“Rigel, Rigel," ucap Harlan mencoba menghentikan langkah Gadis itu. Harlan langsung menarik pergelangan tangannya. "Kumohon cobalah untuk memikirkannya lebih dulu karena ini bukanlah hal yang baik untuk diputuskan begitu saja." Harlan memandangi Gadis itu. Tangan besarnya bahkan mencoba memengang permukaan wajah Rigel. Semula Harlan takut jika Rigel akan bereaksi keras menolaknya tapi Rigel hanya terdiam saat dia membelai wajahnya.
“Aku tak bisa meninggalkan kalian ,” bujuk Harlan.
"Oh, Kak Harlan ...," ucap Rigel penuh kelembutan terutama kala Dia merasakan hangat dari tangan Harlan membelainya. Aku rindu dengan semua yang ada padanya tapi semua ini sudah usai, batin Rigel. Harlan Zidane, pria sempurna yang ia cintai. Dada Rigel seketika sakit menderu kala menatap Harlan yang memelas padanya. "Aku tidak tahu apakah kau masih mencintaiku?" tanya Rigel. Dia menatap langsung kedua mata hijau zambrud milik Harlan.
Harlan tak langsung menjawab tapi kini beralih untuk menyentuh pelan tangan dari Rigel. "Tentu, aku mencintaimu." Harlan tegas menjawab.
Sayangnya Rigel. Dia tak mau berurusan dengan cibiran dari keluarga Pria itu. “Tenanglah Kak, aku akan resign dan pergi dari hadapanmu,” sahut Rigel.
"Apa maksudmu Rigel? jangan bercanda!" Harlan tanpa sadar telah membentak Rigel.
Rigel menggeleng kepala sambil tertawa hambar. "Lihatlah, kau mau bersamaku tapi tak berani memperjuangkanku!" bentak Rigel tak mau mengalah.
"Maafkan aku, hanya saja aku tidak bisa membiarkanmu berhenti dari pekerjaan ini. Bagaimana nanti hidupmu?" Harlan memelas.
"Kenapa kau harus perduli padaku? lebih baik kau urusi saja tunanganmu itu," celetuk Rigel sambil beranjak pergi.
“Tidak, aku sudah janji akan bertanggung jawab, aku cinta padamu Rig.” Pria bermata hijau itu menghadang Rigel.
Rigel memandangi Pria itu. Karirnya cemerlang, berasal dari keluarga terpandang dan dia jadi satu-satunya Pria menjanjikan pada masa yang chaos ini. “Meski kau berbicara begitu tapi aku juga terlanjur tak sanggup dengan keluargamu,” ucap Rigel dengan jujur. “Karena aku sudah mendengar semuanya kemarin.” Rigel langsung berjalan melintasi Pria itu.
Pria itu membelalakkan kedua mata hijau cerahnya. “Jadi kau dengar semuanya?” Pria itu tetap berjalan menyamai langkahnya dengan Rigel.
“Rakyat jelata sepertiku tak pantas bersanding dengan Letnan sepertimu,” celetuk Rigel tertawa kecil. “Ibumu Politisi dan ayahmu Presiden, aku hanyalah Tikus Got,” ucap Rigel mengulang ejekan Julia Violens kemarin padanya.
Harlan menarik pergelangan tangan Rigel. “Aku mencintaimu dan kau akan jadi Ibu dari anakku,” ucap Harlan tegas.
“Tidak dengan resiko aku akan dipisahkan dengan anakku sendiri, jika ibumu tahu hal ini,” ketus Rigel. Gadis itu langsung menepis tangan Harlan. Rigel memang cerdas karena sudah menduga semua keburukan yang akan menimpanya. Dia pun memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya ini. Rigel meninggalkan Harlan yang saat itu masih berdiri mematung.
Pagi itu Rigel langsung menghadap atasannya. Ia sudah memberikan berkas pengunduran dirinya kemarin. Saat Rigel membuka pintu ruangan dari Sang Atasan. Rigel terkejut mendapati Pria Botak itu tengah memandangi berkasnya.
“Ehem ... Maaf Pak, saya mengundurkan diri,” ucap Rigel ragu.
“Masuklah Nak,” suruh Pria itu.
Rigel mengangguk sembari melangkah masuk. “Saya tak bisa melanjutkan pekerjaan ini,” ucap Rigel.
