"Ada remahan cokelat disini," ucap Adriel sembari mengusap ujung bibir Rigel. Pria itu menatapnya dengan dalam.
Rigel jadi tertegun saat kedua mata biru Adriel yang cerah itu beradu tatap dengannya. "Cantiknya," ucap Rigel tanpa sadar memuji Adriel. Tidak mengherankan jika Adriel bagaikan seorang pangeran berkuda putih. Tampang dan kedua matanya sangat cerah nan indah.
"Apakah begitu?" Adriel semula tak mau menapaki keterkejutannya karena pada nyatanya Rigel yang lebih dulu mendekati dirinya. Adriel bahkan merasakan dadanya yang berdenyut cepat kala Rigel memujinya. Ketika hendak berbincang dengan Rigel lagi, Adriel justru menatap Rigel yang telah berjalan keluar.
Rigel hanya berdiri di hamparan padang rumput seorang diri. Rigel memejamkan kedua matanya karena sedang menikmati angin sore yang bertiup sepoi-sepoi. Ketika senja nyaris berpisah, langit magenta petang dan Adriel yang ikut terdiam memandangi mahluk ciptaan Tuhan yang indah itu.
Tatapan sepasang mata biru itu memuja Rigel yang punya keindahannya sendiri. Saat Adriel hendak mendekati Rigel tapi Gadis itu lebih dulu membalikkan tubuhnya untuk menatap Adriel. "Apa Anda baik-baik saja Nona?" tanya Adriel saat menatap Rigel yang sedang menangis itu. Adriel menatap Rigel cemas, setelah insiden yang menimpa Rigel jelas saja membuat Pria itu lebih khawatir tapi Adriel harus bersikap biasa karena tak mau Rigel sampai tahu jika dialah penolongnya saat itu.
Rigel segera menggeleng. "Tidak seharusnya aku seperti ini, maaf, aku terbawa suasana," jawab Rigel dengan suara parau akibat bercampur dengan isak tangisannya. Rigel hanya masih merasa sedih dan patah hati, sedih karena kehilangan calon bayinya dan patah hati akibat masih teringat dengan mantan kekasihnya itu.
"Baiklah aku mengerti." Adriel menatap dari ekor matanya jika tidak hanya mereka berdua yang ada di padang rumput ilalang ini. Hawa keberadaan orang lain mulai terasa dan sayangnya gejolak dari Orang itu tidak terasa bersahabat jadi Adriel langsung menarik Rigel dalam pelukannya.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Rigel saat wajahnya terbenam dalam dada atletis Adriel. Saat Rigel hendak menanggahkan tatapannya. Tangan kiri Adriel terasa mengelus puncak kepalanya. Adriel seolah tak membiarkan Rigel untuk menoleh.
Berbanding terbalik dari Adriel yang telah merogoh pistol dari saku mantel kanannya. Tatapan mata Adriel jadi tajam kala ia sibuk menembaki seorang Pria misterius yang sedang mencoba mencelakai Rigel. Gerakan Pria itu yang cepat tak menumpulkan tembakan dari Adriel meski Pria itu senantiasa berhasil menghindari tembakannya. Beruntung pistol itu aktif dengan fitur redam sehingga suara tembakan tak didengar oleh Rigel.
"Maaf tapi kurasa aku harus segera menghantarmu pulang ke rumah," ucap Adriel usai berhasil mengusir Pria Misterius itu.
"Aku memang akan pulang tapi kau tak perlu repot-repot untuk menghantarkanku ...," ucap Rigel terjeda karena Adriel langsung memotong ucapannya.
Adriel menggeleng dengan cepat. "Tidak perlu, aku akan membawamu pulang," sahut Adriel. Dia langsung menggengam tangan Rigel dan membawanya ikut serta menjauh dari padang ilalang itu. "Jangan kemari seorang diri, pokoknya jangan." Adriel berucap dengan khawatir pada Rigel lagi.
"Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanya Rigel diiringi kekehan manisnya.
