“Yang Mulia Adriel, kita sudah sampai di titik koordinat setelah menempuh 149,6 juta km, protokol pendaratan akan dilakukan.” Suara dari sistem yang berbunyi. Menampaki seorang pria muda yang duduk didalam sebuah kokpit pesawat luar angkasa yang berkilau.
Kedua kelopak matanya tertutup namun perlahan-lahan terbuka, menampaki sepasang mata biru permata samudera. Kedua mata biru cerah menatap ke arah kaca yang menampaki planet biru secerah kedua matanya. “Bumi ... kau pasti ada di sana, pengantin bulanku,” ucap Pria Rupawan itu.
“Memasuki lapisan eksosfer.” Sistem kembali berucap kala pesawat ini akan menembus lapisan eksosfer.
“Tunggu, ada sesuatu yang aneh,” ucap Pria itu menatap monitornya sendiri. Dia sudah menyadari sesuatu. Kapal pesawat super canggihnya ini sudah mendeteksi adanya pergerakan asing dari luar bumi. “Aku harus bergegas, Vetle!” perintah Pria Bermata Biru itu.
“Baik Yang Mulia, pendaratan pintas akan dilakukan,” ucap Sistem artifisial canggih bernama Vetle itu.
Langit malam yang tenang itu menampaki sebuah kilatan bagaikan bintang jatuh dari langit gelap. Angin berhembus lembut kemudian dentuman terdengar dari sebuah padang tandung dari luar benteng yang tinggi. Kapal Pesawat itu mendarat di bumi dengan keras pada sebuah padang yang sunyi.
Mereka menyebut planet kehidupan ini dengan nama Bumi. Planet yang jadi incaran diantara bima sakti ini bahkan tampak malang ketika Pria itu tiba. Dia tahu dari pelajaran yang selalu didapatkan semasa kecilnya jika bumi sendiri sedang kacau karena wabah crocus dan peperangan , meski begitu Bumi masih mau berbenah. Kali ini kedatangannya untuk mencari permata diantara debu yang hancur.
“Pendaratan yang kacau karena bumi ini sudah rusak, benar-benar tak bisa dipercaya,” ucap Pria Bermata Biru itu. Dia membuka pintu kokpit kemudian berdiri di hamparan padang gersang sembari memandangi tembok tinggi itu.
Pria itu menanggah ke langit tapi tak lama dia pun melirik ke arah kiri. “Kau mengutitku lagi Kaelar?” tanya Pria Bermata Biru itu dengan dingin. Tatapan mata birunya jadi tajam dan menyalang.
“Baiklah Yang Mulia, Hamba mengaku salah,” sahut Pria berambut hitam panjang. Pria itu muncul dari balik puing-puing bangunan. Dia mendekati Sang Pria kemudian berlutut dihadapannya. Pria itu sudah bersama Sang Tuan sejak kecil, ia setia sebagai ajudan pribadi dan pelayannya. “Yang Mulia Raja Averian telah memberi perintah pada Hamba untuk bersamamu, yang mulia Adriel,” ucap Pria itu.
“Terserah kau saja,” sahut Adriel, Sang Pangeran Mahkota. Pria bermata biru itu mulai berjalan mendekati tembok tinggi. “Tunggu sebentar, Kaelar ... selama di bumi aku tidak akan menggunakan kemampuanku, jadi aku minta bantuanmu, sobatku.” Pria Berambut pirang itu pun berjalan sembari memasang sebuah perangkat kecil berbentuk anting pada daun telinga kanannya. “Vetle, aku bergantung padamu untuk memberikan lokasi keberadaan Sang Pengantin Bulan,” perintah Sang Pangeran.
“Baik Yang Mulia, memperluar radar pencarian, subjek ras demi manusia dengan nama Rigel Seras Meil.” Vetle Sang Sistem bersuara namun kini bentuknya berada dalam anting yang digunakan oleh Adriel Neoma Averian, Sang Pangeran Mahkota dari planet yang jauh dari bumi.
“Yang Mulia, bukankah itu Vetle?” tanya Kaelar.
