“Gadis itu jelas-jelas datang dari keluarga yang miskin dan tidak jelas asal usulnya, Harlan!” bentak Wanita Tua itu pada seorang Pria yang berdiri mematung menatapnya. Kedua matanya melotot sembari menunjukkan secarik undangan di tangannya. “Kau malah berani-beraninya mau menikahi Perempuan itu!” murka Sang Wanita Tua.
“Ibu, Rigel wanita yang cerdas dan luar biasa, Ibu percayalah padaku jika dia wanita yang tepat untuk kunikahi,” ucap Pria itu memelas. “Siapa yang tak kenal dia? Rigel Seras Meil, dua kali menjadi ketua tim regu penyelamat ekspedisi dan aku salah satu orang yang ditolong olehnya.” Pria itu berucap kemudian menghela napas cukup panjang.
“Percuma kami menyekolahkanmu sampai jadi petinggi militer tapi jika kau masih bersikap bodoh dengan menikahi orang karena balas budi,” celetuk Sang Ibu. “Tinggalkan wanita itu dan jangan buat malu, kami sudah dari dulu menjodohkanmu dengan Julia, anak pewaris Violens Corporation.” Sang Ibu berucap sambil beranjak pergi.
Sebuah pintu tidak tertutup rapat. Pintu menyisakan sedikit celah untuk seseorang yang sedari tadi menguping pembicaraan itu. Seorang gadis muda berambut hitam panjang bergelombang hanya bisa tertunduk lemah. Setelah tahu kenyataan pahit itu. Dia segera beranjak pergi dengan isak tangisan.
Gadis itu terus berlari melintasi koridor hingga ia keluar dari sebuah gedung yang terletak di pusat kota. Gedung megah milik lembaga pemerintah yang bergerak di bidang hubungan antariksa. Gadis itu dengan tak sengaja menabrak seorang wanita. “Maaf, maaf, aku tidak melihatmu,” ucap Gadis itu.
“Apa kau tahu baru menabrak siapa?” tanya Wanita itu dengan angkuh.
Sang Gadis beralih menatap Wanita itu. Kedua matanya memandangi Wanita itu dengan pedih. “Tentu aku tahu Anda, Nona Violens,” ucap Gadis itu sambil mengangguk. Perasaannya masih sakit saat tahu kebenaran jika pernikahannya bisa saja kandas, kini Wanita lain yang akan menggantikan posisinya malah muncul di hadapan dirinya.
“Kau Gadis Meil itu bukan?” tanya Si Wanita sembari memandangi Gadis berambut hitam panjang bergelombang ini. Tatapannya berubah jadi remeh. “Jelek, udik, dan miskin, jika bukan modal otak Tikus Got seperti kau pasti modal beruntung saja karena pakai oleh orang pemerintahan,” cibir Si Wanita.
Sang Gadis mengepalkan kedua tangannya. Selalu saja seperti ini, orang-orang sejak dulu selalu merudungku, batinnya. Dia jadi murka namun segera meredam amarahnya sendiri dengan cara memilih untuk pergi. “Kalau begitu aku permisi,” ucap Si Gadis hendak beranjak pergi tapi dia langsung dihadang oleh Wanita itu.
“Kau merebut tunanganku dasar wanita murahan!” bentak Julia Violens. Tangannya segera melayang pada pipi Si Gadis untuk memberinya tamparan yang pedas. Semua orang yang sedang berlalu lalang memandangi keributan itu tapi Julia semakin tersenyum senang karena berhasil mempermalukan Sang Gadis.
"Kau bebas mengataiku, semua orang selalu seperti itu padaku tapi aku punya nama." Gadis itu menyahut. Kedua matanya menyalang marah. Sudah dipermalukan didepan umum sekaligus dihina oleh Wanita itu. “Namaku Rigel Seras Meil, aku punya nama, bukan julukan seperti itu,” ucap Sang Gadis sambil menyentuh pipinya yang memerah itu. Dia sadar jika mencintai Pria seperti Harlan maka cintanya hanya akan memiliki penghadang sebesar ini.
“Rigel!” teriak Harlan yang baru saja tiba. Pria itu segera menegahi kedua Wanita itu. “Rigel, kau tidak apa-apa?” tanya Harlan sambil memandangi pipi merah Rigel. Ketika mau menyentuh Sang Gadis, tangan Harlan langsung ditepis oleh Rigel.