Saat sudah tiba di halaman belakang Gedung Tyre keduanya langsung saling mematung. Rigel tersenyum sambil mengangguk meski sebenarnya dia tak mengerti kenapa Adriel tiba-tiba jadi khawatir padanya. "Aku baik-baik saja, terima kasih Tuan Adriel," ucap Rigel.
"Kalau begitu aku akan pulang sendiri saja."
"Tidak, aku sudah katakan jika akan menghantarmu."
Rigel mematung karena Adriel terus memaksa akan mengantarnya pulang. "Dengar, aku ini tidak mau merepotkanmu," ucap Rigel tegas.
"Maaf ini salahku karena tiba-tiba bersikap seperti ini tapi ketahuilah, aku hanya mau membantumu karena saat ini tidak ada yang aman lagi." Adriel berucap sambil menghela napas. Sebenarnya dia tak mau memaksa Rigel karena khawatir membuatnya takut tapi baru saja Rigel nyaris celaka jika bukan karena dia yang kebetulan bersama Rigel.
Adriel beralih berjalan mendekati sepeda motor sport hitam miliknya yang menunggu di halaman belakang gedung. "Naiklah, setidaknya ini akan mempersingkatmu untuk kembali ke rumah dengan cepat," bujuk Adriel. "Kumohon jika tidak ini akan jadi petaka bagimu lagi," batin Adriel. Dibalik wajahnya yang datar tapi gemuruh perasaannya sedang gelisah.
"Baiklah, aku terima kebaikanmu Tuan," ucap Rigel.
Adriel tersenyum lebar sambil memberikan helm padanya. "Lebih baik Anda yang memakainya," ucap Adriel kini memakaikan helm pada kepala Rigel bahkan merekatkan pengaman pada dagunya. "Naiklah," suruh Adriel bernada lembut.
Rigel mengangguk gugup karena perasaannya jadi menderu. "Tidak perlu sampai seperti ini, bisa membuat terbalik jadi Tuan yang kena bahaya," ucap Rigel.
"Lebih baik daripada Nona yang jadi penarik perhatian," sahut Adriel sambil menghidupkan motornya. "Berpengan karena itu lebih aman." Adriel menganjurkan agar Rigel setidaknya memegang pinggangnya saat menaiki motor yang berboncengan ini.
Rigel kini percaya dengan ucapan Adriel karena saat sampai di jalanan raya. Sorotan wajahnya banyak ditampilkan pada monitor-monitor kota. Terkenal akibat jadi kekasih simpanan dari orang tersohor seperti Kapten Harlan Zidane dan tunangannya Julia Violens, banyak liputan miring tentangnya.
"Ah, jadi parah," gumam Rigel sembari menghela napas.
"Apa Anda baik-baik saja?" tanya Adriel cemas pada Rigel yang sedang ia boncengi itu.
Rigel menggeleng. "Semuanya baik-baik saja," jawab Rigel.
.
.
.
"Naiklah," suruh Adriel bernada lembut.
"Tidak perlu sampai seperti ini, bisa membuat terbalik jadi Tuan yang kena bahaya," ucap Rigel.
"Lebih baik daripada Nona yang jadi penarik perhatian," sahut Adriel sambil menghidupkan motornya. "Berpengan karena itu lebih aman." Adriel menganjurkan agar Rigel setidaknya memegang pinggangnya saat menaiki motor yang berboncengan ini.
Sepasang mata hijau sedang memandangi dari kejauhan. "Semudah itu kau berpaling," ucap Harlan yang ternyata sedari tadi memerhatikan Rigel. Semua itu karena dia baru saja hendak meninggalkan gedung Tyre namun berpas-pasan dengan Rigel yang sedang bersama pria lain.
"Aku tidak menyangkanya," ucap Harlan sambil mengepalkan kedua tangannya.