“Kau bisa ceritakan masalahmu tapi untuk mengundurkan diri pada krisis saat ini, itu sulit.” Pria Botak itu berucap dengan tenang.
Rigel sudah lelah karena dianggap hanya karena jasanya. Padahal Rigel sendiri tak mau mengingat peristiwa menyakitkan dua tahun lalu itu. Gagalnya pernikahan Rigel hanya jadi bom waktu karena sebenarnya Rigel sudah muak dengan pekerjaannya ini. “Aku sedang hamil dan tidak akan bisa melakukan misi penyelamatan lagi,” ucap Rigel.
“Apa?” Pria Botak itu terkejut dengan ucapan Rigel. Salah satu anak emasnya yang berhasil mengharumkan Tim dari Regu Penyelamatan. “Itu kabar bagus ... tapi kenapa?” tanya Pria itu.
“Anakku dengan Kapten Zidane, aku memang tidak akan menikah dengannya karena aku hanya jadi aib bagi keluarga Zidane maka dari itu aku akan berhenti kemudian pergi dari sini,” jawab Rigel sembari menundukkan kepalanya.
“Kalau begitu, kau akan kuperkerjakan di klinik kecil bagaimana?” tanya Pria Botak itu.
Rigel menaikkan pandangannya menatap Pria Botak itu. “Pak Hamza serius?” tanya Rigel terharu. Pria itu selain telah jadi mentornya tapi juga sudah dianggap seperti ayahnya sendiri.
Pak Hamza mengangguk. “Tentu Nak, meski gantinya kau akan ditempatkan di Kota Terpencil yang jauh dari Benteng tapi kau bisa melahirkan dan membesarkan anakmu di sana,” jawab Pak Hamza seraya tersenyum.
Brak ...
Pintu terbuka menampaki Gadis berhijab yang tergesa-gesa menerobos masuk. “Pak jangan pecat Rigel!” jerit Wanita itu sembari memeluk Rigel. “Kumohon Rigel, jika kau pergi maka tim kita akan sepi,” ucap Wanita itu memelas.
“Corrie, aku harus pergi,” sahut Rigel.
“Tidak, aku tidak rela sahabatku pergi,” celetuk Corrie.
“Aku hamil dan tidak bisa melanjutkan misi bersama kalian lagi,” ucap Rigel.
Corrie membelalakkan kedua matanya. “Apa? Bukannya kau belum menikah dengan Kapten Zidane?” Corrie terkejut mendapati sahabatnya hamil. “Jangan bilang jika dia tak mau tanggung jawab!” bentak Corrie yang tahu hubungan asmara ini.
“Ini salahku, sudah seharusnya aku yang mengalah,” sahut Rigel dengan senyum nanarnya.
Pak Hamza mendekati Corrie kemudian menyentil dahinya. “Anak Nakal, bukannya bertanya dulu dengan orang tua,” omel Pak Hamza pada putrinya itu. “Rigel tidak akan dipecat atau diberhentikan tapi dia akan dipindah tugaskan untuk membantu Kota Lima,” ucap Pak Hamza.
“Aku ikut bersamamu,” sahut Corrie.
Rigel langsung menggeleng. “Tetaplah di sini bersama Kak Alex dan Nico,” ucap Rigel masih mengingat dengan timnya. Kenangan perjuangan bersama akan selalu ia ingat karena Rigel juga menyayangi teman-temannya. “Berawal dari hanya jadi perawat tertindas di pihak swasta sampai jadi tenaga suka rela, terima kasih atas semuanya.” Rigel berucap sambil memeluk Corrie.
“Rigel ... kau masih bisa di sini,” sahut Corrie yang masih memeluk Rigel.
“Tidak bisa, aku mau anakku selamat karena jika tetap di sini maka aku akan jadi aib bagi Kak Harlan.” Rigel melepaskan pelukkannya. “Jaga rahasia ini ya,” pinta Rigel sembari berpamitan.
Kehamilan ini bahkan tidak diketahui oleh keluarga Rigel sendiri. Rigel jadi tidak terbuka dengan ibunya sejak Sang Ibu menikah lagi dengan Pria lain. Rigel berencana akan pergi besok hari setelah mengemasi barang-barangnya. Saat setelah memasukkan beberapa berkas ke dalam tas ranselnya kemudian keluar dari Gedung Tyre. Ia berpas-pasan dengan seorang pria bermata biru. Pria Misterius itu memandangi Rigel dengan terkejut tapi Rigel segera mengabaikan Pria itu.