Rigel segera menghindar meski tatapannya tak sanggup jika memandangi Pria itu. Dia tak bisa berbohong jika perasaannya masih sama. “Aku baik-baik saja Kapten Zidane, sebaiknya aku juga akan pergi,” ucap Rigel sembari beranjak pergi. Beranjak pergi dari kehidupan sekarang dan cinta lamanya.
“Rigel tunggu!” teriak Harlan.
Rigel menghentikan langkahnya. Dia menoleh untuk menatap mantan kekasihnya itu dengan kedua mata berbinar akibat ulah dari air mata yang hendak mengalir derasnya itu. "Aku sudah tahu semuanya, tentang dirimu, dan tembok tinggi diantara kita berdua," ucap Rigel.
Harlan membelalakkan kedua matanya. Dia menggeleng sambil hendak menggapai Sang Kekasih namun langkah Pria itu terhenti akibat tangan dari Julia Violens yang meraih lengannya itu. "Julia, hentikan semua sikapmu ini," ucap Harlan dengan tegas.
"Oh benarkah? coba saja hentikan aku jika kau berani." Julia berbisik pada Harlan sambil menyeringai tipis. "Satu langkahmu sama dengan ancaman pada keluarga Zidane, ingatlah Harlan ... kedua orang tuamu berhutang banyak pada keluargaku," ancam Julia. Ia memandang sinis Harlan yang masih memandangi Rigel yang mau beranjak itu. Kecemburuan dan kedengkiannya menjadi-jadi. Wanita itu diam-diam juga sudah mengepalkan kedua tangannya.
Rigel tersenyum nanar. Pada akhirnya dia harus melepaskan Harlan meski sebenarnya berat bagi Rigel untuk melakukannya. “Selamat tinggal, Kak Harlan,” ucap Rigel yang beranjak pergi usai menatap Harlan yang mematung itu.
Memang benar adanya jika pernikahan tidak hanya mempersatukan dua insan tapi juga kedua keluarga. Rigel menyadari tembok penghadang itu. Ia pun bergegas pulang kala langit sepia mulai menemani rasa sesak didadanya saat ini. “Hanya penduduk biasa, aku ini hanya rakyat jelata biasa yang tak punya kuasa dan uang pada zaman ini,” ucap Rigel berbincang sendiri.
Tit ... Tit ...
Bunyi klakson mobil yang saling bersahut-sahutan di jalan raya. Jalan jadi macet karena Demonstran yang memaksa masuk ke dalam gedung Tyre. Gedung yang jadi saksi bisu hubungan asmaranya selama ini dengan Harlan. Padahal nyaris menikah tapi ternyata jadi kandas.
“Tyre lembaga pengkhianat rakyat!” teriak Para Demonstran saling bersahutan. Sayangnya aksi seperti ini sudah bertahun-tahun terjadi karena bumi tempat kita tinggal tak lagi damai dan tua.
Rigel Seras Meil memandangi dalam diam aksi Para Demonstran yang mulai dihadang oleh pasukan keamanan. “Lebih baik aku bergegas pulang,” ucap Rigel sembari berlari menjauh dari Gedung itu.
Ketika Rigel sampai di rumah saat senja nyaris tenggelam oleh malam. Ia membuka pintu kemudian berjalan memasuki kamarnya tapi Rigel malah berpas-pasan dengan Sang Ibu yang memandanginya dengan sedih.
“Ibu tahu berita dari TV soal pernikahanmu dan Harlan yang gagal, dia sudah dijodohkan dengan Nona Violens,” beritahu Ibu. “Maafkan Ibu, Nak,” ucap Ibu bernada lesu.
“Cukup!” bentak Rigel. “Aku tidak menyesal hidup miskin seperti ini, aku berusaha Bu, aku berusaha!” teriak Rigel diiringi oleh isak tangisnya. “Memangnya apa alasanku sampai berani ambil resiko untuk ikut dalam misi sukarela penyelamatan itu?” tanya Rigel. Ia terbayang akan resiko pekerjaannya selama ini.
“Ibu bangga padamu, Kamu jadi pahlawan karena hal itu.” Sang Ibu menjawab.