"Semudah itu kau berpaling," ucap Harlan yang ternyata sedari tadi memerhatikan Rigel. Semua itu karena dia baru saja hendak meninggalkan gedung Tyre namun berpas-pasan dengan Rigel yang sedang bersama pria lain."Aku tidak menyangkanya." Harlan kini menatap kehampaan dari jauh tempatnya berpijak. Ia hanya bisa menatap motor hitam yang mengangkut Sang Kekasih bersama pria lain semakin menjauhinya. Dia hanya termangun dalam hampaan tapi ingin memperjuangkan Rigel masih jadi gelora hatinya sampai saat ini.Derapan langkah kaki seseorang mendekat. Sepasang sepatu hak tinggi yang mengkilap milik seorang wanita berwajah angkuh. "Sudah kukatakan, dia wanita gampangan yang cepat berpaling," celetuk Wanita itu sambil mengibaskan rambut pirangnya. "Sebagai anak pewaris Violens, kau ini cukup kurang kerjaan ya?" cibir Harlan. Setelah itu Harlan beranjak lebih dulu sembari membuang tatapannya. Dia cukup malas meladeni pertengkaran yang akan terjadi bersama Julia ini. "Maksudmu apa?" tanya Juli
"Nak, kau yakin dengan semua ini?" tanya Sang Ibu diambang pintu yang tengah memerhatikan Si Anak yang sedang memindahan beberapa tas berisi barang-barangnya. Tatapannya pilu tapi dia tahu jika dia tak bisa melarang anaknya. Rigel mencoba berdiri tegap sambil meraih tas ranselnya. "Yakin karena aku harus memulai lembaran baru," jawab Rigel. "Kota itu terpencil, jauh dari Pusat Pemerintahan, dan lagi pula tempat itu banyak ditinggali oleh orang-orang yang pernah terkena infeksi," ucap Ibu yang khawatir. "Sariya bukanlah kota yang buruk, memang banyak ditinggali dan selain itu ... disana hening dan sepi." Rigel memakai tas ransel sembari meraih tas jinjing lainnya. Dia sudah membulatkan tekad untuk pindah kerjaan menjadi paramedis klinik yang bekerja di Kota Sariya. Salah satu kota yang banyak ditinggalkan oleh penduduk karena pernah jadi salah satu tempat dimulainya virus crocus mewabah, meski pemerintah sudah memberikan keterangan aman untuk kota itu tetap saja marabahaya akan selal
"Terima kasih Bu Mantri," ucap seorang anak kecil yang baru saja diobati lukanya oleh Rigel.Rigel tersenyum kikuk. "Ah, aku lebih suka dipanggil Ners daripada Bu Mantri, atau Kakak saja," sahut Rigel sambil mengemasi kotak-kotak berisi obat-obatan itu. Rigel juga mengemasi perban dan beberapa set hecting sederhana."Ini obat antibiotik, dihabiskan ya," ucap Rigel. "Sebenarnya ini tugas Kak Alex tapi mengingat tempat ini terpencil dan sangat kekurangan akses jadi apa boleh buat?" Rigel berbincang seorang diri sementara Si Anak kecil memandangi Rigel dengan bingung. Rigel menatap Anak Kecil itu kemudian mengusap puncak kepalanya. "Kamu bisa kembali ke rumahmu sendiri?" tanya Rigel. Anak kecil itu mengangguk. "Terima kasih Bu Mantri, aku pulang dulu," ucap Si Anak Kecil sambil berlari keluar dari Klinik. "Hati-hati, kakimu baru saja dibersihkan!" teriak Rigel sembari berjalan ke depan Klinik. Rigel berdiri sesaat di halaman pekarangan Klinik. Klinik ini daripada mirip seperti banguna
