diartikan. Adriel bahkan meraih puncak kepala Rigel kemudian sengaja menyandarkannya pada dada bidangnya sendiri. Adriel mengecup puncak kepala Rigel sejenak. "Kembali padaku, setelah itu aku akan meminta pengampunan yang layak padamu Rig," ucap Adriel menyesal.Rigel tersenyum kecil, tersentuh oleh Adriel yang semula hanya dikenalnya sebagai Pria Arogan dengan dua sisi yang mudah berubah. Rigel mengangguk sejenak. "Aku harus menuntaskan keinginan dari ayahku, dari Bangsa Carnelian, dan dari penderitaan semua orang," ucap Rigel."Itu tidaklah adil se
"Kau anteng sekali ya, Sayang." Rigel yang menggendong bayinya pun kini menanggah lagi, ia mendapati pesawat tempur yang dikendarai oleh Adriel dan Harlan tampaknya bekerja sama untuk melawan monster buatan Aquilina. "Kita harus mengamankan dirimu dulu," ucap Rigel sembari menunduk menatap bayi yang ia gendong. Setidaknya Rigel masih kembali pada kewarasannya, Rigel menyadari jika Gudang ini sudah dikepung oleh terinfeksi yang mengincar aliran darah hidup. Rigel mulai panik sendiri karena ia tahu, semua ini ulahnya. "Maafkan aku ... aku tak bermaksud seperti itu." Rigel tercengang mendapati semua orang yang terinfeksi sudah mengepung gudang terbengkalai ini sementara iasendiri sedang menggendong bayinya. Adriel yang sedang mengendarai pesawat tempur itu langsung mengerahkan tembakan ke seluruh orang yang terinfeksi agar membuka jalan bagi Rigel melarikan diri. Rigel sontak merunduk sembari memeluk bayinya itu. "Rigel! cepat lari dari sana!" perintah Adriel yang rela membuka pelind
Rigel yang sedang mengemudi menyetir memasuki sebuah gudang terbengkalai. Ia keluar dari mobil sembari melirik ke sekelilingnya. Semula sebuah pistol kecil sudah ia selipkan di balik sweaternya. Rigel kini berjalan masuk ke dalam gudang itu.Rigel terkekeh geli karena merasa semua ini sengaja dipersiapkan untuknya. "Tempat yang jauh dari orang-orang, kau sungguh sudah mempersiapkan semua ini Lady Aquilina," ucap Rigel yang kini sudah berdiri ditengah-tengah gudang."Menyebalkan, kau selalu ada ... kau terlalu beruntung," celetuk Aquilina yang muncul dari balik kegelapan."Dan kau selalu dengki," sahut Rigel sembari menggelengkan kepalanya. "Sekarang, berikan anakku sebelum aku mengakhirimu," ancam Rigel dengan nada dinginnya. Rigel tak main-main dengan ucapannya sendiri karena ia sudah begitu lama menahan diri. Aquilina disisi lain wanita yang mendambakan cinta, ia tumbuh kecil dan besar bersama Adriel. Ia sudah menduga jika dirinya yang akan bersama Adriel, pujaan hatinya namun data
"Bangunlah, berikan aku keajaiban," ucap Alex pasrah. Alex saat itu memandangi Rigel yang terbaring dengan dipasang sebuah ventilator dan alat-alat medis lainnya. Saat itu Alex mulai heran saat melihat rambut hitam Rigel tiba-tiba saja memutih perak. Tak lama kemudian kedua kelopak matanya terbuka menampaki iris mata merah berkilaunya."Rigel ... kau bangun!" jerit Alex yang terperanjat terkejut. Sosok Rigel menduduki dirinya, ia dengan ceroboh melepas selang ventilator dari tenggorokannya sendiri setelah itu tersedak-sedak. Rigel menoleh ke arah Alex yang masih terdiam terkejut. "Anakku, di mana dia?" tanya Rigel tertegun.Alex seolah terhipnotis bisu untuk menjawab pertanyaan Rigel. Rigel saat ini bagaikan orang yang berbeda. Selain rambut hitamnya yang jadi perak, kedua mata merahnya yang berkilau dan wajah Rigel yang biasanya ceria sumringan itu jadi lebih tegas. "Ah, itu ... kami hanya menemukanmu bersama Ibu dan Saudarimu, Corrie yang terluka juga ada disana ...," ucap Alex t