“Tapi itu semua tak cukup Bu, Rigel tetap dianggap sebelah mata,” sahut Rigel sambil membalikkan tubuhnya. “Semuanya telah usai, Rigel tak akan bisa menikah dengan Kak Harlan,” ucap Rigel sembari beranjak pergi.
Rigel masuk ke dalam kamarnya. Ia duduk di pinggir ranjang kasurnya sembari memeluk perutnya sendiri. “Tidak ada alasan lagi, maafkan aku,” ucap Rigel terisak sendiri. Inilah alasan mereka hendak melangsungkan pernikahan karena Rigel telah hamil tapi tampaknya ia tak bisa mendambakan dongeng seperti itu.
“Rigel, Rigel," ucap Harlan mencoba menghentikan langkah Gadis itu. Harlan langsung menarik pergelangan tangannya. "Kumohon cobalah untuk memikirkannya lebih dulu karena ini bukanlah hal yang baik untuk diputuskan begitu saja." Harlan memandangi Gadis itu. Tangan besarnya bahkan mencoba memengang permukaan wajah Rigel. Semula Harlan takut jika Rigel akan bereaksi keras menolaknya tapi Rigel hanya terdiam saat dia membelai wajahnya.“Aku tak bisa meninggalkan kalian ,” bujuk Harlan. "Oh, Kak Harlan ...," ucap Rigel penuh kelembutan terutama kala Dia merasakan hangat dari tangan Harlan membelainya. Aku rindu dengan semua yang ada padanya tapi semua ini sudah usai, batin Rigel. Harlan Zidane, pria sempurna yang ia cintai. Dada Rigel seketika sakit menderu kala menatap Harlan yang memelas padanya. "Aku tidak tahu apakah kau masih mencintaiku?" tanya Rigel. Dia menatap langsung kedua mata hijau zambrud milik Harlan. Harlan tak langsung menjawab tapi kini beralih untuk menyentuh pelan tan
“Rigel biarkan aku mengantarmu pulang untuk terakhir kalinya,” ucap Harlan yang telah berdiri di hadapan Rigel.Rigel hendak menolak ajakan dari Harlan namun Pria itu menatap Rigel dengan kedua mata hijau terangnya. “Terserah kau saja,” sahut Rigel sambil berjalan lebih dulu. Rigel akan terus menolak Harlan. Padahal dua tahun lalu, Harlan jadi Pria yang paling ia cintai.Saat Rigel terdiam menatap Harlan yang membukakan pintu mobil untuknya. Rigel langsung membelalakkan kedua matanya saat melihat mobil lain berhenti. “Ini buruk,” ucap Rigel sembari menatap kedatangan Nyonya Zidane yang keluar dari mobil bersama pengawalnya.“Kau membawa pengaruh buruk untuk keluarga terhormat kami,” cibir Nyonya Zidane. “Harlan sudah berapa kali Ibu bilang untuk jauhi Wanita ini.” Nyonya Zidane menatap Rigel dengan jijik.“Ibu aku tidak bisa meninggalkan Rigel,” sahut Harlan. “Dia hamil anakku, sudah seharusnya aku bertanggung jawab.” Harlan berucap dengan tegas. Ia menghadang Sang Ibu yang tengah mel
“Yang Mulia Adriel, kita sudah sampai di titik koordinat setelah menempuh 149,6 juta km, protokol pendaratan akan dilakukan.” Suara dari sistem yang berbunyi. Menampaki seorang pria muda yang duduk didalam sebuah kokpit pesawat luar angkasa yang berkilau. Kedua kelopak matanya tertutup namun perlahan-lahan terbuka, menampaki sepasang mata biru permata samudera. Kedua mata biru cerah menatap ke arah kaca yang menampaki planet biru secerah kedua matanya. “Bumi ... kau pasti ada di sana, pengantin bulanku,” ucap Pria Rupawan itu.“Memasuki lapisan eksosfer.” Sistem kembali berucap kala pesawat ini akan menembus lapisan eksosfer.“Tunggu, ada sesuatu yang aneh,” ucap Pria itu menatap monitornya sendiri. Dia sudah menyadari sesuatu. Kapal pesawat super canggihnya ini sudah mendeteksi adanya pergerakan asing dari luar bumi. “Aku harus bergegas, Vetle!” perintah Pria Bermata Biru itu.“Baik Yang Mulia, pendaratan pintas akan dilakukan,” ucap Sistem artifisial canggih bernama Vetle itu.Lan