“Rigel biarkan aku mengantarmu pulang untuk terakhir kalinya,” ucap Harlan yang telah berdiri di hadapan Rigel.
“Rigel biarkan aku mengantarmu pulang untuk terakhir kalinya,” ucap Harlan yang telah berdiri di hadapan Rigel.Rigel hendak menolak ajakan dari Harlan namun Pria itu menatap Rigel dengan kedua mata hijau terangnya. “Terserah kau saja,” sahut Rigel sambil berjalan lebih dulu. Rigel akan terus menolak Harlan. Padahal dua tahun lalu, Harlan jadi Pria yang paling ia cintai.Saat Rigel terdiam menatap Harlan yang membukakan pintu mobil untuknya. Rigel langsung membelalakkan kedua matanya saat melihat mobil lain berhenti. “Ini buruk,” ucap Rigel sembari menatap kedatangan Nyonya Zidane yang keluar dari mobil bersama pengawalnya.“Kau membawa pengaruh buruk untuk keluarga terhormat kami,” cibir Nyonya Zidane. “Harlan sudah berapa kali Ibu bilang untuk jauhi Wanita ini.” Nyonya Zidane menatap Rigel dengan jijik.“Ibu aku tidak bisa meninggalkan Rigel,” sahut Harlan. “Dia hamil anakku, sudah seharusnya aku bertanggung jawab.” Harlan berucap dengan tegas. Ia menghadang Sang Ibu yang tengah mel
“Yang Mulia Adriel, kita sudah sampai di titik koordinat setelah menempuh 149,6 juta km, protokol pendaratan akan dilakukan.” Suara dari sistem yang berbunyi. Menampaki seorang pria muda yang duduk didalam sebuah kokpit pesawat luar angkasa yang berkilau. Kedua kelopak matanya tertutup namun perlahan-lahan terbuka, menampaki sepasang mata biru permata samudera. Kedua mata biru cerah menatap ke arah kaca yang menampaki planet biru secerah kedua matanya. “Bumi ... kau pasti ada di sana, pengantin bulanku,” ucap Pria Rupawan itu.“Memasuki lapisan eksosfer.” Sistem kembali berucap kala pesawat ini akan menembus lapisan eksosfer.“Tunggu, ada sesuatu yang aneh,” ucap Pria itu menatap monitornya sendiri. Dia sudah menyadari sesuatu. Kapal pesawat super canggihnya ini sudah mendeteksi adanya pergerakan asing dari luar bumi. “Aku harus bergegas, Vetle!” perintah Pria Bermata Biru itu.“Baik Yang Mulia, pendaratan pintas akan dilakukan,” ucap Sistem artifisial canggih bernama Vetle itu.Lan
“Benda itu datang,” ucap Adriel yang telah berada dalam kokpitnya. “Vetle beri aku visir agar bisa mulai membidik,” perintah Adriel yang telah bersiap akan membidik.Adriel kala itu tidak memerdulikan apa pun selain keamanan Rigel. Padahal ia baru bertemu dengan Rigel tapi dirinya yakin jika Rigel merupakan orang yang selama ini dia cari.“Mendeteksi akan adanya ledakan, koordinat mendekati Pengantin Bulan.” Vetle memberikan pemberitahuan dari panel yang muncul pada monitor. Berkat pemberitahuan itu membuat Adriel membelalakkan kedua matanya. Pria itu segera melompat keluar dari kokpit setelah berhasil menembak hancur objek yang nyari mengenai kota itu.Kaelar menatap Adriel yang kembali bergegas. “Yang Mulia, Anda hendak kemana?” tanya Kaelar heran. Meski begitu dia tetap mengekori Sang Pangeran. Kecemasannya karena mereka berada di tempat yang asing dan baru pertama kali memijak dunia ini.“Yang Mulia Anda harus ingat jika bumi bukanlah New Neoma, Anda harus hati-hati,” ucap Kaelar