“Benar sekali, aku telah memindahkannya ke dalam anting ini, nantinya Vetle akan jadi pemandu kita karena bagaimana pun Bumi merupakan ekspedisi pertamaku,” jawab Adriel sembari memasuki pemukiman.
Kedua Pria Muda itu terpukau melihat pemukiman bumi. Jalan raya yang padat dan lalu lalang orang-orang yang sibuk dengan aktivitasnya. Mereka berdua berjalan di pinggiran trotoar. Keduanya juga melihat demonstran yang sedang mencoba menerobos masuk sebuah gedung paling megah di kota ini.
“Yang Mulia keadaan dunia ini pun sangat kacau ..,” ucap Kaelar terjeda karena ia terkejut menatap Adriel yang sedang membelalakkan kedua mata birunya. “Yang Mulia, Anda baru saja mengatakan tidak akan gunakan kemampuan Anda.” Kaelar berucap tak kala terkejut usai mengetahui jika tuannya memakai kemampuan langkahnya.
Adriel segera mendeham. “Aku kelepasan, maaf,” sahut Sang Pangeran. “Aku sudah mengetahui keberadaannya, ayo kita harus bergegas Kaelar,” perintah Adriel sembari bergegas lebih dulu.
“Baik, Yang Mulia!” sahut Kaelar.
Adriel Neoma Averian, Pria Bermata Biru itu mengikuti instingnya untuk berjalan masuk ke dalam Gedung Tyre. Di sanalah dia bertemu dengan seorang gadis berambut hitam bergelombang yang baru saja keluar dari Gedung Tyre. Gadis itu tampak terburu-buru pergi sampai ia tak sengaja menabrak tubuh dari Adriel.
“Subjek terkonfirmasi sebagai Pengantin Bulan, Rigel Seras Meil.” Vetle berucap sebagai suara yang hanya bisa didengar oleh Adriel melalui antingnya.
Adriel hanya bisa memandangi Rigel. “Wanita ini ... tidak salah lagi, dia orangnya,” ucap Adriel membatin. Kedua mata birunya hanya bisa membelalak saat menatap Rigel. Sosok wanita secerah mentari tapi Adriel juga bisa melihat kedua mata sembab Rigel.
Saat Rigel telah berlari menjauhinya Adriel hanya bisa mematung. “Sesuatu sudah terjadi padanya, berani-beraninya seseorang melukainya.” Adriel berucap sembari mengepalkan kedua tangannya.
“Yang Mulia, ini memang pertemuan mengharukan dengan Pengantin Bulan namun tampaknya sesuatu yang berbahaya juga sedang menuju kemari,” ucap Kaeral.
“Mendeteksi serangan dari 456 radius, beresiko memberi dampak kerusakan, berasal dari serangan asing.” Semula anting bermata batu biru itu berdenting kemudian menampilkan panel dan radar yang menunjukkan sebuah dentuman di dekat bumi. “Bagian debrisnya akan mengenai, oh tidak!” Adriel segera bergegas lari.
“Yang Mulia, tunggu!” teriak Kaeral mengikuti langkah Sang Pangeran.
“Kita harus kembali ke Vetle, setelah itu mengarahkan tembakan pada debris yang akan kemari ... paling tidak mencegah kerusakan fatal yang akan terjadi,” ucap Adriel.
“Baik Yang Mulia, aku mengerti,” sahut Kaeral.
Adriel melompat masuk ke dalam pesawat canggihnya lagi. Dia yang memang sudah terampil kembali menghidupkan seluruh perangkat disana. “Aku akan mulai membidiknya, Kaeral, jaga dari luar dan jangan sampai ada manusia yang mengetahui keberadaanku!” perintah Adriel.
Kaeral menghela napas tapi Pria Muda itu segera melepaskan mantel hitamnya. “Baik Yang Mulia,” ucap Kaeral yang ternyata menyembunyikan sepasang belati dari balik mantelnya itu. Pria Muda itu sudah bertahun-tahun melatih keterampilan bela diri, semua itu demi melindungi Sang Tuan.