“Benda itu datang,” ucap Adriel yang telah berada dalam kokpitnya. “Vetle beri aku visir agar bisa mulai membidik,” perintah Adriel yang telah bersiap akan membidik.Adriel kala itu tidak memerdulikan apa pun selain keamanan Rigel. Padahal ia baru bertemu dengan Rigel tapi dirinya yakin jika Rigel merupakan orang yang selama ini dia cari.“Mendeteksi akan adanya ledakan, koordinat mendekati Pengantin Bulan.” Vetle memberikan pemberitahuan dari panel yang muncul pada monitor. Berkat pemberitahuan itu membuat Adriel membelalakkan kedua matanya. Pria itu segera melompat keluar dari kokpit setelah berhasil menembak hancur objek yang nyari mengenai kota itu.Kaelar menatap Adriel yang kembali bergegas. “Yang Mulia, Anda hendak kemana?” tanya Kaelar heran. Meski begitu dia tetap mengekori Sang Pangeran. Kecemasannya karena mereka berada di tempat yang asing dan baru pertama kali memijak dunia ini.“Yang Mulia Anda harus ingat jika bumi bukanlah New Neoma, Anda harus hati-hati,” ucap Kaelar
“Kira-kira bagaimana ya reaksinya?”Adriel memasuki kamar perawatan. Adriel menatap tajam Rigel yang masih berbaring tidur itu. “Kau ... orangnya,” ucap Adriel. Dia berjalan pelan kemudian mengarahkan jarinya untuk membelai ujung kelopak mata Rigel yang tampak sembab. Kedua mata birunya menyalang dalam kegelapan malam. Biru cerah yang bersinar memandangi Rigel yang terlelap dalam tidurnya itu. Detik selanjutnya dia sudah menghilang ditelan oleh malam. Kedua mata Rigel terbuka dengan membelalak. Rigel langsung terduduk bangun. Ia mendapati dirinya berada dalam ruang perawatan. “Tidak ada seorang pun di sini, padahal tadi aku merasa ada orang yang sedang memerhatikanku.” Rigel berucap seorang diri sembari melihat kiri dan kanannya.“Omong-omong, aku ada di mana?” Rigel memandangi ruangan putih ini. Ia juga melihat tangan kanannya yang terpasang sebuah infus set. Usai mengingat-ingat lagi, Rigel sadar jika ia sedang ada di Rumah Sakit. Terakhir kalinya ia sadar karena ledakan di Gedung
"Baiklah, saat kejadian ledakan itu terjadi dimana apakah kau ingat sedang ada dimana?" tanya Harlan."Di depan Gedung Tyre, kau juga ada di sana jika kau lupa," jawab Rigel."Apakah kau ingat siapa yang menolongmu saat ledakan itu terjadi?" tanya Harlan lagi.Rigel terdiam sejenak. Dia tak tahu siapa yang sudah menolongnya tapi Rigel masih ingat lengan yang langsung meraih tubuhnya itu. "Tidak, aku tidak tahu karena kesadaranku langsung hilang," jawab Rigel sembari menunduk. Brakkk Rigel terkejut kala menatap Harlan yang tampak membanting tumpukan berkas diatas meja. "Persetanan dengan interogasi ini!" bentak Harlan yang langsung beranjak pergi dan keluar dari ruang interogasi tanpa berkata apa pun lagi."Kenapa dia? aneh sekali," ucap Rigel yang berbincang sendiri. Interogasi berjalan tidak lancar karena Petugas yang bertanggung jawab telah keluar dari ruangan lebih dulu, maka dari itu Rigel menyusul untuk keluar dari ruangan. Saat berjalan keluar dari gedung. Rigel sempat menyan