Hangat mentari dan suara bunyi burung di pagi hari membuat Rigel memejamkan kedua matanya sejenak. Saat ini ia berjalan di trotoar. Jalanan dan kota sangat sepi. Ia ingat jalan pinggiran kota Sariya tempatnya pernah berkerja ini."Aku kini melompat ke ingatan lamaku, saat setelah aku tiba di sini," ucap Rigel masih terjebak di alam bawah sadarnya. Rigel berjalan sampai tiba di Klinik. Cuaca hari ini sangat bagus, Rigel ingat jika mentari hangat menyertainya. Saat itu Rigel baru saja pindah ke Klinik. Saat itu juga ia bertemu dengan Adriel, semula kedatangannya hanya membawa surat-surat dari pusat. Motor yang ia kendarai dibekali sebuah box besar yang berguna untuk menyimpan barang-barang antarannya. Rigel terpana dengan Adriel yang mau bekerja keras seperti itu padahal wajah dan bentuk fisiknya seperti Pangeran. Ingatan ini membuat Rigel tersenyum dengan sipu merah pada kedua pipinya. Rigel yang baru tiba di klinik memilik duduk di anak tangga depan pintu kemudian memerhatikan Adrie
"Cepat atasi pertempuran ini, kemudian kembali melihat anak dan perempuan yang kau cintai," ucap Pak Mintaka. Harlan mengangguk. Ia pun memasang helm kemudian memasuki pesawat tempurnya. Harlan tentu dusta jika tak memikirkan keadaan Rigel saat ini tapi ia harus fokus menyelesaikan ancaman dari Adriel. Usai mengaktifkan seluruh perangkat pesawat. Ia mulai menggerakkan pesawat menaiki langit. Mula-mula langit dibawah lautan itu masih begitu tenang, tapi sampai Harlan mengendalikan pesawatnya lebih tinggi lagi. Kedua matanya membelalak menatap armada pesawat tempur yang sudah berbaris seolah menanti kedatangannya. "Bajingan Gila itu!" Harlan mengeraskan rahangnya ketika sebuah pesawat tempur induk dikelilingi oleh pesawat tempur yang mulai menyerang pasukannya. Harlan melalui alat komunikasi mulai mengarahkan pasukannya sesuai rencana. "A-89 Tiger, regu Tiger segera melesat lebih dulu ke arah belakang titik buta, Copy!" seru Harlan. Kedua tangannya mencengkeram kemudi dengan keras.
"Nona, tampaknya bayi itu sudah lahir karena auranya mirip dengan Yang Mulia Adriel, asalnya dari kamar itu," ucap Calen. "Tak bisa dibiarkan, kita harus mengambil bayi itu dari Rigel sebelum Adriel mendapatkannya," ucap Aquilina. "Baik My Lady," sahut Calen dengan patuh. Calen mendobrak pintu, ia langsung mendapati Rigel yang terkulai lemah. Calen sempat memandangi aura dari Rigel yang mulai redup. "Padahal warna merah menyalang itu sangat cocok denganmu," ucap Calen seorang diri. "Apa yang membuatmu melamun Calen?!" bentak Aquilina seraya bersidekap. "Cepat ambil bayi itu!" perintah Aquilina dengan tega. Bayi yang digendong oleh neneknya itu langsung menangis. "Tidak, jangan pisahkan mereka, bayi itu masih kecil Tuan," ucap Sang Nenek memelas. Calen langsung merampas bayi itu dari Wanita Tua yang tak berdaya. "Ayo Nona, bayinya sudah bersama saya," ucap Calen tanpa mau menghabisi Rigel yang sudah terbaring tak sadarkan diri itu karena Calen tahu jika nyawa Rigel kritis bahka
"Rigel, Rigel!" jerit Corrie yang mulai panik karena menatap Rigel yang terkulai tak sadarkan diri dengan wajah yang pucat pasi. Bayi yang digendong Corrie buru-buru ia berikan pada Ibu. "Rigel kemungkinan mengalami perdarahan, meski aku harus memberi cairan untuk Rigel," ucap Corrie. Saat itu Corrie juga melirik bayi yang baru Rigel lahirkan. Bayi rapuh dan tak berdosa itu mengemut jemarinya karena lapar. Corrie segera menggeleng khawatir jika rasa ibanya menggarungi dirinya. "Oh Sayang, kita berdoa untuk ibumu," ucap Ibu sembari menggendong cucunya itu, sejenak ia memerhatikan bayi indah yang dilahirkan oleh Rigel. "Salwa jangan diam saja!" omel Ibu. "Telepon ambulan lagi, kakakmu dalam masa yang bahaya," suruh Ibu.Beralih pada Corrie yang gemetar usai mempersiapkan satu kantung cairan NaCl untuk Rigel. Ia memengangi tangan Rigel yang mulai dingin, ia mencoba menyentuh hidung Rigel dan merasakan napasnya yang menderu amat pelan. "Rigel, maafkan aku tapi kau harus bertahan demi bay