“Benda itu datang,”
“Benda itu datang,” ucap Adriel yang telah berada dalam kokpitnya. “Vetle beri aku visir agar bisa mulai membidik,” perintah Adriel yang telah bersiap akan membidik.Adriel kala itu tidak memerdulikan apa pun selain keamanan Rigel. Padahal ia baru bertemu dengan Rigel tapi dirinya yakin jika Rigel merupakan orang yang selama ini dia cari.“Mendeteksi akan adanya ledakan, koordinat mendekati Pengantin Bulan.” Vetle memberikan pemberitahuan dari panel yang muncul pada monitor. Berkat pemberitahuan itu membuat Adriel membelalakkan kedua matanya. Pria itu segera melompat keluar dari kokpit setelah berhasil menembak hancur objek yang nyari mengenai kota itu.Kaelar menatap Adriel yang kembali bergegas. “Yang Mulia, Anda hendak kemana?” tanya Kaelar heran. Meski begitu dia tetap mengekori Sang Pangeran. Kecemasannya karena mereka berada di tempat yang asing dan baru pertama kali memijak dunia ini.“Yang Mulia Anda harus ingat jika bumi bukanlah New Neoma, Anda harus hati-hati,” ucap Kaelar
“Kira-kira bagaimana ya reaksinya?”Adriel memasuki kamar perawatan. Adriel menatap tajam Rigel yang masih berbaring tidur itu. “Kau ... orangnya,” ucap Adriel. Dia berjalan pelan kemudian mengarahkan jarinya untuk membelai ujung kelopak mata Rigel yang tampak sembab. Kedua mata birunya menyalang dalam kegelapan malam. Biru cerah yang bersinar memandangi Rigel yang terlelap dalam tidurnya itu. Detik selanjutnya dia sudah menghilang ditelan oleh malam. Kedua mata Rigel terbuka dengan membelalak. Rigel langsung terduduk bangun. Ia mendapati dirinya berada dalam ruang perawatan. “Tidak ada seorang pun di sini, padahal tadi aku merasa ada orang yang sedang memerhatikanku.” Rigel berucap seorang diri sembari melihat kiri dan kanannya.“Omong-omong, aku ada di mana?” Rigel memandangi ruangan putih ini. Ia juga melihat tangan kanannya yang terpasang sebuah infus set. Usai mengingat-ingat lagi, Rigel sadar jika ia sedang ada di Rumah Sakit. Terakhir kalinya ia sadar karena ledakan di Gedung
"Baiklah, saat kejadian ledakan itu terjadi dimana apakah kau ingat sedang ada dimana?" tanya Harlan."Di depan Gedung Tyre, kau juga ada di sana jika kau lupa," jawab Rigel."Apakah kau ingat siapa yang menolongmu saat ledakan itu terjadi?" tanya Harlan lagi.Rigel terdiam sejenak. Dia tak tahu siapa yang sudah menolongnya tapi Rigel masih ingat lengan yang langsung meraih tubuhnya itu. "Tidak, aku tidak tahu karena kesadaranku langsung hilang," jawab Rigel sembari menunduk. Brakkk Rigel terkejut kala menatap Harlan yang tampak membanting tumpukan berkas diatas meja. "Persetanan dengan interogasi ini!" bentak Harlan yang langsung beranjak pergi dan keluar dari ruang interogasi tanpa berkata apa pun lagi."Kenapa dia? aneh sekali," ucap Rigel yang berbincang sendiri. Interogasi berjalan tidak lancar karena Petugas yang bertanggung jawab telah keluar dari ruangan lebih dulu, maka dari itu Rigel menyusul untuk keluar dari ruangan. Saat berjalan keluar dari gedung. Rigel sempat menyan