"Ada remahan cokelat disini," ucap Adriel sembari mengusap ujung bibir Rigel. Pria itu menatapnya dengan dalam. Rigel jadi tertegun saat kedua mata biru Adriel yang cerah itu beradu tatap dengannya. "Cantiknya," ucap Rigel tanpa sadar memuji Adriel. Tidak mengherankan jika Adriel bagaikan seorang pangeran berkuda putih. Tampang dan kedua matanya sangat cerah nan indah. "Apakah begitu?" Adriel semula tak mau menapaki keterkejutannya karena pada nyatanya Rigel yang lebih dulu mendekati dirinya. Adriel bahkan merasakan dadanya yang berdenyut cepat kala Rigel memujinya. Ketika hendak berbincang dengan Rigel lagi, Adriel justru menatap Rigel yang telah berjalan keluar.Rigel hanya berdiri di hamparan padang rumput seorang diri. Rigel memejamkan kedua matanya karena sedang menikmati angin sore yang bertiup sepoi-sepoi. Ketika senja nyaris berpisah, langit magenta petang dan Adriel yang ikut terdiam memandangi mahluk ciptaan Tuhan yang indah itu. Tatapan sepasang mata biru itu memuja Rige
"Semudah itu kau berpaling," ucap Harlan yang ternyata sedari tadi memerhatikan Rigel. Semua itu karena dia baru saja hendak meninggalkan gedung Tyre namun berpas-pasan dengan Rigel yang sedang bersama pria lain."Aku tidak menyangkanya." Harlan kini menatap kehampaan dari jauh tempatnya berpijak. Ia hanya bisa menatap motor hitam yang mengangkut Sang Kekasih bersama pria lain semakin menjauhinya. Dia hanya termangun dalam hampaan tapi ingin memperjuangkan Rigel masih jadi gelora hatinya sampai saat ini.Derapan langkah kaki seseorang mendekat. Sepasang sepatu hak tinggi yang mengkilap milik seorang wanita berwajah angkuh. "Sudah kukatakan, dia wanita gampangan yang cepat berpaling," celetuk Wanita itu sambil mengibaskan rambut pirangnya. "Sebagai anak pewaris Violens, kau ini cukup kurang kerjaan ya?" cibir Harlan. Setelah itu Harlan beranjak lebih dulu sembari membuang tatapannya. Dia cukup malas meladeni pertengkaran yang akan terjadi bersama Julia ini. "Maksudmu apa?" tanya Juli
"Dimana aku?" tanya Rigel seorang diri. Ia langsung menyibak selimut lembut itu kemudian beranjak berlari menuju pintu. Rigel mengedor-gedor pintu sekuat tenaga tapi semuanya sia-sia karena sudah terkunci.Rigel memengangi kepalanya sendiri. "Benar, sebelum itu aku berada di Rumah Sakit," ucap Rigel sambil memandangi dekorasi dan perabotan mewah namun terkesan tua itu. Ia seperti merasa ada di kamar seorang Permaisuri Kerajaan. Kain-kain yang terhias di kamar ini berwarna emas, putih dan merah. "Adriel itu, jangan-jangan dia yang membawaku kemari!" jerit Rigel menyadari sesuatu. "Benar sekali, Permaisuriku," celetuk Adriel yang memasuki kamar sambil diikuti dua orang prajurit berzirah besi. "Kau benar-benar gila!" teriak Rigel sambil melempari Adriel dengan bantal dan guling. Rigel jadi kesal usai Adriel mengakui jika semua ini ulanya, dia jadi pergi ke tempat antah berantah yang bahkan belum pernah ia kunjungi."Rig, dengar ... semua ini demi dirimu," ucap Adriel.Rigel beranjak b
"Kau sungguh keterlaluan, memaksaku kemudian menerobos masuk seperti itu," omel Rigel. Rigel menghela napas cukup panjang karena dirasa jika berbincang saat ini dengan Adriel akan jadi sia-sia. "Kepalaku terasa mau pecah," gumam Rigel sambil menduduki dirinya di sebuah sofa. Adriel masih berdiri sembari memandangi Rigel yang kini sedang memijit pelipisnya sendiri. Adriel sendiri sebenarnya tidak tega jika harus memaksa Rigel tapi marabahaya yang menimpa Wanita itu sudah terjadi dua kali. "Maafkan aku Rig," ucap Adriel sembari mendekatinya."Apa? apa yang sedang kau coba lakukan?" tanya Rigel mendadak takut sekaligus merinding karena Adriel yang memakai kemeja polos putih itu membuka dua kancing teratasnya. Rigel sebenarnya mau melarikan diri tapi terlanjur terpojok karena kedua tangan kekar Pria itu mengukungnya seraya memengangi sofa.Adriel mendekati telinga kiri Rigel sampai kedua mata merah Rigel bisa melihat anting di telinga kanan Adriel yang berdenting lembut itu. Ketika Rige