“Kira-kira bagaimana ya reaksinya?”Adriel memasuki kamar perawatan. Adriel menatap tajam Rigel yang masih berbaring tidur itu. “Kau ... orangnya,” ucap Adriel. Dia berjalan pelan kemudian mengarahkan jarinya untuk membelai ujung kelopak mata Rigel yang tampak sembab. Kedua mata birunya menyalang dalam kegelapan malam. Biru cerah yang bersinar memandangi Rigel yang terlelap dalam tidurnya itu. Detik selanjutnya dia sudah menghilang ditelan oleh malam. Kedua mata Rigel terbuka dengan membelalak. Rigel langsung terduduk bangun. Ia mendapati dirinya berada dalam ruang perawatan. “Tidak ada seorang pun di sini, padahal tadi aku merasa ada orang yang sedang memerhatikanku.” Rigel berucap seorang diri sembari melihat kiri dan kanannya.“Omong-omong, aku ada di mana?” Rigel memandangi ruangan putih ini. Ia juga melihat tangan kanannya yang terpasang sebuah infus set. Usai mengingat-ingat lagi, Rigel sadar jika ia sedang ada di Rumah Sakit. Terakhir kalinya ia sadar karena ledakan di Gedung
"Baiklah, saat kejadian ledakan itu terjadi dimana apakah kau ingat sedang ada dimana?" tanya Harlan."Di depan Gedung Tyre, kau juga ada di sana jika kau lupa," jawab Rigel."Apakah kau ingat siapa yang menolongmu saat ledakan itu terjadi?" tanya Harlan lagi.Rigel terdiam sejenak. Dia tak tahu siapa yang sudah menolongnya tapi Rigel masih ingat lengan yang langsung meraih tubuhnya itu. "Tidak, aku tidak tahu karena kesadaranku langsung hilang," jawab Rigel sembari menunduk. Brakkk Rigel terkejut kala menatap Harlan yang tampak membanting tumpukan berkas diatas meja. "Persetanan dengan interogasi ini!" bentak Harlan yang langsung beranjak pergi dan keluar dari ruang interogasi tanpa berkata apa pun lagi."Kenapa dia? aneh sekali," ucap Rigel yang berbincang sendiri. Interogasi berjalan tidak lancar karena Petugas yang bertanggung jawab telah keluar dari ruangan lebih dulu, maka dari itu Rigel menyusul untuk keluar dari ruangan. Saat berjalan keluar dari gedung. Rigel sempat menyan
"Ada remahan cokelat disini," ucap Adriel sembari mengusap ujung bibir Rigel. Pria itu menatapnya dengan dalam. Rigel jadi tertegun saat kedua mata biru Adriel yang cerah itu beradu tatap dengannya. "Cantiknya," ucap Rigel tanpa sadar memuji Adriel. Tidak mengherankan jika Adriel bagaikan seorang pangeran berkuda putih. Tampang dan kedua matanya sangat cerah nan indah. "Apakah begitu?" Adriel semula tak mau menapaki keterkejutannya karena pada nyatanya Rigel yang lebih dulu mendekati dirinya. Adriel bahkan merasakan dadanya yang berdenyut cepat kala Rigel memujinya. Ketika hendak berbincang dengan Rigel lagi, Adriel justru menatap Rigel yang telah berjalan keluar.Rigel hanya berdiri di hamparan padang rumput seorang diri. Rigel memejamkan kedua matanya karena sedang menikmati angin sore yang bertiup sepoi-sepoi. Ketika senja nyaris berpisah, langit magenta petang dan Adriel yang ikut terdiam memandangi mahluk ciptaan Tuhan yang indah itu. Tatapan sepasang mata biru itu memuja Rige
"Semudah itu kau berpaling," ucap Harlan yang ternyata sedari tadi memerhatikan Rigel. Semua itu karena dia baru saja hendak meninggalkan gedung Tyre namun berpas-pasan dengan Rigel yang sedang bersama pria lain."Aku tidak menyangkanya." Harlan kini menatap kehampaan dari jauh tempatnya berpijak. Ia hanya bisa menatap motor hitam yang mengangkut Sang Kekasih bersama pria lain semakin menjauhinya. Dia hanya termangun dalam hampaan tapi ingin memperjuangkan Rigel masih jadi gelora hatinya sampai saat ini.Derapan langkah kaki seseorang mendekat. Sepasang sepatu hak tinggi yang mengkilap milik seorang wanita berwajah angkuh. "Sudah kukatakan, dia wanita gampangan yang cepat berpaling," celetuk Wanita itu sambil mengibaskan rambut pirangnya. "Sebagai anak pewaris Violens, kau ini cukup kurang kerjaan ya?" cibir Harlan. Setelah itu Harlan beranjak lebih dulu sembari membuang tatapannya. Dia cukup malas meladeni pertengkaran yang akan terjadi bersama Julia ini. "Maksudmu apa?" tanya Juli