"Misi pertama," ucap Rigel yang bergumam dengan kedua mata membelalak. Adriel mencoba mendekati Rigel namun Rigel langsung menyembunyikan surat yang ada dari dalam box. Rigel tersenyum untuk menyembunyikan misi yang sudah sampai ditangannya. "Bukan apapun, hanya beberapa surat rindu dari Corrie," ucap Rigel. Adriel memandangi Rigel sejenak. Kedua mata biru Adrian tampak mengekori langkah Si Manis Rigel yang beranjak dari dapur. Adriel tahu tatapan cemas dan kening mengkerut Rigel yang sedang berpikir keras itu. "Kalau begitu aku akan kembali ke Kantor Pengiriman," ucap Adriel pada Rigel."Ah benar sekali, aku juga harus kembali ke Klinik." Rigel juga bergegas beranjak sembari membawa box yang sebelumnya Adriel berikan padanya. "Terima kasih sudah menemaniku makan siang," Rigel tersenyum suka cita pada Adriel sampai membuat Pria itu salah tingkah.Adriel buru-buru memalingkan wajahnya. "Ehem ... ten ... tentu saja, kalau begitu selamat tinggal," ucap Adriel sambil buru-buru beranjak
"Inilah pahlawan kita, aksi beranimu Nona Meil!" puji Gubernur sembari mendatangi Rigel. Rigel pun membungkuk sedikit setelah itu mengulurkan tangannya untuk berjabatan tangan. "Salam Gubernur Carlos, terima kasih atas jamuan ini," ucap Rigel. Rigel langsung memandangi Gubernur dengan tidak nyaman karena ketika berjabatan tangan Sang Gubernur memengangi tangan Rigel. "Ehem ... Gubernur, terima kasih atas jamuan ini," sahut Adriel sembari meraih tangan Gubernur sehingga memisahan Rigel dari cengkeraman yang aneh itu. "Adriel Cooper, Kurir Pesan yang ditugaskan Pak Hamza," ucap Adriel sambil tersenyum pada Gubernur.Gubernur langsung menatap sinis. "Oh benar sekali, Pekerja Muda yang penuh semangat." Gubernur berucap sambil tertawa hambar. Dia tersinggung dengan sikap Adriel tapi sesaat setelah para tamu undangan mulai berdatangan, Gubernur pun beranjak untuk menyapa tamu kehormatan lain yang tak kala mencuri panggung,Kedua mata Rigel membelalak saat Harlan datang bersama Julia. Keda
"Muse ... kau tahu itu? suara mereka indah, tubuhnya elok dan parasnya rupawan ... mereka pengiring suara untuk dewa tapi kau selalu mengiringiku dan menghiburku, Adriel," ucap Rigel yang mabuk itu."Kau ... menggodaku?" tanya Adriel. Padahal Adriel tahu jika bertanya pada Rigel pun percuma karena Rigel sedang mabuk jadi Adriel menyelinap pergi dari Pesta tepat waktu tengah malam. Dia membopong tubuh Rigel meski setelah itu bingung karena motornya tidak akan bisa membawa Rigel bersamanya dalam keadaan mabuk seperti itu.Kota Sariya, termasuk kota kecil yang kendaraan umumnya hanya bus umum yang beroperasi saat pagi sampai sore. Tidak seperti New Neoma dan Kota Pusat Tyre yang saat malam pun hiruk pikuk kendaraan masih ramai. Selain kehampaan hanya ada kesunyian. Adriel pun menyentuh anting kanannya untuk memberikan sinyal pada Kaelar Si Ajudan Setia itu.Demi keselamatan Rigel, Adriel pun beralih menggendong tubuh Rigel yang mulai terkulai karena ketiduran itu. Adriel pun berjalan sed
"Apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan?" tanya Adriel seorang diri sembari menatap Rigel yang tengah tertidur itu. Adriel pun menyudahi tatapannya pada Rigel kemudian beranjak pergi dari Klinik. Pria bermata biru itu menuruni tangga serta kembali ke halaman depan Klinik. Dia menatap Sang Ajudan yang masih berdiri siaga menanti kedatangannya. "Kita harus bergegas pergi Yang Mulia, sebelum matahari akan terbit Yang Mulia," ucap Kaelar. "Vetle, berikan aku rincian perkembangan dari perbaikan pesawatku," perintah Adriel. [Menampilkan rincian kerusakan dan bagian-bagian yang perlu diperbaiki][Scanning mulai dalam 88% ... 96% ... 100%]Kaelar menatap keseriusan Adriel pada layar sorot kecil yang muncul dari anting kanannya. Kaelar berdecak kagum. "Wah,wah, seperti yang diharapkan dari Pangeran Kerajaan New Neoma," puji Kaelar sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tapi kenapa Yang Mulia?" tanya Kaelar mendekati Adriel yang masih sibuk menatap rincian dari pesawatnya itu."Itu karena