"Aku ditipu oleh Pria lagi," kekeh Rigel tertawa nanar. "Selalu saja begitu, tidak Harlan, bahkan kini Adriel ya?" Rigel kini menatap Kaelar yang masih terdiam menatapnya. "Yah, sepertinya kau memang bawahannya, sejak awal ... kalian memang aneh," celetuk Rigel seraya beranjak bangkit. Rigel yang sebenarnya hendak beranjak ke kamar mandi tapi sempat dihadang oleh Kaelar. Rigel membelalakkan kedua matanya. "Baiklah, apa maumu?" ketus Rigel."Kita harus segera bersiap agar bisa pergi bukan?" tanya Kaelar memastikan.Rigel memutar kedua bola matanya dengan malas. "Sabar juga ada batasannya, kau dan Adriel apa tidak tahu perkara privacy? sudahlah menerobos masuk, menganggu istirahat dan bosmu memaksaku menikah dengannya," ucap Rigel bernada dingin."Ah, maaf, kalau begitu saya keluar." Kaelar berucap sambil beranjak keluar dari ruang perawatan Rigel. Rigel pun segera beranjak ke kamar mandi. Usai melepas seluruh pakaiannya kemudian masuk ke dalam bathtub berisi air hangat. Rigel hanya i
Rigel sendiri termangun tak percaya. "Apa katamu?" tanya Rigel yang sulit percaya. Rigel menggeleng kemudian beranjak berdiri dari ranjang kasurnya. "Berhentilah bercanda," ucap Rigel. "Itu benar apa adanya," jawab Adriel tegas. Kini Pria itu melangkah maju sambil meraih kedua pundak Rigel. "Karena aku sudah terus terang padamu, jadi kau harus menikah denganku dan ikut denganku ke kampung halamanku," ucap Adriel. Kepala Rigel terasa berdenyut pusing. "Sudah sejak awal aku katakan aku tidak mau menjalin hubungan ...," ucap Rigel terjeda karena Adriel langsung memotong ucapannya. "Ini berbeda!" bentak Adriel tanpa sadar. Adriel langsung tertohok usai melihat Rigel yang terkejut seraya membulatkan kedua matanya. "Maafkan aku Rigel, jika saja kau mengerti ... semua hal ini telah berbeda karena kau mengandung anakku, penerusku, pewarisku," ucap Adriel memohon. Sulit percaya dengan sikap Adriel yang berubah pesat ini. Rigel hanya bisa mematung seribu bahasa. Rigel bisa melihat kedua ta
Adriel duduk di sebuah bangku tepat disampingnya Rigel. Gadis bermata ruby itu masih pulas tidur diatas ranjang Rumah Sakit. Selain wajah Rigel yang pucat, perban di kedua tangannya juga memenuhi kulit cantiknya. Adriel murka karena kedua mata birunya menyalang tajam usai memandangi Rigel yang tak berdaya ini. "Harus kubunuh," ucap Adriel geram sendiri. Adriel itu seorang Pangeran dari sebuah Planet yang istimewa, dia juga terlahir dengan keajaiban karena ia punya kekuatan yang tidak biasa. Kedua tangan Adriel yang terkepal itu mulai membeku. Dia menguarkan energi yang dingin disekitarnya akibat emosionalnya yang tak mampu dikelola sendiri. Kaca-kaca jendela mulai membentuk rembetan bekuan air. Hawa udara mulai jadi dingin. Adriel menyadari dirinya lepas kendali usai kedua kelopak mata Rigel perlahan-lahan terbuka. "Dingin," gumam Rigel sambil meringkuk."Ah, astaga," ucap Adriel tersentak terkejut. Ia mulai menyelimuti Rigel dengan selimut. Dia bahkan beranjak berdiri untuk menutup