"Ada remahan cokelat disini," ucap Adriel sembari mengusap ujung bibir Rigel. Pria itu menatapnya dengan dalam. Rigel jadi tertegun saat kedua mata biru Adriel yang cerah itu beradu tatap dengannya. "Cantiknya," ucap Rigel tanpa sadar memuji Adriel. Tidak mengherankan jika Adriel bagaikan seorang pangeran berkuda putih. Tampang dan kedua matanya sangat cerah nan indah. "Apakah begitu?" Adriel semula tak mau menapaki keterkejutannya karena pada nyatanya Rigel yang lebih dulu mendekati dirinya. Adriel bahkan merasakan dadanya yang berdenyut cepat kala Rigel memujinya. Ketika hendak berbincang dengan Rigel lagi, Adriel justru menatap Rigel yang telah berjalan keluar.Rigel hanya berdiri di hamparan padang rumput seorang diri. Rigel memejamkan kedua matanya karena sedang menikmati angin sore yang bertiup sepoi-sepoi. Ketika senja nyaris berpisah, langit magenta petang dan Adriel yang ikut terdiam memandangi mahluk ciptaan Tuhan yang indah itu. Tatapan sepasang mata biru itu memuja Rige
"Semudah itu kau berpaling," ucap Harlan yang ternyata sedari tadi memerhatikan Rigel. Semua itu karena dia baru saja hendak meninggalkan gedung Tyre namun berpas-pasan dengan Rigel yang sedang bersama pria lain."Aku tidak menyangkanya." Harlan kini menatap kehampaan dari jauh tempatnya berpijak. Ia hanya bisa menatap motor hitam yang mengangkut Sang Kekasih bersama pria lain semakin menjauhinya. Dia hanya termangun dalam hampaan tapi ingin memperjuangkan Rigel masih jadi gelora hatinya sampai saat ini.Derapan langkah kaki seseorang mendekat. Sepasang sepatu hak tinggi yang mengkilap milik seorang wanita berwajah angkuh. "Sudah kukatakan, dia wanita gampangan yang cepat berpaling," celetuk Wanita itu sambil mengibaskan rambut pirangnya. "Sebagai anak pewaris Violens, kau ini cukup kurang kerjaan ya?" cibir Harlan. Setelah itu Harlan beranjak lebih dulu sembari membuang tatapannya. Dia cukup malas meladeni pertengkaran yang akan terjadi bersama Julia ini. "Maksudmu apa?" tanya Juli
"Nak, kau yakin dengan semua ini?" tanya Sang Ibu diambang pintu yang tengah memerhatikan Si Anak yang sedang memindahan beberapa tas berisi barang-barangnya. Tatapannya pilu tapi dia tahu jika dia tak bisa melarang anaknya. Rigel mencoba berdiri tegap sambil meraih tas ranselnya. "Yakin karena aku harus memulai lembaran baru," jawab Rigel. "Kota itu terpencil, jauh dari Pusat Pemerintahan, dan lagi pula tempat itu banyak ditinggali oleh orang-orang yang pernah terkena infeksi," ucap Ibu yang khawatir. "Sariya bukanlah kota yang buruk, memang banyak ditinggali dan selain itu ... disana hening dan sepi." Rigel memakai tas ransel sembari meraih tas jinjing lainnya. Dia sudah membulatkan tekad untuk pindah kerjaan menjadi paramedis klinik yang bekerja di Kota Sariya. Salah satu kota yang banyak ditinggalkan oleh penduduk karena pernah jadi salah satu tempat dimulainya virus crocus mewabah, meski pemerintah sudah memberikan keterangan aman untuk kota itu tetap saja marabahaya akan selal
"Terima kasih Bu Mantri," ucap seorang anak kecil yang baru saja diobati lukanya oleh Rigel.Rigel tersenyum kikuk. "Ah, aku lebih suka dipanggil Ners daripada Bu Mantri, atau Kakak saja," sahut Rigel sambil mengemasi kotak-kotak berisi obat-obatan itu. Rigel juga mengemasi perban dan beberapa set hecting sederhana."Ini obat antibiotik, dihabiskan ya," ucap Rigel. "Sebenarnya ini tugas Kak Alex tapi mengingat tempat ini terpencil dan sangat kekurangan akses jadi apa boleh buat?" Rigel berbincang seorang diri sementara Si Anak kecil memandangi Rigel dengan bingung. Rigel menatap Anak Kecil itu kemudian mengusap puncak kepalanya. "Kamu bisa kembali ke rumahmu sendiri?" tanya Rigel. Anak kecil itu mengangguk. "Terima kasih Bu Mantri, aku pulang dulu," ucap Si Anak Kecil sambil berlari keluar dari Klinik. "Hati-hati, kakimu baru saja dibersihkan!" teriak Rigel sembari berjalan ke depan Klinik. Rigel berdiri sesaat di halaman pekarangan Klinik. Klinik ini daripada mirip seperti banguna