"Aku merupakan mantan regu penyelamat yang diangkat jadi anggota penyelamat elit semua itu bermula dari pertemuanku dan Harlan ..."Rigel mulai teringat akan masa lalunya. Saat itu musim salju pertama di Tyre. Rigel selalu terkesan akan musim dingin meski sudah pindah ke Tyre sejak lima tahun lalu. Semua ini karena Rigel sejak kecil menghabiskan masa dan waktu di Negara Tropis yang kini harus ditinggalkan. Saat itu regu yang dipimpin oleh Alex selaku kapten sekaligus pilot yang paling menjanjikan karena jarang seorang paramedis merangkap sebagai pilot, Corrie selaku Co-Pilot, Nico selaku teknisi dan juga Rigel yang memang sejak awal dijadikan inti dari regu penyelamatan ini karena Rigel berbakat dalam bidangnya. Rigel sejak dibangku perkuliahan dinilai memiliki kepekaan dan insting yang cepat, jika disandingkan bersama para dokter maka Rigel akan jadi rekan tim yang paling menjanjikan. Rigel ingat saat itu, dia masih termangun di pangkalan udara. Putih salju nyaris menutupi lapangan
Kedua kelopak mata Rigel perlahan-lahan terbuka. Rigel mendapati dirinya dalam ruang perawatan Rumah Sakit. Disebelah dirinya juga terdapat box bayi saat Rigel menoleh ternyata box bayi itu kosong. Rigel buru-buru hendak beranjak bangun."Perlahan ... kau baru siuman, Rig," ucap Adriel lembut. Pria itu ternyata sedang menggendong bayinya sembari memberi susu dari sebuah botol susu. Rigel menghela napas cukup panjang. "Kukira dia hilang lagi," celetuk Rigel sembari menduduki dirinya lagi. Kini Rigel melihat tangannya yang sedang dipasang set infus. Meski tubuhnya tidak terlalu terasa kelelahan tapi Rigel bisa merasakan pengalaman luka yang sudah ia lakukan."Cassiel, cukup anteng saat kau tertidur," ucap Adriel. Rigel kini menolehkan tatapannya untuk melihat sosok Adriel. Rigel menyadari jika Adriel lebih dewasa saat menggedong Cassiel. Rambut pirangnya diikat kebelakang, tubuh kekar dan tegapnya hanya memakai kaos putih dan celana jeans hitam. "Berapa lama aku tertidur?" tanya Rigel
"Adriel ingatlah, kau tidak boleh melepaskan kain ini darinya sampai tiba ditempat yang benar-benar aman." Rigel berucap sembari melingkarkan kain pada tubuh anaknya ke tubuh Adriel untuk membentuk kain gendongan. "Dan kau harus berjanji akan kembali bersamaku," sahut Adriel sembari memandangi kedua mata Ruby dari Rigel. "Aku ...," ucap Rigel terjeda karena Adriel lebih dulu menyela."Berjanjilah!" tegas Adriel dengan tatapan yang sulit diartikan. Adriel bahkan meraih puncak kepala Rigel kemudian sengaja menyandarkannya pada dada bidangnya sendiri. Adriel mengecup puncak kepala Rigel sejenak. "Kembali padaku, setelah itu aku akan meminta pengampunan yang layak padamu Rig," ucap Adriel menyesal.Rigel tersenyum kecil, tersentuh oleh Adriel yang semula hanya dikenalnya sebagai Pria Arogan dengan dua sisi yang mudah berubah. Rigel mengangguk sejenak. "Aku harus menuntaskan keinginan dari ayahku, dari Bangsa Carnelian, dan dari penderitaan semua orang," ucap Rigel."Itu tidaklah adil se