"Rig, kau tidak apa-apa?" tanya Adriel cemas. Rigel mengangguk pelan. Ia berusaha beranjak duduk kemudian langsung memeluk Adriel. "Maaf, sedikit lagi aku hampir akan melukai anakmu," ucap Rigel. Adriel melotot tak percaya. Ia pun langsung melepaskan mantel jaket hitamnya kemudian memasangkannya pada Rigel. "Kau harus menjelaskannya nanti setelah keadaanmu lebih baik," ucap Adriel beranjak berdiri seraya menggendong tubuh Rigel. . . . Tak terhitung sudah berapa kali Adriel mundar mandir di depan ruang perawatan Rigel. ia menunggu dokter memeriksa kondisinya. Sementara Kaelar yang ikut datang pun hanya bisa memerhatikan Adriel yang tampak cemas itu. Adriel menghela napas cukup panjang. "Sungguh Yang Mulia, Anda harus lebih tenang," tegur Kaelar. Adriel menghentikan langkahnya. "Jelas saja, dia mengandung anakku, Ya Tuhan!" jerit Adriel setelah itu mengusak rambutnya dengan kasar. "Kepalaku terasa sakit," ucap Adriel setelah itu mengeluh. Ia memikirkan nasib Rigel yang saat
"Tolong!" teriak Rigel seraya berlari di koridor Rumah Sakit yang hening ini. Sejenak Rigel merasa heran karena tiada satu petugas pun yang tampak berlalu-lalang. Rigel sempat berhenti sejenak. Ia menoleh ke belakang kemudian mendapati Pria itu masih mengejarnya. Rigel kembali berlari menuruni anak tangga darurat karena ia hendak menutup pintu darurat yang memiliki tuas yang kuat. Tujuannya untuk menghambat pergerakan Pria itu. "Aku harus melakukan sesuatu," ucap Rigel setelah menutup pintu dan memutar tuas. Rigel segera berlari menuruni anak tangga hingga menuju lantai dasar. "Tolong, seseorang mengancam keselamatanku," ucap Rigel sembari menghampiri Pos Keamanan yang terletak di luar Rumah Sakit. Rigel menyentuh bahu dari Tentara yang memang menjaga fasilitas Rumah Sakit milik Tyre ini tapi Rigel langsung terkejut saat melihat Pria itu langsung ambruk kemudian tergeletak bersimbah darah. "Oh, ya Tuhan!" jerit Rigel takut sendiri. Rigel merasakan benang string nyaris mengenainya t
"Dia baik-baik saja, masalah nausea dan dehidrasi ringan seperti ini biasa terjadi pada masa-masa awal kehamilan," jawab Alex."Oh pantas saja, Apa?!" Corrie membelalakkan kedua matanya tapi tak lama ia langsung menoleh pada Harlan dengan tatapan nanarnya. "Bisa-bisanya kau melakukan itu lagi!" bentak Corrie penuh amarah.Harlan sendiri melotot tak percaya. "Kenapa aku? aku sendiri kesulitan mencari keberadaannya selama satu bulan lamanya," sahut Harlan. "Tenanglah kalian berdua, kita bisa tanyakan semua ini saat Rigel bangun nanti," ucap Alex menengahi. Alex menghela napas, tidak hanya Corrie yang terkejut dan menduga Harlan adalah ayah dari bayi itu tapi Alex pun sama menduganya. Alex memerhatikan gerakan Harlan yang beranjak berdiri hendak pergi. Dia tak mencegah Harlan tapi setelah itu langsung beralih menatap Corrie dengan tatapan serius. "Dua bulan lalu, kami pernah bertemu Rigel karena saat itu Rigel mengalami insiden kejadian tidak diinginkan karena salah seorang penduduk te
Derap suara langkah terdengar jernih. Sepasang kaki kokoh mengenakan sepatu boots hitam mengkilap. Pria bermata biru tengah berjalan lurus pada koridor berlantai keramik kaca. Seluruh prajurit membungkuk hormat padanya saat ia tiba didepan sebuah pintu berukir bunga teratai. "Yang Mulia, apa yang akan Anda katakan pada Raja Averian?" tanya Kaelar yang berdiri disamping dirinya itu. Adriel menghela napas. Kerah baju formal khas kerajaan mendadak membuat sesak dirinya. "Lebih baik terus terang saja," jawab Adriel singkat. Kaelar membungkuk hormat sambil membukakan pintu berukiran bunga teratai itu untuk Adriel. "Semoga berhasil Yang Mulia," ucap Kaelar. Pria itu akan menunggui tuannya diluar ruang singasana Raja Averian. Kaelar sendiri tidak tahu tanggapan tuannya yang masih sangat berusaha mendapatkan Rigel. Dia tahu jika Rigel sendiri belum ingin membina hubungan tapi tidak juga menolak kehadiran Adriel padanya.Adriel melangkah memasuki sebuah ruangan megah yang dikelilingi oleh j