"Nak, kau yakin dengan semua ini?" tanya Sang Ibu diambang pintu yang tengah memerhatikan Si Anak yang sedang memindahan beberapa tas berisi barang-barangnya. Tatapannya pilu tapi dia tahu jika dia tak bisa melarang anaknya. Rigel mencoba berdiri tegap sambil meraih tas ranselnya. "Yakin karena aku harus memulai lembaran baru," jawab Rigel. "Kota itu terpencil, jauh dari Pusat Pemerintahan, dan lagi pula tempat itu banyak ditinggali oleh orang-orang yang pernah terkena infeksi," ucap Ibu yang khawatir. "Sariya bukanlah kota yang buruk, memang banyak ditinggali dan selain itu ... disana hening dan sepi." Rigel memakai tas ransel sembari meraih tas jinjing lainnya. Dia sudah membulatkan tekad untuk pindah kerjaan menjadi paramedis klinik yang bekerja di Kota Sariya. Salah satu kota yang banyak ditinggalkan oleh penduduk karena pernah jadi salah satu tempat dimulainya virus crocus mewabah, meski pemerintah sudah memberikan keterangan aman untuk kota itu tetap saja marabahaya akan selal
"Dimana aku?" tanya Rigel seorang diri. Ia langsung menyibak selimut lembut itu kemudian beranjak berlari menuju pintu. Rigel mengedor-gedor pintu sekuat tenaga tapi semuanya sia-sia karena sudah terkunci.Rigel memengangi kepalanya sendiri. "Benar, sebelum itu aku berada di Rumah Sakit," ucap Rigel sambil memandangi dekorasi dan perabotan mewah namun terkesan tua itu. Ia seperti merasa ada di kamar seorang Permaisuri Kerajaan. Kain-kain yang terhias di kamar ini berwarna emas, putih dan merah. "Adriel itu, jangan-jangan dia yang membawaku kemari!" jerit Rigel menyadari sesuatu. "Benar sekali, Permaisuriku," celetuk Adriel yang memasuki kamar sambil diikuti dua orang prajurit berzirah besi. "Kau benar-benar gila!" teriak Rigel sambil melempari Adriel dengan bantal dan guling. Rigel jadi kesal usai Adriel mengakui jika semua ini ulanya, dia jadi pergi ke tempat antah berantah yang bahkan belum pernah ia kunjungi."Rig, dengar ... semua ini demi dirimu," ucap Adriel.Rigel beranjak b
"Kau sungguh keterlaluan, memaksaku kemudian menerobos masuk seperti itu," omel Rigel. Rigel menghela napas cukup panjang karena dirasa jika berbincang saat ini dengan Adriel akan jadi sia-sia. "Kepalaku terasa mau pecah," gumam Rigel sambil menduduki dirinya di sebuah sofa. Adriel masih berdiri sembari memandangi Rigel yang kini sedang memijit pelipisnya sendiri. Adriel sendiri sebenarnya tidak tega jika harus memaksa Rigel tapi marabahaya yang menimpa Wanita itu sudah terjadi dua kali. "Maafkan aku Rig," ucap Adriel sembari mendekatinya."Apa? apa yang sedang kau coba lakukan?" tanya Rigel mendadak takut sekaligus merinding karena Adriel yang memakai kemeja polos putih itu membuka dua kancing teratasnya. Rigel sebenarnya mau melarikan diri tapi terlanjur terpojok karena kedua tangan kekar Pria itu mengukungnya seraya memengangi sofa.Adriel mendekati telinga kiri Rigel sampai kedua mata merah Rigel bisa melihat anting di telinga kanan Adriel yang berdenting lembut itu. Ketika Rige