"Misi pertama," ucap Rigel yang bergumam dengan kedua mata membelalak. Adriel mencoba mendekati Rigel namun Rigel langsung menyembunyikan surat yang ada dari dalam box. Rigel tersenyum untuk menyembunyikan misi yang sudah sampai ditangannya. "Bukan apapun, hanya beberapa surat rindu dari Corrie," ucap Rigel. Adriel memandangi Rigel sejenak. Kedua mata biru Adrian tampak mengekori langkah Si Manis Rigel yang beranjak dari dapur. Adriel tahu tatapan cemas dan kening mengkerut Rigel yang sedang berpikir keras itu. "Kalau begitu aku akan kembali ke Kantor Pengiriman," ucap Adriel pada Rigel."Ah benar sekali, aku juga harus kembali ke Klinik." Rigel juga bergegas beranjak sembari membawa box yang sebelumnya Adriel berikan padanya. "Terima kasih sudah menemaniku makan siang," Rigel tersenyum suka cita pada Adriel sampai membuat Pria itu salah tingkah.Adriel buru-buru memalingkan wajahnya. "Ehem ... ten ... tentu saja, kalau begitu selamat tinggal," ucap Adriel sambil buru-buru beranjak
Kedua kelopak mata Rigel perlahan-lahan terbuka. Rigel mendapati dirinya dalam ruang perawatan Rumah Sakit. Disebelah dirinya juga terdapat box bayi saat Rigel menoleh ternyata box bayi itu kosong. Rigel buru-buru hendak beranjak bangun."Perlahan ... kau baru siuman, Rig," ucap Adriel lembut. Pria itu ternyata sedang menggendong bayinya sembari memberi susu dari sebuah botol susu. Rigel menghela napas cukup panjang. "Kukira dia hilang lagi," celetuk Rigel sembari menduduki dirinya lagi. Kini Rigel melihat tangannya yang sedang dipasang set infus. Meski tubuhnya tidak terlalu terasa kelelahan tapi Rigel bisa merasakan pengalaman luka yang sudah ia lakukan."Cassiel, cukup anteng saat kau tertidur," ucap Adriel. Rigel kini menolehkan tatapannya untuk melihat sosok Adriel. Rigel menyadari jika Adriel lebih dewasa saat menggedong Cassiel. Rambut pirangnya diikat kebelakang, tubuh kekar dan tegapnya hanya memakai kaos putih dan celana jeans hitam. "Berapa lama aku tertidur?" tanya Rigel
"Adriel ingatlah, kau tidak boleh melepaskan kain ini darinya sampai tiba ditempat yang benar-benar aman." Rigel berucap sembari melingkarkan kain pada tubuh anaknya ke tubuh Adriel untuk membentuk kain gendongan. "Dan kau harus berjanji akan kembali bersamaku," sahut Adriel sembari memandangi kedua mata Ruby dari Rigel. "Aku ...," ucap Rigel terjeda karena Adriel lebih dulu menyela."Berjanjilah!" tegas Adriel dengan tatapan yang sulit diartikan. Adriel bahkan meraih puncak kepala Rigel kemudian sengaja menyandarkannya pada dada bidangnya sendiri. Adriel mengecup puncak kepala Rigel sejenak. "Kembali padaku, setelah itu aku akan meminta pengampunan yang layak padamu Rig," ucap Adriel menyesal.Rigel tersenyum kecil, tersentuh oleh Adriel yang semula hanya dikenalnya sebagai Pria Arogan dengan dua sisi yang mudah berubah. Rigel mengangguk sejenak. "Aku harus menuntaskan keinginan dari ayahku, dari Bangsa Carnelian, dan dari penderitaan semua orang," ucap Rigel."Itu tidaklah adil se