"Kau anteng sekali ya, Sayang." Rigel yang menggendong bayinya pun kini menanggah lagi, ia mendapati pesawat tempur yang dikendarai oleh Adriel dan Harlan tampaknya bekerja sama untuk melawan monster buatan Aquilina. "Kita harus mengamankan dirimu dulu," ucap Rigel sembari menunduk menatap bayi yang ia gendong. Setidaknya Rigel masih kembali pada kewarasannya, Rigel menyadari jika Gudang ini sudah dikepung oleh terinfeksi yang mengincar aliran darah hidup. Rigel mulai panik sendiri karena ia tahu, semua ini ulahnya. "Maafkan aku ... aku tak bermaksud seperti itu." Rigel tercengang mendapati semua orang yang terinfeksi sudah mengepung gudang terbengkalai ini sementara iasendiri sedang menggendong bayinya. Adriel yang sedang mengendarai pesawat tempur itu langsung mengerahkan tembakan ke seluruh orang yang terinfeksi agar membuka jalan bagi Rigel melarikan diri. Rigel sontak merunduk sembari memeluk bayinya itu. "Rigel! cepat lari dari sana!" perintah Adriel yang rela membuka pelind
Rigel yang sedang mengemudi menyetir memasuki sebuah gudang terbengkalai. Ia keluar dari mobil sembari melirik ke sekelilingnya. Semula sebuah pistol kecil sudah ia selipkan di balik sweaternya. Rigel kini berjalan masuk ke dalam gudang itu.Rigel terkekeh geli karena merasa semua ini sengaja dipersiapkan untuknya. "Tempat yang jauh dari orang-orang, kau sungguh sudah mempersiapkan semua ini Lady Aquilina," ucap Rigel yang kini sudah berdiri ditengah-tengah gudang."Menyebalkan, kau selalu ada ... kau terlalu beruntung," celetuk Aquilina yang muncul dari balik kegelapan."Dan kau selalu dengki," sahut Rigel sembari menggelengkan kepalanya. "Sekarang, berikan anakku sebelum aku mengakhirimu," ancam Rigel dengan nada dinginnya. Rigel tak main-main dengan ucapannya sendiri karena ia sudah begitu lama menahan diri. Aquilina disisi lain wanita yang mendambakan cinta, ia tumbuh kecil dan besar bersama Adriel. Ia sudah menduga jika dirinya yang akan bersama Adriel, pujaan hatinya namun data
"Bangunlah, berikan aku keajaiban," ucap Alex pasrah. Alex saat itu memandangi Rigel yang terbaring dengan dipasang sebuah ventilator dan alat-alat medis lainnya. Saat itu Alex mulai heran saat melihat rambut hitam Rigel tiba-tiba saja memutih perak. Tak lama kemudian kedua kelopak matanya terbuka menampaki iris mata merah berkilaunya."Rigel ... kau bangun!" jerit Alex yang terperanjat terkejut. Sosok Rigel menduduki dirinya, ia dengan ceroboh melepas selang ventilator dari tenggorokannya sendiri setelah itu tersedak-sedak. Rigel menoleh ke arah Alex yang masih terdiam terkejut. "Anakku, di mana dia?" tanya Rigel tertegun.Alex seolah terhipnotis bisu untuk menjawab pertanyaan Rigel. Rigel saat ini bagaikan orang yang berbeda. Selain rambut hitamnya yang jadi perak, kedua mata merahnya yang berkilau dan wajah Rigel yang biasanya ceria sumringan itu jadi lebih tegas. "Ah, itu ... kami hanya menemukanmu bersama Ibu dan Saudarimu, Corrie yang terluka juga ada disana ...," ucap Alex t
Hangat mentari dan suara bunyi burung di pagi hari membuat Rigel memejamkan kedua matanya sejenak. Saat ini ia berjalan di trotoar. Jalanan dan kota sangat sepi. Ia ingat jalan pinggiran kota Sariya tempatnya pernah berkerja ini."Aku kini melompat ke ingatan lamaku, saat setelah aku tiba di sini," ucap Rigel masih terjebak di alam bawah sadarnya. Rigel berjalan sampai tiba di Klinik. Cuaca hari ini sangat bagus, Rigel ingat jika mentari hangat menyertainya. Saat itu Rigel baru saja pindah ke Klinik. Saat itu juga ia bertemu dengan Adriel, semula kedatangannya hanya membawa surat-surat dari pusat. Motor yang ia kendarai dibekali sebuah box besar yang berguna untuk menyimpan barang-barang antarannya. Rigel terpana dengan Adriel yang mau bekerja keras seperti itu padahal wajah dan bentuk fisiknya seperti Pangeran. Ingatan ini membuat Rigel tersenyum dengan sipu merah pada kedua pipinya. Rigel yang baru tiba di klinik memilik duduk di anak tangga depan pintu kemudian memerhatikan Adrie