"Aku ditipu oleh Pria lagi," kekeh Rigel tertawa nanar. "Selalu saja begitu, tidak Harlan, bahkan kini Adriel ya?" Rigel kini menatap Kaelar yang masih terdiam menatapnya. "Yah, sepertinya kau memang bawahannya, sejak awal ... kalian memang aneh," celetuk Rigel seraya beranjak bangkit. Rigel yang sebenarnya hendak beranjak ke kamar mandi tapi sempat dihadang oleh Kaelar. Rigel membelalakkan kedua matanya. "Baiklah, apa maumu?" ketus Rigel."Kita harus segera bersiap agar bisa pergi bukan?" tanya Kaelar memastikan.Rigel memutar kedua bola matanya dengan malas. "Sabar juga ada batasannya, kau dan Adriel apa tidak tahu perkara privacy? sudahlah menerobos masuk, menganggu istirahat dan bosmu memaksaku menikah dengannya," ucap Rigel bernada dingin."Ah, maaf, kalau begitu saya keluar." Kaelar berucap sambil beranjak keluar dari ruang perawatan Rigel. Rigel pun segera beranjak ke kamar mandi. Usai melepas seluruh pakaiannya kemudian masuk ke dalam bathtub berisi air hangat. Rigel hanya i
Rigel sendiri termangun tak percaya. "Apa katamu?" tanya Rigel yang sulit percaya. Rigel menggeleng kemudian beranjak berdiri dari ranjang kasurnya. "Berhentilah bercanda," ucap Rigel. "Itu benar apa adanya," jawab Adriel tegas. Kini Pria itu melangkah maju sambil meraih kedua pundak Rigel. "Karena aku sudah terus terang padamu, jadi kau harus menikah denganku dan ikut denganku ke kampung halamanku," ucap Adriel. Kepala Rigel terasa berdenyut pusing. "Sudah sejak awal aku katakan aku tidak mau menjalin hubungan ...," ucap Rigel terjeda karena Adriel langsung memotong ucapannya. "Ini berbeda!" bentak Adriel tanpa sadar. Adriel langsung tertohok usai melihat Rigel yang terkejut seraya membulatkan kedua matanya. "Maafkan aku Rigel, jika saja kau mengerti ... semua hal ini telah berbeda karena kau mengandung anakku, penerusku, pewarisku," ucap Adriel memohon. Sulit percaya dengan sikap Adriel yang berubah pesat ini. Rigel hanya bisa mematung seribu bahasa. Rigel bisa melihat kedua ta
Adriel duduk di sebuah bangku tepat disampingnya Rigel. Gadis bermata ruby itu masih pulas tidur diatas ranjang Rumah Sakit. Selain wajah Rigel yang pucat, perban di kedua tangannya juga memenuhi kulit cantiknya. Adriel murka karena kedua mata birunya menyalang tajam usai memandangi Rigel yang tak berdaya ini. "Harus kubunuh," ucap Adriel geram sendiri. Adriel itu seorang Pangeran dari sebuah Planet yang istimewa, dia juga terlahir dengan keajaiban karena ia punya kekuatan yang tidak biasa. Kedua tangan Adriel yang terkepal itu mulai membeku. Dia menguarkan energi yang dingin disekitarnya akibat emosionalnya yang tak mampu dikelola sendiri. Kaca-kaca jendela mulai membentuk rembetan bekuan air. Hawa udara mulai jadi dingin. Adriel menyadari dirinya lepas kendali usai kedua kelopak mata Rigel perlahan-lahan terbuka. "Dingin," gumam Rigel sambil meringkuk."Ah, astaga," ucap Adriel tersentak terkejut. Ia mulai menyelimuti Rigel dengan selimut. Dia bahkan beranjak berdiri untuk menutup
"Rig, kau tidak apa-apa?" tanya Adriel cemas. Rigel mengangguk pelan. Ia berusaha beranjak duduk kemudian langsung memeluk Adriel. "Maaf, sedikit lagi aku hampir akan melukai anakmu," ucap Rigel. Adriel melotot tak percaya. Ia pun langsung melepaskan mantel jaket hitamnya kemudian memasangkannya pada Rigel. "Kau harus menjelaskannya nanti setelah keadaanmu lebih baik," ucap Adriel beranjak berdiri seraya menggendong tubuh Rigel. . . . Tak terhitung sudah berapa kali Adriel mundar mandir di depan ruang perawatan Rigel. ia menunggu dokter memeriksa kondisinya. Sementara Kaelar yang ikut datang pun hanya bisa memerhatikan Adriel yang tampak cemas itu. Adriel menghela napas cukup panjang. "Sungguh Yang Mulia, Anda harus lebih tenang," tegur Kaelar. Adriel menghentikan langkahnya. "Jelas saja, dia mengandung anakku, Ya Tuhan!" jerit Adriel setelah itu mengusak rambutnya dengan kasar. "Kepalaku terasa sakit," ucap Adriel setelah itu mengeluh. Ia memikirkan nasib Rigel yang saat