"Kau anteng sekali ya, Sayang." Rigel yang menggendong bayinya pun kini menanggah lagi, ia mendapati pesawat tempur yang dikendarai oleh Adriel dan Harlan tampaknya bekerja sama untuk melawan monster buatan Aquilina. "Kita harus mengamankan dirimu dulu," ucap Rigel sembari menunduk menatap bayi yang ia gendong. Setidaknya Rigel masih kembali pada kewarasannya, Rigel menyadari jika Gudang ini sudah dikepung oleh terinfeksi yang mengincar aliran darah hidup. Rigel mulai panik sendiri karena ia tahu, semua ini ulahnya. "Maafkan aku ... aku tak bermaksud seperti itu." Rigel tercengang mendapati semua orang yang terinfeksi sudah mengepung gudang terbengkalai ini sementara iasendiri sedang menggendong bayinya. Adriel yang sedang mengendarai pesawat tempur itu langsung mengerahkan tembakan ke seluruh orang yang terinfeksi agar membuka jalan bagi Rigel melarikan diri. Rigel sontak merunduk sembari memeluk bayinya itu. "Rigel! cepat lari dari sana!" perintah Adriel yang rela membuka pelind
Rigel yang sedang mengemudi menyetir memasuki sebuah gudang terbengkalai. Ia keluar dari mobil sembari melirik ke sekelilingnya. Semula sebuah pistol kecil sudah ia selipkan di balik sweaternya. Rigel kini berjalan masuk ke dalam gudang itu.Rigel terkekeh geli karena merasa semua ini sengaja dipersiapkan untuknya. "Tempat yang jauh dari orang-orang, kau sungguh sudah mempersiapkan semua ini Lady Aquilina," ucap Rigel yang kini sudah berdiri ditengah-tengah gudang."Menyebalkan, kau selalu ada ... kau terlalu beruntung," celetuk Aquilina yang muncul dari balik kegelapan."Dan kau selalu dengki," sahut Rigel sembari menggelengkan kepalanya. "Sekarang, berikan anakku sebelum aku mengakhirimu," ancam Rigel dengan nada dinginnya. Rigel tak main-main dengan ucapannya sendiri karena ia sudah begitu lama menahan diri. Aquilina disisi lain wanita yang mendambakan cinta, ia tumbuh kecil dan besar bersama Adriel. Ia sudah menduga jika dirinya yang akan bersama Adriel, pujaan hatinya namun data
"Bangunlah, berikan aku keajaiban," ucap Alex pasrah. Alex saat itu memandangi Rigel yang terbaring dengan dipasang sebuah ventilator dan alat-alat medis lainnya. Saat itu Alex mulai heran saat melihat rambut hitam Rigel tiba-tiba saja memutih perak. Tak lama kemudian kedua kelopak matanya terbuka menampaki iris mata merah berkilaunya."Rigel ... kau bangun!" jerit Alex yang terperanjat terkejut. Sosok Rigel menduduki dirinya, ia dengan ceroboh melepas selang ventilator dari tenggorokannya sendiri setelah itu tersedak-sedak. Rigel menoleh ke arah Alex yang masih terdiam terkejut. "Anakku, di mana dia?" tanya Rigel tertegun.Alex seolah terhipnotis bisu untuk menjawab pertanyaan Rigel. Rigel saat ini bagaikan orang yang berbeda. Selain rambut hitamnya yang jadi perak, kedua mata merahnya yang berkilau dan wajah Rigel yang biasanya ceria sumringan itu jadi lebih tegas. "Ah, itu ... kami hanya menemukanmu bersama Ibu dan Saudarimu, Corrie yang terluka juga ada disana ...," ucap Alex t
Hangat mentari dan suara bunyi burung di pagi hari membuat Rigel memejamkan kedua matanya sejenak. Saat ini ia berjalan di trotoar. Jalanan dan kota sangat sepi. Ia ingat jalan pinggiran kota Sariya tempatnya pernah berkerja ini."Aku kini melompat ke ingatan lamaku, saat setelah aku tiba di sini," ucap Rigel masih terjebak di alam bawah sadarnya. Rigel berjalan sampai tiba di Klinik. Cuaca hari ini sangat bagus, Rigel ingat jika mentari hangat menyertainya. Saat itu Rigel baru saja pindah ke Klinik. Saat itu juga ia bertemu dengan Adriel, semula kedatangannya hanya membawa surat-surat dari pusat. Motor yang ia kendarai dibekali sebuah box besar yang berguna untuk menyimpan barang-barang antarannya. Rigel terpana dengan Adriel yang mau bekerja keras seperti itu padahal wajah dan bentuk fisiknya seperti Pangeran. Ingatan ini membuat Rigel tersenyum dengan sipu merah pada kedua pipinya. Rigel yang baru tiba di klinik memilik duduk di anak tangga depan pintu kemudian memerhatikan Adrie