"Cepat atasi pertempuran ini, kemudian kembali melihat anak dan perempuan yang kau cintai," ucap Pak Mintaka. Harlan mengangguk. Ia pun memasang helm kemudian memasuki pesawat tempurnya. Harlan tentu dusta jika tak memikirkan keadaan Rigel saat ini tapi ia harus fokus menyelesaikan ancaman dari Adriel. Usai mengaktifkan seluruh perangkat pesawat. Ia mulai menggerakkan pesawat menaiki langit. Mula-mula langit dibawah lautan itu masih begitu tenang, tapi sampai Harlan mengendalikan pesawatnya lebih tinggi lagi. Kedua matanya membelalak menatap armada pesawat tempur yang sudah berbaris seolah menanti kedatangannya. "Bajingan Gila itu!" Harlan mengeraskan rahangnya ketika sebuah pesawat tempur induk dikelilingi oleh pesawat tempur yang mulai menyerang pasukannya. Harlan melalui alat komunikasi mulai mengarahkan pasukannya sesuai rencana. "A-89 Tiger, regu Tiger segera melesat lebih dulu ke arah belakang titik buta, Copy!" seru Harlan. Kedua tangannya mencengkeram kemudi dengan keras.
"Nona, tampaknya bayi itu sudah lahir karena auranya mirip dengan Yang Mulia Adriel, asalnya dari kamar itu," ucap Calen. "Tak bisa dibiarkan, kita harus mengambil bayi itu dari Rigel sebelum Adriel mendapatkannya," ucap Aquilina. "Baik My Lady," sahut Calen dengan patuh. Calen mendobrak pintu, ia langsung mendapati Rigel yang terkulai lemah. Calen sempat memandangi aura dari Rigel yang mulai redup. "Padahal warna merah menyalang itu sangat cocok denganmu," ucap Calen seorang diri. "Apa yang membuatmu melamun Calen?!" bentak Aquilina seraya bersidekap. "Cepat ambil bayi itu!" perintah Aquilina dengan tega. Bayi yang digendong oleh neneknya itu langsung menangis. "Tidak, jangan pisahkan mereka, bayi itu masih kecil Tuan," ucap Sang Nenek memelas. Calen langsung merampas bayi itu dari Wanita Tua yang tak berdaya. "Ayo Nona, bayinya sudah bersama saya," ucap Calen tanpa mau menghabisi Rigel yang sudah terbaring tak sadarkan diri itu karena Calen tahu jika nyawa Rigel kritis bahka
"Rigel, Rigel!" jerit Corrie yang mulai panik karena menatap Rigel yang terkulai tak sadarkan diri dengan wajah yang pucat pasi. Bayi yang digendong Corrie buru-buru ia berikan pada Ibu. "Rigel kemungkinan mengalami perdarahan, meski aku harus memberi cairan untuk Rigel," ucap Corrie. Saat itu Corrie juga melirik bayi yang baru Rigel lahirkan. Bayi rapuh dan tak berdosa itu mengemut jemarinya karena lapar. Corrie segera menggeleng khawatir jika rasa ibanya menggarungi dirinya. "Oh Sayang, kita berdoa untuk ibumu," ucap Ibu sembari menggendong cucunya itu, sejenak ia memerhatikan bayi indah yang dilahirkan oleh Rigel. "Salwa jangan diam saja!" omel Ibu. "Telepon ambulan lagi, kakakmu dalam masa yang bahaya," suruh Ibu.Beralih pada Corrie yang gemetar usai mempersiapkan satu kantung cairan NaCl untuk Rigel. Ia memengangi tangan Rigel yang mulai dingin, ia mencoba menyentuh hidung Rigel dan merasakan napasnya yang menderu amat pelan. "Rigel, maafkan aku tapi kau harus bertahan demi bay