"Tolong!" teriak Rigel seraya berlari di koridor Rumah Sakit yang hening ini. Sejenak Rigel merasa heran karena tiada satu petugas pun yang tampak berlalu-lalang. Rigel sempat berhenti sejenak. Ia menoleh ke belakang kemudian mendapati Pria itu masih mengejarnya. Rigel kembali berlari menuruni anak tangga darurat karena ia hendak menutup pintu darurat yang memiliki tuas yang kuat. Tujuannya untuk menghambat pergerakan Pria itu. "Aku harus melakukan sesuatu," ucap Rigel setelah menutup pintu dan memutar tuas. Rigel segera berlari menuruni anak tangga hingga menuju lantai dasar. "Tolong, seseorang mengancam keselamatanku," ucap Rigel sembari menghampiri Pos Keamanan yang terletak di luar Rumah Sakit. Rigel menyentuh bahu dari Tentara yang memang menjaga fasilitas Rumah Sakit milik Tyre ini tapi Rigel langsung terkejut saat melihat Pria itu langsung ambruk kemudian tergeletak bersimbah darah. "Oh, ya Tuhan!" jerit Rigel takut sendiri. Rigel merasakan benang string nyaris mengenainya t
"Dia baik-baik saja, masalah nausea dan dehidrasi ringan seperti ini biasa terjadi pada masa-masa awal kehamilan," jawab Alex."Oh pantas saja, Apa?!" Corrie membelalakkan kedua matanya tapi tak lama ia langsung menoleh pada Harlan dengan tatapan nanarnya. "Bisa-bisanya kau melakukan itu lagi!" bentak Corrie penuh amarah.Harlan sendiri melotot tak percaya. "Kenapa aku? aku sendiri kesulitan mencari keberadaannya selama satu bulan lamanya," sahut Harlan. "Tenanglah kalian berdua, kita bisa tanyakan semua ini saat Rigel bangun nanti," ucap Alex menengahi. Alex menghela napas, tidak hanya Corrie yang terkejut dan menduga Harlan adalah ayah dari bayi itu tapi Alex pun sama menduganya. Alex memerhatikan gerakan Harlan yang beranjak berdiri hendak pergi. Dia tak mencegah Harlan tapi setelah itu langsung beralih menatap Corrie dengan tatapan serius. "Dua bulan lalu, kami pernah bertemu Rigel karena saat itu Rigel mengalami insiden kejadian tidak diinginkan karena salah seorang penduduk te
Derap suara langkah terdengar jernih. Sepasang kaki kokoh mengenakan sepatu boots hitam mengkilap. Pria bermata biru tengah berjalan lurus pada koridor berlantai keramik kaca. Seluruh prajurit membungkuk hormat padanya saat ia tiba didepan sebuah pintu berukir bunga teratai. "Yang Mulia, apa yang akan Anda katakan pada Raja Averian?" tanya Kaelar yang berdiri disamping dirinya itu. Adriel menghela napas. Kerah baju formal khas kerajaan mendadak membuat sesak dirinya. "Lebih baik terus terang saja," jawab Adriel singkat. Kaelar membungkuk hormat sambil membukakan pintu berukiran bunga teratai itu untuk Adriel. "Semoga berhasil Yang Mulia," ucap Kaelar. Pria itu akan menunggui tuannya diluar ruang singasana Raja Averian. Kaelar sendiri tidak tahu tanggapan tuannya yang masih sangat berusaha mendapatkan Rigel. Dia tahu jika Rigel sendiri belum ingin membina hubungan tapi tidak juga menolak kehadiran Adriel padanya.Adriel melangkah memasuki sebuah ruangan megah yang dikelilingi oleh j