"Cepat atasi pertempuran ini, kemudian kembali melihat anak dan perempuan yang kau cintai," ucap Pak Mintaka. Harlan mengangguk. Ia pun memasang helm kemudian memasuki pesawat tempurnya. Harlan tentu dusta jika tak memikirkan keadaan Rigel saat ini tapi ia harus fokus menyelesaikan ancaman dari Adriel. Usai mengaktifkan seluruh perangkat pesawat. Ia mulai menggerakkan pesawat menaiki langit. Mula-mula langit dibawah lautan itu masih begitu tenang, tapi sampai Harlan mengendalikan pesawatnya lebih tinggi lagi. Kedua matanya membelalak menatap armada pesawat tempur yang sudah berbaris seolah menanti kedatangannya. "Bajingan Gila itu!" Harlan mengeraskan rahangnya ketika sebuah pesawat tempur induk dikelilingi oleh pesawat tempur yang mulai menyerang pasukannya. Harlan melalui alat komunikasi mulai mengarahkan pasukannya sesuai rencana. "A-89 Tiger, regu Tiger segera melesat lebih dulu ke arah belakang titik buta, Copy!" seru Harlan. Kedua tangannya mencengkeram kemudi dengan keras.
"Nona, tampaknya bayi itu sudah lahir karena auranya mirip dengan Yang Mulia Adriel, asalnya dari kamar itu," ucap Calen. "Tak bisa dibiarkan, kita harus mengambil bayi itu dari Rigel sebelum Adriel mendapatkannya," ucap Aquilina. "Baik My Lady," sahut Calen dengan patuh. Calen mendobrak pintu, ia langsung mendapati Rigel yang terkulai lemah. Calen sempat memandangi aura dari Rigel yang mulai redup. "Padahal warna merah menyalang itu sangat cocok denganmu," ucap Calen seorang diri. "Apa yang membuatmu melamun Calen?!" bentak Aquilina seraya bersidekap. "Cepat ambil bayi itu!" perintah Aquilina dengan tega. Bayi yang digendong oleh neneknya itu langsung menangis. "Tidak, jangan pisahkan mereka, bayi itu masih kecil Tuan," ucap Sang Nenek memelas. Calen langsung merampas bayi itu dari Wanita Tua yang tak berdaya. "Ayo Nona, bayinya sudah bersama saya," ucap Calen tanpa mau menghabisi Rigel yang sudah terbaring tak sadarkan diri itu karena Calen tahu jika nyawa Rigel kritis bahka
"Rigel, Rigel!" jerit Corrie yang mulai panik karena menatap Rigel yang terkulai tak sadarkan diri dengan wajah yang pucat pasi. Bayi yang digendong Corrie buru-buru ia berikan pada Ibu. "Rigel kemungkinan mengalami perdarahan, meski aku harus memberi cairan untuk Rigel," ucap Corrie. Saat itu Corrie juga melirik bayi yang baru Rigel lahirkan. Bayi rapuh dan tak berdosa itu mengemut jemarinya karena lapar. Corrie segera menggeleng khawatir jika rasa ibanya menggarungi dirinya. "Oh Sayang, kita berdoa untuk ibumu," ucap Ibu sembari menggendong cucunya itu, sejenak ia memerhatikan bayi indah yang dilahirkan oleh Rigel. "Salwa jangan diam saja!" omel Ibu. "Telepon ambulan lagi, kakakmu dalam masa yang bahaya," suruh Ibu.Beralih pada Corrie yang gemetar usai mempersiapkan satu kantung cairan NaCl untuk Rigel. Ia memengangi tangan Rigel yang mulai dingin, ia mencoba menyentuh hidung Rigel dan merasakan napasnya yang menderu amat pelan. "Rigel, maafkan aku tapi kau harus bertahan demi bay